Saturday, May 20, 2023

Wing Wing Chicken Wings

Tentang Chicken Wings

Bicara soal makanan favorit, ada penganan yang secara berkala saya inginkan. Makanan itu adalah chicken wings atau sayap ayam berbumbu. Cemilan ini tanpa sadar saya dapuk sebagai comfort food nomor satu. Seru dimakan saat kumpul-kumpul dengan teman, tapi asyik juga dihabiskan sendiri sambil binge watching drama Korea.10 wings adalah porsi minimal buat saya. Kalau tidak ingat jarum timbangan yang makin condong ke kanan, 20 pun bisa saya habiskan sekali makan. Ide sayap ayam berbumbu konon dicetuskan pertama kali di Buffalo New York oleh seorang wanita pemilik bar bernama Teressa Bellisimo. Setelah mengalami replikasi, asimilasi, dan modifikasi, penganan ini menjadi salah satu cemilan paling populer di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, selain dijual di kedai penjual khusus chicken wings, menu ini juga hampir selalu bisa ditemukan di berbagai restoran dan cafe. Tentu saja dengan berbagai variasi rasa dan penyajian. Menjawab Tantangan Blogging Mamah Gajah bulan Mei, saya mengajak dua teman saya dari Geng Sambat lantai 4, untuk mengulas chicken wings dari berbagai kedai di Bandung. Selama 2+1 hari berturut-turut kami makan siang dengan chicken wings. Sungguh sangat berniat. Ini saya ceritakan hasilnya:

Bronson Wings



Diversifikasi merk dari kedai ayam geprek populer di Bandung, Bang Dava. Namanya cukup menjanjikan, tapi kenyataannya tidak sesuai harapan. Tepungnya benyek karena terkena saus. Ayamnya anyep tidak berasa. Resep sausnya cukup dipertanyakan. Varian BBQ menggunakan saus yang lebih mirip lada hitam di masakan cina. Sementara bubuk cabai di varian Nashville sungguh mengingatkan pada bubuk cabai micin di mie lidi yang dijual di depan SD. Mungkin lain kali harus coba varian yang berbalur sambal Indonesia. Siapa tau memang istimewa.

Moon Chicken by Hangry

Moon Chicken adalah merk chicken wings dari Hangry. Sebuah multi brand virtual restaurant. Tepungnya spesial dari campuran kanji dan terigu. Sepertinya dipikirkan betul agar tetap crunchy walaupun terkena saus. Daging ayamnya juicy dengan bumbu yang meresap sampai tulang. Varian originalnya unik karena ditaburi serbuk rumput laut yang gurih. Sementara varian gangjeong memiliki rasa manis dari karamelisasi saus gochujang dan cooking syrup khas Korea. Sepertinya mirip dengan yang dimasak Park Seo Jun dan BTS V di Jinny’s Kitchen. Dua teman saya menasbihkan Moon Chicken sebagai favorit mereka.

KFC Wingers

Tidak ada yang istimewa dengan KFC winger selain ukurannya yang lebih besar daripada wing lainnya. Daging ayamnya kering. Mungkin karena proses menggoreng yang lama. Varian original berbalut tepung crispy KFC tapi minus rasa spicy. Sementara bumbu varian BBQ malah terasa seperti bubuk jagung yang sering dipakai untuk taburan shake fries. Kurang seru untuk disajikan sebagai cemilan ririungan. Kecuali untuk makanan bocah.

Sky Wings


Punya ciri khas saus dari berbagai negara. Mulai Amerika, Italia, sampai Cina. Rasa setiap sausnya cukup sesuai dengan rasa saus di negara asalnya. Paling tidak, mirip seperti yang saya bayangkan. Lebih suka makan langsung di gerainya. Soalnya kalau order take out, sausnya dipisah. Mungkin takut ayamnya tidak kriuk lagi kalau terlalu lama tercampur saus. Makanya kalau terpaksa order online, lebih sering pesan varian creamy seperti tartar atau buttercream, yang memang lebih enak untuk dicocol daripada varian lain yang lebih enak kalau dibalur.

Wingstop


Berbeda arah dengan Sky Wings, Wingstop tidak mementingkan crunchiness, tapi lebih mengutamakan kekuatan rasa. Bumbu dan sausnya melimpah di setiap varian dan jelas perbedaan satu dengan lainnya. Varian hickory beraroma asap yang tajam dengan saus BBQ yang kuat, sementara asian spice, punya rasa manis dan pedas yang pekat. Lousiana terasa sekali aroma butternya dengan cayenne pepper dan garlic yang meresap dalam kulit. Menimbulkan sensasi meleleh saat digigit. Merk chicken wing favorit. Sayang harganya cukup membuat kantong bolong jadi jarang-jarang belinya.

Wingz o wingz


Merk lokal ini sepertinya yang paling populer terutama di kalangan mahasiswa. Mungkin karena harganya paling ramah di kantong dan gerainya nyaman buat stay lama. Potongan ayamnya lebih kecil dan rasanya buat saya tidak terlalu istimewa. Cukup on point untuk setiap variannya, tapi tentu tidak seakurat Wingstop yang memang asli luar negeri. Paling sering dibeli karena salah satu gerainya ada di dekat rumah.

New Orleans Chicken Wings dari Pizza Hut


Chicken wings klasik. Agak overprice tapi seringnya tetap dibeli kalau sedang ke Pizza Hut. Apalagi kalau ditraktir. Suka suudzon sebetulnya yang dijual adalah Fiesta Spicy Wings, karena rasanya mirip. Walaupun yang di Pizza Hut biasanya lebih juicy dan terasa orleans-nya. Mungkin karena yang di rumah seringnya digoreng pakai minyak jelantah bekas goreng ikan asin.

Fire wing dari Richeese Factory


Bertahan dengan konsep saus pedas berlevel 0-10. Selama ini hanya berani coba sampai level 2. Kurang menikmati makanan yang terlalu pedas apalagi yang sampai bikin bibir jontor dan mati rasa. Dulu merk ini sempat jadi favorit. Sering dibeli buat makan ramai-ramai saat kumpul dengan teman-teman. Tapi setelah bermunculan banyak merk lainnya, malah jadi dilupakan. Akhirnya kemarin beli lagi khusus buat ingat rasanya. Seingat saya, sausnya pedas manis. Tapi ternyata lebih dominan ke arah asam. Sudah lupa kalau pedas juga bisa berpadu dengan asam. Tak selalu harus dengan yang manis. Saus keju tambahannya buat saya tetap nggak penting, karena rasanya terlalu artifisial dan mengingatkan pada rasa plastik Lion Star. Sungguh random.

Wingstreet dari Pizza Hut


Selain New Orleans Chicken Wings, sekarang Pizza Hut juga menjual sayap ayam bertepung dengan merk Wingstreet. Baru sempat coba varian Honey Boom dan Butter Parmesan. Tampilannya sih meyakinkan, tapi ternyata bumbunya malu-malu banget. Tipis-tipis saja terasanya. Saya sampai lupa kalau pesannya rasa madu dan rasa butter. Padahal dua rasa itu biasanya cukup kuat di lidah. Sungguh kurang memorable. Sepertinya kalau ada yang menawari chicken wings dari Pizza Hut, saya bakalan stick dengan New Orleans saja.

Chicken Wings a la Chef Lee Yeon Bok

Gambar hanyalah ilustrasi

Tidak dijual dimana-mana. Saya catat resep dan triknya dari acara Take Good Care of My Fridge. Rasa tangy dari cuka, asin dari soy sauce, dan sedikit gula berpadu membuat rasa yang eksotik dan segar. Mirip kuah tahu gejrot. Sungguh out of the box. Waktu masih tinggal diluar sering masak resep ini. Sekarang sih sudah jarang sekali. Mungkin bisa dicoba buat alternatif saus kalau bosan dengan rasa yang biasa.
Siapa tau ada yang mau coba

Penutup

Begitulah review saya tentang beberapa Chicken Wings yang beredar di kota. Tentu masih ada banyak lagi Chicken Wings yang masih harus saya coba. Semoga ada rezekinya. Amin.



Read more ...

Thursday, April 13, 2023

Sehari Di Roma Masa Lampau

Anthony Doerr, penulis dari satu-satunya buku pemenang Pulitzer yang saya baca, All The Light We Can Not See, pernah menulis dalam judul bukunya yang lain:

Rome is a Metropolitan Museum of Art the size of Manhattan, no roof, no display cases, and half a milliom combustion engines rumbling in the hallways. - Four Seasons in Rome: On Twins, Insomnia, and the Biggest Funeral in the History of the World -
Buku fiksi terbaik untuk cerita sebuah kota (sumber: simonandschuster.com)

Pada musim panas 2015, saya berkesempatan mengunjungi Roma. Sesuai julukannya, The Eternal City, Roma memiliki peradaban dengan riwayat yang lebih panjang dari kebanyakan kota besar di dunia. Landmark bersejarah memenuhi ibu kota Italia ini. Dari yang sangat populer seperti Colosseum, Basilika Saint Peter, dan Pantheon, hingga yang random seperti air mancur yang bertebaran di berbagai sudut kota. 

Roma adalah kota dimana dunia lampau dan modern berbaur. Saksi bisu perkembangan perdaban manusia (Sumber: carrani.com

Sebelum saya pergi kesana, pengetahuan akan kebudayaan bangsa Romawi kebanyakan saya dapatkan dari buku fiksi seperti Pompeii Robert Harris, Angels and Demon - Dan Brown, komik tokoh dunia Elex Media, hingga komik Asterix dengan Julius Caesar sebagai tokoh antagonis di dalamnya. Jadi bisa dibilang pengetahuan saya agak sporadis.Walaupun begitu cerita-cerita di buku tersebut sukses membuat saya penasaran dengan Roma. Bahkan sampai datang dua kali ke sana.
Julius Caesar di Asterix. Bikin salah kaprah soal sejarah (sumber: thedailybeast.com)
 
Pada kunjungan pertama, empat hari penuh saya dan suami habiskan di kota tersebut. Mengunjungi berbagai landmark terkemuka. Dari berbagai tempat yang kami kunjungi, salah satu yang paling berkesan, dan paling underrated, adalah saat kami menjelajahi pusat kekaisaran Romawi kuno: Kawasan Palatine Hill, Roman Forum, dan Colosseum. 

Saya bilang underrated karena kebanyakan orang hanya masuk ke Colosseum atau bahkan hanya berfoto di depannya.Wajar karena Colosseum masih tegak berdiri dengan gagahnya sebagai salah satu keajaiban dunia. Sementara apa yang tersisa di Palatine Hills dan Roman Forum kebanyakan hanya berupa puing-puing belaka. Padahal disanalah kisah tentang salah satu kekaisaran terbesar dan terjaya tersebut bermula. Dari sebelum masehi hingga beberapa ratus tahun setelahnya.
  
Kala itu kami membeli tiket terusan VIP untuk masuk ke tiga tempat tersebut. The perks of being (unintentionally) childfree: bisa menghabiskan uang dan waktu untuk menjelajah yang ingin dijelajahi. Tadinya sih niatnya hanya supaya bisa skip antrian yang mengular, tapi karena suami ogah rugi setelah membayar tiket yang cukup mahal, sekitar 35 euro seorang, "terpaksa" kami menjelajahi kawasan historis itu seharian penuh. Ditengah-tengah heat wave Eropa 2015. Sungguh kalau ingat panas udara dan sinar matahari saat itu, saya jadi heran, kok bisa sekuat itu jalan seharian. Naik turun bukit dan lembah. Padahal di Bandung, mau ke ATM di gedung seberang saja harus pakai mobil. Jompo.

Tapi lumayan lah, karena panas-panasan waktu itu saya jadi bisa bragging cerita sedikit tentang sejarah Romawi. 

Untuk bisa lebih memahami cerita saya, mari gunakan bantuan situs Google Earth. Lumayan jalan-jalan virtual. Biar kebayang kondisi kota. Walaupun kalau internet lelet gambarnya jadi samar-samar.
Daerah yang ditandai warna merah ini luasnya sekitar 6 hektar. Seharian itu kami keliling disana, melihat puluhan situs bersejarah. Mencoba memahami sejarah yang terlalu penjang untuk ingatan kami yang pendek.

Colosseum

Perjalanan kami layaknya kebanyakan turis lainnya dimulai dari Colosseum. Colosseum adalah Amphiteater terbesar yang pernah dibangun manusia dan masih utuh sampai sekarang. Konon kapasitasnya mencapai 80.000 orang. Mengingat arsitektur ini berdiri sejak tahun puluhan masehi, tak salah didapuk jadi salah satu keajaiban dunia.

Buat saya, ketika mendengar tentang Colosseum, pasti langsung mengaitkannya dengan Julius Caesar. Satu-satunya tokoh Romawi yang saya kenal. Gara-gara komik Asterix tentu saja. Padahal pencetus kekaisaran Romawi itu tidak pernah sekalipun menginjakkan kaki di Colosseum. Karena Colosseum baru dibangun puluhan tahun setelah pembunuhan diktator tersebut. 

Anyway, walaupun paling terkenal, Colosseum sejatinya "hanyalah" tempat hiburan. Sejarah yang sebenarnya ada di kawasan sekelilingnya
.
Colosseum didirikan oleh Kaisar Vespasian di atas Stagnum Neronis atau danau buatan yang dibangun oleh pendahulunya, Kaisar Nero. Prinsip orang Romawi ini memang sedikit banyak seperti judul salah satu lagu hits Noah (Peterpan) "Menghapus Jejakmu". Setiap terjadi perebutan kekuasaan, peninggalan kaisar terdahulu yang "berseberangan" sebisa mungkin dihancurkan, diganti dengan struktur baru (sumber: robbreport.com)

Palatine Hill

Bukit ini adalah salah satu dari 7 bukit yang ada di Roma. Paling termahsyur karena sejarah dan mitos yang melekat disana. Palatine Hill dipercaya sebagai lokasi gua tempat dimana Romulus, pendiri kota Roma, dan saudara kembarnya Romus, ditemukan dan diasuh oleh Lupa (namanya memang Lupa, bukan karena saya lupa), seorang manusia serigala.

Sejak zaman dulu kala, Palatine Hill atau dalam bahasa Itali disebut Colle Palatino, merupakan kawasan elite. Sebelum masa kekaisaran, bukit tersebut berisi rumah para crazy rich Roman. Lalu mulai masa kekaisaran pertama, Augustus, di kawasan ini mulai dirikan kompleks istana. Selain karena elite sejak semula, lokasinya memang paling strategis untuk melihat seluruh kota Roma. Kata palatine sendiri merupakan akar kata dari palace. Istana.



Kami masuk kawasan Palatine Hill dari gerbang yang ada di depan Circus Maximus. Sebuah arena balap kereta kuda. Dari sana kami menjelajahi satu persatu reruntuhan bangunan di kawasan kuno ini: domus (tempat tinggal), kuil, kebun, taman, tempat mandi, gelanggang olahraga, dan sebagainya. Ada yang cukup utuh, ada yang benar-benar hanya tinggal tumpukan batu.

Suami yang rajin, membaca satu persatu semua penanda, penjelasan, prasasti, dan peta. Sementara isterinya, yang pemalas, menyerah setiap kali membaca kalimat pertama, lalu sibuk mencari bayangan pepohonan buat berteduh. Pantas dia dulu lulus dengan predikat cum laude sementara saya kemelud. Tapi percayalah, sejarah + panas bukan kombinasi yang baik untuk otak. 

Roman Forum

Landmark terakhir yang kami kunjungi di kawasan ini adalah Forum Romanum (Roman Forum). Piazza (alun-alun) di sebuah lembah yang menjadi jantung kehidupan Romawi kuno. Sesuai namanya, tempat ini merupakan lokasi bangsa Romawi mengadakan berbagai forum atau pertemuan sosial, politik dan keagamaan. 
Pemandangan Roman Forum dari Palatine Hill. Diambil dari Terraza Belvedere Del Palatino. Dari teras ini bisa dilihat pemandangan Colosseum, Capitoline Hill (yang dipercaya sebagai tempat pertemuan para dewa), dan monumen nasional Victor Emanuelle II.

Pemandangan Palatine Hill dan Roman Forum dari Via Dei Fori Imperiali (jalan utama di kota Roma yang menghubungkan Piazza Venezia dengan Colosseum). Pemandangan ini adalah salah satu kesukaan saya. Kalau bukan karena suara kendaraan bermotor, pasti tidak mengira kalau tempat ini ada di tengah sebuah kota metropolitan.

Di wilayah seluas 2 hektar ini berdiri berbagai situs: tempat pertemuan, gedung pemerintahan, kuil pemujaan, monumen kemenangan, juga patung-patung para tokoh Romawi ternama. Setelah ratusan tahun menjadi pusat kegiatan bangsa Romawi, Roman Forum mulai ditinggalkan saat ibu kota kekaisaran Romawi dipindahkan ke Constatinople pada tahun 330 Masehi. 

Salah satu situs yang menarik di Roman Forum adalah sisa-sisa makam Julius Caesar. Cukup humble dibandingkan makam tokoh-tokoh terkenal lain yang pernah saya lihat.
 
Katanya sunrise di Roman Forum sangat cantik. Tapi berhubung saat kami kesana sedang summer, tentu kami tidak berminat pergi jam 3 pagi hanya untuk melihat sunrise.

Paling memorable buat saya dari Roman Forum adalah saat menyusuri Via Sacra. Jalanan utama Romawi kuno, yang membentang dari Capitoline Hill, membelah Roman Forum, hingga Colosseum. Rute wajib dilalui saat perayaan setiap kali tentara Romawi pulang membawa kemenangan. Jalur yang persis sama dengan yang dilalui orang-orang yang hidup 2000 tahun lalu. Bahkan Julius Caesar dan Augustinus. How cool is that?

Via Sacre di tengah Roman Forum

Tulisan ini dibuat untuk memenuhi Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan April tentang Landmark Kota (Dalam/Luar Negeri) yang sudah/ingin dikunjungi.




Read more ...

Friday, March 24, 2023

Ramadan 1444 Day 2: Godaan Puasa

Waktu kami tinggal di Jerman, bulan Ramadan selalu jatuh di musim panas. Lumayan. Puasa dari jam 2 malam sampai 10 malam lagi. Pasrah saja puasa segitu lamanya. Ya mau gimana lagi? Hehe. 

Durasi puasa paling lama yang pernah saya alami adalah saat berkunjung ke Swedia. Buka jam 11 malam, mulai puasa lagi jam 1 malam. Waktu itu saya kurang persiapan, alhasil jam 2 malam sempat kram kaki karena kurang minum. 

Cuma herannya waktu itu kok ya kuat-kuat saja ya puasa segitu lamanya. Nggak sampai pingsan apa gimana. Iman juga rasanya lebih kuat menghadapi godaan puasa. Mungkin didorong keinginan untuk membuktikan diri kalau saya bisa bertahan.

Ngomong-ngomong soal godaan puasa, waktu di Jerman saya pernah  menghadapi situasi dimana saya benar-benar merasa menang saat waktu berbuka puasa tiba. 

Jadi ceritanya waktu di sana, saat Ramadan, saya sempat kerja part time di sebuah convention center. Bulan Ramadan kala itu jatuh di sekitar bulan Juli. Bertepatan dengan puncak musim panas di Eropa. 

Suatu hari saya kebagian shift jaga selama 6 jam di sebuah hall, dimana sedang diselenggarakan semacam gathering perusahaan. Ada sekitar 500 orang yang hadir. Acara utamanya adalah makan dan minum-minum. Tugas saya disana mengambil piring dan gelas kotor lalu membawanya ke tempat cuci. Hari itu saya ingat bertepatan dengan awal heatwave yang melanda Eropa tahun 2015. Angin berhenti bergerak dan matahari bersinar tajam. Udara kering dan terasa sangat panas. 

Sungguh suatu godaan berat melihat orang-orang menenggak minuman dingin di tengah udara panas. Padahal mereka nggak pakai gaya minum kayak orang-orang di iklan. Minum biasa saja gitu. Cuma kok ya bulir-bulir embun yang menetes di pinggir gelas jadi jelas sekali di mata. Belum lagi suara dentingan es beradu dan "oh ah" orang yang meneguk minuman jadi merdu sekali di telinga. Sungguh minuman dingin tak pernah sebegitunya terasa menggoda.

Belum pernah saya mengalami pertempuran dengan nafsu sedahsyat itu. Haha. Saya dan teman saya yang sesama orang Indonesia sampai harus saling menguatkan diri untuk tidak kabur atau mengambil minuman buat ditenggak juga. Beberapa kali kami gantian ke toilet buat membasuh muka. Sekalian wudhu biar kuat iman.

Padahal setan sedang diikat. Tapi ternyata nafsu diri sendiri lebih kuat. Alhamdulillah saya dan teman saya berhasil memenangi pertempuran. Hari itu kami pulang kerja dengan puasa yang masih berjalan baik.

Hari itu sepulang kerja saya langsung beli minuman soda. Beberapa botol sekaligus. Sampai suami bingung. Padahal waktu buka puasa tiba, sekitar 4 jam setelahnya, liat botol soda juga sudah males, apalagi minum isinya. Soalnya buka puasa jam 10 malam nafsu makan juga sudah hilang karena kelamaan. Haha. 

Tapi hari itu saya tak bisa menahan diri untuk merasa bangga karena berhasil menang melawan godaan puasa yang cukup berbahaya XD
Read more ...

Thursday, March 23, 2023

Ramadan 1444 Day 1: Sekilo Sayur Sehari

Sudah pernah saya ceritakan sebelumnya kalau saya sedang menjalankan perubahan diet. Dari tidak terpola menjadi berpola. Adapun jenis polanya, mau polkadot, garis-garis, atau bunga-bunga, tentu tak penting. Hal yang ingin saya bahas adalah bagaimana tubuh saya dalam 3 bulan ini cukup berubah, ke arah yang lebih baik. Semoga.

Tujuan saya mengikuti pola diet tertentu adalah supaya sehat. Karena setahun kemarin saya merasa badan saya sudah tidak karuan. Secara estetika masih bisa diakali dengan pakaian, tapi secara kesehatan, tidak banyak yang bisa dilakukan untuk membuatnya bugar, kecuali membenarkan yang tidak benar.

Maka dari itu dari menjalankan diet ini, turun berat badan dan tampilan yang lebih menarik hanyalah bonus. Walapun tentu akan sangat menyenangkan bisa browsing baju di olshop tanpa embel-embel istilah jumbo atau deretan X sebelum L. Syukur-syukur bisa rubah huruf.

Tulang saya besar. Perawakan saya bongsor. Keuntungan punya badan seperti itu, saat berat badan saya bertambah, jauh melebihi idealnya, saya tidak nampak seperti orang obesitas. Hanya besar saja. Besar banget. Makanya orang sering kaget kalau saya kasih tau berat saya. Karena saya tidak terlihat seberat itu. Cuma besar saja.

Sekarang setelah berat saya turun beberapa kilo juga tidak ada yang sadar dengan perubahan badan saya. Tidak ada yang bilang saya kurusan (so sad haha). Hanya celana yang cukup longgar saja yang bisa meyakinkan saya kalau memang ada suatu perubahan.

Hal yang bisa saya katakan dari perjalanan diet saya selama 3 bulan ini adalah: makan banyak sayur memang efeknya luar biasa. Ini salah satu teori yang saya buktikan sendiri kebenarannya.


Pola diet saya, mengharuskan saya menghabiskan 750 gram - 900 gram sayur (+ buah) perhari atau minimal 250 gram sekali makan.

Jumlahnya sebanyak itu karena faktor berat badan saya juga sih. Kalau beratnya jauh dibawah saya kayaknya nggak perlu sebanyak itu juga sayurnya. Tapi jangan tanya saya gimana ngitung kebutuhan sayur ya. Wong saya hanya ngikutin kata dokter saya yang memang sengaja ambil spesialis soal gizi plus kuliah sampai S3 juga. Apalah saya berani membantah.

Apalagi bantahnya modal baca caption IG doang.

Hal pertama yang saya rasakan setelah makan banyak sayur adalah, saya tidak lagi emosian. Selain itu, saya juga jadi lebih bisa fokus dalam waktu lama. Walaupun tetap deadliner. Bawaan orok itu sih XD

Selain makan lebih banyak sayur, sekarang jadi lebih milih makan ikan juga. Soalnya entah kenapa habis makan ikan memang rasanya lebih enteng di perut. Dari dulu saya suka ikan sih, cuma lebih sering makan daging karena ya...lebih enak saja.

Badan memang nggak lantas secepat itu jadi kurus atau enteng. Tapi kepala rasanya jadi lebih jernih. Pegal-pegal badan juga hilang. Encok pegel linu itu lho, pergi entah kemana. Padahal sebelumnya bawaannya pengen pijet aja terus dengan alasan nggak enak body.

Hal yang lebih buat heran lagi, setelah 3 bulan memilih lebih banyak makan sayur, sekarang kok jadi nggak nafsu lagi lihat gorengan, tetepungan, atau junk food. Padahal dulu hobi banget. Haha.

Ke restauran sekarang seringnya pilih menu salad. Plus cuma satu macem aja. Beberapa kali pernah melanggar larangan dokter. Nekad pesan side dish goreng-gorengan atau tetepungan lain yang sebelumnya bisa seipiring dihabiskan sendiri sekali makan. Eh badan kok ya langsung jadi terasa nggak enak. Memang betul kata Ade Rai, kalau tepung adalah makanan paling tidak baik untuk tubuh. Buat alasannya lihat sendiri you tube beliau ya.

Sekarang saya juga berteman akrab dengan timbangan. Setiap mau makan seringnya ditimbang dulu. Kalau makan diluar sih ya nggak. Dikira-kira saja. Makanya sekarang saya prefer kalau pergi keluar sudah ngabisin sayur dulu di rumah, atau pilih menu salad.dan lalapan, atau kalau darurat harus makan di tempat yang nggak ada menu sayur sama sekali, ya sudah terima nasib saja. Nggak usah ngoyo haha. 

Memang segitunya atau sugesti belaka? Tak tahulah. Kita teruskan saja mumpung sudah biasa. Semoga berguna.

Lauk di rumah jadi kebanyakan sayur. Saya yang habisin, soalnya penghuni rumah lainnya nggak segitunya sama sayur XD. Kalau sudah begini saya cukup bersyukur sanggup makan dalam porsi banyak. Soalnya 250 gram sayur sekali makan itu banyak lho. Haha. 

Read more ...

Monday, March 20, 2023

Nostalgia Life Hack Warisan Budaya

Tentang Life Hack Kenangan

Gara-gara tema Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini, saya jadi bernostalgia. Mengenang kembali life hack yang lazim dilakukan oleh banyak orang waktu saya kecil. Beberapa sepertinya masih dilakukan sampai sekarang. Mungkin sedikit beda metode saja. Tapi intinya masih sama. 

Yuk mari sama-sama bernostalgia!

1. Blonyokan Bawang

Waktu saya kecil, setiap kali saya demam, pasti saya akan diblonyoki bawang. Mungkin istilah yang sepadan dengan kata diblonyoki ini adalah dibaluri. Irisan tipis bawang merah (dan kadang bawang putih) yang dicampur dengan minyak dibalurkan ke sekujur tubuh anak yang demam. Jangan lupa seprei dialasi perlak kotak-kotak biar minyak tidak lengket kemana-mana. 

Sumber: detik.com

Kalau dipikir sekarang, metode ini mirip seperti persiapan membuat ayam geprek. Cuma minus cengek. Apalagi saya ingat, seringnya minyak yang digunakan sebagai campuran olesan adalah minyak goreng kelapa sawit. Iyes minyak yang sama dengan yang dipakai untuk menumis dan menggoreng. Entah apa yang dipikirkan orang tua masa itu. Mungkin mereka beranggapan semua minyak sama.

Tapi bukan tanpa alasan life hack ini populer pada masa itu. Konon bawang-bawangan, terutama bawang merah, mengandung zat flavonoid dan saponin. Kandungan flavonoid berkhasiat sebagai anti radang dan anti bakteri, sedangkan kandungan saponin berkhasiat sebagai ekspektoran (pengencer dahak). Cocoklah ya buat penyakit favorit bocah: pilek, batuk, dan demam. 

Mungkin nenek moyang kita tidak paham istilah-istilah ilmiah diatas, tapi mereka sudah tau duluan kalau bawang-bawangan ini berkhasiat. Seingat saya, di keluarga kami, bawang merah sendiri, selain dibalurkan, juga kadang digunakan untuk kerokan anak-anak. Child-friendly kerokan, istilah kekiniannya.

Saya sendiri pernah mengaplikasikan blonyokan bawang pada anak pertama saya. Tapi sekali coba kapok, karena lengket kemana-mana. Mendingan kita pakai parasetamol saja deh 😪

2. Beras Sang Bulir Ajaib

Selain sebagai makanan utama penduduk Indonesia, beras juga bisa digunakan untuk banyak hal diluar fungsi utamanya. Salah satu yang mungkin masih relevan dipakai sampai sekarang adalah untuk menyelamatkan barang elektronik yang tercemplung ke air. 

Kalau menurut penjelasan ilmiahnya, bulir beras konon bersifat hygroscopic atau mudah menyerap kelembaban. Jadi kalau ada benda basah yang dipendam dalam tumpukan beras, biasanya jadi kembali kering sampai ke sudut-sudutnya. Akan tetapi, secanggih-canggihnya daya serap beras, saya bersyukur hanya pernah sekali menggunakan life hack ini. Waktu handphone saya terjun bebas ke sebuah genangan air karena terlalu rusuh mengejar bocah. Tampilan layarnya sempat error, tapi saya pendam di beras semalaman, besoknya kembali normal. Ajaib memang. Walaupun gagal bikin saya punya alasan minta dibelikan handphone baru.

Sumber: kompas.com

Saking patennya life hack ini, setiap kali ada benda elektronik yang kebasahan, dispenser/karung/tempat penyimpanan beras, adalah hal pertama yang dicari orang. Untung saja, orang-orang yang pakai life hack ini masih cukup rasional untuk menggunakannya hanya pada barang elektronik berukuran kecil saja. Walaupun tentu saja akan sangat tik tok worthy kalau misalnya setelah musibah banjir, orang-orang berbondong-bondong datang ke gudang BULOG untuk menitipkan barang-barang elektronik mereka ke gudang beras agar cepat kering.

3. Uang Koin Legendaris

Sumber: cnbc.com

Generasi milenial dan sebelumnya pasti tahu uang koin Rp. 100 dengan gambar rumah gadang dan gunungan wayang. Uang koin yang beredar tahun 70-an hingga 90-an tersebut, terbuat dari logam betulan sehingga memang layak disebut sebagai uang logam. Tidak seperti uang koin pecahan kecil yang beredar sekarang, yang lebih mirip plastik. Kalah jauh tampilannya, bahkan dengan koin Timezone. Kurang mbejaji kalau kata orang jawa. Uang logam kok super enteng dan gampang penyok. Sampai kayaknya buat toss saja tidak bisa. Keburu ketiup angin.

Karena teksturnya yang pageuh dan ukurannya yang pas di tangan, logam Rp.100 legendaris tersebut banyak digunakan dalam life hack tahun 90-an. Seperti untuk kerokan versi advance, alat penggosok voucher atau magic book jadul, pola jiplak buat bikin uang mainan, dan yang paling epik, sebagai pengganti pinset untuk cabut jenggot. Pemandangan yang sekarang sudah sangat langka ini dulu biasa ditemukan pada supir angkot yang sedang ngetem. 

Saya pertama kali melihat fenomena ini di Bandung. Sungguh suatu culture shock buat saya yang di Semarang selalu naik bis DAMRI. Dimana supirnya selalu pakai seragam dan jarang sekali ngetem, apalagi sampai punya waktu nyabutin jenggot di tempat umum. 

4. Pasta Gigi si Obat Serbaguna

Baru ngeh kalau pasta gigi di Indonesia dikenal sebagai odel karena merk pasta gigi zaman belanda. Sumber: ppid.serangkota.go.id 

Ada perdebatan antara saya dan suami ketika membahas life hack tentang pasta gigi atau odol ini. Menurut dia, yang dia tahu, orang suka mengoleskan odol jika kepala benjol karena benturan. Sementara saya, ingatnya odol sering digunakan sebagai obat saat terkena luka bakar. Apapun itu, sepertinya sensasi dinginnya lah yang menyebabkan odol dipercaya sebagai obat pereda sakit, entah karena benjol atau terbakar. Tak peduli merknya walaupun paling terkenal dan sering digunakan tetap Pepsodent original.

Sampai beberapa bulan lalu, ketika saya tak sengaja memegang panci panas, bibi di rumah masih ribut minta saya segera mengoles odol ke tangan. Jadi nampaknya kepercayaan itu masih berlanjut sampai sekarang. Karenanya, sayapun  tidak akan heran kalau di suatu tempat di Indonesia ada odol sampai masuk ke kotak P3K.

Ngomong-ngomong kalau life hack odol ini juga ada di Korea, mungkin drama The Glory bisa jadi lebih epik lagi. Karena bisa jadi ada adegan tokoh utamanya memikirkan cara balas dendam, sambil gosok-gosok odol ke seluruh badan penuh luka bakar karena catokan rambut. Lumayan sekalian iklan walaupun salah sasaran.

5. Siklus Hidup Singlet 

Kaos dalam pria, atau disebut singlet, kebanyakan terbuat dari bahan yang lembut dan mudah menyerap air. Hal ini membuat siklus hidup singlet pria, bisa jadi lebih panjang dari koleganya, bra atau kutang. Karena kaos dalam bisa berubah fungsi jadi banyak hal saat sudah tidak layak jadi dalaman. Sebut saja: lap andalan, keset, saringan di ujung selang, penyumpal lubang-lubang, lapisan gagang apapun (biasanya cangkul), perangkap nyamuk, bahkan kalau perlu, bisa dikibarkan sebagai bendera putih tanda menyerah. Sementara kutang, karena bentuknya yang spesifik, kemungkinan hanya akan berakhir dibuang setelah tidak bisa digunakan. Karena semua orang tau itu kutang. Bahkan dari kejauhan.

(Nggak pakai gambar, caption saja. Soalnya di Google, gambar singlet-nya pakai model semua. Kan malu pajang foto orang bersinglet doang😆. Tapi kebayanglah ya singlet babah-babah kayak apa)

Sungguh life hack yang satu ini patut jadi warisan yang dilestarikan sampai tujuh turunan. Sangat ekonomis dan ramah lingkungan, walaupun mungkin kurang 5 minutes craft-able.

Penutup

Sebetulnya masih ada beberapa life hack\ nostalgia yang ingin saya bagikan. Seperti mengikat jempol dengan benang saat anyang-anyangan. Tapi sayangnya tulisan ini terbatas 1000 kata saja. Jadi kita sudahi saja lah ya.

Adakah yang punya life hack nostalgia yang sama dengan saya? Atau adakah yang tau lainnya? :)


Read more ...

Monday, February 20, 2023

Mencoba Buku Self Help

Mencari Pertolongan

Sebetulnya saya tidak begitu tertarik dengan buku-buku self help. Buat saya, untuk buku non fiksi, lebih menarik baca buku biografi atau antologi seperti seri Chicken Soup for The Soul. Soalnya saya lebih suka dengar cerita orang daripada digurui begini begitu (ups).

Tapi beberapa waktu lalu, ketika saya merasa mentok menghadapi bocah-bocah di rumah, saya coba-coba cari insight dari buku self help. Soalnya saya perlu sesuatu yang praktikal. Bisa dicoba saat itu juga dan tidak ribet. 

Sebetulnya berbagai tips parenting banyak bertebaran di media sosial. Bisa langsung dipraktikan juga kalau berniat. Tapi karena format sosial media singkat, kebanyakan isinya cuma pointer atau kata-kata bijak saja. Harus diinterpretasikan dulu, diambil hikmahnya baru dipraktikkan. Kalau mau lengkap biasanya diarahkan ikut kelas. Nah, karena saya merasa perlu step to step, tapi malas ikut kelas, saya pilih baca buku saja.

Akhirnya setelah cari-cari, pilihan saya jatuh pada buku berjudul : "How To Talk So Little Kids Will Listen (A Survival Guide To Life With Kids Age 5-7)" karangan Joana Faber dan Julie King. Saya pilih buku ini karena merasa cara komunikasi saya dengan anak-anak, yang dua-duanya berusia dini, masih kurang tepat. Buku ini saya beli dalam format Kindle. Untung Kindle saya masih nyala walaupun sudah 2 tahun dianggurin. Hiks.  

Sebelum beli, saya download sample-nya. Sekilas isinya cukup to the point. Sebagian besar adalah contoh kasus dan anekdot. Bentuk tulisannya juga cukup unik, seperti manuskrip workshop/seminar. Jadi ketika membaca rasanya ya seperti sedang ikut acaranya.

Tentang Buku "How To Talk So Little Kids Will Listen" 


Saya menghabiskan buku ini dalam waktu seminggu. Cukup singkat mengingat buku lain biasanya baru selesai berbulan-bulan kemudian. Terdiri dari 2 bagian, bagian pertama buku ini menjelaskan mengenai tools yang digunakan untuk bicara kepada anak, sementara bagian duanya adalah tentang contoh penggunaan tools tersebut dalam kasus-kasus yang umum dihadapi orang tua anak usia 5-7 tahun. 

Setelah selesai baca bukunya, saya menyimpulkan kalau isi buku ini ya... begitu-begitu saja. Haha. Seperti banyak quote-quote parenting yang beredar di dunia maya. Cuma bedanya disini penjelasan setiap aksi runut dan lengkap. Tidak terlalu banyak teori dan gimmick, apalagi ancaman. Contoh kasusnya juga cukup relatable buat orang tua biasa-biasa saja macam saya. 

Si penulis menggambarkan "berbicara dengan anak" sebagai battle sementara tools yang digunakan dianggap sebagai adalah alat perang. Cocoklah sama pemikiran saya. Inti dari tools yang dipakai adalah menempatkan diri di posisi anak. "Kalau lo nggak mau digituin, jangan gitu sama orang", itu kalau kata orang betawi. Empati, empowering, problem solving, habladi hablada same old stuff lah.
Di akhir setiap bab ada semacam komik. Disarankan untuk dicetak dan ditempel ke dinding sebagai pengingat.

Waktu baca contoh-contohnya, dengan optimis saya langsung tertarik ingin mencoba. Soalnya kayaknya gampang. Akhirnya semingguan kemarin, setiap kali selesai baca 1 bab, saya langsung praktik. Sampai suami saya bingung. Soalnya saya mendadak jadi lebih mau ngeladenin anak-anak kalau sedang pada pikasebeleun. Biasanya cuma 5 menit tanduknya langsung keluar. Sama-sama tantrum kayak anaknya. 

Cerita Praktik Self Help

Tapi bukan berarti buku ini juga langsung jadi penyelamat saya ya. Namanya juga coba-coba. Ada berhasil ada gagal. Ini saya ceritakan beberapa pengalaman saya mempraktikan apa yang disampaikan di buku ini. Cukup efektif walaupun terkadang agak salah kaprah:

Mbarep Menolak Belajar Baca

Kami tidak memaksa anak sulung kami, Mbarep, bisa baca di umurnya yang sekarang. Cuma kadang dia penasaran dengan deretan huruf yang dilihatnya. Kalau sudah begitu kami suruh dia mencoba buat baca tulisan tersebut. Masalahnya, hal ini seringkali berakhir dengan Mbarep nangis-nangis, karena  kesal sendiri nggak bisa-bisa dan memilih untuk kabur sebelum selesai mencoba.

Suatu hari setelah baca tentang tools problem solving, saya langsung mencoba praktik dengan Mbarep. Harapannya tentu saja, Mbarep bisa menemukan ide untuk memecahkan masalah dia sendiri soal mencoba baca.
Step By Step nya sudah jelas. Kenyataan di lapangan belum tentu seindah bayangan (1).

Saya: "Mas, kenapa kamu kalau disuruh baca selalu marah-marah?"
Mbarep: "Soalnya aku nggak suka baca tulisan yang lebih dari 4 huruf"
Saya: "Ooh, susah ya?"
Mbarep: "Iya otak aku tuh muter-muter kalau baca tulisan yang panjang"
Saya: "Bingung maksudnya?"
Mbarep:" Iya... kenapa sih tulisan itu harus ada yang panjang-panjang? Kenapa nggak 4 huruf aja semua?"
Saya: "Ya kata-kata kan banyak yang kalau ditulis perlu lebih dari 4 huruf. Kalau ditulis cuma 4 huruf aja jadi nggak lengkap. Misalnya kamu mau bilang -burung kakak tua hinggap di jendela-, tapi yang ditulis cuma -buru kaka tua hing di jend-, kan jadi bingung
 ya?"
Mbarep: ...
Saya: "Nah, jadi menurut kamu gimana caranya supaya kamu nggak marah-marah kalau disuruh baca?"
Mbarep: "Aku tau! kalau ada tulisan, aku pura-pura nggak lihat aja, kan aku nggak disuruh baca jadi nggak usah marah-marah!"

Ide brilian Mas!kenapa Ibu nggak kepikiran ya?!

Ragil Tidak Berminat Ke Kamar Mandi

Anak bungsu saya, Ragil, hobi banget nahan buang air. Baik kecil maupun besar. Buang air kecil sih nggak begitu masalah, jagoan dia kalau soal itu. Hal yang jadi masalah adalah kalau dia mau BAB. Udah macam orang mau lahiran. Nunggu bukaan lengkap dulu di pojok ruangan, baru setelahnya terbirit birit lari ke kamar mandi. Cuma kan laju kecepatan jatuhnya kotoran seringnya tidak sebanding dengan kecepatan lari dia, jadi kecelakaan kadang tak terelakkan. 

Mumpung habis baca bab tentang be playful, langsung saya praktikkan saat Ragil nampak kebelet. Harapannya dia dengan sukarela mau duduk di toilet menunggu panggilan alam daripada jongkok di pinggir ruang makan. 
Step By Step nya sudah jelas. Kenyataan di lapangan belum tentu seindah bayangan (2).

Saya: " Adek Sakit perut?"
Ragil: "Enggak", muka tegang.
Saya: "Eh, kayaknya ada monster e*k di perut kamu mau keluar. Ayo cepet kita ke kamar mandi, supaya monsternya nggak keluar duluan. Kan ngeri". Ragil menatap saya.
Ragil: "Ibu...masa di perut aku ada monster? Monster kan nggak ada. E*k itu kan kotoran. Asalnya dari makanan. Bukan monster tau! Ibu ini ngarang-ngarang aja."

Ya deh, sak karepmu dek!

Penutup

Jadi bagaimana, apakah buku self help pertama yang saya baca cukup membantu? Ya lumayanlah. Buku ini jadi salah satu pegangan saya untuk menghadapi anak-anak. Paling tidak kalau saya bingung, ada sesuatu yang bisa dicoba, walaupun harus buka Kindle dulu dan cari chapter yang tepat. Mungkin harus lebih sering latihan saja biar lama-lama hapal tekniknya.

Tulisan ini dibuat untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Bulan Februari 2023 dengan Tema Buku yang Berpengaruh.

Read more ...