Wednesday, September 20, 2023

Ribet!

1996

Tepukan membahana mengiringi langkah gadis kecil itu. Dengan sumringah dia menerima piala pemenang lomba dari kepala sekolah. Sudah tak terhitung berapa kali namanya disebut di upacara bendera senin pagi. Karena hidupnya penuh prestasi. Tatapan kagum terlontar dari berbagai. Termasuk dariku yang memandanginya dari salah satu barisan. Oh sungguh ingin ku ada di tempatnya sekali saja. Sayangnya menjuarai lomba menghapal undang-undang dasar tahun 1945 tingkat RW, tak cukup membuat pihak sekolah memanggil namaku di Senin pagi. 


2003

Aku menutup muka dengan bantal untuk meredam tangisanku. Hari itu, aku seharusnya datang ke sebuah pesta ulang tahun ke 17. Acara paling hits saat itu. Lokasinya di sebuah hotel mewah di tengah kota. Pengisi acaranya artis dari ibu kota. Kebanyakan undangannya adalah anak paling populer di sekolah. Aku, yang sama sekali tak populer, diundang karena empunya pesta adalah adik kelasku di grup paduan suara dan anehnya kami cukup akrab. Sungguh kuingin hadir dan menjadi bagian dari dunia itu sekali saja. Sayangnya rumahku ada di pinggiran kota. Kala malam, untuk ke pusat kota harus melewati seruas jalan pantura penuh dengan bis antar kota dan truk-truk raksasa. Naik motor sendiri adalah sebuah keniscayaan. Bapak sedang dinas keluar kota. Beruntung teman sebangkuku dan pacarnya, yang adalah pasangan ultra populer, berjanji akan menjemputku. Tapi namanya janji anak SMA, sampai lewat waktu pesta dimulai mereka tak kunjung datang. Sampai tengah malam tak ada kabar berita. Malam itu aku tertidur dengan muka bengkak penuh air mata dan baju pesta yang terlupa untuk dilepaskan.


2005

Pita kecil disematkan di dada mereka. Tanda mahasiswa elite dengan indeks prestasi jauh diatas rata-rata. Pada masa itu punya IPK diatas 3.5 adalah pencapaian yang cukup luar biasa. Peraihnya diundang untuk menghadiri pertemuan awal semester dengan para dosen dan petinggi fakultas. Makan besar dengan masakan catering bukan warung pinggir jalan. Sementara aku dan para mahasiswa lainnya, dengan indeks prestasi rata-rata, jangan harap bisa ikut-ikutan. Mahasiswa seperti kami, jatahnya hanya makan mie bakso di himpunan sambil main kartu remi. Itu juga harus bayar sendiri.  

 

2010

Aku memandang wajah-wajah di sekelilingku. Masih familiar seperti dua tahun sebelumnya. Saat kami diarak keliling kampus setelah diwisuda di Sabuga. Hanya saja kali ini aku tidak tau harus ikut bicara apa. Mereka semua bicara tentang hal yang sama sekali tak kuketahui. Orang-orang yang tak kukenal. Dunia korporasi yang asing dan tak pernah berani aku masuki. Utamanya karena aku tak percaya diri. Terdikte oleh indeks di transkrip nilai yang tak mumpuni. Membuatku malu mengakui diri sebagai lulusan dari Institut terbaik di negeri ini.


2012

"Manten wedhok kok sterek nemen", perias pengantin itu bergumam sambil mendadani aku di jam 4 pagi. Gerakannya dramatis saat melilitkan jarik ke sekeliling tubuhku. "Kudu disambung iki, orak muat. Sampeyan abote piro sih Mbak, gedi nemen", katanya lagi dengan serius. Aku hanya diam tidak membalas. Karena yang dikatakan juru rias itu benar. Ketika menikah, aku sudah ada di posisi overweight. Berat badanku naik drastis 4 tahun setelah lulus kuliah. Mungkin terlalu banyak makan yang enak-enak. Satu hal yang aku sesali, adalah aku tidak tahu cara merawat badan. Badanku memang cenderung bongsor, hubunganku dengan makanan kurang baik, sementara aku tidak tidak berminat olahraga. Body image adalah momok terbesarku hingga kini.


2014

"Eh mbak, mau kerja?", sapa seorang kenalan saat bertemu di S-Bahn. Aku mengangguk. "Kuliah?", aku balik bertanya. Giliran dia yang mengangguk. Kami berpisah saat dia turun di stasiun Universität sementara aku melanjutkan perjalanan ke Flughafen (bandara). Tempat aku bekerja sebagai tukang cuci piring. Kadang aku membayangkan, bagaimana rasanya kuliah di luar negeri. Masalahnya setelah dua gelar strata yang berturut-turut kudapat dengan susah payah di negeri sendiri, rasanya malas untuk mencoba lagi. Padahal waktuku masih sangat longgar karena belum punya anak. Suatu keputusan yang kadang sedikit aku sesali. Membuang kesempatan mencicipi pendidikan luar negeri.

2018

"Gue lagi pusing mau pilih US atau UK. Data analytic kayaknya lebih bagus di US, tapi gw lebih nyaman di UK…"

Udara membawa sekelumit kegalauan tersebut ke balik konter Tata Usaha tempatku bekerja. Aku melirik ke arah sumber suara. Tiga orang mahasiswa tingkat 3 terlihat sedang duduk sambil mengobrol dengan semangat. Aku kembali menghadap pekerjaanku. Deretan draft surat yang kini terasa remeh dan membosankan. Otakku teralih tak bisa berkonsentrasi. Mendengar percakapan penuh mimpi, kantor yang luas ini terasa sumpek sekali.

2022
"Apakah saudara bersedia ditempatkan di unit kerja manapun?". Pewawancara tersebut melontarkan pertanyaan terakhirnya. Aku menjawab mantap, "Bersedia, tapi hanya jika unit tersebut berada di Bandung". "Kenapa?". "Karena saya masih harus antar jemput anak sekolah". Pewawancara itu nyengir. Saya juga nyengir. Kami berdua tau, jawaban saya tadi telah menutup peluang saya menjadi pegawai tetap di tempat saya bekerja 5 tahun ini. Institusi yang sama yang telah meluluskan saya dua kali. Dua bulan berikutnya saya kena PHK. Di PHK almamater sendiri. Sudah mirip judul clickbait. Sepertinya di institusi ini, selain jadi dosen, lulusan sendiri tak ada gunanya, sebaik apapun kinerjanya, jika masih harus antar jemput anak setiap hari.

Juni 2023

Aku menyebutnya keluhan musiman. Keluhan yang muncul saat sedang terjebak dengan pekerjaan yang monoton dan menyita waktu. Sampai sering aku bertanya-tanya kenapa ada orang yang mau membayarku cukup besar untuk mengerjakan hal yang mungkin bisa dikerjakan orang lain dengan harga separuhnya. Terdengar sombong tapi kenyataannya ada pertanyaan yang selalu menghantui: apakah yang kukerjakan cukup berarti? Apakah aku gaji buta?


September 2023

Jumbotron dihadapanku menampilkan foto dua orang perempuan yang diundang sebagai pembicara di acara kampus hari itu. Pose mereka di foto tersebut terlihat sangat profesional. Tangan bersidekap di depan tulang rusuk. Senyum simpul dengan mata tajam ke arah kamera. Wajar saja, karena mereka telah mencapai posisi puncak di tempat kerja masing-masing. Sesungguhnya aku ingin mencoba, sekali saja berada di posisi mereka. Tapi tentu saja itu hanya impian semu, karena ku tau perlu waktu belasan taun buat mereka mendaki posisi itu. Sementara aku menghabiskan belasan tahun yang sama untuk melakukan hal-hal kurang berguna. Scrolling marketplace dan menonton Youtube Shorts salah satunya.


Kesimpulan

Mendaftar permasalahan hidup saya diatas membuat saya berkesimpulan, tantangan terbesar dalam hidup saya adalah diri saya sendiri, yang sering overthinking, tidak percaya diri dan kontradiktif. Memilih untuk sebisa mungkin menghindari risiko untuk mempertahankan status quo. Padahal mudah bosan dengan hidup yang begitu-begitu saja, tapi tak mau berusaha lebih dari seharusnya. Tak bersedia menunjukkan diri, karena takut penilaian orang lain. Sementara di satu sisi masih perlu pengakuan.


Intinya sih Ribet!



Dua jam lagi deadline tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan September ini. Seperti biasa aku  merutuki diri karena hobi menunda-nunda.Tapi sampai bulan kesembilan tetap tak kapok juga.



Read more ...

Sunday, August 20, 2023

Cita-Cita Mencapai Cita-Cita

Keinginan yang Berubah

Waktu kecil, saya punya tiga keinginan besar. Pertama masuk ITB. Kedua tinggal di luar negeri. Ketiga traveling. Masa remaja saya penuh usaha untuk mewujudkan mimpi yang pertama. Menjadi mahasiswa di Kampus Gajah paling ternama di Indonesia. Alhamdulillah kesampaian. 

Usia 20-an saya habiskan untuk menjalani impian kedua dan ketiga. Menjelajah pelosok negeri hingga khatam 32 provinsi (dulu baru ada 34 Provinsi), lalu tinggal di negara asing, dan mengunjungi berbagai tempat di benua nun jauh disana.

Masuk usia 30-an saya bingung kalau ditanya impian saya apa. Soalnya yang selalu dipanjatkan dalam doa, alhamdulillah sudah tercapai semua. Haha. 

Yah sebetulnya keinginan sih ada banyak. Namanya juga manusia. Buktinya wishlist di marketplace selalu penuh. Berharap punya rezeki untuk bisa terkabul beli setiap tanggal kembar. Supaya hemat ongkir.

Hanya saja keinginan buat dapat lippen dengan diskon 75% kok rasanya terlalu cetek untuk dituliskan. Apalagi untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog. Mana saya sudah 2 bulan nggak masuk 5 besar *Lha

Akhirnya saya teringat, sesungguhnya saya punya keinginan (bukan impian) yang sudah lama saya punya:
“Menemukan passion atau minat saya yang sesungguhnya untuk bisa mewujudkan cita-cita saya" 

Panjang ya. Sudah kayak pernyataan misi sekolah. 

Minat bukan Bakat

Dulu zaman masih baca majalah Bobo, saya selalu terkagum-kagum pada kisah tentang anak-anak berprestasi atau bertalenta. Paling teringat adalah cerita tentang anak yang memenangkan lomba gambar yang diadakan oleh suatu maskapai penerbangan, lalu gambarnya dicetak di badan pesawat.  Konon menurut para ahli, setiap manusia pasti punya bakat utama. Hal yang bisa dilakukan lebih baik daripada rata-rata orang-orang lain. Sayangnya hanya sedikit sekali yang beruntung bisa menemukan bakat utamanya. Dari yang sedikit itu lebih sedikit lagi yang bisa memanfaatkannya secara maksimal. Wajar, karena yang namanya bakat bisa sesepele mampu memasukkan benang ke jarum tanpa dijilat.  

Saya termasuk orang yang tidak menemukan bakat saya yang utama sampai sekarang. Mungkin karena tidak ada kesempatan mencoba berbagai hal (Bapak Ibu saya, seperti kebanyakan orang tua di eranya, punya prinsip: apapun bakatmu, belajarlah yang rajin, supaya besar bisa jadi pegawai negeri), mungkin karena bakat utama saya sedemikian randomnya, atau saya tidak sadar yang saya lakukan adalah bakat. 

Menurut orang-orang, saya berbakat di pekerjaan saya yang sekarang, yang isinya mengorganisir orang dan kegiatan. Tapi buat saya, yang saya lakukan, biasa-biasa saja, dalam artian tidak ada yang terlalu istimewa. Semua orang juga bisa, kalau ada di posisi saya. 

Untungnya, sampai sekarang saya tidak pernah menyesal tidak menemukan bakat saya yang utama. Karena bakat, yang saya pahami, tidak selalu berbanding lurus dengan passion (minat), kesuksesan, apalagi kebahagiaan.

Albert Einstein juga kan bilang, jenius itu 1% bakat dan 99% kerja keras. Walaupun punya IQ 185 jelas membantu sih. Soalnya, kalau orang biasa macam saya ini, mau sekeras apapun saya bekerja, sampai guling-guling sekalipun, kemungkinan besar saya tidak akan pernah menemukan teori yang layak dipahat di batu atau dipajang di dinding kota. Salah-salah yang keluar malah teori konspirasi yang memicu gosip tetangga. 

Quote lain dari Albert Einstein. Dia berhasil karena punya passion. Bukan karena bakatnya. 

(Sumber: twitter wonderof science)

Intinya sih, di usia segini, saya sudah tidak mencari-cari bakat utama saya. Karena menurut saya nggak ada gunanya. Haha. Misalnya ternyata bakat utama saya adalah jadi pawang Gajah di savana Tanzania atau punya kemampuan adu jempol yang mumpuni sampai bisa jadi juara dunia, terus kenapa? Kan bukan berarti saya harus pindah ke belahan dunia lain atau berlatih adu jempol sepanjang hari hanya agar bakat saya tersalurkan.

Makanya buat saya sekarang lebih penting menemukan minat saya daripada bakat saya yang utama. Karena di usia yang hampir 40 tahun ini, buat saya, melakukan hal yang saya senangi lebih penting daripada yang saya kuasai.


Cita-Cita Tanpa Usaha

Ada beberapa hal yang sering saya pikirkan untuk fokus dilakukan. Salah satunya, yang paling sering saya angankan, adalah jadi kolumnis seperti Umar Kayam, yang esainya dulu setiap hari dimuat di surat kabar. Karena salah satu hobi saya adalah mengamati dan menganalisi orang atau situasi, saya ingin membuat kolom opini seperti ScaryMommy, Vox, The Atlantic, dan sebagainya, tapi dengan sentuhan cerita sehari-hari seperti gaya Umar Kayam agar lebih mudah dipahami. Bagaimanapun masyarakat Indonesia masih "belum ramah" terhadap opini.

Buku karrya Umar Kayam: Mangan ora Mangan Kumpul, Sugih Tanpa Bondho, dan Madhep Ngalor Sugih,-Madhep Ngidul Sugih, yang berisi kumpulan esainya yang diterbitkan di Harian Kedaulatan Rakyat, merupakan tiga buku favorit saya waktu kecil (Sumber: kagama.co)

Sayangnya cita-cita tersebut (dan beberapa cita-cita lainnya), tidak diikuti dengan usaha untuk mewujudkannya. Berputar-putar saja di kepala. Terngiang-ngiang di telinga. Tidak dimulai karena  terhempas lebih dulu oleh berbagai alasan.

Makanya saya berpikir jangan-jangan minat saya bukan kesana. Jangan-jangan cita-cita yang saya angankan itu bukan yang saya inginkan. ATAU cita-citanya sudah sesuai, tapi cara yang saya tau untuk mencapai cita-cita tersebut tidak sesuai minat saya.

minat/mi·nat/ n kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu; gairah; keinginan.

Saya punya keinginan, tapi saya tidak punya kecenderungan hati yang tinggi terhadap keinginan tersebut. Makanya saya tidak berusaha. Tidak seperti waktu saya berusaha mewujudkan impian masa kecil saya. Dimana secara sadar maupun tidak, saya bela-belain usahakan agar terwujud. Karena memang ingin. Karena memang minat. 

Hal ini yang menjadi alasan saya untuk menemukan minat saya, supaya bisa mencari tahu cita-cita saya, dan atau cara untuk mewujudkan cita-cita saya.
Jangan-jangan sebetulnya minat saya adalah memikirkan segala hal. Bukan mewujudkannya.
Harusnya saya masuk jurusan filsafat kayak Dian Sastro. Biar jadi filsuf sekalian.

Perlu Pemikiran

Di internet bertebaran berbagai cara untuk menemukan passion. Semuanya, kalau saya simpulkan, berputar pada mengenali diri sendiri. Orang yang mengenali dirinya lebih mudah menemukan minatnya. Jadi sepertinya saya belum menemukan minat saya, karena saya belum memahami diri sendiri. Literasi diri saya masih kurang. Padahal literasi diri, kalau menurut Kepala Sekolah anak saya, seharusnya sudah harus dikuasai di usia 21 tahun. Supaya ketika masuk ke dunia luar, sudah paham dengan dirinya. Supaya bisa menavigasi diri dengan lebih percaya diri di dunia luar. Tidak terombang-ambing. Seperti saya.
Sudah hampir selesai masa 30 tahun saya. Periode saya terombang ambing tanpa tahu tujuan setelah menggapai impian masa kecil di usia 20-an. Mungkin sudah saatnya saya mulai lebih serius mencari cita-cita yang bisa diwujudkan. Sebelum penyesalan datang.

Memenuhi keinginan untuk mewujudkan cita-cita. Cita-cita-ception.

Sungguh bakat saya, yang sudah saya sadari sejak lama, adalah cocokologi.




Read more ...

Thursday, July 20, 2023

Berdamai Dengan Semarang

Beberapa tahun terakhir, berbagai kejadian membuat saya trauma dengan Semarang. Saking traumanya, memikirkan untuk mengunjunginya saja membuat saya stress. Hingga akhirnya pada bulan kemarin, saya tidak punya alasan lagi untuk menghindar. Mau tak mau harus menghadapinya. Saya pun mencoba berdamai dengan kota tempat saya dibesarkan, dalam 18 tahun pertama kehidupan saya di dunia. Kota yang setelah saya tinggalkan, selalu saya sebutkan sebagai daerah asal saya. Jika ada yang bertanya. 

Saya pikir kalau saya menelusuri kembali sudut-sudut kota Semarang, mungkin saya bisa menghapus trauma. Karena toh kota-nya sendiri baik-baik saja. Melalui Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Bulan Juli, yuk temani saya menelusuri Semarang.

Stasiun Tawang

Mari kita mulai penelusuran kita dari Stasiun Tawang. Ketika pergi ke Bandung pertama kalinya 19 tahun lalu, kereta yang saya naiki berangkat dari sini. Diiringi lagu Gambang Semarang, yang diputar berulang dari speaker peron. Bangunan Stasiun Tawang tidak banyak mengalami perubahan. Mungkin karena bergaya kolonial, jadi sudah masuk kategori untuk tidak boleh dipugar sembarangan. Stasiun Tawang memang berlokasi di kawasan Kota Tua Semarang. Kawasan yang saat ini paling sering dibicarakan orang.

Kota Tua

Sungguh ide yang brilian bagi pemerintah Kota Semarang untuk menyediakan tempat parkir bagi pengunjung Kota Tua Semarang. Jalan utamanya bisa lebih khusyuk disusuri tanpa harus terganggu mobil yang lalu lalang. Satu-satunya masalah berjalan-jalan disini adalah udara panas yang menyengat. Terasa berat karena kelembapan yang tinggi. Ah, rasanya dulu Semarang tak sepanas ini. Atau saya yang sombong karena sudah lama tinggal di tempat yang lebih dingin?

Dua puluh tahun lalu, siapa yang mengira bahwa kawasan kota tua Semarang akan menjadi tempat yang hits dan instagramable. Tidak ada yang berminat jalan-jalan kesana, kecuali untuk mencari masalah. Kumuh, suram, shaddy. Cocok dijadikan latar belakang film gangster. Di berbagai sudut ada genangan rob. Banjir karena pasang air laut. Kalau sedang parah, seluruh kawasan tergenang. 

Kata Didi Kempot sih: "Semarang kaline banjir..Ja sumelang ra dipikir"

Revitalisasi kota tua Semarang menurut saya, adalah salah satu yang terniat. Kota tua yang dihindari, sekarang disulap menjadi kawasan yang sangat menyenangkan untuk dikunjungi. Pembangunan polder untuk mengatasi rob di tahun 2010 merupakan faktor utama kesuksesan revitalisasi kawasan ini. Semenjak tak ada banjir, renovasi dan restorasi bisa dilakukan dengan lebih mudah. Hampir semua gedung direnovasi, paling tidak bagian luarnya. Bata-bata merah kembali menghiasi fasad gedung. Mengingatkan pada gedung-gedung berbata merah di Eropa.

Kawasan di dekat gereja blenduk jadi daya tarik utama. Setiap hari puluhan orang berlalu lalang di kawasan ini. Ada yang sekedar nongkrong di kafe-kafe yang bertebaran di kota tua, ada yang berfoto-foto, atau sekedar jalan-jalan mencari hiburan. Public space yang sangat beruntung dimiliki oleh masyarakat kota Semarang.

Lucunya kalau makan ke Kota Tua Semarang dulu keluarga saya malah selalu memilih restoran Ikan Bakar Cianjur yang letaknya di depan Gereja Blenduk. Suami sampai pusing. Jauh-jauh ke Semarang makannya khas Cianjur.

Jalan Pemuda

Keluar dari wilayah kota tua, menuju pusat kota, salah satu jalan yang bisa dipilih adalah Jalan Pemuda. Sekolah saya, SMA 3 Semarang, berada di sini. Dulu tak ada yang istimewa dari jalan ini, tapi sekarang jadi salah satu jalan paling trendy. Sudah jadi rute umum buat pelancong. Maklum, Mall Paragon ada di salah satu ujungnya, sementara di ujung lainnya ada Tugu Muda dan Lawang Sewu. Di tengah-tengah ada DP Mall. Saat ini adalah mall paling laris di Semarang. Mungkin ACnya paling dingin.

Lawang Sewu

Di ujung Jalan Pemuda adalah lokasi Lawang Sewu. Ikon Kota Semarang yang dulu mangkrak tapi lalu menemukan jati dirinya kembali. Sewaktu saya masih sekolah, tak ada yang berani dekat-dekat gedung peninggalan Belanda itu. Bangunannya memang intimidating karena besar dan konon katanya penuh penunggu. Paling terkenal tentu hantu Noni Belanda yang kabarnya sering muncul di ujung tangga di depan mozaik kaca. Sayangnya pamornya kalah dengan genderuwo penghuni penjara bawah tanah yang debut live di acara Uji Nyali Trans TV. Acara TV yang membuat semua mata menoleh ke bekas kantor Kereta Api hindia belanda tersebut. Sebuah kesempatan yang akhirnya membuat Lawang Sewu direnovasi hingga menjadi ikon wisata paling terkenal di Semarang.

Mozaik yang katanya sudah sering jadi panggung kemunculan Noni Belanda (Sumber: detik travel)

Terakhir kali saya ke Lawang Sewu adalah saat mengantar keluarga besar suami. Sekitar 12 tahun yang lalu. Waktu itu saya tak berminat mengikuti rombongan yang dengan semangat masuk ke bawah tanah. Takut jadi saksi comeback si Genderuwo. 

Jalan Pandanaran

Jalan yang wajib dikunjungi turis Semarang adalah Jalan Pandanaran. Menghubungkan Tugu Muda dan Simpang Lima, jalan ini penuh toko penjual oleh-oleh. Bandeng Presto merk Presto, Lumpia Djoe, dan Mochi Gemini, adalah buah tangan yang selalu saya beli saat ke Semarang. Sayangnya harga ketiganya cukup fantastis. Contohnya 1 buah lumpia Djoe harganya sampai Rp.25.000.  Mungkin saking pede dengan rasanya yang memang premium.

Tapi no worries, kalau kantong pas-pasan atau yang dikasih oleh-oleh harus satu RT, di Pandanaran banyak pilihan yang lebih ekonomis. Contohnya jambu air, wingko babat, dan Tahu Baxo. Tahu bakso hits dari Ungaran yang sudah merambah Semarang. Namanya memang pakai "X". Bukan saya salah ketik.

Simpang Lima

Di ujung Pandanaran ada Simpang Lima. Alun-alun kota Semarang yang letaknya memang di tengah-tengah kota. Bukan gimmick belaka seperti banyak alun-alun kota lainnya. Kelima jalan yang terhubung dengan Simpang Lima, bisa ditebak adalah jalanan utama kota Semarang. Ya iyalah masa jalanan utama kota Kudus.

Simpang lima adalah pusat hiburan rakyat bagi warga kota Semarang. Setiap malam ada sepeda berhias lampu berbagai bentuk yang bisa disewa untuk berkeliling. Di pinggir jalan berjejer warung tenda kaki lima yang menjajakan berbagai makanan. Tenang saja, harganya masih wajar. Tidak mencekik leher seperti umumnya di pusat keramaian. Konon paling terkenal adalah nasi ayam, nasi kucing, nasi gandul yang kedainya buka sampai jam 3 pagi. Kala akhir pekan ada mobil-mobilan aki berbagai bentuk yang bisa jadi hiburan asyik buat anak-anak. Anak-anak senang orang tua gosong. Mataharinya nggak kira-kira soalnya kalau di Semarang.

Gombel

Dari Simpang Lima, lewat jalan Pahlawan, mari naik ke daerah perbukitan. Salah satu hal yang menarik dari Semarang adalah adanya bukit-bukit yang menawarkan pemandangan kota dan laut. Paling terkenal adalah kawasan Candi dan Gombel. Asal muasal legenda Wewe Gombel., kawasan elite semenjak dulu, daerah ini dipenuhi rumah-rumah megah milik Crazy Rich Semarang (Konon saking pada kayanya sampai ada yang punya pohon Baobab di pekarangan rumahnya). Di bukit ini juga terdapat berbagai restoran. Dari yang klasik sampai kekinian.

Sempat viral karena untuk ngangkutnya sajaharus pakai truk trailer. Memang nggak bisa biasa-biasa saja kalau crazy sih. (Sumber: Tribun Solo)

Paling hits zaman dulu adalah restoran Alam Indah. Makan ditemani pemandangan lepas gemerlap lampu kota Semarang dan laut jawa yang membentang sampai horison langit. Restoran yang hanya keluarga kami datangi kalau ada saudara dari Jakarta yang datang.

Kemahsyuran restoran ini sekarang sudah terkalahkan oleh berbagai restoran yang lebih modern. Saya bahkan tak tau apakah restoran ini masih beroperasi atau tidak.

Ngaliyan

Dari Gombel, melalui jalan tol, kita bisa mendatangi Ngaliyan. Daerah rumah masa kecil saya. Daerah ini terletak di salah satu bukit paling barat di Semarang.  Zaman dulu lokasi Ngaliyan ada di pinggir kota. Tak jauh dari rumah saya ada perkebunan karet. Pohon-pohon karet berjejer rapi. Membentuk lorong-lorong panjang yang tak terlihat ujungnya. 

Sekarang, 20 tahun setelah saya tinggalkan, tiba-tiba Ngaliyan tak lagi ada di pinggiran kota. Perkebunan karet digusur digantikan perumahan-perumahan merk ternama yang ada kudanya. Dalam waktu 10 tahun, Ngaliyan sudah bukan daerah Semarang coret. Walaupun nggak jadi elite juga kayak gombel. Sedang-sedang sajalah. Lumayan sudah lengkap gerai fast food: KFC, Mc Donalds, Burger King plus tempat les Kumon. Bisalah pamornya menyaingi BSD.

Suasana perkebunan karet yang hijau. Hanya tinggal kenangan
(Sumber: gurusiana.id)

Penutup

Semarang. Kota ini untuk selamanya akan menempati bagian yang istimewa di hati saya. Walaupun bukan lagi tempat untuk pulang, tapi serpihan kenangannya akan terus saya bawa sampai akhir hayat. 


Read more ...

Tuesday, June 20, 2023

Tentang Rumah Masa Kecil

Tema tantangan blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini adalah tentang hal berkesan di masa kecil. Kok ya bisa pas banget. Soalnya pertengahan bulan ini, saya dan adik saya, harus pulang ke Semarang untuk mengurus penjualan rumah orang tua kami. Sejak akhir tahun 2021, kami memang sepakat menjual rumah masa kecil kami, yang telah kosong sejak kedua orang tua kami meninggal.


Kemarin kami mengosongkan isi rumah. Meninggalkan beberapa furnitur besar saja. Saat dikosongkan, rumah itu masih penuh barang-barang. Karena sampai saat ini kami masih membayar orang untuk bersih-bersih mingguan, jadi penampakan rumah itu masih seperti ditinggali. Bahkan laptop kerja Bapak dan Ibu saja masih ada di tempatnya.


Ini saya ceritakan beberapa barang-barang yang kami temukan saat mengosongkan rumah. Sekalian dijadikan jejak kenang-kenangan, karena kebanyakan barang tersebut tidak kami simpan.


Radio Tape

Dari 3 radio tape yang ada di rumah kami, radio tape Sony double deck adalah yang paling sering saya pakai. Punya fungsi utama untuk karaoke yang dimanfaatkan dengan baik oleh Ibu saya untuk latihan, hingga beberapa kali jadi juara lomba karaoke tujuh belasan di RW. 

SONY Double Deck ini sepertinya salah satu produk yang cukup sukses. Soalnya selain di rumah, di rumah mertua saya juga ada. Cuma yang disana nggak pernah dipakai latihan karaoke jadi nggak punya piala.

Dengan radio tape ini saya juga melakukan pembajakan kecil-kecilan. Membuat mixtape dari kaset-kaset yang dipinjam dari teman-teman dan juga lagu-lagu yang diputar di radio. Radio tape ini juga yang menemani saya belajar di 2/3 malam saat menghadapi SPMB. hiburan kala itu adalah kirim-kiriman salam tapi dengan nama samaran. Lalu besoknya menerka nerka siapa kirim salam ke siapa.


Kulkas dengan Freezer Jebol

Waktu kecil saya ini sering sekali tidak sengaja merusak barang. Selain terminal listrik yang tercerabut sampai ke ujung kabelnya, dan pintu yang jebol berkali-kali karena saya terkunci dibaliknya, korban energi penghancur saya yang paling epic adalah freezer kulkas. Saya ingat waktu itu kulkas tersebut masih baru. Ibu gembira karena akhirnya punya freezer yang cukup besar. Kemudian datanglah saya. Dengan sekuat tenaga menarik pintu freezer. Tanpa tau ada tombol yang harus ditekan. Alhasil pintu freezer tersebut jebol. Patah bingkainya. Bolong sampai akhir masa pengabdiannya.

Piala Penghargaan

Di rumah ada beberapa piala penghargaan. Paling bergengsi punya adik saya yang pernah dikukuhkan sebagai murid teladan tingkat kotamadya. Paling random punya saya. Juara LCT P4 tingkat kecamatan. Alias orang yang paling cepat menjawab pertanyaan seputar pengamalan pancasila sekecamatan. Lumayan dipanggil saat upacara hari Senin dan dikeplokin satu sekolah. Sayang perjuangan saya kala itu mandek di Kotamadya. Padahal kalau sampai Provinsi bisa diliput TVRI.


Satu lagi piala random saya adalah hadiah juara I lomba karaoke islami antar TPA se-Kecamatan. Saya ingat lombanya saat bulan puasa. Lokasinya di TPA yang ada di kampung seberang. Judul lagunya "Jilbab Putih". Disuruh bolos tadarus saat ramadan, buat ikut lomba karaoke. Agak absurd memang. Untung menang.


Fresco di teras belakang

Kalau Sistine Chapel punya fresco yang dibuat Michelangelo, teras belakang rumah saya punya fresco hasil karya teman Ibu yang guru seni rupa. Gambarnya cukup random: hutan belantara dengan 4 monyet dan binatang lain yang sepertinya tidak nyambung habitatnya. Entah apa filosofi dibalik gambar tersebut. Mungkin ibu saya punya obsesi terpendam menjelajah hutan-hutan ala Dora The Explorer.




Kursi Kayu di Teras

Bapak saya dulu membangun teras yang besar tujuannya buat jadi tempat akad nikah anak-anaknya. Alhamdulillah kesampaian. Saya dan adik disahkan jadi isteri orang di teras tersebut


Di teras itu ada 1 set kursi kayu. Saksi bisu perjalanan cinta monyet kala SMA. Orang tua saya tidak pernah melarang saya pacaran. CUMA, pacarannya harus di teras rumah. Jadi seluruh RT bisa melihat. Ikut mengawasi dalam diam. Tak jarang langsung memberikan laporan pada orang tua saya yang mungkin juga mengintip dari dalam.


Suami nggak pernah ngapelin di kursi kayu, soalnya dia mah langsung masuk ke ruang tamu. Bukannya apa-apa, rumahnya jauh sama nggak tahan nyamuk.

Magnum Opus

Ada dua hasil pelajaran seni zaman SD yang masih tersimpan di rumah hingga puluhan tahun lamanya: Ukiran sapi dari gips dan prototipe durian. Mungkin buat orang tua saya, dua benda itu adalah magnum opus. Masterpiece yang patut dirawat dan dilestarikan. Dipamerkan dan diperlihatkan pada dunia. Barangkali bagi mereka, anak-anaknya adalah Raphael dan Leonardo Da Vinci. Tentu saja yang seniman bukan yang Teenage Mutant Ninja Turtles.


Diskon Prestasi


Toko serba ada di Semarang yang populer namanya toko ADA. Seperti YOGYA-nya Semarang. Walaupun outletnya tidak sebanyak GRIYA dan YOGYA. Zaman dulu kala, toko ADA selalu memberikan diskon pada anak yang dapat rangking 1-5 setelah pembagian raport. Karena waktu SD saya cukup sering dapat rangking, maka saya selalu dapat diskon anak pintar. Sayangnya setelah SMP, saya tidak pernah dapat rangking 1-5 lagi, jadi diskonnya terpaksa nebeng adik saya, yang sampai SMA juga masih berprestasi. Suatu kebanggaan tersendiri bisa mempersembahkan diskon pada orang tua untuk beli belanjaan bulanan. Walaupun cuma 5%. Lumayan bisa buat jajan cakwe dan odading di parkiran.


Cermin Berpikir Positif


Seingat saya tulisan ini sudah ada semenjak saya bisa membaca, sekitar 33 tahun yang lalu. Saya kurang tahu kejadian apa yang membuat Ibu menuliskan kata-kata tersebut di cermin dengan spidol permanen (warna spidolnya memang perak). Mungkin memang ingin saja atau ada makna lebih dalam dibaliknya. Suatu misteri yang sampai sekarang tak pernah bisa saya pecahkan. Mungkin kalau dibuat drakor bisa jadi 1 serial sendiri.


Tulisan di cermin ini juga konon adalah salah satu yang mendorong orang yang membeli rumah kami untuk memilih rumah tersebut. Jadi kacanya tetap kami biarkan tergantung di kamar. Walaupun tetangga sudah banyak yang mengincar untuk dijadikan kenang-kenangan.


Penutup

Wall of fame yang diinisasi oleh saya yang kurang kerjaan saat liburan masuk SMP dan rak buku tempat semua buku favorit berada Salah dua yang paling berat untuk dibereskan kemarin. Karena rasanya benar-benar seperti menutup kenangan.

Tulisan ini dibuat sekaligus untuk penanda penutup bab hidup saya di Semarang.Walaupun kota ini akan tetap saya sebutkan sebagai kampung halaman setiap ada orang yang bertanya. Tapi untuk pertama kalinya dalam 37 tahun saya tidak lagi punya rumah disini. Sedih sekaligus lega. Karena satu beban terangkar. Semoga mempermudah hisab orang tua nanti di akhirat dan amal jariyah mengalir dari barang-barang yang dibagikan dengan cuma-cuma.






Read more ...

Saturday, May 20, 2023

Wing Wing Chicken Wings

Tentang Chicken Wings

Bicara soal makanan favorit, ada penganan yang secara berkala saya inginkan. Makanan itu adalah chicken wings atau sayap ayam berbumbu. Cemilan ini tanpa sadar saya dapuk sebagai comfort food nomor satu. Seru dimakan saat kumpul-kumpul dengan teman, tapi asyik juga dihabiskan sendiri sambil binge watching drama Korea.10 wings adalah porsi minimal buat saya. Kalau tidak ingat jarum timbangan yang makin condong ke kanan, 20 pun bisa saya habiskan sekali makan. Ide sayap ayam berbumbu konon dicetuskan pertama kali di Buffalo New York oleh seorang wanita pemilik bar bernama Teressa Bellisimo. Setelah mengalami replikasi, asimilasi, dan modifikasi, penganan ini menjadi salah satu cemilan paling populer di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, selain dijual di kedai penjual khusus chicken wings, menu ini juga hampir selalu bisa ditemukan di berbagai restoran dan cafe. Tentu saja dengan berbagai variasi rasa dan penyajian. Menjawab Tantangan Blogging Mamah Gajah bulan Mei, saya mengajak dua teman saya dari Geng Sambat lantai 4, untuk mengulas chicken wings dari berbagai kedai di Bandung. Selama 2+1 hari berturut-turut kami makan siang dengan chicken wings. Sungguh sangat berniat. Ini saya ceritakan hasilnya:

Bronson Wings



Diversifikasi merk dari kedai ayam geprek populer di Bandung, Bang Dava. Namanya cukup menjanjikan, tapi kenyataannya tidak sesuai harapan. Tepungnya benyek karena terkena saus. Ayamnya anyep tidak berasa. Resep sausnya cukup dipertanyakan. Varian BBQ menggunakan saus yang lebih mirip lada hitam di masakan cina. Sementara bubuk cabai di varian Nashville sungguh mengingatkan pada bubuk cabai micin di mie lidi yang dijual di depan SD. Mungkin lain kali harus coba varian yang berbalur sambal Indonesia. Siapa tau memang istimewa.

Moon Chicken by Hangry

Moon Chicken adalah merk chicken wings dari Hangry. Sebuah multi brand virtual restaurant. Tepungnya spesial dari campuran kanji dan terigu. Sepertinya dipikirkan betul agar tetap crunchy walaupun terkena saus. Daging ayamnya juicy dengan bumbu yang meresap sampai tulang. Varian originalnya unik karena ditaburi serbuk rumput laut yang gurih. Sementara varian gangjeong memiliki rasa manis dari karamelisasi saus gochujang dan cooking syrup khas Korea. Sepertinya mirip dengan yang dimasak Park Seo Jun dan BTS V di Jinny’s Kitchen. Dua teman saya menasbihkan Moon Chicken sebagai favorit mereka.

KFC Wingers

Tidak ada yang istimewa dengan KFC winger selain ukurannya yang lebih besar daripada wing lainnya. Daging ayamnya kering. Mungkin karena proses menggoreng yang lama. Varian original berbalut tepung crispy KFC tapi minus rasa spicy. Sementara bumbu varian BBQ malah terasa seperti bubuk jagung yang sering dipakai untuk taburan shake fries. Kurang seru untuk disajikan sebagai cemilan ririungan. Kecuali untuk makanan bocah.

Sky Wings


Punya ciri khas saus dari berbagai negara. Mulai Amerika, Italia, sampai Cina. Rasa setiap sausnya cukup sesuai dengan rasa saus di negara asalnya. Paling tidak, mirip seperti yang saya bayangkan. Lebih suka makan langsung di gerainya. Soalnya kalau order take out, sausnya dipisah. Mungkin takut ayamnya tidak kriuk lagi kalau terlalu lama tercampur saus. Makanya kalau terpaksa order online, lebih sering pesan varian creamy seperti tartar atau buttercream, yang memang lebih enak untuk dicocol daripada varian lain yang lebih enak kalau dibalur.

Wingstop


Berbeda arah dengan Sky Wings, Wingstop tidak mementingkan crunchiness, tapi lebih mengutamakan kekuatan rasa. Bumbu dan sausnya melimpah di setiap varian dan jelas perbedaan satu dengan lainnya. Varian hickory beraroma asap yang tajam dengan saus BBQ yang kuat, sementara asian spice, punya rasa manis dan pedas yang pekat. Lousiana terasa sekali aroma butternya dengan cayenne pepper dan garlic yang meresap dalam kulit. Menimbulkan sensasi meleleh saat digigit. Merk chicken wing favorit. Sayang harganya cukup membuat kantong bolong jadi jarang-jarang belinya.

Wingz o wingz


Merk lokal ini sepertinya yang paling populer terutama di kalangan mahasiswa. Mungkin karena harganya paling ramah di kantong dan gerainya nyaman buat stay lama. Potongan ayamnya lebih kecil dan rasanya buat saya tidak terlalu istimewa. Cukup on point untuk setiap variannya, tapi tentu tidak seakurat Wingstop yang memang asli luar negeri. Paling sering dibeli karena salah satu gerainya ada di dekat rumah.

New Orleans Chicken Wings dari Pizza Hut


Chicken wings klasik. Agak overprice tapi seringnya tetap dibeli kalau sedang ke Pizza Hut. Apalagi kalau ditraktir. Suka suudzon sebetulnya yang dijual adalah Fiesta Spicy Wings, karena rasanya mirip. Walaupun yang di Pizza Hut biasanya lebih juicy dan terasa orleans-nya. Mungkin karena yang di rumah seringnya digoreng pakai minyak jelantah bekas goreng ikan asin.

Fire wing dari Richeese Factory


Bertahan dengan konsep saus pedas berlevel 0-10. Selama ini hanya berani coba sampai level 2. Kurang menikmati makanan yang terlalu pedas apalagi yang sampai bikin bibir jontor dan mati rasa. Dulu merk ini sempat jadi favorit. Sering dibeli buat makan ramai-ramai saat kumpul dengan teman-teman. Tapi setelah bermunculan banyak merk lainnya, malah jadi dilupakan. Akhirnya kemarin beli lagi khusus buat ingat rasanya. Seingat saya, sausnya pedas manis. Tapi ternyata lebih dominan ke arah asam. Sudah lupa kalau pedas juga bisa berpadu dengan asam. Tak selalu harus dengan yang manis. Saus keju tambahannya buat saya tetap nggak penting, karena rasanya terlalu artifisial dan mengingatkan pada rasa plastik Lion Star. Sungguh random.

Wingstreet dari Pizza Hut


Selain New Orleans Chicken Wings, sekarang Pizza Hut juga menjual sayap ayam bertepung dengan merk Wingstreet. Baru sempat coba varian Honey Boom dan Butter Parmesan. Tampilannya sih meyakinkan, tapi ternyata bumbunya malu-malu banget. Tipis-tipis saja terasanya. Saya sampai lupa kalau pesannya rasa madu dan rasa butter. Padahal dua rasa itu biasanya cukup kuat di lidah. Sungguh kurang memorable. Sepertinya kalau ada yang menawari chicken wings dari Pizza Hut, saya bakalan stick dengan New Orleans saja.

Chicken Wings a la Chef Lee Yeon Bok

Gambar hanyalah ilustrasi

Tidak dijual dimana-mana. Saya catat resep dan triknya dari acara Take Good Care of My Fridge. Rasa tangy dari cuka, asin dari soy sauce, dan sedikit gula berpadu membuat rasa yang eksotik dan segar. Mirip kuah tahu gejrot. Sungguh out of the box. Waktu masih tinggal diluar sering masak resep ini. Sekarang sih sudah jarang sekali. Mungkin bisa dicoba buat alternatif saus kalau bosan dengan rasa yang biasa.
Siapa tau ada yang mau coba

Penutup

Begitulah review saya tentang beberapa Chicken Wings yang beredar di kota. Tentu masih ada banyak lagi Chicken Wings yang masih harus saya coba. Semoga ada rezekinya. Amin.



Read more ...