Saturday, October 25, 2025

Shy, Steve, dan Kesempatan Terakhir

Tentang Shy, Steve, dan Last Chance

Kepala Shy selalu penuh. Berbagai pikiran tak henti berseliweran. Saling silang seperti pita yang kusut. Pikiran-pikiran itu dan rasa ingin tahunya yang tinggi, tak jarang mendorong Shy melakukan hal-hal yang impulsif. Tidak selalu buruk, tapi kebanyakan tidak bisa diterima begitu saja oleh sekitarnya.

Di lingkungan yang lebih suportif, remaja berusia 16 tahun tersebut mungkin akan dianggap sebagai anak berbakat (gifted atau wild child). Sesuatu yang diapresiasi sebagai sebuah kelebihan. Tapi di tempatnya tumbuh besar, di Inggris era 90-an, Shy lebih sering dianggap tidak normal.

Tapi apa itu normal? Ketika normal sendiri adalah suatu spektrum. Sayangnya normal punya makna yang sempit untuk orang-orang di sekitar Shy. Maka remaja itu tumbuh dengan rasa bersalah karena tidak pernah memenuhi definisi normal di lingkungannya. Terutama terhadap ibu dan ayah tirinya karena selalu merepotkan mereka dengan masalah yang ditimbulkannya.

Rasa bersalah yang menumpuk bermanifestasi menjadi kemarahan yang semakin lama tidak dapat dikendalikan.

Shy menghancurkan rumah kerabatnya, menusuk jari tangan ayah tirinya, mematahkan kaki teman wanitanya, memukul kepala anak sekolah lain sampai bocor, serta segala kekacauan lainnya. Kejadian-kejadian ini yang membuatnya berada di Last Chance (Stanton Wood). Sebuah sekolah berasrama khusus untuk rehabilitasi remaja yang memiliki masalah perilaku.

Dibiayai oleh pemerintah, Last Chance diharapkan mampu mengubah anak-anak muda yang dianggap sebagai “sampah masyarakat” menjadi seseorang yang setidaknya tidak mengganggu kehidupan publik. Syukur-syukur bisa bermanfaat.

Murid-murid dengan impuls tinggi dan kurang kontrol emosi membuat kehidupan sehari-hari di Last Chance dipenuhi oleh keributan, perkelahian, dan secara umum kekacauan. Dengan kondisi yang demikian memang hanya guru-guru dengan kesabaran selevel malaikat yang sanggup mengajar di Last Chance. Orang-orang dewasa yang secara tulus mencoba memahami murid-murid di Last Chance dengan segala karakteristik dan permasalahannya.

Bagaimanapun tidak idealnya kondisinya, guru-guru di Last Chance berjuang setiap hari untuk mengobati luka hati para muridnya. Dalam setiap kesempatan mereka menyampaikan pesan bahwa remaja-remaja itu tidak sendirian, bahwa apa yang terjadi dalam hidup mereka bukan semata kesalahan mereka, dan bahwa mereka masih punya kesempatan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Alhasil, di tengah dunia yang sepakat tidak bersedia menerima mereka, Last Chance, menjadi rumah bagi Shy dan teman-temannya.

Pimpinan guru di Last Chance adalah seorang guru bernama Steve. Dibalik ketenangannya dalam menghadapi persoalan murid-muridnya, Steve menyimpan rahasia yang sebetulnya telah diketahui rekan-rekan sejawatnya. Pria itu memiliki adiksi terhadap obat penenang dan minuman keras. Konon kecelakaan mobil yang dialaminya tiga tahun lalu masih membuatnya trauma.

Di balik perjuangan dengan adiksinya, Last Chance menjadi semacam obsesi bagi Steve. Pria itu mencurahkan jiwa dan raganya di tempat tersebut untuk “menyelamatkan” hidup murid-muridnya.

Maka ketika beredar kabar bahwa Last Chance akan ditutup selamanya, Shy dan Steve tidak dapat menerimanya dengan lapang dada.

Kisah Dalam Dua Format

Kisah Shy, Last Chance, dan Steve merupakan karya asli penulis sekaligus penyair berkebangsaan Inggris bernama Max Porter. Cerita ini ditampilkan dalam 2 buah karya dengan format dan sudut pandang yang berbeda.

Pemikiran Shy mengenai diri dan kehidupannya dituangkan dalam novel pendek berjudul “Shy” yang terbit pada tahun 2023. Sementara sudut pandang Steve sebagai guru di Last Chance disampaikan dalam film Netflix berjudul “Steve” yang tayang di tahun 2025.

Max Porter sendiri turun tangan menggarap naskah Steve berdasarkan dorongan dari Cillian Murphy yang merupakan temannya. Oleh karena itu perbedaan sudut pandang dari adaptasi Shy ke Steve dalam  medium berbeda tersebut cukup halus. Tidak terasa tumpang tindih. Saling melengkapi bukan menggantikan.

Tentang Novel Shy

Sebelum menonton filmnya, terlebih dahulu saya membaca novelnya. Plot dalam novel Shy dituliskan bolak balik antara masa lalu dan masa kini. Isinya menggambarkan kalimat-kalimat yang muncul di kepala Shy. Persis hingga titik koma dan intensitasnya.

Kesalahan tulis menjadi kesengajaan untuk menggambarkan kekacauan pikiran. Kalimat panjang tanpa jeda menunjukkan pikiran yang menggebu-gebu. Sementara besar kecil ukuran huruf memperlihatkan ingatan: suara-suara samar Ibu yang menasehatinya, suara tenang guru yang mencoba menggali perasaannya, suara lengkingan teman-teman sekolah yang merundungnya.

Tujuh per delapan novel Shy menceritakan pikiran-pikiran yang muncul dalam kepala Shy selama perjalanan dari sekolah hingga ke sebuah danau tempatnya berencana untuk mengakhiri hidup. Sementara sisanya menceritakan apa yang membuatnya berubah pikiran. Shy memang ingin mati, tapi dia lebih penasaran pada apa yang akan terjadi pada dirinya.

Hal ini yang menyelamatkan hidupnya. 

Saya cukup kesulitan membaca novel Shy. Karena selain ditulis dalam banyak kiasan bahasa Inggris yang kurang bisa saya mengerti, ada banyak penggambaran yang tidak bisa langsung saya bayangkan sekali baca karena kurang paham dengan konteksnya.

Membuat saya menghabiskan waktu cukup lama untuk menghabiskan novelnya. Padahal  panjangnya hanya 128 halaman.

Meskipun tidak selalu paham, tapi ada satu hal yang dapat saya tangkap dengan baik dari novel tersebut: kebingungan Shy menghadapi emosinya sendiri. 

Kebingungan yang seringkali berubah menjadi kemarahan yang tak terkendali.

Tentang Film Steve

Kemarahan yang timbul karena kemampuan regulasi emosi yang rendah ini juga menjadi cerita sentral dalam film Steve. Di film garapan sutradara Tim Mielants ini, setengah adegannya menggambarkan remaja-remaja yang mudah terpantik dengan situasi sekitar dan tidak memiliki referensi cara untuk menghadapi emosi yang dialaminya. 
Ledakan kemarahan juga dirasakan oleh Steve yang ternyata memiliki masalah regulasi emosi yang mirip dengan murid-muridnya. Perbedaan Steve dengan murid-muridnya adalah guru tersebut dengan sadar memilih untuk meluapkan rasa marah walaupun punya kemampuan untuk menahannya. Sementara murid-muridnya memang tidak punya kemampuan untuk menahan kemarahan yang meluap.

Mereka bahkan tidak tau kenapa mereka marah.

Berbeda dengan bukunya, saya menghabiskan film Steve sekali duduk. Seperti kebanyakan film Netflix, durasi Steve cukup pendek. Hanya sekitar 90 menit. Cerita film ini berputar pada satu hari yang kacau di Stanton Woods. Saat itu beberapa peristiwa terjadi bersamaan di sekolah yang berada di daerah antah berantah  Inggris Raya tersebut.

Steve dan para guru mendengar langsung dari perwakilan pemerintah mengenai keputusan untuk menutup Last Chance dalam kurun waktu 6 bulan, serombongan kru film dokumenter tanpa empati mencoba mengabadikan keseharian di Stanton Woods, dan Shy mendengar kabar kalau ibu dan ayah tirinya memutuskan untuk tidak akan lagi berurusan dengannya.


Dihadapkan pada situasi yang rumit, Steve dan Shy sama-sama kehilangan kendali atas dirinya. Pikiran mengenai kelanjutan hidup murid-muridnya dan rasa putus asa menghadapi keadaan membuat Steve menenggak pil penahan rasa sakit dan minuman keras di setiap kesempatan. Sementara Shy yang seperti mendapat vonis kalau tidak ada yang bersedia menerimanya, memutuskan untuk tidak lagi mendengarkan siapa-siapa dan bertekad mengakhiri hidupnya.

Beda Shy dan Steve

Berbeda dengan bukunya, saya tak terlalu kesulitan mengikuti jalan cerita filmnya. Membandingkan pengalaman membaca dan menonton kisah tersebut, saya menyimpulkan ada beberapa perbedaan motif tokoh utama yang saya sadari cukup membuat kedua karya tersebut memiliki pesan dan makna berbeda. Padahal keduanya ada di semesta yang sama.

Di novel, konflik utama Shy ada pada ketidakmampuannya untuk bisa memahami dirinya sendiri dan ketidakmampuan orang di lingkungan lamanya untuk membantunya. Sementara di film, konflik Shy lebih disebabkan oleh faktor eksternal yaitu keengganan orang lain, termasuk orang tuanya sendiri, untuk terlibat dengannya.

Itu sebabnya inti utama dari novel Shy adalah menyelamatkan Shy dari dirinya sendiri sementara di film Steve, sosok Shy tergambarkan lebih sebagai korban dari keadaan. 

Dengan demikian konflik di filmnya terasa lebih mainstream, apalagi untuk saya yang penggemar drama Korea. Dimana konflik seperti ini biasa jadi sajian utama cerita. Sementara konflik di novelnya lebih terasa dalam karena melibatkan pemahaman terhadap karakter Shy sendiri dan situasi di sekitarnya.
Karakter Shy sendiri cukup berbeda antara di novel dan di film. Di film, Shy adalah anak yang terkesan pemurung dan menutup diri. Telinganya selalu tertutup headphone dengan musik berdetam yang menggelegar. Sementara di bukunya, persepsi saya terhadap Shy adalah anak yang sebenarnya cukup perasa. Dengan segala kerumitan pikirannya Shy punya kesadaran akan tindakan-tindakan yang dia lakukan. Meskipun kesadaran tersebut datangnya lebih sering terlambat.

Sementara karakter Steve sendiri tidak begitu banyak disebutkan novel. Jadi saya tidak bisa membuat perbandingan. Di filmnya, karakter minor ini berubah menjadi tokoh utama yang sangat signifikan dalam cerita.

Karakter Steve sebetulnya tidak terlalu rumit untuk dipahami. Seorang pria yang tulus dan berdedikasi tapi tidak punya cukup kepercayaan diri untuk tidak terpengaruh dengan kondisi di sekitarnya. Steve berkali-kali harus mengafirmasi dirinya sendiri lewat ucapan yang direkam dengan perekam suara. Sepertinya supaya dia bisa mengingat hal-hal yang menjadi tujuannya di tengah-tengah kemelut pikirannya.

Steve sendiri juga sepertinya tidak memiliki mekanisme untuk menenangkan diri sendiri. Hal ini sepertinya yang menjadi pemicu adiksinya. Ketenangan sesaat yang mungkin dia rasakan saat harus mengonsumsi pil penahan sakit menjadi jalan ninjanya untuk bisa berpikir jernih. 

Sosok Steve sebetulnya juga rentan menjadi mainstream, tapi dengan aktor sekaliber Cillian Murphy sebagai pemerannya, tokoh Steve tetap  menjelma menjadi sosok yang terasa lebih kompleks daripada sekedar orang baik dengan kebiasaan yang kelam.  

Cillian memerankan Steve dengan empati yang dalam terhadap karakternya. Bagi peraih Oscar untuk pemeran utama pria terbaik tahun 2025 ini, sosok Steve sangat dekat dengannya. Sebagai anak dari pasangan guru, Cillian menyaksikan sendiri dinamika kehidupan orang tuanya di dunia pendidikan. Tugas berat yang seringkali tidak diimbangi dengan imbalan dan penghargaan yang pantas.

Jika harus membandingkan lagi antara novel dan filmnya, cerita film Steve memang tak sekuat novel Shy. Bahkan di beberapa aspek ceritanya malah terasa agak dibuat-buat supaya dramatis. Apalagi dengan permainan kamera di beberapa adegan yang cukup membingungkan. Seperti penggunaan drone  yang tiba-tiba saat adegan klimaks untuk menggambarkan kekacauan.  

Karena cerita filmnya yang agak kurang menggigit, nyawa film Steve memang ada pada penampilan para pemerannya yang brilian. Terutama para pemeran murid-murod di Stanton Wood. Pemilihan aktor-aktor pendatang baru sepertinya disengaja untuk memberikan nuansa segar pada penggambaran remaja-remaja yang feral. Sementara aktor aktor veteran seperti Tracey Ullman dan Emily Watson mengimbangi dengan akting yang matang.


Shy dan Steve Sebagai Pengingat

Kisah Shy, Steve, dan Last Chance mungkin terjadi di tempat yang lokasinya ribuan kilometer dari Indonesia. Begitupun dengan waktu yang sudah berbeda 30 tahun dari periode di cerita. Akan tetapi untuk saya, emosi yang dirasakan para tokoh di film itu sangat relevan dengan kehidupan masyarakat Indonesia saat ini: remaja-remaja yg kehilangan arah, emosi-emosi yang tak terbendung, dan kemarahan-kemarahan yang berlebihan.

Film Steve atau novel Shy tentu saja tidak akan pernah menjadi populer di Indonesia. Ketika masih jauh masyarakat kita mampu menerima tontonan yang perlu pemikiran. Padahal dari kisah-kisah seperti ini kita bisa menarik banyak pembelajaran. Apalagi untuk orang-orang yang diberikan amanah luar biasa sebagai orang tua. 

Dari pengalaman membaca dan menonton kisah ini saya sendiri jadi diingatkan kalau pemberian terbaik bagi anak-anak adalah lingkungan yang menerima mereka apa adanya dan mendukung mereka untuk menjadi versi terbaik dari dirinya. Versi terbaik yang tidak didefinisikan oleh orang lain tapi oleh mereka sendiri. Apapun suratan takdir yang harus mereka jalani kedepannya. 

Dari kisah Shy dan Steve saya juga belajar bahwa definisi bahagia masing-masing orang berbeda-beda. Untuk Steve dan Shy menjalani hari-hari tanpa kegaduhan sudah merupakan anugerah luar biasa. Kehidupan biasa yang mungkin buat kita membosankan, adalah impian buat mereka yang masih harus berjuang untuk sedikit saja memperoleh ketenangan dalam ketidaknormalan kondisinya. 

Ditulis dalam rangka Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Bulan Oktober 2025 dengan Tema Menyelami Orisinalitas dalam Adaptasi Karya Lintas Medium.







Read more ...

Thursday, September 25, 2025

Romantisme Lagu Perjuangan (Pilih Sendiri Kisahmu)

Bau apak menyergap hidungku saat membongkar lemari eyang uyut. Berbagai barang berjejalan di dalamnya. Berlapis debu yang lekatkan aroma masa lalu, seolah menolak dilupakan. 

Eyang uyut meninggal di usianya yang ke-102 tahun seminggu yang lalu. Sekarang ibuku, sebagai pewaris tunggal wanita itu, menjadi pemilik sah dari rumah beserta seluruh isinya. Sebuah rumah luas dengan gaya 60 an yang masih kokoh berdiri.

Aku tentu saja tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk membantunya membereskan barang-barang di rumah megah itu. 

Sebagai penggemar barang antik, aku selalu terpikat dengan benda-benda tua. Rasanya seperti membaca buku sejarah, hanya saja lewat wujud nyata yang bisa kugenggam, kunikmati, dan kuimajinasikan.

Tanganku menyibak tumpukan kain batik yang warnanya mulai pudar, kotak kayu kecil dengan ukiran yang nyaris terhapus, hingga setumpuk majalah lawas yang kertasnya sudah menguning dan rapuh di tepinya.

Ada juga kaca mata bulat dengan gagang besi tipis, botol parfum kecil dengan sisa cairan berwarna kuning pucat di dalamnya, dan buku catatan harian dengan kunci mungil yang sudah berkarat.

Setiap benda seakan berbicara, menyampaikan sepotong kisah yang pernah dijalani pemiliknya.

Lalu mataku berhenti pada sebuah benda yang tak pernah kulihat sebelumnya: sebuah radio tua dengan bodi kayu cokelat gelap.

Permukaannya penuh goresan, kenopnya kusam, dan kain pelindung speakernya sobek di beberapa bagian.

Namun entah mengapa, ada sesuatu yang membuatku tergelitik untuk mencoba menyalakannya.

Seolah benda itu menyimpan rahasia yang menunggu untuk ditemukan, rahasia yang hanya bisa terbuka bagi seseorang yang cukup sabar untuk mendengarkan.

Dengan hati-hati, aku membalik radio tersebut, mencoba mencari tahu bagaimana cara menyalakannya.

Aku memeriksa bagian belakang, memutae beberapa kenop, tetapi tak menemukan apa-apa yang bisa membuatnya menyala. 

Karena tak bisa menemukan yang kucari, kuletakkan kembali radio tersebut di pinggir jendela kamar eyang, membiarkannya diterpa cahaya sore yang menyorot dari sela tirai tua.

Beberapa lama aku melupakannya. Kesibukan memilah barang membuat perhatianku teralihkan.

Namun ketika tiba saatnya memutuskan barang-barang mana yang hendak dibuang dan mana yang harus dipertahankan, aku kembali teringat pada radio tua itu.

Ada dorongan aneh yang membuatku enggan menyingkirkannya. Rasa penasaran menempel kuat, seolah radio itu berbisik agar tetap kusimpan.

Aku tak tega melepasnya begitu saja. Seperti ada kenangan besar yang melingkupinya, kenangan yang belum terungkap sepenuhnya.

Kubawa radio itu pulang. Di rumah, rasa ingin tahuku semakin membuncah. Aku membongkarnya perlahan, membersihkan debu yang menumpuk di sela-sela komponennya, lalu mulai mengutak-atik rangkaiannya.

Untunglah, tak percuma aku pernah belajar elektronika selama tiga tahun lamanya. Dengan sedikit modifikasi dan tambahan mekanisme modern, akhirnya radio itu bisa kembali bernapas.

Dengan hati-hati, kucolokkan kabel radio itu ke stop kontak. Listrik mengalir, lampu kecil di dalamnya menyala redup, dan suara berdesis memenuhi ruangan.

Aku memutar-mutar kenop, mencari siaran yang mungkin masih bisa ditangkap. Sampai tiba-tiba, alunan musik lawas mengalir, jernih meski diselingi bunyi kresek halus.

Lagu itu lagu kukenal yang sering digumamkan eyang uyut. Melodi dan liriknya yang familiar seakan mengirim getaran hangat ke dadaku. Bagai sapaan lembut dari masa yang jauh tertinggal.

Suara yang keluar dari radio itu klasik, penuh keromantisan tempo dulu. Seolah-olah waktu berhenti, membiarkanku larut dalam arusnya.

Sejak saat itu, radio tua tersebut tak lagi kuanggap sekadar benda usang. Kini ia kusimpan di kamarku, tepat di sudut meja kayu dekat jendela.

Setiap kali aku memandanginya, ada rasa takjub sekaligus haru, seakan aku sedang menjaga peninggalan yang lebih dari sekadar harta benda.

Radio ini adalah jembatan, penghubung antara masa kini dan masa lalu yang tak pernah benar-benar lenyap.

Dan ada satu hal aneh yang kusadari. Sejak radio itu kutaruh di kamar, setiap malam aku selalu bermimpi. 

Bukan mimpi biasa—melainkan mimpi yang begitu nyata, seperti aku benar-benar hidup di dalamnya. Sampai berapa lama, baru aku menyadari.

Melalui radio itu aku menyaksikan sendiri kisah kedua eyang uyutku, di berbagai masa mereka berada.

(Bersambung)

1. Untuk mendengar kisah Sepasang Mata Bola
2. Untuk mendengar kisah Halo-Halo Bandung
3. Untuk mendengar kisah Jembatan Merah


Ditulis untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Bulan September dengan Topik Romantisme.


Read more ...

Sunday, August 24, 2025

Tanpa Sadar Punya Ketergantungan

Ide Penelitian Bapak

Samar-samar saya ingat, mendengar Bapak memiliki ide untuk melakukan penelitian mengenai bagaimana teknologi memengaruhi kehidupan seorang ibu, terutama ibu rumah tangga. 

Almarhum Bapak, yang adalah seorang dosen di sebuah perguruan tinggi di Semarang, entah kenapa memang sangat tertarik pada pekerjaan rumah tangga. Hobinya mengoperasikan mesin cuci dan bereksperimen membuat makanan dengan menggunakan berbagai macam peralatan memasak.

Sampai-sampai para mbak yang kerja di rumah suka kurang enak hati, karena pekerjaannya sudah dikerjakan duluan oleh Bapak.

Mengingat ketika Bapak melontarkan ide penelitian tersebut masih tahun 90an, tentu saja yang dimaksud Bapak adalah peralatan dengan teknologi analog, seperti rice cooker yang cuma punya tombol penanak nasi, mesin cuci dua tabung dengan timer manual, kompor gas dengan 2 tungku, dispenser air dengan pemanas air, dan peralatan jadul lainnya.

Bapak memang tidak sempat lama hidup di dunia dimana peralatan digital adalah hal yang umum. Apalagi dunia AI.

Bagaimana Bapak bisa memiliki ide penelitian tersebut merupakan misteri buat saya. Sementara istrinya sendiri adalah ibu bekerja yang terhitung jarang melakukan pekerjaan rumah tangga. Selain tidak hobi, Ibu saya, yang berprofesi sebagai guru SMA di pinggiran Semarang, memang lebih memilih untuk menghabiskan waktunya mengulik teknologi kreatif yang cukup advanced untuk generasinya. 

Seperti power point dan software animasi sederhana. Kesukaannya adalah membuat bahan ajar yang interaktif untuk siswa-siswanya.

Saya rasa Ibu saya adalah satu-satunya ibu-ibu di kelurahan (kalau bukan kecamatan) tempat dulu kami tinggal, yang bisa mengedit foto dan membuat berbagai poster motivasi dengan aplikasi Paint. 

Coba hidup lebih lama, mungkin Ibu bisa jadi content creator.

Kalau bukan dari isterinya, mungkin Bapak mendapat ide dari melihat pengalaman ibunya (eyang saya). Wanita tersebut memang selalu nampak kerepotan di dapur dengan segala peralatan masak tradisionalnya. Walaupun kalau menurut saya, eyang saya memang hobi memasak. Jadi kesibukannya di dapur mungkin malah jadi me time buat beliau.

Bisa jadi juga Bapak memperhatian wanita-wanita di tempat kerjanya. Waktu itu departemen tempat Bapak mengajar, yang adalah pendidikan guru elektronika, berada di satu fakultas yang sama dengan departemen pendidikan guru ketrampilan seperti tata boga, tata busana, dll. Kalau dulu zaman saya sekolah pelajaran-pelajaran itu disebut Mulok. Muatan Lokal.

Dosen-dosen di departemen tersebut tentu saja banyak yang wanita. Mungkin Bapak memperhatikan bagaimana rice cooker dan kawan-kawannya itu mempermudah hidup ibu-ibu tersebut dalam menyeimbangkan kehidupan karir dan rumah. 

Kalau harus mengipasi kuali penanak nasi, seperti yang selalu dilakukan Eyang, kan nggak mungkin bisa seharian datang mengajar anak orang memasak dan keterampilan lainnya.

Saya tidak pernah tau apakah Bapak jadi atau tidak melakukan penelitian tersebut. Mau nanya juga bingung nanya ke siapa. Hanya saja ketika melihat tema tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini tentang Teknologi, otomatis saya teringat mengenai ide penelitian Bapak tersebut.

Karena bagaimanapun pertanyaan besar yang dilontarkan masih cukup relevan hingga kini: bagaimana pengaruh teknologi terhadap kehidupan ibu pada khususnya dan manusia pada umumnya. Lah kenapa malah kayak judul skripsi ya. Haha.

Karena saya tentu saja tidak punya waktu (dan sumber daya) untuk melakukan penelitian, apalagi karena deadline tinggal beberapa jam lagi, maka saya akan menganalisis hidup saya sendiri sebagai bahan tulisan ini.

Seberapa besar teknologi memengaruhi hidup saya

Sebagai manusia yang hidup di perkotaan pada era modern, teknologi menjadi bagian yang tak terlepaskan dari kehidupan saya. Saking sudah biasanya, saya sudah menganggap rice cooker, mesin cuci, lemari pendingin, dan barang-barang elektronik lain sebagai teknologi yang seharusnya memang ada di kehidupan. Sudah lupa kalau banyak orang masih tidak punya akses ke teknologi tersebut.

Tapi di sisi lain saya memang cenderung tidak bisa hidup tanpa dukungan teknologi.
Sesederhana kalau bapak dan ibu saya bisa bangun tidur dengan hanya mengandalkan ritme circadian mereka saja (dan toa masjid di sebelah rumah), maka saya tidak bisa tidur sebelum memastikan kalau alarm ponsel saya akan berbunyi di saat yang tepat untuk saya bangun (karena masjid jauh dari rumah).

Karena teknologi sudah menjadi bagian dari hidup sehari-hari, saya tidak pernah sadar kalau saya sudah memiliki ketergantungan terutama dengan teknologi digital berbasis internet. Teknologi digital berbasis internet yang saya maksud disini bukan sosial media.
 
Seperti yang sudah pernah dibahas di tulisan sebelumnya, terkait sosial media saya menilai diri saya punya hubungan yang cukup sehat dengannya. Tidak sampai merasa hampa kalau tidak tau update terbaru atau perkembangan situasi terkini di dunia maya.

Karena saya tidak terlalu peduli dengan isi dari sosial media.

Saya sadar punya ketergantungan justru dengan berbagai aplikasi di ponsel pintar saya. Kesadaran itu saya dapatkan ketika di suatu hari ponsel pintar saya mati karena port charger-nya rusak sehingga baterainya tidak bisa diisi ulang. 

Sebuah Kesadaran Tentang Ketergantungan

Alhasil selama 1.5 hari saya tidak pegang ponsel. Sebagai orang yang (mengaku) introvert, tidak bisa berkomunikasi dengan orang lain tidak menjadi masalah buat saya. Lagian ponsel kantor yang saya pegang masih menyala. Orang-orang rumah dan suami tau nomornya.

Masalah datang ketika saya ingin jajan ke minimarket di kampus. Dengan pede saya memberikan hasil buruan saya ke mbak-mbak penjaga kasir. Si mbak kasir memindai belanjaan saya lalu menanyakan pilihan pembayaran. Minimarket tersebut hanya menerima pembayaran digital.

Selama ini tidak jadi masalah karena saya tinggal buka aplikasi perbankan dan menggunakan QRIS. Tapi tanpa ponsel saya, tentu saja saya tidak bisa melakukannya.


Setelah agak lama mencari diantara tumpukan kartu keanggotaan (tempat belanja, arcade game, pengumpulan stamp untuk dapat panci murah), juga kartu identitas, saya berhasil mengeluarkan kartu atm saya dari dompet. Setelah segala kerepotan tersebut, ternyata saya lupa PIN-nya. 

Padahal PIN-nya sama dengan PIN aplikasi perbankan saya. Tapi selama ini saya sudah keenakan membuka aplikasi perbankan menggunakan sidik jari sampai lupa PIN-nya yang mana.Saya dan suami punya 5 kombinasi PIN untuk semua hal yang perlu PIN. Tidak mungkin saya coba lima-limanya saat itu juga, ketika 3 saja sudah jaminan kartu saya akan diblokir. 

Akhirnya karena antrian di belakang saya sudah cukup panjang dan mbak-mbak kasir tidak punya solusi lain, akhirnya saya menyerah dan membatalkan transaksi.

Masalah kedua hari itu datang ketika pengasuh anak saya menelepon (ke ponsel kantor) mengabarkan kalau si sulung agak demam. Paracetamol kebetulan habis di rumah. Biasanya saya tinggak buka aplikasi apotik online dan obat meluncur diantar ke rumah. Karena ponsel saya mati, tentu saja saya tidak bisa melakukannya.

Saya meminta pengasuh anak saya, yang untungnya gen Z, untuk membeli parasetamol menggunakan ponselnya. Masalahnya pengasuh anak saya ini tidak punya uang untuk menalangi membeli obat. Biasanya kalau minta tolong beli-beli saya tinggal transfer ke e-wallet dia. Tapi karena ponsel saya mati, saya tidak bisa melakukannya.

Terpaksa saya harus jalan ke ATM untuk transfer. Mana saya kan lupa PIN ATM ya. Untungnya di bank kampus ada mesin teller. Jadi tidak perlu menunggu lama untuk reset PIN ATM.

Lumayanlah karena ponsel mati, saya jadi olahraga ekstra hari itu.

Sampai di kantor teman saya mengabari kalau saya sudah ditunggu rapat. Karena ponsel saya mati, saya tidak dapat pengingat dari kalender saya. Setengah berlari saya pergi ke ruang rapat. Sambil minta maaf saya buka website akademik menggunakan laptop.


Ketika halaman login muncul saya baru ingat kalau password yang saya masukkan perlu autentifikasi dari aplikasi di ponsel saya. Begini nasib orang yang terlalu rajin log out aplikasi.

Sambil nyengir saya memberitahu peserta rapat kalau saya tidak bisa membuka aplikasi. Untung saya kerja di kampus yang orang-orangnya pada legowo. Coba saya kerja di markas tentara, bisa disetrap disuruh keliling lapangan 10 kali karena ponsel saya mati.

Karena rapat berjalan alot dan mulai memusingkan, peserta minta dibelikan kopi. Biasanya saya tinggal buka aplikasi pesan antar makanan untuk memenuhi permintaan mendadak ini. Tapi karena ponsel saya mati, tentu saja saya tidak bisa melakukannya. Terpaksa saya harus turun 2 lantai ke kantor Tata Usaha di bawah untuk meminta teman saya, yang pegang petty cash, untuk membelikan kopi lewat aplikasi miliknya. Teman saya ternyata izin setengah hari karena ada acara di sekolah anaknya.

Teman-teman saya yang lain, yang isinya Bapak-Bapak, seperti biasa, tidak punya cukup uang untuk menalangi pembelian kopi. Karena yang harus dibeli banyak, harganya jadi lumayan. Sementara Bapak-Bapak ini, seperti kebanyakan Bapak-Bapak di dunia, cuma pegang uang sekadarnya untuk beli rokok dan makan siang.

Akhirnya kembali dengan nyengir saya minta Ibu Bapak dosen peserta rapat untuk beli kopi sendiri. Disertai permintaan maaf kalau uangnya saya ganti sore setelah rapat selesai karena saya harus jalan lagi ke ATM.

Setelah selesai rapat yang berjalan jauh melewati jam pulang, suami mengabari kalau dia masih terjebak di tempat meeting yang ada di seberang kota. Masalahnya mobil dia bawa, jadi saya harus pulang sendiri. Kecuali mau menunggu dia jemput yang entah kapan. Biasanya kalau begini saya tinggal pesan taxi atau ojek online. Tapi karena ponsel saya mati, proses yang tadinya tinggal klik-klik ini menjadi proses yang 3 kali lipat panjangnya.

Saya punya opsi minta tolong teman untuk dipesankan ojek online atau panggil taxi via telepon dan mampir atm untuk kemudian bayar cash. Masalahnya, semua teman saya sudah pulang dan ponsel kantor tinggal 5%. Ponsel kantor ini masih pakai charger type micro USB yang saya selalu lupa bawa.

Bahkan OB di kantor sudah pakai ponsel dengan charger type c.

Untung saya cukup cerdas dan punya muka tembok. Saya datang ke pos satpam lalu pinjam ponselnya untuk menelepon taxi. Untung bapaknya baik dan cuma tertawa ketika saya ceritakan permasalahan saya. Untungnya lagi saya menemukan Rp. 20.000 di salah satu kantong dalam tas untuk diberikan ke Pak Satpam sebagai pengganti pulsanya. 

Ketika sampai rumah, saya merasa lelah seperti habis ikutan Amazing Race keliling Asia. Mana sampai rumah masih diprotes para bocah karena mereka tidak bisa nonton Youtube yang cuma bisa diaktifkan melalui ponsel saya dan bapaknya (bapaknya tidak bisa dikontak karena seharian meeting). 

Berdasarkan pengalaman saya ini bisa disimpulkan kalau saya sudah sangat ketergantungan teknologi. Derajatnya tidak parah dan masih bisa diusahakan dengan kreatifitas dan pikiran yang jernih. Walaupun tetap saja. Jompo.

Besoknya ketika ponsel saya selesai diperbaiki saya sampai terharu dan berkaca-kaca. Lebay ya.






Read more ...

Friday, July 25, 2025

Prinsip-Prinsip Raden Brotoseno Dalam Hal Berpakaian yang Tidak Berubah di Zaman Apapun dia Berada


Raden Brotoseno adalah seorang pengelana waktu. Berbeda nasib dengan perempuan penjelajah waktu bernama Sore yang mengemban misi tertentu, Raden Brotoseno yang berasal dari sebuah kota metropolitan di pesisir pulau Jawa, hanya terombang ambing di pusaran waktu tanpa tahu tujuan. 

Kadang dia muncul saat candi Borobudur sedang dibangun. Pernah dia menjadi saksi saat rombongan pertama kapal VOC berangkat dari pelabuhan Texel Belanda. Tapi tak jarang juga dia hadir saat Indonesia menjadi bagian dari negara dunia pertama (dia lupa tahun berapa). 


Tak banyak hal yang diingat oleh Raden Brotoseno dalam kunjungannya ke tahun-tahun lampau sebelum waktu kelahirannya. Sementara itu pikirannya tajam mengingat tahun-tahun yang telah terjadi. Meskipun ingatannya juga samar-samar untuk tahun-tahun yang masih akan datang.

Mungkin supaya dia tidak kelepasan bicara yang tidak seharusnya dia katakan.

Bagaimanapun godaan dari bermain-main dengan waktu adalah menahan keinginan untuk pamer jadi yang paling tau.

Selama menjelajah zaman, tak ada yang bisa dilakukan oleh Raden Brotoseno selain mengamati manusia di zaman yang disinggahinya. Karena dia tidak punya kekuatan istimewa seperti penjelajah waktu lain yang pernah bersilangan jalan dengannya (Doraemon, Dr. Who, dan beberapa lagi yang dia tak ingat namanya). Lagipula memang tidak ada kekuatan jahat yang harus dia lawan atau konspirasi yang harus dia bongkar.

Tapi tentu saja Raden Brotoseno tidak menyesal tidak punya kekuatan apapun. Karena artinya tidak akan ada yang mengganggu hidupnya. Raden Brotoseno memang tidak suka menjadi pusat perhatian. Sekalipun oleh semut yang menontonnya berdendang ketika mandi di malam hari.


Dari ribuan atau bahkan jutaan pengamatan yang dia lakukan, Raden Brotoseno paling terheran-heran dengan perubahan cara berpakaian manusia. Dari manusia purba yang menutupi hanya bagian-bagian penting di tubuhnya, kalangan aristokrat medieval dengan berlapis-lapis pakaiannya, hingga manusia di abad 20 yang banyak kembali memutuskan untuk berpakaian a la kadarnya. 


Entah karena perubahan iklim, evolusi manusia, atau mindset untuk kembali ke alam.

Raden Brotoseno sendiri selalu berpakaian necis. Pilihan busananya tak pernah jauh-jauh dari kemeja, jas atau jubah, dan celana panjang dengan model menyesuaikan zaman yang sedang disinggahinya. Rambutnya selalu tersisir rapi jali dengan kilatan pomade yang menambah elegan tampilannya. Kalau tidak salah, parlente memang merupakan nama tengahnya.

Di zamannya sendiri Raden Brotoseno adalah seorang cerdik cendikia yang diakui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Tiongkok Utara, tempatnya belajar Geografi Planet Neptunus dengan minor Antropologi Masyarakat Uhr (penghuni satelit Jupiter).

Oleh karena itu tak heran di semua zaman yang disinggahi olehnya, gaya pakaiannya pun tak pernah jauh-jauh dari yang dipakai para pembelajar. Minus kacamata. Karena entah kenapa Raden Brotoseno selalu menganggap kalau menggunakan kaca mata berarti mengakui kelemahan yang dia punya.

Yaitu tidak pernah bisa mengulek sambal sesuai dengan hakikatnya.
 

Raden Brotoseno memang punya beberapa prinsip dalam berpakaian yang tidak bisa diutak atik. Prinsip itu tanpa sadar dia gunakan untuk menilai orang lain. Maklum, karena kehidupannya sangat random, mau tak mau dia menetapkan standar penilaian tertentu saat menjalin relasi. Supaya tidak gampang menjadi korban penipuan.

Tapi tentu saja, seperti layaknya orang yang sudah lulus ujian standardisasi negara perihal etika, Raden Brotoseno tidak pernah memaksakan prinsip yang dia pegang pada orang lain. Apalagi jika orang tersebut adalah ibu-ibu berkonde yang memegang sisiuk. Karena sisiuk sudah terbukti sebagai alat pukul paling menyakitkan nomor 36 setelah pelepah pisang. 

Dan ibu-ibu berkonde yang membawa sisiuk lebih mudah tersinggung daripada ayam ungkep bumbu kuning yang dimasukkan ke minyak mendidih.

Seringkali Raden Brotoseno memilih untuk diam saja daripada berkomentar tentang apapun. Sekalipun hal tersebut mengganggunya seperti denging nyamuk yang tak sengaja masuk ke telinga.

Tapi memang pernah suatu kali Raden Brotoseno kelepasan nyinyir karena penampilan orang lain. Pria itu masih menyesali sikapnya saat itu serta sudah posting 3 stories di halaman pertama koran nasional sebagai klarifikasi dan permintaan maaf.

Saat itu Raden Brotoseno sedang merasa gondok karena tidak kebagian tiket penampilan perdana musikal Chicago di Broadway pada musim panas tahun 1975 (walaupun dia sudah pernah puluhan kali menonton versi lainnya).

Maklum kalau Raden Brotoseno merasa jengkel. Setelah menghabiskan suara berteriak teriak menyemangati tim panjat pinang Indonesia yang untuk pertama kalinya berhasil masuk ke final olimpiade tahun 2182, dia tiba-tiba berpindah tempat hampir ke masa 200 tahun sebelumnya.

Sedetik sebelum penentuan pemenang.
 
Sehingga dia harus menunggu sampai terlempar kembali ke akhir tahun 2180-an sebelum bisa memuaskan penasaran akan tim panjat pinang yang mewakili Bumi ke Olimpiade Intergalaktika.

Kalau sudah jengkel, Raden Brotoseno memang tak bisa berpikir jernih. Sambil merengut dia  duduk di depan teater dan melihat dengan sinis orang-orang yang mengantri masuk. 

Keningnya berkerut tak setuju ketika melihat seorang wanita menggunakan gaun berleher rendah dengan sandal bertali yang melilit pergelangan kakinya. Raden Brotoseno memang termasuk sebagian kecil orang dari bagian timur dunia yang menganggap kalau sandal tidak sepantasnya dipakai di acara-acara formal.

Walaupun dia tau Socrates, Aristoteles, dan Plato berdebat mengenai hal-hal paling penting yang pernah diperdebatkan di mimbar pengetahuan sambil bertelanjang kaki, tapi dia selalu beranggapan sepatu, sejelek apapun adalah pilihan yang lebih baik untuk digunakan di tempat dengan intelektualitas tinggi.

Dan menonton teater adalah termasuk salah satunya (contoh kegiatan formal lainnya adalah mengunjungi Disdukcapil untuk memasukkan belut peliharaan kesayangan kedalam KK).

Belum hilang rasa jengkelnya karena sandal, seorang pria muncul menggunakan kaos dan jeans lebar yang sedang trendy di masa itu. Jaket kulit tersampir di lengannya. Mungkin kegerahan di udara yang kurang bersahabat atau ya supaya gaya saja. Raden Brotoseno hampir tersedak.


Menyaksikan pertunjukan seni tanpa baju berkerah adalah hal yang tak terbayangkan olehnya. Kerah buatnya adalah simbol status intelektualitas yang tinggi. Raden Brotoseno sendiri ingat sempat protes secara pribadi pada Raja Jawa. Kala itu sang raja berani-beraninya menggunakan kaos oblong ketika berkunjung ke Harvard untuk mengikuti matrikulasi kepemimpinan darat, laut, dan angkasa.

Kaos oblong memang hal paling tidak disukai Raden Brotoseno nomor 88 setelah soto yang airnya habis duluan. 

Sekelompok wanita muda mendekat. Salah satunya menggunakan baju tanpa lengan. Tali bra wanita tersebut keluar jalur dan mengintip di pundaknya. Raden Brotoseno bergidik melihatnya. Menurutnya, kalau ada hal yang patut disembunyikan di dunia setelah sodakoh, itu adalah tali bra. Masih tak bisa dia berpikir kenapa ada wanita yang tidak risih dengan hal tersebut. 


Teringat olehnya ketika dia hampir pingsan ketika tetiba muncul di tengah-tengah konser K-Pop. Dimana tali bra malah menjadi salah satu aksesoris yang dipamerkan. 

Menambah kejengkelannya, seorang pria muncul dengan kemeja dan celana pendek yang dikaitkan oleh suspender. Sepatu sandal dan kaos kaki terlihat membungkus kakinya. Tak ketinggalan topi jerami bertengger manis di kepalanya. Raden Brotoseno menggeleng-geleng tak setuju. 

Kalau ada hal yang paling dia hindari di dunia selain menyinggung perasaan burung kakak tua peliharaannya, itu adalah datang ke suatu acara dengan pakaian yang salah. Saltum kalau kata orang awal abad 20.

Sepertinya orang ini salah undangan, mungkin dia mau datang ke Sommerfest di Jerman bukan ke Broadway menonton nyanyian dan tarian. 


Raden Brotoseno merasa bulu kuduknya merinding. Nafasnya memburu. Tanda-tanda bahwa dia akan segera berpindah ke waktu yang lainnya. Pemandangan disekelilingnya menjadi kabur. 

Setelah tubuhnya berhenti merasa melayang-layang, pria itu membuka mata. 

Dia sekelilingnya terlihat perempuan-perempuan melenggak lenggok dalam tarian. Kali ini bukan hanya talinya saja yang mengintip, melainkan keseluruhan bra terpampang dengan jelas di depan mata. Raden Brotoseno mendesah panjang, kalau ada hal yang paling dia kesalkan adalah terlempar ke Mesir saat Cleopatra bertahta.

Wanita itu, walaupun cantik dan pintar, selalu menemukan hal-hal annoying untuk dilakukan, Seperti menoel-noel lemak di perut pelayannya atau menyiulkan lagu-lagu top 40 dengan sumbang. 

Tapi karena Raden Brotoseno tidak bisa memutuskan sendiri kapan dia akan berpindah tempat, sepertinya untuk beberapa waktu dia harus kompromi dengan prinsip-prinsipnya. 






Read more ...

Friday, June 20, 2025

Sebelas Ribu Langkah Diam, Dalam Keramaian

Me time adalah permasalahan pelik untuk emak-emak. 

Salah satu hal yang saya iri dari suami adalah keleluasaannya untuk bisa melakukan berbagai hal yang dia sukai: main game, menonton youtube, bermain basket, dan lain sebagainya, tanpa gangguan dan halangan. 

Sementara buat saya, menikmati hiburan tanpa gangguan adalah hal yang hampir mustahil. Apalagi kalau di rumah. Dengan dua bocah cilik, kesendirian dan ketenangan adalah sesuatu yang amat sangat jarang terjadi. Seperti penampakan super red moon. Mungkin terjadi tapi tak sampai setahun sekali.

Kalaupun saya sangat memerlukan waktu untuk sendiri, saya perlu melakukan berbagai usaha agar tidak “diganggu” para penunggu cilik tersebut: tebar janji manis, sedia sajen, sebar jatah screen time, dll dll. Belum lagi kalau ingin pergi keluar. Harus mengatur strategi agar bisa pergi dan pulang di waktu yang tepat.  

Setelah semua kerepotan tersebut, belum tentu saya berhasil menjalankan me time. Karena masalah terbesar sebenarnya ada pada kemampuan saya untuk fokus. Mau tenang-tenang baca buku, ada WA gosip masuk. Mau maraton nonton serial yang sudah lama tertunda, ada iklan market place yang menggoda untuk barang-barang yang "diperlukan". 

Sudah matiin notifikasi, tetap saja pikiran bercabang kemana-mana. Kepikiran hal ini itu yang tidak-tidak.

Karena gangguan-gangguan ini seringkali waktu "me time" habis bukan untuk melakukan hal-hal yang menyegarkan tapi malah tambah bikin ruwet pikiran. Kalau sudah begini biasanya berakhir dengan saya merasa menyesal juga kesal sendiri.

Bukannya merasa content biasanya saya malah merasa useless.

Jadinya malah marah-marah sendiri sama semua orang karena merasa tidak pernah bisa "me time".

***

Setelah berbagai percobaan untuk “me time” yang penuh kegagalan, saya jadi berpikir, jangan-jangan definisi me time saya yang salah.

Me time” itu bukan saat saya sedang santai leha-leha menonton drama Korea. Bukan juga saat saya bisa ngopi-ngopi cantik mengobrol dengan sahabat. Apalagi saat saya melamunkan berbagai macam hal sambil duduk di balkon memandangi kerlap-kerlip lampu malam. 

Me time buat saya ternyata justru ketika bisa fokus melakukan satu hal, entah apapun itu, tanpa perlu memikirkan hal yang lain. 

Karena setelah saya pikir-pikir, tujuan me time, buat saya, bukan untuk menenangkan diri, melainkan untuk menemukan diri saya di tengah hiruk pikuk pikiran dalam otak saya sendiri. 

Me time yang saya perlukan adalah memasuki kondisi mengalir (the flow). Kalau kata Johann Hari dalam bukunya Stolen Focus (2022), the flow adalah suatu bentuk konsentrasi mendalam dimana seseorang benar-benar tenggelam dalam suatu aktivitas. 

The flow membutuhkan fokus dan dapat dicapai hanya melalui "monotasking", atau mendedikasikan diri pada satu tugas tanpa gangguan.

Seperti seniman yang fokus membuat karya. Dalam hal itu kepuasan yang didapatkan berasal dari keberhasilan melewati proses berkarya. Bukan pada karya yang dihasilkan.

Dengan definisi ini lebih banyak pilihan me time yang bisa saya lakukan. Melaksanakan ibadah dan pekerjaan rumah bisa menjadi me time kalau perspektifnya diubah. 

Menikmati waktu sendiri, berkonsentrasi dalam pengerjaannya. Healing dengan dopamine dari kepuasan setelah berhasil menjalani berbagai kegiatan tersebut dengan segala tantangannya.

Dan sayapun jadi paham kenapa menyetrika (dan pekerjaan rumah lainnya) menyegarkan untuk Nikita Willy. Karena saat mengerjakan pekerjaan rumah dia bisa berkonsentrasi tanpa perlu memikirkan pekerjaan lainnya. 

 ***

Terkait dengan definisi saya tentang me time, kalau boleh jujur, me time saya sebenernya adalah saat sedang bekerja. Lebih spesifik lagi kalau sedang mengulik aplikasi excel (termasuk Google Sheet). Saya tidak hobi berhitung ataupun coding, tapi menyelesaikan masalah menggunakan excel bisa membuat saya fokus selama berjam-jam.

Mungkin sebetulnya bukan excelnya, tapi saya menyukai hal-hal yang berhubungan dengan data. 

Sesungguhnya sudah lama saya curiga kalau saya suka mengulik data. Tapi ketidakpercayaan diri membuat saya tidak berani menekuni bidang ini. Baru setelah kembali bekerja formal, saya terpaksa belajar kembali. 

Kembali ke permasalahan excel, karena judulnya kerja, biasanya saya memang tidak memikirkan hal yang lain. Gangguan juga nyaris tak ada. Semua orang membiarkan saya berkutat dengan berbagai formula. Bahkan ketika saya sedang di rumah.

Sedemikian hobinya, sehingga salah satu penyesalan saya adalah mengapa sebagian besar permasalahan dalam hidup ini tidak bisa diselesaikan dengan excel?

***
Andaikan Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Juni ini adalah tentang me time saja, sudah pasti saya akan menuliskan mengenai hobi saya ngulik G-Sheet dan pencapaian saya untuk bisa membuat otomasi ala ala di kantor dengan hanya bermodal Google Workspace. Tapi masalahnya, me time yang harus dituliskan ada embel-embel tanpa internet. Terpaksa saya memutar otak untuk mencari ide tulisan lainnya.

Masalahnya, seperti sebagian besar manusia modern, tidak banyak yang saya lakukan tanpa bantuan jaringan internet. Bahkan membaca buku dan mendengarkan musik saja sekarang saya membutuhkan koneksi internet global.

***

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Sedang pusing berpikir, tetiba di surel saya muncul tawaran untuk mengikuti kegiatan jalan kaki santai dalam rangka ulang tahun ITB. Rute sejauh 3.5 km yang ditempuh dalam waktu 3 jam dengan berbagai intermezzo.

Tanpa banyak babibu saya mendaftar. Kegiatannya tidak membutuhkan internet. Kecuali kalau memang hobi update social media di setiap langkah kehidupan. Tak perlu khawatir, kalau ada satu hal yang bisa saya banggakan adalah bagaimana sampai sekarang saya belum tenggelam dalam dunia social media. 

Scrolling saya kebanyakan adalah youtube dan berita artis Korea.

***

Di hari H saya baru tau kalau ternyata dari unit kerja saya, cuma saya dan dua orang bapak-bapak, dari Program Studi lain, yang mengikuti kegiatan ini. 

Sendirian dalam keramaian.

Jadi bisa dibilang saya tidak kenal siapa-siapa di acara tersebut. Saya memang introvert tapi saya don’t mind dengan keramaian. Apalagi karena peserta lainnya sibuk dengan rekan-rekannya sendiri, tidak ada yang memperhatikan saya. Saya tentu saja senang, karena tidak perlu basa-basi. 

Dengan niat untuk menghabiskan waktu tanpa internet, saya matikan koneksi data di ponsel saya. Telepon masih menyala. Karena kan saya bukan mau menghilang, cuma mau menghabiskan waktu tanpa internet.  

***

Karena tidak disibukkan dengan membaca pesan WA atau laman-laman berita, saya memang jadi bisa memperhatikan banyak hal. Bahkan sebelum berangkat. Seperti misalnya unit kerja yang punya seragam dari topi sampai kaos kaki, unit kerja yang datang ke titik temu dengan menggunakan bandros, juga orang-orang yang sepertinya kenal dengan semua orang. Sibuk menyapa dan disapa.

Bahkan orang yang bolak balik mengambil lepeut dan arem-arem dari meja konsumsi juga tidak luput dari perhatian saya. Mungkin Ibu itu lapar. 

Semua hal tersebut tidak akan pernah saya perhatikan kalau sibuk dengan internet. Walaupun di saat itu tangan saya sudah gatal sih ingin lapor ke grup WA jualan musang isi 3 orang. Tapi saya bertahan. 

 ***

Melalui rute yang mengikuti aliran sungai, saya melihat berbagai hal biasa yang mulai saya lupakan. 

Rumah-rumah petak dengan anak-anak ramai bermain di luarnya, bantaran sungai dengan anjing dan kucing liar serta hewan ternak yang berkeliaran. Nenek-nenek yang duduk bersama menikmati hangat sinar matahari sambil makan gorengan dan menyapa semua orang yang lewat.

Tidak ada yang lebih menantang dari menjemur pakaian di pagar bertuliskan "Dilarang Menjemur Pakaian". Rebel!

Juga daerah perumahan di atas bukit dengan suasana yang masih asri dan rumah-rumah estetik seperti di majalah-majalah. Sungguh suatu impian untuk bisa tinggal di sana.

Kampung pelangi, inisiatif warga untuk membuat spot atraksi yang menarik.

Baru tau ada pesantren gratis untuk anak dhuafa di tengah kota Bandung. Tepat berada di tepi sungai, pemandangannya cukup spektakuler.

***
Di kegiatan ini peserta diberikan misi untuk mengumpulkan sampah di sepanjang jalan yang dilalui. Sampah tersebut kemudian akan dijadikan bahan untuk membuat karya seni yang nantinya akan dilombakan.

Tanpa pesan-pesan WA yang biasanya harus selalu saya balas, juga menahan keinginan untuk update status WA, kapasitas otak saya ternyata bisa digunakan untuk merancang karya seni yang akan saya buat dengan sampah yang saya kumpulkan.

Saya bahkan bisa memikirkan cerita pengantar karya tersebut. 

***
Tiga jam berlalu, saya pun tiba di pemberhentian akhir. Rancangan karya seni saya sudah jadi. Saya pun menyampaikan ide saya kepada mentor yang mengangguk-angguk setuju. 

***
Kembali ke "peradaban" saya pun menyalakan kembali ponsel saya. Ada 60 an pesan yang belum terbaca. Walaupun ketinggalan berita, tapi berdesir rasa bangga karena dalam 3 jam tersebut saya bisa mengerjakan beberapa hal sekaligus. Tanpa perlu memaksa diri. Memikirkan ide karya seni untuk lomba dan ide untuk memenuhi tantangan bulan ini. 

Nampaknya ini memang me time yang saya butuhkan. Produktif dan membuat pikiran lebih segar. Entah karena pengaruh tidak ada internet atau karena saya jalan kaki sampai 11 ribu langkah hari itu. 


Walaupun tentu saja saya tidak menolak kalau punya kesempatan untuk pijat setelahnya!

***
Sampai me time berikutnya!!





Read more ...

Friday, May 16, 2025

Tentang Opini Populer di Kalangan Anak Kecil yang Tidak Populer di Kalangan Orang Dewasa

Hembusan angin mendesir di telinga saya. Berusaha mengacuhkan, saya menarik selimut  hingga menutupi telinga. Seketika suara angin tersebut berubah menjadi raungan, “IBOOOKKK!!”. Getaran yang dahsyat membuat telinga saya seketika berdenging. 

Dengan terpaksa saya membuka mata dan menemukan Ragil nyengir tepat di samping kepala saya. Saya melirik jam di dinding. Pukul 05.30. “Dek, libur nih, tidur lagi yuk!”, rayu saya. “Nggak mau! Ibu harus keluar”, jawab anak bungsu saya itu sambil menunjuk pintu kamar. Saya mengerang, sebelum akhirnya menyerah dan bangkit dari kasur.

Saya punya banyak pertanyaan mengenai kehidupan. Salah satu yang paling menggelitik adalah : mengapa bocah kalau libur MasyaAllah rajin banget bangunnya, sementara kalau sekolah SubhanAllah tekadnya untuk tetap menutup mata?


***

Di ruang tengah saya menemukan Mbarep sudah mengeluarkan semua koleksi legonya dan sedang di tahap membuat mega proyek kota metropolitan. Kaki saya tak sengaja menginjak salah satu potongan lego yang berserakan. Rasa sakit menjalar sampai ke ubun-ubun. Untung saya tidak terbiasa mengumpat.

 “Ibu…Ibu…Ibu kan sudah besar. Harusnya bisa lebih hati-hati dong. Masa lego segitu banyaknya nggak kelihatan?”, kata Mbarep sambil menirukan gaya saya menasehati dia. Lengkap dengan gelengan kepala dan goyangan jari telunjuk. Bedanya dia menasehati dengan muka datar. Saya terlalu sibuk melompat-lompat meredakan rasa sakit sampai lupa merasa kesal.


“Oh iya Ibu, aku punya pertanyaan.”
, Lanjut Mbarep setengah detik kemudian, mengabaikan saya yang masih meringis kesakitan. “Siapa sih yang punya ide bentuk lego itu kotak-kotak? Eh, kalau gedung ada nggak yang bentuknya kayak bola? Oh ya Ibu, tadi malem yang menang bulu tangkis siapa? Kita hari ini mau pergi kemana?”, Selesai mengeluarkan rentetan pertanyaan tersebut, Mbarep menatap saya mengharapkan jawaban.

Saya merasa seperti sedang ikut mencongak. Kegiatan harian setiap jam 07.00 pagi, saat saya duduk di bangku SD 30 tahun lalu.

Ragil melompat-lompat diatas sofa.”Ayo Ibu, jawab dong pertanyaan Mas!”, katanya menyemangati. “Bentar Ibu minum dulu baru mikir”, kata saya sambil beranjak ke ruang makan. “Ih Ibu mah, kan udah besar, masa pertanyaan begitu saja harus mikir dulu!”, kata Mbarep. “ Iya, ih Ibu mah orang dewasa kan harusnya tau semua, tambah Ragil.


Hari libur ini baru berjalan selama 5 menit tapi saya sudah merasa lelah.

***

“Ibu, Ibu, kapan kita ke Luar Negeri?”, Kata Ragil tiba-tiba. “Ya Insya Allah nanti, kalau ada rezeki ya”, respon saya sesuai standar jawaban emak-emak di negeri Konoha, yang memegang teguh prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. “Ke Luar Negeri perlu uang banyak tau Dek. Iya kan Bu?”, kata Mbarep membantu. Saya mengangguk.

Ragil berpikir. ”Aha! Aku punya iden (ide). Ibu ambil uang aja lewat ATM. Kan di Bank ada banyak uang., kata Ragil. “Iya tapi bukan uang Ibu”, kata saya. “Ooh, punya ayah?”, lanjut Ragil. “Bukan, punya Ayah Ibu ada sih, tapi cuma sedikit, yang banyak punya orang lain”, jawab saya. 


“Kan Ayah Ibu kerja, harusnya uangnya banyak dong di Bank. Kenapa uangnya sedikit? Kan katanya kerja biar banyak uang, lanjut Ragil masih penasaran.


“Very…very sus..”, Komentar Mbarep ikut-ikutan dengan bahasa Gen Alphanya.

Sebetulnya saya ingin menjawab dengan teori-teori ekonomi makro. Lengkap dengan penjelasan bahwa kami ini termasuk golongan kelas menengah ngehe yang sedang menjadi subjek perdebatan. Termasuk miskin untuk ukuran Bank Dunia, mampu untuk ukuran Bank Indonesia, tapi pasti sangat kaya menurut bang Agus yang tiap bulan datang untuk pinjam uang.

Alhamdulillah.

Tapi lalu saya ingat kalau sedang bicara dengan anak 5 tahun. Lagian sampai sekarang pemahaman ekonomi saya hanya berdasarkan konten-konten semenjana di Tiktok, Instagram reels, dan Youtube short.

Hiburan yang saya konsumsi untuk melupakan permasalahan hidup yang nyata.

Batal jadi ekonom dadakan, saya berusaha mencari penjelasan yang lebih age appropriate untuk bocah. Tapi sebelum ketemu cara yang pas, Mbarep sudah memotong. “Aku tau! pasti Ibu kerjanya males-malesan. Makanya uangnya sedikit. Ibu kerjanya yang lebih rajin lah. Kalau rajin kan uangnya lebih banyak


“Iya tuuh. Kalau Ibu dapat uang jangan dibeliin makanan terus! Uangnya habis, ibu tambah gendut!, Timpal Ragil sambil cengengesan.


Saya hanya tertawa getir mendengarnya. Sementara suami tertawa terbahak-bahak melihat isterinya dirundung darah dagingnya sendiri. 

***

“Kalau sudah besar, aku mau jadi dokter bedah”, kata Ragil. “Bagus”, komentar saya pendek, mengingat 30 menit sebelumnya cita-citanya masih jadi pelatih renang. Pelatih renang buaya.

”Nanti aku tanya sama orang yang aku bedah, jahitannya mau bentuk apa? Labubu atau Cinnamoroll? Eh Bunga mawar juga bisa sih. Kalau orang besar perempuan kan biasanya suka bunga mawar”, lanjut Ragil.

“Aku nggak sabar jadi orang dewasa. Soalnya orang dewasa boleh ngapain aja!, seru Ragil mengakhiri monolognya.


Saya tentu saja tidak sampai hati memberitahu Ragil kalau orang besar justru banyak larangannya. Apalagi dokter yang  berkesenian terhadap tubuh pasiennya. Bisa masuk penjara.

Tapi daripada jadi pelatih renang buaya mendingan jadi dokter seniman kayaknya. Masih ada waktu sekitar 30 tahun kalau Ragil mau jadi spesialis bedah. Siapa tau tren berubah ya kan. Bekas operasi yang estetik. Supaya kalau timbul keloid malahan bagus jadi 3D.

***

Mbarep mendekati saya yang sedang menggoreng otak dengan doomscrolling Social Media. “Ibu coba denger ini, ibu tau nggak ini lagu apa?”, tanyanya dilanjut dengan menggumamkan suatu nada. “Enggak, lagu apa itu?”, jawab saya. “Aku pernah denger di Youtube, sekarang aku mau denger lagi tapi lupa”, lanjut Mbarep. “Ya sudah cari lagi aja di youtube. Baru kasih tau ibu lagi nanti. Coba cari di history”

Mbarep beranjak untuk scrolling Youtube. Semenit kemudian. “Ibuuu nggak nemu”, rengeknya. “Coba inget-inget videonya tentang apa”, saran saya. “Nggak inget, ibu cari di Google dong”, pinta Mbarep. “Lah kalau nyari di Google kan harus ada kata kuncinya, kata kuncinya apa?”, kata saya. “Nggak tau”, kata Mbarep setelah berpikir selama 5 detik.


”Coba ibu ketik aja…hmmm hmmm hmmm”, lanjutnya sambil kembali menggumam. Saya memutar mata, “Nggak bisa Mas kalau gitu caranya”. “Ih Ibu Mah, kata ibu kan kalau aku mau tau sesuatu bisa tanya Google. Katanya Google banyak taunya, kenapa yang sekarang nggak bisa?”, Mbarep mulai merajuk.

“Ya, kan…”, tiba-tiba saya kehabisan kata-kata. Entah mau menyalahkan siapa. Saya dan Mbarep kemudian sama-sama terdiam. Saya memikirkan ketidak sempurnaan Google sementara Mbarep mungkin memikirkan ketidak sempurnaan ibunya.

“Aku dengerin lagu yang lain saja deh”, kata Mbarep akhirnya. Saya pun kembali menggoreng otak saya. Mumpung libur. Mumpung bisa.

***
“Dek tidur siang yuk”, bujuk saya pada Ragil. Saya jarang punya kesempatan tidur siang.”Nggak mau, tidur siang itu buat BA..YI. Buat BA..LI…TA. Lagian tidur siang itu menyebalkan, jawab bocah yang baru 6 bulan lalu lepas dari status balita dan sampai nanti tua pun pasti akan tetap jadi bayi buat saya.


***

Ditulis untuk memenuhi Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Bulan Mei dengan Tema Unpopular Opinion.







Read more ...