Friday, March 24, 2023

Ramadan 1444 Day 2: Godaan Puasa

Waktu kami tinggal di Jerman, bulan Ramadan selalu jatuh di musim panas. Lumayan. Puasa dari jam 2 malam sampai 10 malam lagi. Pasrah saja puasa segitu lamanya. Ya mau gimana lagi? Hehe. 

Durasi puasa paling lama yang pernah saya alami adalah saat berkunjung ke Swedia. Buka jam 11 malam, mulai puasa lagi jam 1 malam. Waktu itu saya kurang persiapan, alhasil jam 2 malam sempat kram kaki karena kurang minum. 

Cuma herannya waktu itu kok ya kuat-kuat saja ya puasa segitu lamanya. Nggak sampai pingsan apa gimana. Iman juga rasanya lebih kuat menghadapi godaan puasa. Mungkin didorong keinginan untuk membuktikan diri kalau saya bisa bertahan.

Ngomong-ngomong soal godaan puasa, waktu di Jerman saya pernah  menghadapi situasi dimana saya benar-benar merasa menang saat waktu berbuka puasa tiba. 

Jadi ceritanya waktu di sana, saat Ramadan, saya sempat kerja part time di sebuah convention center. Bulan Ramadan kala itu jatuh di sekitar bulan Juli. Bertepatan dengan puncak musim panas di Eropa. 

Suatu hari saya kebagian shift jaga selama 6 jam di sebuah hall, dimana sedang diselenggarakan semacam gathering perusahaan. Ada sekitar 500 orang yang hadir. Acara utamanya adalah makan dan minum-minum. Tugas saya disana mengambil piring dan gelas kotor lalu membawanya ke tempat cuci. Hari itu saya ingat bertepatan dengan awal heatwave yang melanda Eropa tahun 2015. Angin berhenti bergerak dan matahari bersinar tajam. Udara kering dan terasa sangat panas. 

Sungguh suatu godaan berat melihat orang-orang menenggak minuman dingin di tengah udara panas. Padahal mereka nggak pakai gaya minum kayak orang-orang di iklan. Minum biasa saja gitu. Cuma kok ya bulir-bulir embun yang menetes di pinggir gelas jadi jelas sekali di mata. Belum lagi suara dentingan es beradu dan "oh ah" orang yang meneguk minuman jadi merdu sekali di telinga. Sungguh minuman dingin tak pernah sebegitunya terasa menggoda.

Belum pernah saya mengalami pertempuran dengan nafsu sedahsyat itu. Haha. Saya dan teman saya yang sesama orang Indonesia sampai harus saling menguatkan diri untuk tidak kabur atau mengambil minuman buat ditenggak juga. Beberapa kali kami gantian ke toilet buat membasuh muka. Sekalian wudhu biar kuat iman.

Padahal setan sedang diikat. Tapi ternyata nafsu diri sendiri lebih kuat. Alhamdulillah saya dan teman saya berhasil memenangi pertempuran. Hari itu kami pulang kerja dengan puasa yang masih berjalan baik.

Hari itu sepulang kerja saya langsung beli minuman soda. Beberapa botol sekaligus. Sampai suami bingung. Padahal waktu buka puasa tiba, sekitar 4 jam setelahnya, liat botol soda juga sudah males, apalagi minum isinya. Soalnya buka puasa jam 10 malam nafsu makan juga sudah hilang karena kelamaan. Haha. 

Tapi hari itu saya tak bisa menahan diri untuk merasa bangga karena berhasil menang melawan godaan puasa yang cukup berbahaya XD
Read more ...

Thursday, March 23, 2023

Ramadan 1444 Day 1: Sekilo Sayur Sehari

Sudah pernah saya ceritakan sebelumnya kalau saya sedang menjalankan perubahan diet. Dari tidak terpola menjadi berpola. Adapun jenis polanya, mau polkadot, garis-garis, atau bunga-bunga, tentu tak penting. Hal yang ingin saya bahas adalah bagaimana tubuh saya dalam 3 bulan ini cukup berubah, ke arah yang lebih baik. Semoga.

Tujuan saya mengikuti pola diet tertentu adalah supaya sehat. Karena setahun kemarin saya merasa badan saya sudah tidak karuan. Secara estetika masih bisa diakali dengan pakaian, tapi secara kesehatan, tidak banyak yang bisa dilakukan untuk membuatnya bugar, kecuali membenarkan yang tidak benar.

Maka dari itu dari menjalankan diet ini, turun berat badan dan tampilan yang lebih menarik hanyalah bonus. Walapun tentu akan sangat menyenangkan bisa browsing baju di olshop tanpa embel-embel istilah jumbo atau deretan X sebelum L. Syukur-syukur bisa rubah huruf.

Tulang saya besar. Perawakan saya bongsor. Keuntungan punya badan seperti itu, saat berat badan saya bertambah, jauh melebihi idealnya, saya tidak nampak seperti orang obesitas. Hanya besar saja. Besar banget. Makanya orang sering kaget kalau saya kasih tau berat saya. Karena saya tidak terlihat seberat itu. Cuma besar saja.

Sekarang setelah berat saya turun beberapa kilo juga tidak ada yang sadar dengan perubahan badan saya. Tidak ada yang bilang saya kurusan (so sad haha). Hanya celana yang cukup longgar saja yang bisa meyakinkan saya kalau memang ada suatu perubahan.

Hal yang bisa saya katakan dari perjalanan diet saya selama 3 bulan ini adalah: makan banyak sayur memang efeknya luar biasa. Ini salah satu teori yang saya buktikan sendiri kebenarannya.


Pola diet saya, mengharuskan saya menghabiskan 750 gram - 900 gram sayur (+ buah) perhari atau minimal 250 gram sekali makan.

Jumlahnya sebanyak itu karena faktor berat badan saya juga sih. Kalau beratnya jauh dibawah saya kayaknya nggak perlu sebanyak itu juga sayurnya. Tapi jangan tanya saya gimana ngitung kebutuhan sayur ya. Wong saya hanya ngikutin kata dokter saya yang memang sengaja ambil spesialis soal gizi plus kuliah sampai S3 juga. Apalah saya berani membantah.

Apalagi bantahnya modal baca caption IG doang.

Hal pertama yang saya rasakan setelah makan banyak sayur adalah, saya tidak lagi emosian. Selain itu, saya juga jadi lebih bisa fokus dalam waktu lama. Walaupun tetap deadliner. Bawaan orok itu sih XD

Selain makan lebih banyak sayur, sekarang jadi lebih milih makan ikan juga. Soalnya entah kenapa habis makan ikan memang rasanya lebih enteng di perut. Dari dulu saya suka ikan sih, cuma lebih sering makan daging karena ya...lebih enak saja.

Badan memang nggak lantas secepat itu jadi kurus atau enteng. Tapi kepala rasanya jadi lebih jernih. Pegal-pegal badan juga hilang. Encok pegel linu itu lho, pergi entah kemana. Padahal sebelumnya bawaannya pengen pijet aja terus dengan alasan nggak enak body.

Hal yang lebih buat heran lagi, setelah 3 bulan memilih lebih banyak makan sayur, sekarang kok jadi nggak nafsu lagi lihat gorengan, tetepungan, atau junk food. Padahal dulu hobi banget. Haha.

Ke restauran sekarang seringnya pilih menu salad. Plus cuma satu macem aja. Beberapa kali pernah melanggar larangan dokter. Nekad pesan side dish goreng-gorengan atau tetepungan lain yang sebelumnya bisa seipiring dihabiskan sendiri sekali makan. Eh badan kok ya langsung jadi terasa nggak enak. Memang betul kata Ade Rai, kalau tepung adalah makanan paling tidak baik untuk tubuh. Buat alasannya lihat sendiri you tube beliau ya.

Sekarang saya juga berteman akrab dengan timbangan. Setiap mau makan seringnya ditimbang dulu. Kalau makan diluar sih ya nggak. Dikira-kira saja. Makanya sekarang saya prefer kalau pergi keluar sudah ngabisin sayur dulu di rumah, atau pilih menu salad.dan lalapan, atau kalau darurat harus makan di tempat yang nggak ada menu sayur sama sekali, ya sudah terima nasib saja. Nggak usah ngoyo haha. 

Memang segitunya atau sugesti belaka? Tak tahulah. Kita teruskan saja mumpung sudah biasa. Semoga berguna.

Lauk di rumah jadi kebanyakan sayur. Saya yang habisin, soalnya penghuni rumah lainnya nggak segitunya sama sayur XD. Kalau sudah begini saya cukup bersyukur sanggup makan dalam porsi banyak. Soalnya 250 gram sayur sekali makan itu banyak lho. Haha. 

Read more ...

Monday, March 20, 2023

Nostalgia Life Hack Warisan Budaya

Tentang Life Hack Kenangan

Gara-gara tema Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini, saya jadi bernostalgia. Mengenang kembali life hack yang lazim dilakukan oleh banyak orang waktu saya kecil. Beberapa sepertinya masih dilakukan sampai sekarang. Mungkin sedikit beda metode saja. Tapi intinya masih sama. 

Yuk mari sama-sama bernostalgia!

1. Blonyokan Bawang

Waktu saya kecil, setiap kali saya demam, pasti saya akan diblonyoki bawang. Mungkin istilah yang sepadan dengan kata diblonyoki ini adalah dibaluri. Irisan tipis bawang merah (dan kadang bawang putih) yang dicampur dengan minyak dibalurkan ke sekujur tubuh anak yang demam. Jangan lupa seprei dialasi perlak kotak-kotak biar minyak tidak lengket kemana-mana. 

Sumber: detik.com

Kalau dipikir sekarang, metode ini mirip seperti persiapan membuat ayam geprek. Cuma minus cengek. Apalagi saya ingat, seringnya minyak yang digunakan sebagai campuran olesan adalah minyak goreng kelapa sawit. Iyes minyak yang sama dengan yang dipakai untuk menumis dan menggoreng. Entah apa yang dipikirkan orang tua masa itu. Mungkin mereka beranggapan semua minyak sama.

Tapi bukan tanpa alasan life hack ini populer pada masa itu. Konon bawang-bawangan, terutama bawang merah, mengandung zat flavonoid dan saponin. Kandungan flavonoid berkhasiat sebagai anti radang dan anti bakteri, sedangkan kandungan saponin berkhasiat sebagai ekspektoran (pengencer dahak). Cocoklah ya buat penyakit favorit bocah: pilek, batuk, dan demam. 

Mungkin nenek moyang kita tidak paham istilah-istilah ilmiah diatas, tapi mereka sudah tau duluan kalau bawang-bawangan ini berkhasiat. Seingat saya, di keluarga kami, bawang merah sendiri, selain dibalurkan, juga kadang digunakan untuk kerokan anak-anak. Child-friendly kerokan, istilah kekiniannya.

Saya sendiri pernah mengaplikasikan blonyokan bawang pada anak pertama saya. Tapi sekali coba kapok, karena lengket kemana-mana. Mendingan kita pakai parasetamol saja deh πŸ˜ͺ

2. Beras Sang Bulir Ajaib

Selain sebagai makanan utama penduduk Indonesia, beras juga bisa digunakan untuk banyak hal diluar fungsi utamanya. Salah satu yang mungkin masih relevan dipakai sampai sekarang adalah untuk menyelamatkan barang elektronik yang tercemplung ke air. 

Kalau menurut penjelasan ilmiahnya, bulir beras konon bersifat hygroscopic atau mudah menyerap kelembaban. Jadi kalau ada benda basah yang dipendam dalam tumpukan beras, biasanya jadi kembali kering sampai ke sudut-sudutnya. Akan tetapi, secanggih-canggihnya daya serap beras, saya bersyukur hanya pernah sekali menggunakan life hack ini. Waktu handphone saya terjun bebas ke sebuah genangan air karena terlalu rusuh mengejar bocah. Tampilan layarnya sempat error, tapi saya pendam di beras semalaman, besoknya kembali normal. Ajaib memang. Walaupun gagal bikin saya punya alasan minta dibelikan handphone baru.

Sumber: kompas.com

Saking patennya life hack ini, setiap kali ada benda elektronik yang kebasahan, dispenser/karung/tempat penyimpanan beras, adalah hal pertama yang dicari orang. Untung saja, orang-orang yang pakai life hack ini masih cukup rasional untuk menggunakannya hanya pada barang elektronik berukuran kecil saja. Walaupun tentu saja akan sangat tik tok worthy kalau misalnya setelah musibah banjir, orang-orang berbondong-bondong datang ke gudang BULOG untuk menitipkan barang-barang elektronik mereka ke gudang beras agar cepat kering.

3. Uang Koin Legendaris

Sumber: cnbc.com

Generasi milenial dan sebelumnya pasti tahu uang koin Rp. 100 dengan gambar rumah gadang dan gunungan wayang. Uang koin yang beredar tahun 70-an hingga 90-an tersebut, terbuat dari logam betulan sehingga memang layak disebut sebagai uang logam. Tidak seperti uang koin pecahan kecil yang beredar sekarang, yang lebih mirip plastik. Kalah jauh tampilannya, bahkan dengan koin Timezone. Kurang mbejaji kalau kata orang jawa. Uang logam kok super enteng dan gampang penyok. Sampai kayaknya buat toss saja tidak bisa. Keburu ketiup angin.

Karena teksturnya yang pageuh dan ukurannya yang pas di tangan, logam Rp.100 legendaris tersebut banyak digunakan dalam life hack tahun 90-an. Seperti untuk kerokan versi advance, alat penggosok voucher atau magic book jadul, pola jiplak buat bikin uang mainan, dan yang paling epik, sebagai pengganti pinset untuk cabut jenggot. Pemandangan yang sekarang sudah sangat langka ini dulu biasa ditemukan pada supir angkot yang sedang ngetem. 

Saya pertama kali melihat fenomena ini di Bandung. Sungguh suatu culture shock buat saya yang di Semarang selalu naik bis DAMRI. Dimana supirnya selalu pakai seragam dan jarang sekali ngetem, apalagi sampai punya waktu nyabutin jenggot di tempat umum. 

4. Pasta Gigi si Obat Serbaguna

Baru ngeh kalau pasta gigi di Indonesia dikenal sebagai odel karena merk pasta gigi zaman belanda. Sumber: ppid.serangkota.go.id 

Ada perdebatan antara saya dan suami ketika membahas life hack tentang pasta gigi atau odol ini. Menurut dia, yang dia tahu, orang suka mengoleskan odol jika kepala benjol karena benturan. Sementara saya, ingatnya odol sering digunakan sebagai obat saat terkena luka bakar. Apapun itu, sepertinya sensasi dinginnya lah yang menyebabkan odol dipercaya sebagai obat pereda sakit, entah karena benjol atau terbakar. Tak peduli merknya walaupun paling terkenal dan sering digunakan tetap Pepsodent original.

Sampai beberapa bulan lalu, ketika saya tak sengaja memegang panci panas, bibi di rumah masih ribut minta saya segera mengoles odol ke tangan. Jadi nampaknya kepercayaan itu masih berlanjut sampai sekarang. Karenanya, sayapun  tidak akan heran kalau di suatu tempat di Indonesia ada odol sampai masuk ke kotak P3K.

Ngomong-ngomong kalau life hack odol ini juga ada di Korea, mungkin drama The Glory bisa jadi lebih epik lagi. Karena bisa jadi ada adegan tokoh utamanya memikirkan cara balas dendam, sambil gosok-gosok odol ke seluruh badan penuh luka bakar karena catokan rambut. Lumayan sekalian iklan walaupun salah sasaran.

5. Siklus Hidup Singlet 

Kaos dalam pria, atau disebut singlet, kebanyakan terbuat dari bahan yang lembut dan mudah menyerap air. Hal ini membuat siklus hidup singlet pria, bisa jadi lebih panjang dari koleganya, bra atau kutang. Karena kaos dalam bisa berubah fungsi jadi banyak hal saat sudah tidak layak jadi dalaman. Sebut saja: lap andalan, keset, saringan di ujung selang, penyumpal lubang-lubang, lapisan gagang apapun (biasanya cangkul), perangkap nyamuk, bahkan kalau perlu, bisa dikibarkan sebagai bendera putih tanda menyerah. Sementara kutang, karena bentuknya yang spesifik, kemungkinan hanya akan berakhir dibuang setelah tidak bisa digunakan. Karena semua orang tau itu kutang. Bahkan dari kejauhan.

(Nggak pakai gambar, caption saja. Soalnya di Google, gambar singlet-nya pakai model semua. Kan malu pajang foto orang bersinglet doangπŸ˜†. Tapi kebayanglah ya singlet babah-babah kayak apa)

Sungguh life hack yang satu ini patut jadi warisan yang dilestarikan sampai tujuh turunan. Sangat ekonomis dan ramah lingkungan, walaupun mungkin kurang 5 minutes craft-able.

Penutup

Sebetulnya masih ada beberapa life hack\ nostalgia yang ingin saya bagikan. Seperti mengikat jempol dengan benang saat anyang-anyangan. Tapi sayangnya tulisan ini terbatas 1000 kata saja. Jadi kita sudahi saja lah ya.

Adakah yang punya life hack nostalgia yang sama dengan saya? Atau adakah yang tau lainnya? :)


Read more ...

Monday, February 20, 2023

Mencoba Buku Self Help

Mencari Pertolongan

Sebetulnya saya tidak begitu tertarik dengan buku-buku self help. Buat saya, untuk buku non fiksi, lebih menarik baca buku biografi atau antologi seperti seri Chicken Soup for The Soul. Soalnya saya lebih suka dengar cerita orang daripada digurui begini begitu (ups).

Tapi beberapa waktu lalu, ketika saya merasa mentok menghadapi bocah-bocah di rumah, saya coba-coba cari insight dari buku self help. Soalnya saya perlu sesuatu yang praktikal. Bisa dicoba saat itu juga dan tidak ribet. 

Sebetulnya berbagai tips parenting banyak bertebaran di media sosial. Bisa langsung dipraktikan juga kalau berniat. Tapi karena format sosial media singkat, kebanyakan isinya cuma pointer atau kata-kata bijak saja. Harus diinterpretasikan dulu, diambil hikmahnya baru dipraktikkan. Kalau mau lengkap biasanya diarahkan ikut kelas. Nah, karena saya merasa perlu step to step, tapi malas ikut kelas, saya pilih baca buku saja.

Akhirnya setelah cari-cari, pilihan saya jatuh pada buku berjudul : "How To Talk So Little Kids Will Listen (A Survival Guide To Life With Kids Age 5-7)" karangan Joana Faber dan Julie King. Saya pilih buku ini karena merasa cara komunikasi saya dengan anak-anak, yang dua-duanya berusia dini, masih kurang tepat. Buku ini saya beli dalam format Kindle. Untung Kindle saya masih nyala walaupun sudah 2 tahun dianggurin. Hiks.  

Sebelum beli, saya download sample-nya. Sekilas isinya cukup to the point. Sebagian besar adalah contoh kasus dan anekdot. Bentuk tulisannya juga cukup unik, seperti manuskrip workshop/seminar. Jadi ketika membaca rasanya ya seperti sedang ikut acaranya.

Tentang Buku "How To Talk So Little Kids Will Listen" 


Saya menghabiskan buku ini dalam waktu seminggu. Cukup singkat mengingat buku lain biasanya baru selesai berbulan-bulan kemudian. Terdiri dari 2 bagian, bagian pertama buku ini menjelaskan mengenai tools yang digunakan untuk bicara kepada anak, sementara bagian duanya adalah tentang contoh penggunaan tools tersebut dalam kasus-kasus yang umum dihadapi orang tua anak usia 5-7 tahun. 

Setelah selesai baca bukunya, saya menyimpulkan kalau isi buku ini ya... begitu-begitu saja. Haha. Seperti banyak quote-quote parenting yang beredar di dunia maya. Cuma bedanya disini penjelasan setiap aksi runut dan lengkap. Tidak terlalu banyak teori dan gimmick, apalagi ancaman. Contoh kasusnya juga cukup relatable buat orang tua biasa-biasa saja macam saya. 

Si penulis menggambarkan "berbicara dengan anak" sebagai battle sementara tools yang digunakan dianggap sebagai adalah alat perang. Cocoklah sama pemikiran saya. Inti dari tools yang dipakai adalah menempatkan diri di posisi anak. "Kalau lo nggak mau digituin, jangan gitu sama orang", itu kalau kata orang betawi. Empati, empowering, problem solving, habladi hablada same old stuff lah.
Di akhir setiap bab ada semacam komik. Disarankan untuk dicetak dan ditempel ke dinding sebagai pengingat.

Waktu baca contoh-contohnya, dengan optimis saya langsung tertarik ingin mencoba. Soalnya kayaknya gampang. Akhirnya semingguan kemarin, setiap kali selesai baca 1 bab, saya langsung praktik. Sampai suami saya bingung. Soalnya saya mendadak jadi lebih mau ngeladenin anak-anak kalau sedang pada pikasebeleun. Biasanya cuma 5 menit tanduknya langsung keluar. Sama-sama tantrum kayak anaknya. 

Cerita Praktik Self Help

Tapi bukan berarti buku ini juga langsung jadi penyelamat saya ya. Namanya juga coba-coba. Ada berhasil ada gagal. Ini saya ceritakan beberapa pengalaman saya mempraktikan apa yang disampaikan di buku ini. Cukup efektif walaupun terkadang agak salah kaprah:

Mbarep Menolak Belajar Baca

Kami tidak memaksa anak sulung kami, Mbarep, bisa baca di umurnya yang sekarang. Cuma kadang dia penasaran dengan deretan huruf yang dilihatnya. Kalau sudah begitu kami suruh dia mencoba buat baca tulisan tersebut. Masalahnya, hal ini seringkali berakhir dengan Mbarep nangis-nangis, karena  kesal sendiri nggak bisa-bisa dan memilih untuk kabur sebelum selesai mencoba.

Suatu hari setelah baca tentang tools problem solving, saya langsung mencoba praktik dengan Mbarep. Harapannya tentu saja, Mbarep bisa menemukan ide untuk memecahkan masalah dia sendiri soal mencoba baca.
Step By Step nya sudah jelas. Kenyataan di lapangan belum tentu seindah bayangan (1).

Saya: "Mas, kenapa kamu kalau disuruh baca selalu marah-marah?"
Mbarep: "Soalnya aku nggak suka baca tulisan yang lebih dari 4 huruf"
Saya: "Ooh, susah ya?"
Mbarep: "Iya otak aku tuh muter-muter kalau baca tulisan yang panjang"
Saya: "Bingung maksudnya?"
Mbarep:" Iya... kenapa sih tulisan itu harus ada yang panjang-panjang? Kenapa nggak 4 huruf aja semua?"
Saya: "Ya kata-kata kan banyak yang kalau ditulis perlu lebih dari 4 huruf. Kalau ditulis cuma 4 huruf aja jadi nggak lengkap. Misalnya kamu mau bilang -burung kakak tua hinggap di jendela-, tapi yang ditulis cuma -buru kaka tua hing di jend-, kan jadi bingung
 ya?"
Mbarep: ...
Saya: "Nah, jadi menurut kamu gimana caranya supaya kamu nggak marah-marah kalau disuruh baca?"
Mbarep: "Aku tau! kalau ada tulisan, aku pura-pura nggak lihat aja, kan aku nggak disuruh baca jadi nggak usah marah-marah!"

Ide brilian Mas!kenapa Ibu nggak kepikiran ya?!

Ragil Tidak Berminat Ke Kamar Mandi

Anak bungsu saya, Ragil, hobi banget nahan buang air. Baik kecil maupun besar. Buang air kecil sih nggak begitu masalah, jagoan dia kalau soal itu. Hal yang jadi masalah adalah kalau dia mau BAB. Udah macam orang mau lahiran. Nunggu bukaan lengkap dulu di pojok ruangan, baru setelahnya terbirit birit lari ke kamar mandi. Cuma kan laju kecepatan jatuhnya kotoran seringnya tidak sebanding dengan kecepatan lari dia, jadi kecelakaan kadang tak terelakkan. 

Mumpung habis baca bab tentang be playful, langsung saya praktikkan saat Ragil nampak kebelet. Harapannya dia dengan sukarela mau duduk di toilet menunggu panggilan alam daripada jongkok di pinggir ruang makan. 
Step By Step nya sudah jelas. Kenyataan di lapangan belum tentu seindah bayangan (2).

Saya: " Adek Sakit perut?"
Ragil: "Enggak", muka tegang.
Saya: "Eh, kayaknya ada monster e*k di perut kamu mau keluar. Ayo cepet kita ke kamar mandi, supaya monsternya nggak keluar duluan. Kan ngeri". Ragil menatap saya.
Ragil: "Ibu...masa di perut aku ada monster? Monster kan nggak ada. E*k itu kan kotoran. Asalnya dari makanan. Bukan monster tau! Ibu ini ngarang-ngarang aja."

Ya deh, sak karepmu dek!

Penutup

Jadi bagaimana, apakah buku self help pertama yang saya baca cukup membantu? Ya lumayanlah. Buku ini jadi salah satu pegangan saya untuk menghadapi anak-anak. Paling tidak kalau saya bingung, ada sesuatu yang bisa dicoba, walaupun harus buka Kindle dulu dan cari chapter yang tepat. Mungkin harus lebih sering latihan saja biar lama-lama hapal tekniknya.

Tulisan ini dibuat untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Bulan Februari 2023 dengan Tema Buku yang Berpengaruh.

Read more ...

Monday, January 23, 2023

Awal Perjalanan Menuju Badan Zaman Kuliah

Tahun 2022 saya mendapati diri saya berada di titik terendah dalam urusan kebugaran tubuh. Berat badan saya secara resmi masuk ranah obesitas di tengah pandemi.  Menyebabkan munculnya berbagai keluhan kesehatan yang mengganggu kualitas hidup: kelelahan kronis, lesu berkepanjangan, ngantuk yang sering tak tertahankan, pegal-pegal, dan sebagainya. Bahkan bangun tidurpun rasanya super lelah. Seperti habis begadang semalaman.

Karena kelelahan, bahkan sejak awal hari, biasanya emosi saya jadi naik turun. Otak terasa penuh. Hati sering terasa tak tenang. Pikiran tak sabaran. Bahkan tak jarang diliputi kecemasan berlebihan. Pekerjaan banyak tertunda karena badan tidak mau diajak bekerja sama. Berat. Sementara otak terus berpacu. Kadang sampai tak terkendali. Seperti kerepotan mengejar suatu tenggat yang entah apa dan bikin hidup terasa ruwet. Padahal aktifitas sehari-hari ya begitu-begitu saja.

Walaupun begitu, berbagai alasan menghalangi, saat hati kecil berkata harus ada yang diubah. Biasalah. Trifecta alasan: nggak sempat, repot, dan mahal. 

Sampai akhirnya, di pertengahan bulan Desember 2022, sisi samping kiri kepala saya saya terasa sakit sekali. Bukan pusing. Tapi sakit. Nyeri. Seperti ada yang mencengkeram kepala saya erat-erat lalu menariknya keatas, berusaha melepaskan tengkorak saya dari organ-organ yang dilindunginya.

Seminggu saya bertahan, menganggap hal tersebut bukan masalah besar. Karena beberapa minggu sebelumnya hidup saya sedang hectic sekali, sampai kurang tidur. Wajar sepertinya kalau pusing.

Toleransi saya terhadap rasa sakit kebetulan memang tinggi, bahkan saat sakit kepala tersebut, saya masih sempat pergi ke Jakarta. Berkunjung ke sana kemari. Bermodal menenggak parasetamol di setiap kesempatan. Agar bisa berfungsi agak normal.

Tapi ketika sakit kepala semakin menghebat, sementara obat pereda nyeri yang ada sudah tak mempan lagi, akhirnya saya menyerah dan segera memutuskan pergi ke dokter.

"Darah tinggi", kata Dokter umum yang saya temui, sambil menuliskan surat pengantar cek darah untuk memeriksa kadar kolesterol, asam urat, kadar gula dalam darah, dan berbagai indukator lainnya. Tekanan darah saya saat pemeriksaan itu mencapai 160/90. 

Hasil tes lab menunjukkan badan saya mulai nggak beres. Semua indikator ada bintangnya. Walaupun tidak jauh-jauh amat dari batas atas. Cuma yang paling bikin ngeri adalah diagnosa pra diabetes melitus. Apa jadinya kalau beneran jadi diabetes?

Dokter umum meresepkan berbagai macam obat. Seumur hidup baru kali itu saya harus minum obat sebanyak itu. Tapi ternyata terdiam selama 2 jam di rumah sakit, menunggu hasil lab dan dokter, dengan sakit kepala yang semakin menghebat dan menahan keinginan yang memuncak untuk kabur ke IGD, adalah titik balik saya untuk melakukan perubahan. 

Atas dukungan suami, malamnya saya langsung pergi untuk konsultasi ke dokter gizi. Karena akar masalah kesehatan saya sepertinya adalah gaya hidup yang kacau dan obesitas. Maka itu yang pertama kali harus diatasi.

Dari Google saya pilih satu dokter gizi klinis yang ada di Bandung. Dr. Gaga Irawan namanya. Praktik di Kimia Farma Sulanjana. Sepertinya cukup viral, walaupun nggak seviral Dr. Joko di Jakarta yang sudah melangsingkan banyak artis. Haha. Dari hasil pemeriksaan pertama umur biologis saya 1.5 kali lipat umur saya yang sebenarnya. Ya ampun, memang jompo ternyata πŸ˜‚  Sayapun didiagnosis dengan obesitas stadium 2.

Sekarang sudah 1 bulan saya ikut program diet. Setiap hari makan hampir 1 kg sayur, 1/2 kg buah, dan minum 3 liter air. Nggak minum manis dan nggak makan tepung apapun sekalipun. Seumur-umur belum pernah saya makan sesehat itu. 

Lalu apakah setelah diet langsung jadi kurus? ya nggak juga. Kemajuannya lambat kalau tujuannya langsing saja. Sebulan ini saya cuma turun 2.5 kg. Masih ada di cengkeraman status obesitas. Cumaaa...dari sisi mental kok ya jauh banget ya. Karena badan saya rasanya jauh enakan: nggak gampang pegal dan bloating yang bikin saya kesal dan cepat capek. Saya merasa jadi lebih kalem.

Nggak gampang emosian. Nggak serudak seruduk. Nggak gedubrakan. Bahkan sepulang kerja, bisa dengan sabar menghadapi anak-anak, bak Ibu-Ibu di instagram πŸ˜‚Teman-teman saya bahkan sampai kagum, karena saya jadi jarang mengeluh. Biasanya baru bangun saja langsung ngeluh 😴 Payah ya? Bukannya bersyukur masih diberi kesempatan untuk hidup. 

Saya sampai heran sendiri. Di kantor juga lebih produktif, padahal biasanya setelah makan siang hawanya sudah ingin rebahan saja. Sekarang sampai jam pulang masih strong. Padahal nggak minum multivitamin apapun. 

Memang benar kata orang: you are what you eat.

Tapi saya nggak mengira efeknya secepat itu. Setelah saya pikir-pikir, mungkin nggak makan daging merah juga sangat berpengaruh. Saya ini bisa dibilang karnivora. Makan daging setengah kilo sekali makan ya biasa saja. Makanya badan saya biasanya hawanya panas. Sekarang karena lebih memilih makan ikan untuk mengejar target protein dan banyak sayur untuk target serat, badan saya rasanya jadi lebih adem. 

Mungkin tadinya dalam tubuh saya bak medan perburuan di padang rumput yang gersang, sekarang bagai telaga dengan banyak ikan berenang, dikelilingi rimbun pepohonan. Analogi macam apa itu? haha. 

Makanya sekarang kalau di kantor ada orang kerjaannya ngomel-ngomel saja, saya langsung bilang: cobain berhenti makan daging merah terus makan sayur sehari sekilo deh. Pasti jadi kalem. 

Di balik badan yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Ternyata efek ke mental karena hidup sehat jauh lebih bermanfaat daripada sekedar langsing saja. Doakan semoga istiqomah ya. Sampai badan saya normal kembali. Syukur-syukur balik lagi ke badan zaman suami saya naksir saya pertama kali. Hahaha. Amini sajalah ya. 

Read more ...

Sunday, January 8, 2023

Catatan Semester I Mbarep di Sekolah

Tentang Pilihan Sekolah

Setahun yang lalu kami mencari sekolah untuk Mbarep. Karena kami tau karakternya, kami cukup hati-hati dalam memilih sekolah untuknya (dan adiknya nanti). Bagaimanapun perjalanan akademik yang sangat panjang bagi Mbarep baru akan dimulai. Kami tentu ingin dia menikmatinya. Sebagai orang-orang yang juga berkecimpung di dunia akademik, dan cukup punya pengalaman memperhatikan mahasiswa-mahasiswa zaman now dengan berbagai permasalahannya, kami ingin Mbarep punya dasar yang kokoh dan baik sebelum dia masuk ke dunia akademik yang sebenarnya. 

Seperti dikatakan selalu dalam nasihat-nasihat agama: adab dulu sebelum ilmu. Agar kedepannya dia punya kesadaran bahwa belajar adalah untuk dirinya sendiri dan dia tau apa yang dia mau. Tidak terjebak melekatkan jati diri pada hal-hal trivial, seperti title pintar, juara kelas, atau like di social media. Supaya tidak terombang ambing dalam kehidupan yang semakin lama mungkin akan semakin penuh godaan yang menyesatkan. Selain itu kami harap dia juga bisa membawa dan menempatkan diri di setiap kesempatan. Sadar sepenuhnya bahwa dunia tidak berputar mengelilingi dia. 

Ketika kami memilih sekolah Mbarep yang sekarang, ada beberapa orang dekat yang bertanya-tanya. Kenapa tidak begini, kenapa tidak begitu. Kami termasuk yang beruntung punya cukup privildge untuk memilih sekolah bagi anak-anak. Makanya saat kami memilih sekolah yang "tidak biasa", kami sempat mendapatkan tantangan dari orang-orang terdekat. Utamanya karena sekolah yang kami pilih tidak berdasar pada agama kami, agama Islam. 

Tentu bukan kami tidak mempertimbangkan aspek tersebut. Bagaimanapun kami juga ingin Mbarep nantinya punya dasar agama yang kuat. Karena hal itu juga penting dalam untuk kehidupannya kelak. Tapi buat kami, membuat Mbarep tertarik pada belajar, jauh lebih penting sekarang. Karena sesungguhnya dengan watak Mbarep yang acuh tak acuh, membuat dia tertarik saja sudah sebuah effort ekstra tersendiri. Kami sudah pernah sedikit mencoba mengajak Mbarep belajar saat pandemi, tapi usaha kami malah berhasil membuat dia alergi dengan kata "belajar". Sampai setiap kali kata itu muncul reaksi yang timbul adalah linangan air mata dan penolakan keras. Entah kenapa trauma sekali. Hingga kamipun sadar perlu bantuan orang lain yang lebih punya kepakaran. Maka dengan segala pertimbangan tersebut kami mantap menyekolahkan Mbarep (dan adiknya nanti) di sekolah Mbarep yang sekarang.

Supaya Tidak Drama

Sebetulnya di setiap pilihan orang tua pasti ada sisi egoisnya. Walaupun dibalut dengan demi kebaikan si anak. Pilihan egois di balik pilihan kami akan sekolah Mbarep, adalah kami malas membujuk dia agar mau berangkat sekolah setiap hari. Kami ingin dia setiap hari bangun dan memilih sendiri untuk berangkat sekolah. Bukan kenapa-kenapa sih. Lelah saja berantem apalagi pagi-pagi. Bisa rusak mood semua orang seharian. Alhamdulillah selama satu semester dia selalu bersedia pergi. Walaupun tentu tidak selalu dengan riang gembira dan semangat membara. Paling tidak, bebas dari drama pagi hari. 

Setiap hari kami memberikan pilihan ke anak-anak apakah akan berangkat sekolah atau tidak. Tentu dengan penjelasan berbagai konsekuensinya. Bukan hukuman tentu saja, melainkan konsekuensi natural seperti kebosanan dan tidak dapat jatah screen time. Karena di sekolah pasti lebih ada yang bisa dikerjakan daripada berdiam di rumah. Screen time di rumah juga hadiah untuk anak-anak yang sudah melakukan sesuatu (belajar, beres-beres, tidur siang, dll). Makin lama mereka makin paham konsekuensi tersebut. Jadi walaupun kadang-kadang ada juga ngambek-ngambek sedikit, Mbarep selalu mau masuk sekolah. Daripada tidak dapat hadiah nonton Youtube 😁

Bukan Belajar Tapi Bermain

Terlepas dari motivasi yang dimiliki Mbarep untuk sekolah, minimnya drama tentu tidak lepas dari peran sekolah memberikan kegiatan yang menarik dan lingkungan yang nyaman. Kalau kata keset jadul, welcome. Mbarep nampak happy ada di sekolahnya. Walaupun tentu saja tidak selalu dengan riang gembira. Sekali dua kali pastilah ada drama. Namanya juga hidup bersosialisasi. Tapi semakin kesini kami merasakan emosinya menjadi lebih stabil. Walaupun rengekan masih sering muncul tapi paling tidak dia sudah tidak terlalu sering tantrum. Kalaupun marah-marah durasinya lebih sebentar, nampak lebih mudah meregulasi emosi, dan semakin paham negosiasi. Mungkin sudah besar juga ya. 

Kalau sudah begini, kami bersyukur tidak memaksakan Mbarep untuk masuk sekolah di umur yang lebih muda, seperti saya dan ayahnya yang memulai pendidikan formal masing-masing di usia 3 tahun. Karena di usia 5 tahun dia memang sudah lebih siap "belajar" daripada sebelumnya. Walaupun tentu saja, karena prinsip pendidikannya di sekolahnya, kegiatan belajar sehari hari betul-betul adalah bermain. Memang masih umurnya. Memang sudah kodratnya. 

Setiap pulang sekolah, kami selalu bertanya kepada Mbarep, "main apa di sekolah"? . Kadang dia mau menjawab dengan semangat, kadang sekenanya saja. Tapi ada masanya juga dia cerita dulu tanpa diminta. Masih di parkiran juga sudah nyerocos. Meskipun seringnya tercampur-campur antara fiksi dan fakta. Karena kalau semuanya nyata, maka sekolahnya betul-betul adalah markas alien dengan berbagai ruangan rahasia. Alhasil seringnya kegiatan dia di sekolah masih jadi misteri bagi kami. Untungnya guru-gurunya gercep kalau ditanya apa yang terjadi sebenarnya. Haha. 

Mbarep dan Teman-Teman

Mungkin mewarisi sifat Ibunya yang susah menghapal nama, ditambah sifat ayahnya yang cuek bebek, Mbarep juga tak hapal nama teman-teman sekelasnyanya sampai sebulan setelah dia masuk sekolah. Saat pulang, anak-anak di kelasnya punya kebiasaan dadah-dadah sambil menyebutkan nama teman yang didadahi. Sampai sekitar sebulan di awal sekolah, Mbarep tidak pernah membalas dadah-dadah, atau mau dadah-dadah tapi tanpa suara. Sebetulnya saya sempat khawatir dia nggak hapal-hapal nama temannya karena dia tidak bisa berteman. Seperti saya yang tidak begitu pintar mencari kawan πŸ˜…. 

Tapi ternyata kata gurunya dia baik-baik saja. Mau main dengan semua orang. Walaupun tidak selalu bisa memanggil nama dan kadang lebih memilih untuk asyik sendiri seperti yang sering dia lakukan di rumah. Hal yang tidak disangka, Mbarep bahkan punya bestie! Sampai dia sudah berencana mengundang teman akrabnya itu ke rumah untuk merayakan ulang tahunnya nanti. Sungguh suatu kemajuan kalau dibandingkan dengan saya yang sampai kuliah tidak punya teman akrab. Haha. Mungkin di tubuh dia campuran sifat neneknya yang pintar bergaul dan almarhum eyang kakungnya yang punya banyak teman, cukup dominan.

Sekali waktu kami pernah ikut kegiatan di sekolahnya. Acaranya bermain bersama orang tua dan pertunjukan kelas. Mbarep mau mengikuti kegiatan bersama, tapi memang nampak sering lebih menikmati penjelajahannya sendiri. Manjat sana sini. Lari sana sini. Memisahkan diri dari kelompok teman-temannya. Sesaat saya khawatir dia akan kabur saat giliran kelasnya untuk tampil. Karena saat yang lain sudah berbaris, Mbarep masih entah ada dimana. Tapi ternyata saat barisan masuk panggung dia sudah ada di dalamnya. 

Saya perhatikan sih guru-gurunya tidak ada yang harus memanggil-manggil dan menggiring dia ke dalam barisan. Dia juga bisa dengan baik menuntaskan perannya untuk tetap tinggal di panggung dan tampil sampai selesai tanpa ada yang mesti membujuk-bujuk. Melihat hal tersebut, saya cukup berharap artinya Mbarep sedikit demi sedikit mulai paham kapan saatnya dia boleh kabur dan kapan harus memenuhi "tugas"nya untuk ikut kegiatan berkelompok. Semoga, dengan bertumbuhnya kesadaran tersebut, lama kelamaan kesadaran Mbarep untuk bisa menempatkan diri juga bisa semakin berkembang. Karena menurut kami kemampuan ini salah satu yang akan sangat penting untuk dia kuasasi. 

Mbarep dan Rasa Bersalah

Entah apa sebabnya, atau nurun darimana, anak sulung kami ini takut sekali akan kesalahan. Kesalahan di sini bukan berbuat salah seperti melawan perintah terus takut dimarahi, tapi lebih ke menyampaikan hal yang salah atau keliru dalam menjalankan instruksi lalu sedih amat sangat saat dikoreksi. Seperti kepercayaan dirinya langsung hancur karena salah. Padahal dari kecil kalau dia menyampaikan hal yang salah, atau salah memahami instruksi, ya kami kasih tahu yang betulnya saja. Dikoreksi pelan-pelan tidak pernah dimarahi. Lha gimana manusia kan memang tempatnya khilaf dan salah πŸ˜‚ 

Saking dramanya kalau dikoreksi, Mbarep seperti punya mental block kalau diminta belajar. Padahal ya belajarnya juga sambil main-main saja. Kejadian yang paling sering, dia nangis-nangis kalau ditanya huruf dan angka. Karena sudah waktunya dia mulai tahu juga kan. Padahal nanyanya juga di kondisi santai, bukan seirus disuruh mengeja atau baca. Kalau tidak ditanya dia juga sudah hapal semuanya. Tapi nangis-nangisnya kayak disuruh mengerjakan soal Kalkulus III. Sampai kami bingung, ini bocah sebetulnya kenapa. Apa dia punya OCD atau mungkin sifat perfeksionis, atau jangan-jangan dulu waktu bayi pernah traumaπŸ˜… Misalnya usia 6 bulan di daycare-nya disuruh mengeja.

Dari cerita-cerita gurunya, di sekolah yang sering muncul sebagai manifestasi rasa takut pada kesalahan ini ada pada sikapnya menghadapi konflik dengan teman-teman. Memilih untuk kabur daripada menghadapi perasaannya sendiri. Seringkali dia kewalahan sampai harus khusus ditenangkan. Apa dia punya anxiety? atau salah satu dari kami tanpa sadar juga menampilkan sikap takut salah? Tak tahulah, semoga kedepannya kami bisa lebih paham mengenai hal ini.

Mbarep dan rasa bersalah ini masih jadi PR yang penting buat kami orang tuanya. Karena kami khawatir mental block yang ditunjukannya saat takut salah akan menghambat dia belajar mengenai hal apapun. Bukan hanya akademik. Tapi pada semua hal yang dia anggap tidak/belum dia kuasai. Padahal bagaimana bisa menguasai sesuatu kalau tidak pernah salah kan ya?

Jadi fokus kami sekarang adalah menumbuhkan kepercayaan dirinya untuk belajar hal-hal baru. Mungkin kalau dia tahu bahwa salah itu tidak masalah, perlahan-lahan dia bisa melepaskan ketakutannya pada hal tersebut.  

Gara-Gara Mr. Comprang Campreng

Satu hal yang menonjol, semenjak masuk sekolahnya, kemampuan imajinasi Mbarep semakin berkembang. Mungkin karena di sekolahnya pembelajaran juga banyak dilakukan melalui dongeng dan ajakan untuk berimajinasi. Masalah muncul karena Mbarep hobi sekali dengan semua hal berbau perang. Senjata, kendaraan perang, prajurit, dan sebagainya. Mainan kesukaannya adalah figur tentara-tentara plastik jadul. Hobinya membuat kastil dan benteng dengan mainan block. Channel yang dia tonton di Youtube biasanya juga tentang hal-hal tersebut (termasuk channel Mr. Comprang Campreng), walaupun tidak selalu. Permainan offline yang paling dia sukai adalah catur dan kartu Pokemon. Tentu saja karena ada strategi "perang"nya. Mbarep bahkan betah bermain sendiri selama berjam-jam hanya menggunakan kedua tangannya,  menciptakan skenario pertempuran. 

Karena saya tidak paham betul hobi anak laki-laki, saya menyerahkan pengawasan mengenai urusan perang ini kepada suami. Ayahnya Mbarep, yang juga hobi perang-perangan waktu kecil, menganggap kelakuan Mbarep masih wajar. Tak heran, karena saat zaman ayahnya kecil, hobinya juga berjam-jam berkutat dengan koleksi mainan GI Joe miliknya. Sehingga menurutnya, dia cukup paham tentang apa  yang membuat Mbarep tertarik pada topik perang dan pertempuran. Buah memang jatuh tak jauh dari pohonnya. Jadi selama masih dinilai age appropriate, ayahnya membiarkan Mbarep melakukan apa yang dia suka. 

Masalahnya, Mbarep dan ayahnya ternyata berbeda. Ayahnya, yang tidak punya imajinasi sekuat Mbarep dan cenderung penyendiri, tidak kepikiran untuk mengungkapkan hobinya soal perang di depan umum. Sementara Mbarep, yang suka tenggelam dalam pikirannya sendiri, sering tanpa sadar bermain perang-perangan di sekolah dan menunjukkan tindakan-tindakan yang bisa dianggap menjurus kepada kekerasan. Seperti memukul, mencekik, mencubit, dsb. Walaupun tidak parah tapi sempat menimbulkan beberapa konflik. Paling gawat ketika kelakuannya jadi ditiru anak-anak lain. Anak-anak lain yang tadinya tidak tahu sama sekali tentang perang, mulai ikut-ikutan tembak-tembakan πŸ™ˆ Bisa digeruduk emak-babe lain nih kita.

Saat sesi obrolan dengan gurunya dan psikolog, kami orang tuanya diminta untuk bekerja sama mengalihkan minat Mbarep ke hal lain. Hal yang wajar menurut kami ternyata tidak sesuai dengan nilai-nilai di sekolahnya. Mbarep dinilai terpapar hal yang tidak sesuai dengan umurnya. Utamanya kekerasan. Karena kami, tentu saja, tidak mau Mbarep jadi biang kerok kekacauan di kelas, apalagi kalau sampai kelakuannya mempengaruhi, mengganggu, atau menyakiti orang lain, kami putar otak mencoba menyelesaikan masalah ini. Berbagai hal kami lakukan. Mulai dari menyaring tontonan yang dianggap memantik ide berbau kekerasan, hingga mencoba mengarahkan konteks ketertarikannya terhadap perang ke hal-hal yang lebih positif seperti sejarah. Karena kalau sama sekali dilarang sepertinya tidak realistis juga. 

Hal utama yang kami mau lagi-lagi adalah Mbarep tahu menempatkan diri. Jadi fokus kami ada pada  memberikan pemahaman kepada Mbarep untuk memisahkan urusan main di sekolah dengan main di rumah. Tapi tentu saja dimanapun saat bermain, tidak boleh melakukan hal-hal yang menyakiti orang lain dan diri sendiri. Boleh main perang-perangan di rumah. Sementara itu, dengan teman-teman di sekolah, kami sampaikan sama sekali tidak boleh. Pilih mainan yang lain saja yang sesuai dengan aturan sekolah. Karena Mbarep juga harus tahu, dia harus mengikuti peraturan yang ada. Kami berharap dengan pemahaman ini, kalaupun memang minat dia terhadap perang tidak bisa dialihkan ke hal lain, dia mengerti kalau minat tersebut tidak boleh disalurkan sembarangan sesuka hati dia. Semoga kedepannya perlahan-lahan Mbarep bisa belajar mengendalikan diri di berbagai situasi dan hobinya mengenai perang bisa tersalur menjadi hal yang positif. 

Mbarep dan Kegiatan Ekstrakulikuler

Seperti kebanyakan orang tua lainnya, terkadang saya juga suka terkena sindrom FOMO kalau soal anak-anak. Inginnya mereka dapat pengalaman dan pengetahuan terbaik dan menyenangkan sebanyak mungkin. Dimanapun kapanpun. Semua kegiatan kalau bisa berbobot dan menambah wawasan. TAkan tetapi, karena sadar diri dengan faktor umur yang tak bisa menipuπŸ˜‚, berbagai kesibukan lain yang menyita perhatian, dan sisi introvert yang rasanya kok semakin lama semakin dominan, seringkali saya batal FOMO. Akhirnya mencoba berpegang pada prinsip nggak usah ngoyo. Semampunya saja. Termasuk soal kegiatan ekstrakulikuler Mbarep.

Mbarep ikut les robotik dari usia 4 tahun. Les robotik untuk anak segitu isinya tentu saja bukan coding, melainkan latihan menyusun lego. Menghitung lego yang diperlukan, memasang di posisi yang tepat, hingga terbangun bentuk sesuai contoh. Mbarep suka les tersebut dan betah menjalaninya. Saat pertama kali mengikutkan Mbarep di les ini, kami tentu sama sekali tidak berharap dia jadi jagoan menyusun lego. Kami cuma ingin dia punya suatu hal yang bersedia dia ikuti dengan tekun. Tidak perlu selalu jadi jago, tekun saja juga sudah susah. 

Buktinya, selama dia ikut les robotik, tidak terhitung teman sekelasnya berganti-ganti. Kebanyakan hanya bertahan beberapa kali pertemuan. Mungkin dianggap isinya kurang berbobot, karena yang dilakukan ya benar-benar menyusun lego ke dalam bentuk basic saja. Habis apa sih yang diharapkan dari anak 5 tahun yang ikut les lego? dalam satu pertemuan tiba-tiba bisa bikin figur kapal Titanic dari 0, gitukah?  Heuheu.

Semakin Mbarep besar, kami mulai memikirkan kegiatan ekstrakulikuler lain buat dia. Masukan dari sekolah adalah Mbarep kelebihan energi, jadi masih sulit fokus dan konsentrasi. Disarankan untuk ikut kegiatan ekstrakulikuler yang bisa melatih dia untuk mengendalikan energinya. Sesungguhnya mendengar hal ini yang langsung terpikir oleh saya sinetron China zaman baheula, semacam To Liong To dan Siluman Ular Putih, yang suka ada adegan mengumpulkan energi di telapak tangan lalu mentransfer energi tersebut ke orang lain via punggung (nah ketauan kan tuanya). Setelah berdiskusi dengan suami, kami putuskan Mbarep ikut olah raga. Ya iyalah, karena kalau ikut Kumon kan pasti bubar πŸ˜‚ 

Kalau soal olahraga, kami sepakat Mbarep harus bisa berenang. Kami berdua masing-masing les berenang cukup intens waktu kecil dan rasanya kemampuan tersebut berguna sekarang. Berguna buat berenang mengarungi samudera kehidupan. Halah. Mbarep sempat ikut les berenang beberapa kali di akhir tahun kemarin. Dia sepertinya cukup punya bakat berenang, jadi dalam beberapa pertemuan sudah bisa. Sayangnya karena jadwal berenang bentrok dengan jadwal robotik, dan karena banyak kejadian juga kegiatan lain di hari Sabtu, jadi sampai akhir tahun kemarin latihannya belum rutin. Di awal tahun ini, kami masih mencari jadwal dan kompromi yang pas agar Mbarep bisa les berenang dengan rutin. 

Pilihan kami untuk olah raga selain renang adalah gymnastic. Karena gymnastic, sama seperti renang, adalah olahraga yang kalem. Tidak meledak-ledak. Mungkin bisa membantu Mbarep mengendalikan energinya. Sayangnya tempat latihan yang bisa rutin ada di tengah kota. Sebenarnya tidak seberapa jauh dari rumah kami. Cuma sering macet. Apalagi jadwal latihannya di hari Minggu. Haha. Sungguh malespun

Kebetulan setelah mencari-cari saya menemukan ada tempat tempat les gymnastic yang menawarkan sesi latihan privat dengan pelatih datang ke rumah. Saya mencoba daftar untuk Mbarep. Pelatihnya masih muda. Statusnya selain mahasiswa tingkat akhir juga atlit daerah yang masih aktif bertanding. Sebetulnya Mbarep dan Ragil suka ikut latihannya. Sayangnya tidak bisa rutin karena pelatihnya sering berhalangan. Entah karena mengerjakan skripsi atau karantina persiapan lomba. Tapi tidak mengapa, karena Mbarep dan Ragil cukup enjoy, kami putuskan agar tetap ikut lesnya saja. Sekali sekali tidak masalah, untuk gerak badan.

Alternatif olah raga lain yang kami lirik adalah kung fu. Kebetulan ada 2 tempat latihan kung fu dekat rumah. Kami memang ingin Mbarep ikut bela diri. Selain ingin dia punya dasar-dasar bela diri yang baik dan benar, kami juga ingin gaya-gaya yang sering dia keluarkan saat main berantem bisa lebih terarah πŸ˜… Hobi main berantem-beranteman, sekalian sajalah. Haha. Sayangnya jadwal Kung Fu adanya di waktu jam kerja kami berdua, jadi masih jadi peer perihal antar jemputnya. Semoga tak lama ketemu jalannya supaya Mbarep bisa mencoba kung fu.

Opsi terbaru adalah ikut parkour. Apalagi kalau bukan karena Mbarep hobi lompat kesana kemari. Sampai sofa di rumah juga jadi korban. Jebol. Kebetulan pamannya menemukan tempat latihan parkour untuk anak-anak. Walaupun jadwalnya juga bentrok dengan robotik tapi sepertinya lebih simple daripada berenang. Jadi mungkin dalam waktu dekat akan kami coba ikutkan Mbarep ke sana. Semoga dia suka dan bisa membantu tumbuh kembangnya jadi lebih baik lagi. 

Bukan Anak Jenius

Tulisan ini niatnya dibuat selain untuk catatan sendiri juga untuk respon rapor sekolah Mbarep. Rapor sekolahnya berbeda dengan rapor sekolah lain. Bentuknya mirip makalah. Haha. Ditulis dengan mendetail dan disajikan sepenuh hati. Kami sadar ada banyak hal yang memang tidak kami pahami karena bukan ahli. Rapor yang terperinci sangat membantu dalam melengkapi pengetahuan kami mengenai anak kami sendiri. Begitu membaca rapor-nya, langsung muncul keinginan untuk membalas dengan tulisan yang sepenuh hati juga. Sayangnya berbagai kejadian membuat draft tulisan ini hampir terlupakan. Baru bisa diberikan sekarang. Semoga bisa jadi bahan bacaan juga untuk kakak-kakak guru. 

Membaca tulisan di rapor tersebut, kami semakin yakin bahwa Mbarep bukan anak jenius πŸ˜‚ Dia anak biasa-biasa saja dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Kadang bikin pusing tujuh keliling, tak jarang juga bikin ingin mengibarkan bendera putih. Tapi setelah dipikir-pikir, adanya Mbarep dan adiknya lebih banyak membuat kami bersyukur. Selain makin rajin istigfar. Haha. They're more than everything that we've could ever hope for. Apapun itu, anak-anak adalah hadiah istimewa bagi kami dari Allah SWT. Jadi kami berharap semoga kami bisa menyampaikan rasa terima kasih kami pada pemiliknya, dengan jalan membantu sebaik baiknya kemampuan, walaupun dalam segala keterbatasan, agar mereka bisa tumbuh dan berkembang menjadi versi terbaik dan paling bersinar dari diri mereka sendiri. Amin.
Read more ...