Bau apak menyergap hidungku saat membongkar lemari eyang uyut. Berbagai barang berjejalan di dalamnya. Berlapis debu yang lekatkan aroma masa lalu, seolah menolak dilupakan.
Eyang uyut meninggal di usianya yang ke-102 tahun seminggu yang lalu. Sekarang ibuku, sebagai pewaris tunggal wanita itu, menjadi pemilik sah dari rumah beserta seluruh isinya. Sebuah rumah luas dengan gaya 60 an yang masih kokoh berdiri.
Aku tentu saja tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk membantunya membereskan barang-barang di rumah megah itu.
Sebagai penggemar barang antik, aku selalu terpikat dengan benda-benda tua. Rasanya seperti membaca buku sejarah, hanya saja lewat wujud nyata yang bisa kugenggam, kunikmati, dan kuimajinasikan.
Tanganku menyibak tumpukan kain batik yang warnanya mulai pudar, kotak kayu kecil dengan ukiran yang nyaris terhapus, hingga setumpuk majalah lawas yang kertasnya sudah menguning dan rapuh di tepinya.
Ada juga kaca mata bulat dengan gagang besi tipis, botol parfum kecil dengan sisa cairan berwarna kuning pucat di dalamnya, dan buku catatan harian dengan kunci mungil yang sudah berkarat.
Setiap benda seakan berbicara, menyampaikan sepotong kisah yang pernah dijalani pemiliknya.
Lalu mataku berhenti pada sebuah benda yang tak pernah kulihat sebelumnya: sebuah radio tua dengan bodi kayu cokelat gelap.
Permukaannya penuh goresan, kenopnya kusam, dan kain pelindung speakernya sobek di beberapa bagian.
Namun entah mengapa, ada sesuatu yang membuatku tergelitik untuk mencoba menyalakannya.
Seolah benda itu menyimpan rahasia yang menunggu untuk ditemukan, rahasia yang hanya bisa terbuka bagi seseorang yang cukup sabar untuk mendengarkan.
Dengan hati-hati, aku membalik radio tersebut, mencoba mencari tahu bagaimana cara menyalakannya.
Aku memeriksa bagian belakang, memutae beberapa kenop, tetapi tak menemukan apa-apa yang bisa membuatnya menyala.
Karena tak bisa menemukan yang kucari, kuletakkan kembali radio tersebut di pinggir jendela kamar eyang, membiarkannya diterpa cahaya sore yang menyorot dari sela tirai tua.
Beberapa lama aku melupakannya. Kesibukan memilah barang membuat perhatianku teralihkan.
Namun ketika tiba saatnya memutuskan barang-barang mana yang hendak dibuang dan mana yang harus dipertahankan, aku kembali teringat pada radio tua itu.
Ada dorongan aneh yang membuatku enggan menyingkirkannya. Rasa penasaran menempel kuat, seolah radio itu berbisik agar tetap kusimpan.
Aku tak tega melepasnya begitu saja. Seperti ada kenangan besar yang melingkupinya, kenangan yang belum terungkap sepenuhnya.
Kubawa radio itu pulang. Di rumah, rasa ingin tahuku semakin membuncah. Aku membongkarnya perlahan, membersihkan debu yang menumpuk di sela-sela komponennya, lalu mulai mengutak-atik rangkaiannya.
Untunglah, tak percuma aku pernah belajar elektronika selama tiga tahun lamanya. Dengan sedikit modifikasi dan tambahan mekanisme modern, akhirnya radio itu bisa kembali bernapas.
Dengan hati-hati, kucolokkan kabel radio itu ke stop kontak. Listrik mengalir, lampu kecil di dalamnya menyala redup, dan suara berdesis memenuhi ruangan.
Aku memutar-mutar kenop, mencari siaran yang mungkin masih bisa ditangkap. Sampai tiba-tiba, alunan musik lawas mengalir, jernih meski diselingi bunyi kresek halus.
Lagu itu lagu kukenal yang sering digumamkan eyang uyut. Melodi dan liriknya yang familiar seakan mengirim getaran hangat ke dadaku. Bagai sapaan lembut dari masa yang jauh tertinggal.
Suara yang keluar dari radio itu klasik, penuh keromantisan tempo dulu. Seolah-olah waktu berhenti, membiarkanku larut dalam arusnya.
Sejak saat itu, radio tua tersebut tak lagi kuanggap sekadar benda usang. Kini ia kusimpan di kamarku, tepat di sudut meja kayu dekat jendela.
Setiap kali aku memandanginya, ada rasa takjub sekaligus haru, seakan aku sedang menjaga peninggalan yang lebih dari sekadar harta benda.
Radio ini adalah jembatan, penghubung antara masa kini dan masa lalu yang tak pernah benar-benar lenyap.
Dan ada satu hal aneh yang kusadari. Sejak radio itu kutaruh di kamar, setiap malam aku selalu bermimpi.
Bukan mimpi biasa—melainkan mimpi yang begitu nyata, seperti aku benar-benar hidup di dalamnya. Sampai berapa lama, baru aku menyadari.
Melalui radio itu aku menyaksikan sendiri kisah kedua eyang uyutku, di berbagai masa mereka berada.
(Bersambung)
1. Untuk mendengar kisah Sepasang Mata Bola
2. Untuk mendengar kisah Halo-Halo Bandung
3. Untuk mendengar kisah Jembatan Merah
Ditulis untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Bulan September dengan Topik Romantisme.
No comments:
Post a Comment