Saturday, November 30, 2024

Soekanti, Suami, dan Delapan Anaknya

Keluarga Soekanti dan Mareka dengan Kedelapan Anak Mereka

Namanya Soekanti, anak bungsu dari 12 bersaudara. Ketika Soekanti lahir, kakak pertamanya melahirkan anak ketiganya. Tak heran kalau Soekanti malah diasuh oleh ponakannya. Sebagai anak bungsu tak ada yang benar-benar memperhatikan Soekanti. Apalagi di rumahnya ada banyak sekali anak kecil. Soekanti pernah nekad mengikuti paklik dan buklik-nya kulakan dagangan ke salatiga. Saat itu dari rumahnya di Karanggede, Salatiga ditempuh dalam waktu setengah hari menggunakan kereta kuda. Ketika pulang di malam harinya, tak ada yang menanyakan kemana dia sedari tadi. Semua orang mengira dia hanya bermain-main di sekitar rumah saja.

Masa kecil Soekanti jauh dari kata sengsara. Sebagai anak ambtenaar, Soekanti dan saudara-saudaranya hidup berkecukupan. Paling tidak, mereka tidak pernah kelaparan. Ayah Soekanti adalah seorang pegawai administrasi di kantor wedana. Cukup terpelajar di masanya, pria itu menyekolahkan anak-anak perempuannya hingga lulus volkschool dan anak laki-lakinya hingga lulus MULO. Kedua belas anaknya termasuk 10% rakyat Indonesia di masa kolonial yang beruntung karena tidak buta huruf. Sebetulnya Soekanti masih ingin melanjutkan pendidikannya hingga jenjang yang lebih tinggi. Sayangnya saat itu sekolah tinggi di daerahnya masih terbatas hanya untuk laki-laki.
Soekanti dengan kakak, anak, dan ponakannya

Setahun sebelum Indonesia dijajah oleh Jepang, Soekanti menikah dengan pemuda bernama Mareka. Soekanti memilih Mareka dari beberapa orang yang dijodohkan padanya. Ketika menyampaikan keputusannya, kakak-kakaknya mencibirnya. Keluarga Mareka lebih miskin dari keluarga Soekanti. Walaupun tak ada yang menyangkal kalau pemuda itu memang punya paras paling tampan dari semua pria yang dijodohkan dengan Soekanti. Maklum, kakek Mareka adalah pedagang asal negeri arab yang datang dan menetap setelah menikah dengan nenek Mareka yang asli jawa. 

Mareka juga anak ambtenaar, walaupun kedudukan ayahnya lebih rendah dari kedudukan ayah Soekanti. Ketika ayahnya meninggal, Mareka mewarisi jabatannya sebagai petugas pengairan. Saat itu bumiputera di pemerintahan kolonial memang punya keistimewaan untuk mewarisi jabatan orang tuanya. Mareka adalah pegawai yang terkenal jujur. Padahal sebagai pengatur aliran irigasi, mudah baginya menerima suap dari para petani kaya yang ingin mendapatkan aliran air lebih lama. Sebetulnya bukan moral kejujuran yang utama menghalangi Mareka untuk menerima suap, melainkan rasa malas terhadap kewajiban untuk mematuhi dan melayani orang yang memberikannya. Memang Mareka adalah pria yang praktis, tak banyak bicara dan sangat menjunjung work life balance. Datang ke kantor tepat waktu pukul 08.00 dan pulang pukul 16.00. Segala hal yang terjadi setelahnya bisa menunggu hingga esok hari.

Ketika masa pendudukan Jepang dimulai, posisi Mareka relatif tidak terganggu. Karena keahliannya dan sikapnya yang tidak neko-neko, Mareka tetap diperkenankan melaksanakan tugasnya mengatur aliran air ke sawah-sawah. Hanya saja kepemilikan sawah-sawah tersebut beralih ke pemerintahan militer Jepang. Situasi keuangan menjadi hal yang sulit di masa itu. Gaji Mareka saat itu jadi ada dan tiada. Soekanti yang pada awal pendudukan Jepang sedang hamil anak pertama harus rela menjual sedikit demi sedikit emas dan perhiasan yang diberikan oleh orang tuanya untuk sekedar bertahan hidup. Untungnya rumah keluarganya di Karanggede tidak terlalu terpengaruh oleh perubahan kekuasaan yang terjadi. Ketika kondisi menjadi semakin sulit di masa-masa akhir pendudukan Jepang, Soekanti kembali pulang ke rumah orang tuanya membawa anak pertamanya yang masih bayi dan anak kedua dalam kandungannya. 

Setelah kemerdekaan Indonesia, Mareka tetap memegang posisi pekerjaan yang sama, hanya saja karena sistem pemerintahan Indonesia yang masih kacau balau, keuangan masih menjadi tantangan untuk Soekanti dan Mareka. Apalagi saat itu anak ketiga juga sudah nampak hilalnya. Soekanti memutuskan untuk membantu ekonomi keluarga dengan berjualan di pasar. Sebetulnya bakat pedagang tidak mengalir dalam darah Soekanti, sehingga dia sangat tidak menikmati profesi barunya. Hanya saja keterpaksaan membuatnya bertahan. Untungnya Soekanti adalah wanita yang keras kepala. Dengan gigih dia berusaha hingga saat Mareka sudah kembali mendapatkan gajinya dengan teratur, baru Soekanti berhenti. Saat itu anak mereka sudah hampir 5. 

Sepanjang pernikahannya Soekanti dan Mareka dikaruniai 8 orang anak. Empat anak laki-laki dan empat anak perempuan. Kedelapan anak tersebut tumbuh besar dengan pribadi dan karakteristiknya masing-masing. Di keluarga sebesar itu, dinamikanya sangat beragam. Tapi yang pasti didikan Soekanti dan Mareka berhasil mengantarkan kakak beradik tersebut menjadi orang-orang yang cukup sukses dan terpenting rukun satu sama lain.

Anak pertama Soekanti dan Mareka di beri nama Kukuh, seorang anak laki-laki yang tegap dan tampan. Mengikuti sifat Bapaknya yang pendiam, Kukuh masuk ke akademi kepolisian dan menjadi perwira. Setelahnya seperti kisah klasik untuk anak pertama, setelah lulus dan menjadi perwira polisi dia membantu biaya pendidikan adik-adiknya hingga menempuh jenjang pendidikan tinggi.
Dua Anak-Anak Laki-Laki Soekanti dan Mareka (Kukuh, dan Wibowo) dengan Kakek dan Sepupu Mereka

Hastuti, anak kedua Soekanti dan Mareka, ingin menjadi dokter. Tapi saat itu pendidikan dokter masih diluar jangkauan mereka. Beasiswa yang ada adalah ikatan dinas untuk menjadi perawat rumah sakit. Setelah berbagai pertimbangan, termasuk enam orang adiknya yang masih perlu biaya, masuklah Hastuti ke akademi perawat. Dengan otak cerdasnya, kemampuan Hastuti mendiagnosis penyakit melebihi teman-temannya yang menjadi dokter.

Seorang dokter muda menaruh hati pada Hastuti. Sayangnya keluarga sang dokter tidak menyetujui hubungan tersebut. Dokter dari keluarga bupati pantang menikah dengan seorang perawat dari keluarga pegawai kelas menengah. Soekanti yang murka melihat anaknya direndahkan mengusir sang dokter muda pergi. Bagaimanapun tidak berpunyanya keluarganya saat itu, Soekanti tetaplah berdarah priyayi. Kedua pasang insan yang sesungguhnya masih saling mencintai tersebut berpisah dan menerima jodoh yang ditetapkan masing-masing keluarganya. Rahayu menikah dengan seorang pemuda parlente, berlatar belakang pendidikan Belanda, menguasai 8 bahasa, dan selanjutnya menjadi petinggi sebuah maskapai penerbangan di Indonesia. 

Anak ketiga Soekanti dan Mareka, Ningsih, punya cerita yang berbeda. Soekanti sempat mengirim anak perempuannya tersebut untuk tinggal dengan salah seorang kakaknya yang tidak memiliki anak. Sriati namanya. Menikah dengan seorang tuan tanah, Sriati adalah yang paling berharta diantara kesebelas saudaranya. Sekian tahun tak memiliki keturunan, Sriati terpaksa menelan kenyataan pahit jika dirinya yang tak bisa memiliki anak, ketika isteri muda suaminya melahirkan. Untungnya suami Sriati tidak serta merta meninggalkannya. Berhektar sawah telah diberikan kepada Sriati oleh suaminya sebagai tanda cinta. Dengan tekun Sriati mengelolanya dan dalam beberapa tahun melipat gandakan hasilnya membuat Sriati menjadi orang terkaya di kampungnya.

Ningsih sebetulnya senang-senang saja tinggal bersama Sriati. Sriati menganggapnya sebagai anak kandungnya sendiri dan memberikan fasilitas yang tak pernah diberikan oleh orang tuanya, seperti sepeda untuk pergi sekolah. Lagipula di rumah Sriati, Ningsih tidak perlu berbagi apalagi mengalah karena dia hanya sendiri. Tapi tetap saja, kenyamanan yang dia dapatkan tidak dapat menepiskan pikiran di kepala Ningsih kalau dia tidak dicintai dan dipilih untuk dibuang. 

Beberapa tahun tinggal bersama Sriati, Ningsih kembali ke rumah orang tuanya ketika sudah masanya masuk ke SMA. Di rumah orang tuanya dia sempat merasa asing. Walaupun akhirnya sikapnya menjadi biasa lagi, tapi hingga dewasa perasaan dibuang tersebut masih sering muncul di benak Ningsih. Perasaan, yang sayangnya, tidak dapat dia sampaikan kepada Soekanti. Terpendam hingga dewasa, dan seringkali menjadi akar konflik antara Ningsih dan Ibunya. Mungkin ini yang namanya luka pengasuhan zaman tahun 50an. 

Selesai SMA, Ningsih yang cerdas melanjutkan pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi dengan ikatan dinas. Lulus kuliah, Ningsih menjadi satu-satunya anak Soekanti Mareka yang menjadi pegawai korporasi. Bertugas ke penjuru dalam dan luar negeri membuat Ningsih ketagihan. Menjelajahi dunia menjadi salah satu obsesinya. Menikah dengan pria yang memiliki hobi yang sama, Ningsih, hingga usianya kini sudah lansia, masih semangat menggeret koper berpergian kemana-mana, mengunjungi tempat-tempat menarik di seluruh dunia. 

Roestinah, anak keempat Soekanti dan Mareka tidak sepandai kakak-kakaknya. Akan tetapi, walaupun tidak pandai secara akademis tapi Roestinah sangat pandai berteman. Seluruh kabupaten dia kenal. Mungkin hampir seperempatnya bisa dia klaim sebagai teman. Roestinah yang ramah dan supel banyak memiliki penggemar, termasuk seorang pemuda yang baru lulus dari Universitas Gajah Mada dan mendapatkan gelar insinyur. Tapi sayangnya, sama seperti kakak keduanya, hubungan asmara Rosetinah dengan sang insinyur kandas karena orang tua si pria tidak menyetujui hubungan mereka. 

Insiyur yang memiliki masa depan gilang gemilang tentu tidak boleh menikah dengan wanita dari keluarga biasa-biasa saja. Soekanti kembali murka karena anaknya diremehkan. Setelah mengusir si insinyur, dia bersumpah jika ketiga anak terakhirnya, yang kebetulan semua laki-laki, harus menjadi insinyur untuk membuktikan kalau keluarganya juga terpandang. Sebuah sumpah yang akhirnya sangat mempengaruhi kehidupan ketiga anak bungsu tersebut. 

Pada akhirnya Roestinah menikah dengan seorang pegawai negeri yang sangat memujanya. Sayangnya sang pegawai negeri meninggal di usia yang sangat muda, meninggalkan Roestinah sendiri membesarkan kedua anaknya. Mewarisi kegigihan dan keras kepala dari ibunya, Roestinah mengerahkan segala daya upaya untuk mengantarkan anak-anaknya menjadi pegawai negeri seperti ayah mereka.

Wening anak kelima Soekanti dan Mareka, tidak berminat sekolah. Semangatnya naik hanya saat pelajaran keputrian dan tata boga. Dengan mudah dia menghitung bahan-bahan yang diperlukan untuk memasak, padahal dia selalu menangis saat bertemu soal hitung-hitungan. Cita-cita Wening semenjak muda sepertinya memang menjadi Ibu Rumah Tangga. Wening baru saja lulus SMP ketika dilamar oleh seorang perwira tentara. Mungkin memang sudah jalannya untuk menggapai cita-citanya. Mengikuti suaminya yang bertugas ke seluruh penjuru Indonesia, Wening melaksanakan pekerjaan impiannya, yaitu mengurus rumah tangga.

Anak keenam, ketujuh, dan delapan Soekanti dan Mareka: Adi, Wibowo, dan Rahardjo tidak merasakan kesulitan hidup seperti kakak-kakaknya. Saat mereka lahir dan tumbuh besar, kakak pertama mereka sudah menjadi perwira polisi. Sebagai lulusan terbaik di angkatannya, semenjak awal dia selalu mendapatkan jabatan strategis. Kakak kedua mereka sudah menjadi perawat di salah satu Rumah Sakit nasional di Indonesia, sementara kakak ketiga telah menjadi pegawai di perusahaan telekomunikasi yang sedang berkembang pesat di masa tersebut.

Karena uang tidak menjadi masalah lagi untuk ketiga anak bungsu tersebut, mereka berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi hingga jenjang S2. Ketiganya lulus dari jurusan teknik dan menjadi insinyur seperti keinginan Soekanti. Hanya saja anak ketujuh ternyata tidak terlalu ikhlas menjalani takdirnya. Dia sebetulnya memiliki pilihan yang lain, hanya saja ditentang habis-habisan oleh Soekanti yang gelap mata menginginkan gelar insiyur untuk ketiga anak terakhirnya. Penyesalan anak ketujuh yang dibawa sampai dewasa berpengaruh juga ke anak-anaknya. Mungkin ini yang namanya luka yang diturunkan secara turun temurun?

Mareka meninggal di usia yang cukup muda karena kanker paru-paru. Di akhir hayatnya hanya sempat melihat dua cucu tertuanya saja. Sementara Soekanti sempat melihat dan menikmati kebersamaan bersama delapan anak dan 20 cucunya sebelum menghembuskan nafas terakhir di usia yang cukup senja.


Soekanti Beberapa Saat Sebelum Wafat

Ditulis untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan November dengan tema foto dan ceritanya. Tulisan diatas merupakan campuran fakta dan fiksi. Tidak semuanya terjadi. Terkadang hanya imajinasi. Foto yang disajikan asli dari koleksi pribadi.


Read more ...

Sunday, October 20, 2024

Menua itu Pasti, Masa Tua yang Tenang itu Pilihan

Suatu hari yang cerah, saya duduk-duduk sendirian di boulevard kampus sambil menunggu Mbarep latihan parkour. Satu jam yang sungguh sangat berharga. Bisa menikmati suasana di keheningan tanpa latar belakang suara “Ibok-Ibok” setiap 30 detik. 

Tiga orang pemuda menghampiri tempat saya berdiam diri. Karena saya bukan Tinky Winky, dan mereka jelas bukan Dipsy, Lala, dan Po, maka kami mengucapkan salam dan bukan berpelukan saat bertemu. Ketiga pemuda itu meminta izin untuk mengajukan sebuah pertanyaan kepada saya. Rupanya mereka mendapatkan tugas dari organisasi yang mereka ikuti untuk mencari pendapat orang atas berbagai pertanyaan. 

Salah satunya yang disampaikan pada saya adalah: “Bagaimana pendapatnya mengenai kasus pasangan lansia yang meninggal di rumahnya dan baru diketahui beberapa hari kemudian? Bagaimana caranya supaya keturunan kita tidak durhaka pada orang tuanya?”.

 “BERAT KALI PERTANYAANYA WAHAI ANAK-ANAK MUDA.”, batin saya berteriak. Buyar sudah suasana hening saya. Untungnya otak saya bisa mengendalikan suasana. Karena saya orangnya calm, cool, and confident macam puding yang baru dikeluarkan dari kulkas, ini saatnya saya mengeluarkan setitik wisdom dari pengalaman hidup saya. 

Sebelum menjawab saya merubah pose duduk seperti Master Shifu. Biar nampak lebih dewasa dan meyakinkan. Gemerisik daun menambah syahdu suasana. 
Tadinya mau pakai gaya yang pakai sumpit. Cuma adanya sumpit dari lumpia basah yang potek sebelah.

 “Adik-adikku sekalian”, saya tentu tidak memulai dengan kata-kata ini. Ingat saya sedang jawab pertanyaan doang. Bukan ceramah. “Kita tidak pernah tahu bagaimana kondisi keluarga seseorang. Karena itu kita tidak bisa langsung menghakimi. Apalagi sampai menuduh seseorang durhaka”.

Usia saya belum genap 35 tahun ketika sepenuhnya kehilangan orang tua. Dari 35 tahun tersebut, setengahnya saya habiskan jauh dari mereka. Bapak saya bersikeras saya dan adik berkuliah di kampus idaman yang jauh dari rumah. Setelah lulus kami harus punya pekerjaan yang fleksibel sehingga setelah menikah bisa ikut suami kemanapun rezeki mereka berada. Suatu prinsip (atau obsesi) yang sudah digaungkan dari kami kecil. 

Risiko dari harapan tersebut tentu saja, mereka kembali hidup berdua setelah adik saya kuliah. Jarak yang membentang cukup signifikan serta berbagai kewajiban membuat saya (dan adik) tidak bisa bergerak cepat ketika ada hal darurat menyangkut orang tua. Seringkali kami terlambat. Bahkan sampai di akhir hayat keduanya. 

Pesan-pesan tak terjawab, telepon-telepon tak terangkat, kata-kata tak terucap, angan-angan tak terwujud. Kami pikir mereka akan ada selamanya. Tapi Tuhan lebih sayang keduanya. Bertahun kemudian hati sudah ikhlas, walaupun tanya tetap muncul kadangkala. Apakah mereka bahagia? Apakah kami durhaka?

Didahului dengan berdeham yang tidak perlu, saya melanjutkan. Kisah yang terjadi mungkin ekstrim. Tapi versi lebih ringannya bisa terjadi pada siapa saja. Saya menunjuk salah satu dari pemuda itu. “Orang tua tinggal dimana?”, “Jombang” jawabnya. “Kamu sekolah dimana?”, lanjut saya. “Salatiga”. “Kalau orang tua kamu sakit, kamu bisa langsung lari pulang ke rumah?”. Pemuda itu terlihat berpikir, “Ya nggak juga”.”Kenapa?”. “Soalnya saya kan naik kendaraan umum. Terus Bapak saya suka marah kalau saya izin pulang dari pesantren”. “Tapi kan di rumah saya banyak sodara”, jawab pemuda itu melanjutkan, mencoba membela alasannya. 

“Kalau misalnya, rezeki kamu nanti setelah menikah, katakanlah ada di benua Eropa. Di sana kalian sendirian. Saat istri kamu mau melahirkan, orang tua kamu sakit parah. Gimana, masih bisa lari secepatnya?”, Lanjut saya. Pemuda itu nyengir. 

Teorinya sih sederhana. Kenyataannya, berbakti pada orang tua itu suatu bentuk rezeki juga. Mudah dikatakan tapi tak mudah dilakukan. Setelah mendengar jawaban saya yang mungkin tidak mereka harapkan, ketiga pemuda itu kemudian pergi mencari jawaban yang lebih memuaskan.

Kembali sendiri, saya jadi merenung. Kali ini pakai pose The Thinker, biar lebih khusyuk. Pegal punggung dan siku tak masalah. Karena gaya adalah yang utama. 

Rada cangkeul sebenarnya kalau mikir sambil begini. Tapi nggak papa, biar nampak elite. 

Tentu saja saya berharap kalau sudah tua, anak-anak saya punya rezeki jadi anak berbakti. Karena siapa tau hal itu yang mengantarkan mereka ke surga. Tapi nasib orang kan tentu tidak ada yang tahu. Jadi tetap perlu ada usaha mempersiapkan hari tua selain menggantungkan asa dan harapan pada rezeki anak.

Memperhatikan lansia di sekitar saya, saya jadi sadar mempersiapkan hari tua itu bukan melulu tentang uang. Hati lebih penting untuk disiapkan. Kesepian, kehilangan, dan ketidakberdayaan adalah hal-hal yang melingkupi hidup para lansia apapun tingkat kesejahteraan hidupnya. 

Berdasarkan hal tersebut saya menyimpulkan ketenangan batin adalah yang utama. Modal terbesar menghadapi berbagai hal dalam hidup sampai akhir usia, termasuk untuk legowo jika di hari tua tidak ada anak yang punya rezeki merawat kita. Ketenangan batin adalah hal yang selalu saya panjatkan dalam doa. Dimana semakin bertambah umur saya semakin paham bahwa ketenangan batin tidak berbanding lurus dengan harta, tahta, apalagi Raisa. Kecuali mungkin untuk Hamish Daud. 

Menurut saya, ketenangan batin lebih berkorelasi erat dengan keputusan-keputusan yang diambil di hidup kita. Memilih jadi orang baik (yang smart) contohnya, mungkin tidak akan membawakan kita kejayaan seperti tokoh-tokoh di cerita dongeng. Tapi orang baik kemungkinan besar akan lebih tenang hatinya. Asal baik beneran ya, bukan baik di pencitraan doang.

Begitupun memilih gaya hidup yang sesuai dengan kemampuan. Hal sederhana yang luput di perhatikan banyak orang yang terjebak gengsi. Mobil butut, hati tenang buat saya lebih baik daripada mobil mewah tapi ketar-ketir bayar cicilan. 

Saya tidak anti cicilan dan pinjaman. Beberapa barang di rumah saya bayar dengan cicilan untuk mengatur cash flow. Uangnya sudah ada, keluarnya saja yang bertahap. Memaksakan diri menyicil barang yang diluar kemampuan itu yang tidak saya lakukan. 

Pinjam uang ke orang juga pernah beberapa kali, tapi alhamdulillah selalu dengan niat dan usaha untuk dilunasi. Berhutang hanya untuk memenuhi ambisi pribadi itu yang tidak saya kerjakan. Saya tau hidup saya cukup tenang, sebagian penyebabnya karena tidak punya hutang.

Ketenangan batin juga tidak selalu berarti bahagia. Menurut saya bahagia itu konsep yang semu. Sangat subjektif tergantung persepsi masing-masing orang. Ilusi yang selalu diusahakan, tapi jarang benar-benar didapatkan. 

Sebetulnya ketenangan batin juga sama abstraknya, tapi buat saya lebih bisa dirasakan dan lebih memungkinkan untuk dicapai. Karena inti formulanya adalah percaya. Percaya akan ada jalan keluarnya, percaya bahwa ada tangan tak terlihat yang mengatur dan menjaga, percaya jika semua memang sudah takdirnya. Termasuk percaya bahwa kadar lemak tubuh saya bisa turun dari 40% ke angka ideal asal mau berusaha.

Masalahnya, seperti hampir segala hal di dunia, walaupun modal utamanya percaya, tapi ketenangan batin tetap perlu diusahakan. Tubuh yang sehat, pikiran yang positif, emosi yang terkendali, hubungan yang baik dengan Sang Pencipta juga sesama manusia, adalah faktor-faktor kunci ketenangan batin yang harus dipupuk dan dirawat semenjak muda. Supaya bisa dipanen setiap kali membutuhkannya. 

Sudah, itu saja yang saya harapkan, jika diizinkan panjang usia. Semoga bisa menjalaninya dengan batin yang tenang. Apapun kondisinya.

Renungan saya terhenti karena panggilan Mbarep. Latihannya sudah selesai.






Read more ...

Friday, September 20, 2024

Menggugat Nama Hari Ibu

Tak Sengaja Diskriminatif

Setiap tanggal 22 Desember, seorang teman perempuan merasa nestapa. Meskipun sudah menikah sekian tahun, belum ada anak yang dilahirkan dari rahimnya sendiri. Karena alasan tersebut, merasa tak berhak dia ikut bersuka cita di hari itu. Hari yang ditasbihkan sebagai Hari Ibu. 

Sungguh, meskipun tentu tak disengaja, tak jarang perempuan merasa ditinggalkan di tanggal tersebut. Hanya karena pemilihan kata dalam penamaannya yang membuatnya jadi terkesan eksklusif untuk kaum Ibu. 

Andaikan teman ini tahu, bahwa peringatan hari Ibu dilatar belakangi oleh peristiwa yang lebih luas maknanya daripada sekedar menjadi Ibu, mungkin dia bisa merasa sedikit terhibur.

Kongres Perempuan Pertama adalah cikal bakal dari hari ibu. Seperti namanya, kongres ini melibatkan para perempuan tanpa memandang statusnya. Bahkan satu dari tiga pencetus utamanya, masih belum menikah dan menjadi ibu sampai beberapa lama setelah kongres itu selesai dilaksanakan.

Berdasarkan hal tersebut saja, dan judul acara yang dilangsungkan, penamaan Hari Ibu dirasa kurang tepat. Karena itu saya sampaikan gugatan atas namanya. Supaya bisa dipertimbangkan untuk diubah ke nama lainnya yang bisa mencakup seluruh perempuan di Indonesia, apapun statusnya.

Alasan Nama Hari Ibu Harus Diganti

Ada tiga alasan tambahan yang bisa saya ajukan untuk memperkuat argumen saya mengenai penamaan Hari Ibu. Menilik hal-hal yang dibahas melalui buku karya Susan Blackburn yang berjudul Kongres Perempuan Pertama: Tinjauan Ulang, saya merasa yakin bahwa cikal bakal Hari Ibu, ternyata bukan hanya tentang Ibu.

1. Isu Utama yang Dibahas di Kongres Bukan Tentang Ibu

Ada tiga isu utama yang dijadikan kesimpulan hasil dari Kongres Perempuan Indonesia: 1. Pendidikan Perempuan, 2. Perkawinan dan Perceraian, dan 3. Perkawinan Anak. Mungkin karena di zaman tersebut ketiga hal tersebut dianggap paling mendesak untuk diselesaikan. Ketiga isu utama ini tidak secara langsung berkaitan dengan peran perempuan sebagai Ibu.

Pendidikan Perempuan

Isu pendidikan perempuan menyoroti akses pendidikan untuk anak perempuan. Seperti kita ketahui, pendidikan di masa penjajahan masih sangat terbatas untuk kaum perempuan. Berbagai aturan kolonial dan adat istiadat membuat akses perempuan kepada pendidikan sangat sulit. Kebanyakan perempuan di masa itu tidak memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Sebagian yang beruntung karena memiliki keistimewaan akibat kedudukan sosialnya, seperti R.A Kartini, tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi karena terbentur oleh kebiasaan. 

Masalah kesetaraan pendidikan ini untungnya sudah tidak relevan dengan kondisi sekarang. Dimana akses kepada pendidikan sudah setara untuk laki-laki dan perempuan. Mungkin malah yang sekarang harus diperjuangkan adalah akses pendidikan yang nyaman dan berkualitas untuk seluruh anak di Indonesia, dimanapun dia berada.

Perkawinan Anak

Sesuai judulnya, isu ini adalah tentang perempuan dibawah umur. Patut disyukuri bahwa, walaupun Perkawinan Anak masih kerap dilakukan di berbagai daerah di Indonesia, tapi data menunjukkan rata-rata usia pernikahan perempuan Indonesia saat ini ada di angka 22 tahun. Sudah jauh dari usia anak-anak. Semoga kenaikan rata-rata itu berarti pernikahan dibawa usia 20 tahun semakin dihindari. Bukan karena semakin banyak orang menikah di usia lanjut. 

Perkawinan dan Perceraian

Perkawinan dan Perceraian adalah satu-satunya isu utama yang mungkin sedikit banyak ada sangkut pautnya dengan peran perempuan sebagai Ibu. Walaupun jika yang dibicarakan adalah perkawinan, maka peran perempuan sebagai isteri pasti lebih utama. 

Isu ini juga yang saya rasa masih cukup relevan di masa sekarang. Walaupun mungkin permasalahannya berbeda. Di zaman dulu, perempuan hanya memiliki sedikit hak dalam menentukan perkawinan dan perceraiannya. Perjodohan paksa ala Siti Nurbaya adalah hal yang biasa dilakukan. Sementara, pengajuan cerai oleh perempuan tidak diperkenankan. Apapun kondisi perkawinannya, hanya jika suaminya menjatuhkan talak maka seorang isteri bisa bercerai dari suaminya.

Fun fact! Shigat Taklik yang ada di buku pernikahan untuk pasangan Muslim adalah salah satu hasil dari Kongres Perempuan Indonesia. Dimana perempuan bisa mengajukan perceraian jika suaminya melakukan hal-hal yang disebutkan dalam sighat taklik.

Sementara itu di masa kini, saat perceraian menjadi relatif mudah dilakukan secara hukum, rata-rata usia perkawinan menjadi semakin pendek. Fenomena menjamurnya cerai artis yang heboh di berbagai media konon hanyalah puncak dari gunung es. Faktanya setelah pandemi angka perceraian memang naik sebanyak 21% (Statistik Indonesia). 

Saya pernah bertanya ke salah satu teman psikolog, apa yang menyebabkan perceraian semakin banyak sekarang. Menurut teman saya ini, selain karena masalah klasik penyebab perceraian seperti KDRT, pengabaian, perselingkuhan dsb, ada faktor tambahan lain seperti ketidaksiapan mental dalam menghadapi kehidupan berumah tangga serta tujuan pernikahan yang salah. Contohnya menganggap pernikahan adalah jalan keluar dari masalah. Kebanyakan masalah ini menimpa pasangan muda.

2. Hal-hal yang Masih Relevan dengan Kondisi Sekarang Tidak Dikhususkan untuk Kaum Ibu

Ada beberapa pembahasan dari Kongres Perempuan Pertama Indonesia, yang menurut saya masih relevan dengan kondisi saat ini. Hal-hal tersebut tidak melulu tentang Ibu. Saya ceritakan dua diantaranya.

Tentang Kesetaraan Kesempatan untuk Berjuang dan Berkarya

Peserta Kongres Perempuan Pertama adalah para aktivis. Keinginan mereka untuk membantu kemerdekaan Indonesia sangat menggebu-gebu. Tidak dipungkiri, para perempuan ini memiliki privilese untuk berjuang. Sebagian besar berasal dari golongan terpelajar, keluarga pejuang, atau memiliki keluarga yang suportif dan berpikiran progresif. 

Dalam pidatonya, beberapa pembicara menyerukan ajakan untuk berjuang tanpa melalaikan kewajiban. Dengan keistimewaan yang dimilikinya, para perempuan ini mampu memenuhi kewajiban mereka sebagai seorang anak, isteri, dan ibu sekaligus memenuhi panggilan hati untuk berjuang bagi bangsanya. Mereka ingin ada lebih banyak perempuan mendapatkan kesempatan yang sama seperti mereka. 

Sampai saat ini, tidak semua perempuan memiliki kesempatan untuk berkarya. Bukan hanya setelah menjadi Ibu. Tak jarang perempuan yang belum menikahpun tidak memiliki kebebasan untuk berkarya. Beban domestik seringkali menjadi penghalang. Apalagi tanpa dukungan suportif dari orang-orang di sekitarnya atau masyarakat di lingkungan dia berada. Berdasarkan hal tersebut, perjuangan perempuan kolonial mengenai kesetaraan kesempatan berjuang dan berkarya belum berhenti sampai sekarang.

Tentang Derajat Kemuliaan Perempuan

Perempuan itu, menurut salah satu pembicara di Kongres Perempuan Pertama, harus memiliki kepandaian untuk melaksanakan kewajibannya. Setelahnya harus punya pengetahuan mengenai diri sendiri, kepercayaan diri, dan terakhir penghargaan kepada diri sendiri. Hal-hal ini yang membuat perempuan dikenali pribadinya, dipercaya, dan dikenali nilainya (dihargai). 

Sungguh prinsip yang masih relatable sampai sekarang. Lebih advanced dari Brain, Beauty, Behaviour. Sebuah konsep holistik dengan kearifan lokal mengenai perempuan yang berdaya. Masih sukar dipercaya bukan, kalau yang menyampaikan adalah perempuan yang hidup 100 tahun lalu?

Menyambung konsep holistik diatas, disampaikan juga bahwa derajat/kemuliaan seorang perempuan itu dilihat dari tinggi budinya, banyak ilmunya, baik kelakuannya. 

Merasa tertampar sekali membaca kalimat diatas. Disaat perempuan masa kini banyak yang menggantungkan harga dirinya pada hal-hal tangible seperti status dan uang, para perempuan di Kongres Perempuan Indonesia memilih untuk menyandarkan kemuliaan dirinya melalui budi pekerti, ilmu, dan kelakuan. 

Suatu prinsip yang sungguh perlu ditiru. Bukan hanya oleh Kaum Ibu, tapi oleh seluruh perempuan berapapun usianya dan apapun statusnya. 

3. Pergeseran Budaya Membuat Arti Kata Ibu Menjadi Lebih Spesifik

Bahasa Indonesia baru mulai digunakan secara resmi pada bulan Oktober 1928. Dengan semangat untuk mendukung penggunaan bahasa pemersatu bangsa, dua bulan berikutnya, Kongres Perempuan Pertama di Indonesia dilaksanakan menggunakan bahasa Indonesia sepenuhnya. Tentu bukan perkara yang mudah bagi peserta yang belum terbiasa.

Ibu 1 wanita yang telah melahirkan seseorang; 2 sebutan untuk wanita yang sudah bersuami; 3 panggilan yang takzim kepada wanita baik yang sudah bersuami maupun yang belum; 4 bagian yang pokok (besar, asal, dan sebagainya); 5 yang utama di antara beberapa hal lain; yang terpenting (KBBI)

Penggunaan istilah yang tidak konsisten terlihat di dokumen naskah pidato kongres. Ada yang menggunakan kata putri, perempuan, wanita, dan Ibu. Saya rasa kata-kata Ibu di zaman tersebut merujuk pada arti yang ketiga di KBBI: panggilan yang takzim kepada wanita baik yang sudah bersuami maupun yang belum. 

Sebuah istilah netral yang digunakan untuk merujuk perempuan-perempuan dewasa yang hadir di kongres. Entah madam, nyai, mbok semua bisa dipanggil dengan Ibu. 

Masalahnya, seiring berjalannya waktu, makna kata Ibu bergeser menjadi wanita yang telah melahirkan anak. Sejalan dengan pergeseran tersebut makna hari Ibu-pun menjadi berbeda. Mungkin juga dipengaruhi oleh romantisme Mothers Day di Amerika, Hari Ibu di Indonesia sekarang menjadi hari istimewa khusus untuk kaum Ibu: orang tua perempuan dari seorang anak.

Penuh kata-kata manis, quote, kue, balon, dan bunga.

Dulu tidak salah, tapi sekarang istilahnya jadi kurang tepat. Perayaannya sudah bergeser sangat jauh dari semangat awalnya.

Penutup

Semangat pelaksanaan Kongres Perempuan Indonesia Pertama adalah untuk memperjuangkan hak perempuan Indonesia. Bukan hanya yang sudah menjadi Ibu, tapi mulai dari anak hingga lanjut usia. Maka dari itu saya mengusulkan nama Hari Ibu diubah. Supaya lebih mencakup para perempuan apapun situasinya. Jika Hari Perempuan dianggap terlalu vulgar mungkin bisa dicoba diganti dengan Hari Kaum Hawa. Sebuah pilihan yang mungkin kurang mulus di telinga tapi lebih tidak diskriminatif. Bagaimana? Ada yang setuju dengan saya? atau malah terbayang lagu Dewa? Kalau yang malah nyanyi, fix, satu zaman kita. 

Ditulis untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Bulan September: Kisah dibalik Nama.

Merupakan tulisan lanjutan dari Kongres Wanita Pertama Indonesia: Apa dan Siapa yang Menggagasnya.



Read more ...

Thursday, August 22, 2024

Kongres Wanita Pertama Indonesia: Apa dan Siapa yang Menggagasnya

Entah sejak kapan perayaan Hari Ibu di Indonesia jadi romantis. Penuh bunga, kejutan menyenangkan, dan ucapan manis. Tentu saja tidak menjadi masalah mengingat dan mengungkapkan rasa terima kasih pada sosok yang sangat berjasa di hidup kita. Hanya saja setelah mengetahui sejarahnya, saya merasa ada yang kurang pas dengan hal-hal yang dirayakan di hari Ibu. 

Karena sejatinya peristiwa yang melatarbelakangi peringatan Hari Ibu, adalah sebuah momen bersejarah yang sungguh berbeda makna dengan gempita perayaannya sekarang ini. Momen tersebut tidak hanya melibatkan kaum ibu melainkan juga seluruh perempuan dengan berbagai status. Gerakan luar biasa untuk memperjuangkan hak kaum perempuan. Bukan hanya dalam kaitannya dengan peran domestiknya sebagai Ibu, melainkan berbagai aspek kehidupannya di tanah air tercinta ini.

Sebuah peristiwa bersejarah dengan nilai intelektualitas tinggi, yang tidak banyak diketahui orang. Termasuk para perempuan yang sampai detik ini, masih relevan dengan perjuangannya: Kongres Wanita Pertama Indonesia 

Di benteng Vredeburg Yogyakarta untuk pertama kalinya saya mengetahui mengenai Kongres Wanita Pertama Indonesia. Dilaksanakan hanya berselang dua bulan dari Kongres Pemuda II yang menghasilkan Soempah Pemoeda, kongres ini jelas tidak sepopuler pendahulunya. Diorama yang dipajang menggambarkan perempuan-perempuan berkebaya, berkerudung, atau bersanggul yang duduk berkumpul di sebuah pendopo. Menghadap seorang pembicara yang sedang menyampaikan pidatonya. Semuanya nampak serius mendengarkan.

Para penggagas Kongres Wanita Pertama Indonesia

Patung dada ketiga penggagas Kongres Wanita Pertama tersebut berdiri di tengah museum Vredeburg. Menjadi penanda dan pengingat mengenai apa yang bisa dilakukan oleh perempuan Indonesia, jika mau berusaha (5)

Sang Perempuan Pemberani 

Soejatin namanya. Usianya kala itu masih 21 tahun, tapi perempuan muda itu sudah punya pemikiran jauh kedepan mengenai kehidupan yang dia inginkan di negara ini. Aktif mengikuti berbagai organisasi perjuangan, termasuk Jong Java, semangat dalam diri Soejatin untuk memperjuangkan kehidupan perempuan di sekitarnya begitu menggebu-gebu (1)

Pada tahun 1926, Soejatin memelopori pendirian sebuah organisasi untuk guru-guru perempuan yang dinamai Poetri Indonesia. Dari para anggota organisasi inilah gagasan mengenai Kongres Wanita muncul. Seperti tidak mau kalah dengan para pemuda yang telah sukses menyelenggarakan Kongres Sebelumnya, para guru muda tersebut beride untuk mengadakan pertemuan berbagai organisasi pergerakan perempuan yang ada di Indonesia. 

Di masa itu, organisasi pergerakan perempuan memang sedang banyak bertumbuh di bumi nusantara. Hampir seluruhnya didirikan dalam rangka memperjuangkan emansipasi perempuan, khususnya di bidang pendidikan (3). Usulan untuk membuat suatu pertemuan antara organisasi perempuan sebetulnya telah ada sejak awal tahun 1920-an. Walaupun ada berbagai organisasi perempuan di Indonesia, tapi karena tidak saling berhubungan, maka pergerakannya tidak terasa masif sehingga hasilnya tidak jelas kentara. 

Dengan berbagai kesibukan anggota berbagai organisasi wanita yang ada, ide untuk melakukan pertemuan tidak pernah terwujud. Soejatin dan Poetri Indonesia adalah yang pertama mengejawantahkan keinginan tersebut menjadi bentuk nyata. (Alasan yang sungguh klasik buat perempuan bukan?)

Para anggota Poetri Indonesia tau, untuk mewujudkan gagasan mempertemukan berbagai organisasi perempuan di Indonesia, diperlukan bantuan dari pihak yang lebih memiliki kuasa. Bagaimanapun saat itu seluruh pergerakan rakyat sedang dipantau ketat oleh pemerintah kolonial. Kaum pribumi terpelajar mulai bangkit menyuarakan ajakan-ajakan kemerdekaan. Membuat ketar ketir pihak penjajah. 

Soejatin sebagai ketua Poetri Indonesia kemudian menemui dua orang tokoh pergerakan perempuan, dari organisasi lain, yang mapan dan berpengaruh di masa itu: R. A. Soetartinah Sastraningrat dari Wanito Taman Siswo dan R. A. Soekonto dari Wanito Oetomo dan meminta mereka bergabung untuk menyelenggarakan kongres. Dengan visi yang sama, keduanya sepakat untuk bergabung dan menjadi pemimpin panitia penyelenggaraan kongres tersebut. R.A Soekonto sebagai ketua, R.A Soetartinah sebagai wakil, dan Soejatin sebagai sekretaris, sekaligus seksi sibuk. Mondar-mandir dengan sepedanya ke seantero kota Yogyakarta.

Sang Perempuan Pendidik

Isteri tokoh nasionalis Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara), R.A Soetartinah Sastraningrat, memiliki latar belakang pendidikan yang cukup tinggi untuk perempuan di masa kolonial. Berasal dari keluarga yang masih berkerabat erat dengan keluarga kesultanan Pakualam, ia memiliki kesempatan mengenyam pendidikan elit yang dulu hanya bisa didapatkan oleh anak dari keluarga ningrat. 

Menyelesaikan pendidikan dasarnya di Europeesche Lagere School Yogyakarta, R.A Soetartinah kemudian meneruskan pendidikannya di Sekolah Pendidikan Guru (Kweekschool), dan menjadi guru pembantu di sekolah yang didirikan oleh salah satu kerabatnya. Setelah menikah ia terjun aktif mendampingi suaminya di dunia jurnalistik dan politik. 

Perempuan kelahiran 14 September 1890 ini memang sangat peduli pada masalah pendidikan. Menurutnya pendidikan adalah salah satu cara yang efektif untuk mengakhiri penjajahan. Kalau tidak, kenapa pihak kolonial mati-matian melarang para pribumi untuk sekolah? 

Setelah Indische Partij, partai politik pertama di Hindia Belanda, yang didirikan oleh suaminya dibubarkan, R.A Soetartinah mendorong suaminya untuk memfokuskan perjuangan mereka pada pendidikan rakyat. Keduanya kemudian mendirikan Perguruan Taman Siswa. Sebuah sekolah pribumi dengan konsep pendidikan progresif ala Eropa yang terinspirasi dari Montessori dan Frobel (4).

Pada Kongres Wanita Pertama R.A Soetartinah mewakili organisasi Wanito Taman Siswo. Sebagai tokoh dengan koneksi yang kuat ke berbagai pihak berkuasa di Yogyakarta, perempuan yang sempat menjadi guru TK di Den Haag Belanda ini, berperan sebagai sponsor utama: menyediakan pendopo di Dalem Joyodipuran sebagai arena kongres dan juga berperan sebagai penjamu tamu-tamu yang datang. Termasuk menyediakan hiburan berupa penampilan dari anak didiknya, para pelajar Perguruan Taman Siswa. 

Sang Perempuan Pemimpin

Lahir di zaman ketika pendidikan perempuan masih sangat dibatasi, orangtua R.A Soekonto tidak mengirimnya ke sekolah formal. Alhasil hingga dewasa, R.A. Soekonto tidak mengenal baca tulis. Setelah menikah dengan dr. Soekonto yang merupakan seorang dokter lulusan dari STOVIA, pemilik nama asli Siti Aminah ini, baru belajar membaca dan menulis dalam bahasa latin. 

Keterbatasan tersebut nyatanya tidak menyurutkan semangat R.A Soekonto untuk ikut dalam pergerakan nasionalis. Kakak kandung dari mantan perdana menteri Indonesia, Ali Sastroamidjojo ini aktif dalam organisasi non politik Wanita Oetomo yang didirikan sebagai bagian dari organisasi Boedi Oetomo. Dalam organisasi ini R.A Soekonto dipilih menjadi ketua karena kecakapannya dalam mengolah kata. 

R.A Soekonto didapuk sebagai Ketua Panitia penyelenggara Kongres Wanita Pertama, karena selain usianya paling senior, beliau dianggap memiliki wawasan paling luas mengenai kondisi berbagai daerah di penjuru Jawa serta koneksi yang luas ke berbagai pihak di daerah-daerah tersebut.

Sebagai isteri seorang dokter pegawai pemerintah kolonial yang harus siap ditempatkan dimanapun, perempuan yang saat itu berusia 39 tahun tersebut, memang memiliki pengalaman hidup di berbagai kota di pulau Jawa. Sehingga dianggap mampu menjembatani hubungan antar perwakilan daerah dan mengundang berbagai wakil organisasi untuk menghadiri kongres.

Pertemuan yang Membuka Mata 

Sumber: Kompaspedia

“Laporan dari berbagai pihak memandang konferensi ini telah berhasil. Dalam kesempatan ini juga kenyataannya bahwa perempuan sering lebih realistis, lebih berimbang, dan lebih beradb dalam pendekatan mereka dibandingkan lelaki… Organisasi ini pantas menndapat ucapan selamat dan perhatian secukupnya” (Kwantes 1981:176 - seperti dikutip dari Blackburn, 1997). 

Tentu tidak mudah melaksanakan pertemuan berskala besar di masa itu. Kala informasi tidak dapat secara cepat disampaikan dan jarak masih menjadi faktor penghalang yang besar. Tapi dengan tekad kuat, terlaksanalah juga Kongres Wanita Pertama di Indonesia pada tanggal 22-25 Desember 1928.

Tercatat seribu orang hadir pada pembukaan Kongres yang dilaksanakan pada Sabtu malam tanggal 22 Desember 1928. Sebuah prestasi tersendiri bahkan untuk ukuran masa kini. Berbagai perwakilan organisasi perempuan hadir memenuhi undangan. Berdatangan dari seluruh penjuru pulau Jawa.

Di hari-hari selanjutnya, tanggal 23-25 Desember 1928, pada kongres tersebut dilakukan pembahasan berbagai isu terkait perempuan di tanah air. Mulai dari adab, kewajiban, hak, dan permasalahan yang dihadapi perempuan sehari-hari. Pembicara dan peserta dalam kongres ini adalah perempuan-perempuan dari berbagai latar belakang status dan pendidikan. Masing-masing datang tentu dengan pemikiran dan gayanya sendiri.

Menyadari keberagaman hadirin yang datang, semua pihak sepakat untuk menggunakan bahasa Melayu. Bahasa yang baru saja disepakati sebagai bahasa pemersatu. Semua peserta juga sepakat untuk saling mendengar dan berdiskusi dengan kepala dingin. Berkompromi untuk pendapat yang bertentangan. Mencari jalan keluar dari permasalahan dengan melihat berbagai sudut pandang. Sebuah momen pembelajaran yang pasti sangat berharga untuk semua orang yang datang. 

Memperingati Perempuan-Perempuan Cerdas

Membaca buku Susan Blackburn tentang dokumentasi pelaksanaan kongres ini membuat saya sadar, betapa cerdas dan dewasanya perempuan-perempuan Indonesia yang mengikuti kongres tersebut. Mereka mampu mengutarakan maksudnya secara runut dan gamblang untuk kemudian berdiskusi dengan tenang.

Berbagai pertentangan pendapat tentu saja ada. Jelas tidak terhindarkan dengan ratusan kepala yang ada. Tapi sepertinya di akhir kongres para peserta bisa bermufakat menengahi perbedaan yang tak terhindarkan. Paling tidak jika tak sepakat, masing-masing sudah saling memahami dan setuju memilih jalannya sendiri-sendiri.

Belum lagi usaha dan perjuangan mereka untuk mengadakan acara yang begitu masif di suasana ya terbatas. Pengorganisasian acara yang rapi, topik-topik bahasan yang bermutu tinggi, serta cara bermusyawarah yang santun membuat pelaksanaan kongres tersebut mendapatkan berbagai pujian dari berbagai pihak termasuk media asing kala itu.

Hal-hal seperti ini menurut saya yang yang perlu dicontoh oleh perempuan masa kini. Spirit yang seharusnya perlu diperingati setiap tanggal 22 Desember. Bukan hanya rasa terima kasih pada para Ibu tapi juga pengingat akan kecerdasan dan kebijaksanaan para perempuan terdahulu yang kita harap bisa diwarisi oleh kita dan generasi selanjutnya.


Referensi:
(2) Kongres Wanita Pertama: Tinjauan Ulang (Blackburn, 2007). Digunakan sebagai referensi dsar utama di sepanjang tulisan.




Read more ...

Wednesday, July 3, 2024

Koleksi Cerita Pengantar Tidur Berbahan Dasar Memori Inti

Seperti kebanyakan anak lainnya, sebelum tidur, biasanya anak-anak saya minta dibacakan buku. Seringnya sih buku dongeng kesukaan mereka, yang sampulnya sudah lepas entah kemana saking seringnya dibaca. Kadang kalau bosan saya lewatkan halamannya. Tentu saja langsung timbul gelombang protes berjamaah. Sepertinya memang hanya kenyamanan yang mereka inginkan dari kegiatan ini, setelah melewati hari yang panjang. Kalau ceritanya sendiri, sudah pada ngelotok di kepala.

Anyway, waktu anak-anak masih lebih kecil, selain membacakan buku, saya juga sering cerita tentang masa kecil saya di Semarang. Masa kecil saya sebetulnya biasa saja, tidak ada yang istimewa. Tapi ada beberapa memori inti yang ternyata bisa diolah jadi cerita pengantar tidur yang cukup interaktif. Ini saya ceritakan koleksi cerita saya: 

Sepeda Emas



Waktu SD saya dapat sepeda gunung berwarna emas dari Bapak. Sepeda itu didapatkan Bapak sebagai bonus pembelian sepeda motor. Yes, zaman dulu beli motor dapat sepeda. Orang tua senang, anak juga senang. Karena modelnya sepeda gunung, sepeda emas itu dilengkapi transmisi gigi. Tau kan yang geriginya menumpuk tiga atau empat, yang kalau pedalnya diputar kebelakang rantainya suka jadi kusut. 

Setelah dikeluarkan dari kardus dan dirakit oleh Bapak saya, dengan gembira saya bawa sepeda itu ke jalan untuk dimainkan. Thanks to badan bongsor dan keseimbangan saya yang masih baik (belum kaku karena banyak nggletak nonton drakor), dalam beberapa menit saya sudah bisa mengendarai sepeda berukuran besar itu.

Dengan jumawa saya bawa berkeliling perumahan, menyusuri gang demi gang. Semuanya berjalan lancar, sampai saya iseng-iseng mencoba memindahkan gigi sepeda. Entah karena kualitas si sepeda yang kurang bagus, atau saya memang kurang ahli, ketika dipindahkan rantai giginya nyangkut.

Seperti galau gitu, separuh masih di gerigi atas, sementara separuh lagi di gerigi bawah. Mungkin ini arti nyata dari miskoordinasi satu rantai. Karena panik, tanpa sengaja saya memutar pedal ke belakang, yang membuat si rantai makin tidak karu-karuan. 

Akibat sibuk ngurusin gigi, saya tidak sadar kalau arah laju sepeda sudah melenceng menuju selokan. Maka nyempunglah saya dengan sukses ke sana. Sekaligus dengan si sepeda emas yang baru debut di belantika jalanan Indonesia. 

Bekas dua jahitan membuat codet di atas alis kiri yang sobek terkena stang sepeda. Membelah ujung alis saya dengan garis yang tajam. Souvenir petualangan singkat saya dengan si sepeda emas gratisan.

(Di cerita buat anak-anak, sepedanya bisa nyemplung kemana saja. Bisa ke sawah, Planet Mars, zaman dinosaurus, dunia zombie, etc)

Ada Batu dibalik Semen



Rumah tetangga saya sedang direnovasi. Di depan rumahnya ada tumpukan pasir,  tumpukan semen, dan berbagai bahan material lain. Sebagai anak 90-an yang tentu saja tidak punya kerjaan (dan kekhawatiran), entah kenapa saya suka sekali menendang-nendang tumpukan semen yang ada disana. Tentu saja, saat tidak ada orang yang melihat. Sensasi tersendiri saat berhasil menendang sebelum Pak Tukang datang melarang. Biasanya sambil teriak. Kesel kali kayaknya diganggu bocah.

Ibu saya rupanya memperhatikan, jadi saya dipanggil dan dilarang menendang-nendang tumpukan punya orang: “Kamu kan nggak tau di dalamnya ada apa”. Tapi tentu saja seperti jutaan anak kecil lainnya, nasihat orang tua biasanya hanya masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Kembali main diluar kembali saya mencoba menendang si tumpukan semen dan pasir. 

Suatu waktu, sekuat tenaga saya hantamkan ujung kaki saya ke tumpukan lembut tersebut. Seketika rasa sakit yang kuat menjalar dari ujung kaki yang tertancap di tumpukan semen sampai ke ubun-ubun. Membuat saya langsung menangis meraung-raung. Mungkin ini akibat tidak mendengarkan nasihat ibu. Ternyata di dalam tumpukan semen itu ada semacam batu atau semen yang tidak sengaja mengeras lebih dulu. Benda itu membuat ujung jempol saya robek dan kukunya patah. Darah mengucur dengan derasnya. 

Saya pulang diantar Pak Tukang, yang langsung lari begitu mendengar teriakan. Disambut oleh Ibu saya yang sepertinya dilema antara mau panik atau ngamuk duluan. Tanpa banyak berkata-kata saya langsung diangkut ke puskesmas. Memastikan kaki saya tidak terkena paku berkarat atau benda lain yang berbahaya. Untungnya sih jempol saya tidak kenapa-kenapa, selain sobek sedikit saja. 

Setelahnya tentu saja saya diomeli, panjang kali lebar kali tinggi. Selanjutnya setiap saya terindikasi tidak mau mendengarkan nasihatnya, sampai berapa lama Ibu selalu bilang: “Ingat jempol kaki”.

(Di cerita untuk anak-anak benda yang tersembunyi di tumpukan semen bisa jadi apa saja. Bisa batu asteorid, bisa ular, bisa traktor, bisa gunung himalaya, etc)

Kabur dari Rumah



Entah terinspirasi dari mana, suatu hari, waktu masih usia sekitar kelas 3 SD, saya berniat kabur dari rumah. Sepertinya waktu itu saya habis dimarahi, atau lagi malas ikut ngaji di masjid, atau saya pengen kabur saja berpetualang seperti anak-anak di buku cerita. Saya masukkan baju ganti dan snack kedalam koper Echolac kecil, pemberian salah satu om saya. Koper itu biasanya saya pakai ke sekolah. Gaya banget lah zaman dulu sekolah bawa-bawa koper.

Saya masukkan juga mainan, gunting, senter, lakban, tali rafia, dan peralatan prakarya - survival lainnya. Sungguh kalau zaman sekarang, melihat isi koper itu, saya bisa dikira bocah psikopat, mau mutilasi orang.

Setelah semuanya siap, dengan gagah saya berjalan keluar rumah menuju ke halaman. Toleh kiri toleh kanan, saya putuskan untuk berjalan terus sampai ke RW sebelah. Di sana ada tanah kosong dengan sebuah pohon kersen di bagian tepian yang menghadap jalan. Saya putuskan untuk kemping disana. Kebetulan pohon tersebut punya batang pohon yang cukup besar dan bisa diduduki dengan nyaman. Saya pun memanjat pohon tersebut, lalu menaikkan koper Echolac dengan cara menariknya menggunakan tali rafia.

Memang sungguh banyak gunanya baca buku serial Lima Sekawan. Bisa tahu cara kerja katrol tanpa banyak usaha. Setelahnya saya duduk santai, makan snack, sambil menikmati suasana.

Sampai datanglah seekor anjing gila. Matanya merah, liurnya berleleran dari mulutnya. Menggeram geram menatap saya dari bawah pohon. Tak pernah saya merasa setakut itu sebelumnya. Naiklah saya ke dahan pohon yang lebih tinggi. Berusaha menjauh dari jangkauan si anjing. Berharap si anjing tak punya keahlian memanjat pohon.

Saya tunggu berapa lama anjing itu tak kunjung pergi. Tekad petualang saya ternyata tak sekuat itu. Menangislah saya tersedu-sedu. Membayangkan selamanya harus ada diatas pohon.

Untunglah tak beberapa lama adzan Ashar berbunyi dari masjid sebelah. Suaranya menggelegar memecah syahdunya sore. Si anjing kaget lalu kabur menjauh. Setelah untuk terakhir kalinya, menggonggong ke arah saya.

Setelah menenangkan diri, saya pun turun dari pohon. Masih sedikit gemetar dan menangis. Kemudian saya pulang, tentu saja dengan koper Echolac saya yang setia. Setelahnya saya tidak berminat kabur dari rumah lagi.

(Di cerita buat anak-anak, benda yang saya masukkan ke koper bisa beraneka macam. Bisa kulkas, kompor, gedung, pohon, etc. Binatang yang mengganggu saya juga bisa jadi macam-macam. Bisa King kong, Adu du lawan Boboiboy, Monster lawan Ultraman, etc).

Pak Ngatiri



Saat saya kecil, di daerah rumah Eyang saya di Boyolali, ada seorang sosok yang ditakuti anak-anak. Namanya Pak Ngatiri. Rambutnya diikat menjadi gulungan yang melekat erat di belakang kepala. Jenggotnya tebal dan panjang menjuntai hingga ke dada. Kemana-mana Pak Ngatiri selalu membawa golok, parang, dan gunting besar. Tak lupa karung goni yang tersampir di pundaknya.

Isinya anak-anak nakal, bisik Mbok Mi, asisten rumah tangga Eyang.

Eyang saya turut membantu membangun citra menyeramkan Pak Ngatiri. Kalau ada cucu-cucunya yang tidak mau makan atau bandel, selalu diancam untuk diserahkan ke pria itu. “Biar dijual ke pasar!”, kata Eyang sambil berkacak pinggang. Dalam bayangan kami di suatu pasar nun jauh disana Pak Ngatiri punya lapak jualan anak. Mendengar ancaman itu semua anak pasti langsung nurut sama Eyang. Karena tentu saja tidak ada yang berminat jadi barang dagangan di pasar.

Suatu hari saat kami sekeluarga tiba di rumah Eyang, ada Pak Ngatiri di halaman. Dengan gunting besarnya merapikan pagar rumah Eyang yang terbuat dari tanaman.

Melihat sosoknya, tentu saja saya ketakutan. Setengah mati menolak keluar dari mobil. Dibujuk seperti apapun juga bergeming. Muka Bapak sudah sampai merah padam karena jengkel. Kami ke rumah Eyang saat itu karena Bapak dan Ibu berencana pergi ke suatu acara, yang tidak memungkinkan membawa bocah, sehingga perlu menitipkan anak-anak sebentar di rumah Eyang. Karena saya berulah, tentu saja mereka jadi terlambat. Sementara Bapak paling tidak suka kalau rencananya berantakan. 

Melihat kekacauan yang saya buat, Eyang pun turun tangan. Dibukanya pintu mobil lalu diserukannya ultimatum: “Kalau nggak mau turun, biar dibawa Pak Ngatiri sekalian!”. Setakut takutnya saya menghadapi Pak Ngatiri, saya lebih takut kalau beneran diserahkan untuk dibawa. Jadi sambil menangis keras saya pun menurut turun dari mobil. Pak Ngatiri masih tenang membabat pohon.

Memang beliau mencari nafkah dengan membantu warga memanen kelapa juga membabat ilalang di kebun. Kadang juga diminta menangkap musang yang mengganggu ternak. Karung goninya hanya berisi makan siang dan peralatan lain untuk melaksanakan pekerjaannya. Juga hasil panen yang kadang dibagi oleh orang yang dibantunya. Sampai akhir hayatnya tak punya riwayat menjual anak ke pasar.

(Di cerita pekerjaan Pak Ngatiri bisa jadi apa saja. Bisa pemburu hantu, detektif yang menyamar, superhero, supervillain, etc).




Ditulis untuk memenuhi Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Bulan Juli: Koleksi. Untuk pertama kalinya dalam puluhan purnama bisa dapat badge tercepat. 



Read more ...

Thursday, June 20, 2024

Aku dan Mulut Besarku (Sebuah Pemikiran)

Salah satu pertanyaan menggelitik di kepala saya adalah, kenapa sih perempuan, terutama yang sudah menjadi ibu, hobi sekali memberikan penjelasan/saran/nasihat/pembenaran tanpa diminta? Pertanyaan ini muncul bukan hanya karena kelakuan perempuan lain saja, tapi karena kelakuan saya sendiri juga. Nih ya saya ceritakan. Nanti tolong yang tahu, coba berikan jawaban di komentar ya.

“Harusnya” 

Seorang ibu teman les bahasa inggris Ragil bercerita, kemarin pulang les mata anaknya lebam kebiruan. Dia lalu menghubungi pihak pengelola tempat les untuk mengetahui penyebabnya. Jawaban yang diberikan oleh pengelola les menurut saya kurang memuaskan: kemungkinan besar, anak tersebut tidak sengaja terpukul oleh temannya yang super aktif. 

Masalahnya kedua guru les yang ada di ruangan juga tidak melihat kejadiannya. Jadi penyebab utama terlukanya anak tersebut belum diketahui. Pihak les memberikan pilihan: diusut atau tutup kasusnya. Jika ingin diusut harus melalui prosedur resmi: si ibu harus mengajukan permohonan baru nanti kasusnya diinvestigasi. Proses tersebut tentu saja memerlukan waktu yang tidak sedikit. Karena malas dan anaknya juga terlihat baik-baik saja, Ibu itu memutuskan untuk tidak melanjutkan keluhannya. 

Saya tahu, Ibu itu hanya ingin bercerita, seharusnya saya hanya perlu mengangguk-anggukan kepala saja dengan simpati. Tapi oh tidak saudara-saudara. Saya dan mulut besar saya, malah menyarankan (mendesak lebih tepat) agar ibu tersebut meminta pihak tempat les mengecek CCTV, untuk melihat kejadian yang sebenarnya. “Harusnya Mom minta lihat dulu rekaman CCTV-nya. Harusnya bisa lihat langsung dong, tanpa perlu eskalasi”, kata saya pada Ibu tersebut. Karena kan tentu saja berbahaya kalau seorang anak bisa luka tanpa tahu penyebabnya. 

Si Ibu terlihat merasa kurang enak hati mendengarkan ceramah saya (atau bisa saja sebenarnya dia kesal karena saya sok tau). Tapi sepertinya dia juga bingung mau bagaimana. Kan kemarin dia sendiri yang minta kasusnya ditutup, masa sekarang ribut-ribut lagi. Alhasil sampai kami berpisah dia masih terlihat merenung. Saya jadi merasa bersalah karena tidak menahan diri memberikan saran yang tidak perlu. 

***

Teman Mbarep tantrum saat ada acara di sekolah. Muka ibunya sudah merah padam, bajunya basah karena peluh yang bercucuran. Dengan sekuat tenaga berusaha membujuk anaknya untuk bisa tenang. Sangat mungkin si Ibu juga menahan diri untuk tidak tantrum juga. Saya paham rasanya. Beberapa kali saya ada di situasi yang sama. Walaupun tahu orang lain berusaha untuk tidak melihat (atau malah tidak peduli), tetap saja saya merasa seluruh mata memandang saya. Mengamati tindakan saya. Bahkan mungkin menilai. 

Karena saya tahu rasanya, harusnya saya bisa bersimpati dong ya. Tidak usah komentar. Apalagi berusaha membantu dengan memberikan usulan-usulan tak diundang. Karena yang paling dibutuhkan orang tua di kondisi itu jelas bukanlah tambahan gangguan. 

Tapi tentu saja tidak saudara-saudara. Saya dan mulut besar saya malah berbisik ke orang di sebelah, “Ngantuk deh itu kayaknya anaknya, harusnya tadi disuruh tidur, jangan dibiarin main terus”. Orang sebelah mengangguk-angguk. “Ayahnya mana ya? Harusnya kan Ibunya nggak datang sendiri”. 

Setelah mengutarakan komentar tersebut, sedetik kemudian saya menyesal. Kenapa saya sok tahu sekali perihal orang lain? Padahal saya sendiri tidak suka kalau ada yang sok tahu tentang saya. Diam saja kan harusnya bisa. 

***

“Harusnya” : kata yang gampang sekali diucapkan untuk “menyelesaikan” permasalahan orang lain. Tidak punya uang, harusnya kerja lebih rajin. Anak terlambat bisa bicara, harusnya diajak ngomong lebih banyak. Puyeng ngurus rumah, harusnya banyak-banyak bersyukur dan berdoa. Harga jajanan makin mahal, harusnya masak sendiri. 

Komentar dengan awalan “harusnya” juga merupakan teman akrab dari pertanyaan orak uwis-uwis yang sering diajukan oleh orang-orang. Belum hamil? Harusnya jangan tinggal jauh-jauhan dengan suami. Belum lulus kuliah? Harusnya jangan kebanyakan kegiatan. Belum nikah? Harusnya jangan pilih-pilih.

Sepengamatan saya komentar-komentar dengan kata-kata “harusnya” ini lebih sering diucapkan oleh perempuan daripada laki-laki. Bahkan sampai ada istilah momsplaining, dimana Ibu-Ibu memberikan nasihat/saran kepada ibu lain tanpa diminta. 

Kenapa Ibu-Ibu suka sengaja atau tidak sengaja memberikan nasihat tanpa diminta? Maybe its in our blood? Apakah hal tersebut adalah manifestasi dari naluri keibuan yang selalu ingin mengayomi? Sungguh saya masih gagal paham.

***

“Karena” 

Sekolah yang kami pilih untuk anak-anak kami, agak beda dengan sekolah lainnya. Selain tidak berbasis agama tertentu, sekolah tersebut juga lebih mementingkan pengembangan karakter daripada akademik. Sedemikian utamanya pendidikan karakter ini sehingga fokus pada akademik baru dimulai di kelas 4 SD (SD besar). 

Alasan utama kami memilih sekolah ini sesederhana karena kami merasa paling sreg dengan sekolah ini daripada pilihan sekolah lainnya. Titik. Tapi entah kenapa setiap kali ada yang bertanya dimana sekolah anak kami dan menanyakan alasan pemilihannya, saya merasa harus memberikan alasan lain yang lebih fancy. 

Semacam: sekolah ini kami rasa cocok dengan value keluarga kami yang mengutamakan kejujuran, keberanian, kemandirian, keadilan, serta musyawarah mufakat. Plus alasan-alasan lain yang dirasa lebih sesuai dengan teori kekinian.

*** 

Saya dua kali hamil, dua kali melahirkan dengan operasi c-section. Anak pertama memang karena ada alasan medis, sementara saat anak kedua, sejujurnya karena saya memang sudah terlalu lelah untuk mengusahakan VBAC. Tidak ada alasan lain. 

Walaupun saya terima kalau nasib yang membawa anak-anak saya untuk terlahir secara tidak alami, tetap saja saya merasa harus menjelaskan ke semua orang kenapa saya tidak melahirkan secara normal. Padahal tidak semua orang menanyakan alasannya.

***
Aneh kan? Kenapa saya merasa berkewajiban menjelaskan dengan lebih “ilmiah” untuk hal-hal yang sebetulnya sederhana saja? 

Selain memberikan nasihat tanpa diminta, saya amati perempuan terutama ibu-ibu juga sering memberikan “penjelasan tambahan” untuk menjustifikasi kondisi-kondisi kurang ideal sesuai standar masyarakat (atau netizen), pilihan yang berbeda, atau tindakan yang agak lain: anak saya belum bisa berjalan di usia 12 bulan, karena dia masih suka merangkak. Suami saya pindah kerja, karena merasa tidak cocok dengan tempat kerja sebelumnya. Adik saya naik haji duluan, karena dia punya bisnis yang maju. 

Entah kenapa perempuan terutama ibu-ibu seperti merasa punya kewajiban untuk membuat suatu kondisi yang tidak ideal jadi lebih bisa diterima. Lebih ringan. Lebih mudah dipahami. Tapi kan tidak semua jawaban perlu dijelaskan lebih lanjut. Titik saja juga bisa.

Seperti tidak semua ibu perlu menjelaskan kenapa melahirkan dengan operasi cesar, tidak semua ibu juga perlu membuat orang mengerti kenapa anaknya harus diterapi, atau tidak semua ibu juga perlu menjelaskan kenapa anaknya belum bisa berenang setelah les privat 4 bulan. 

Tidak semua jawaban harus disertai kata sambung “karena”. Karena kadang kala memang begitu saja nasibnya, tidak perlu ada penjelasan lebih lanjut. 

Maka dari itu setiap kali selesai memberikan pembenaran akan sebuah situasi, biasanya saya jadi sadar sendiri. Kenapa oh kenapa saya harus repot-repot? Sepertinya jika mendapatkan pertanyaan yang sama suami saya hanya akan menjawab seperlunya saja. Tidak seperti saya yang dengan otomatis merasa harus memberikan penjelasan tambahan. Seperti lampiran pada surat undangan.

***

Sebetulnya ini masalah saya saja atau masalah semua perempuan ya? Apakah asalnya dari diri sendiri atau memang karena ada pengaruh dari luar? 




Read more ...