Friday, March 24, 2023
Ramadan 1444 Day 2: Godaan Puasa
Thursday, March 23, 2023
Ramadan 1444 Day 1: Sekilo Sayur Sehari
Maka dari itu dari menjalankan diet ini, turun berat badan dan tampilan yang lebih menarik hanyalah bonus. Walapun tentu akan sangat menyenangkan bisa browsing baju di olshop tanpa embel-embel istilah jumbo atau deretan X sebelum L. Syukur-syukur bisa rubah huruf.
Monday, March 20, 2023
Nostalgia Life Hack Warisan Budaya
Tentang Life Hack Kenangan
Gara-gara tema Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini, saya jadi bernostalgia. Mengenang kembali life hack yang lazim dilakukan oleh banyak orang waktu saya kecil. Beberapa sepertinya masih dilakukan sampai sekarang. Mungkin sedikit beda metode saja. Tapi intinya masih sama.1. Blonyokan Bawang
2. Beras Sang Bulir Ajaib
3. Uang Koin Legendaris
4. Pasta Gigi si Obat Serbaguna
5. Siklus Hidup Singlet
Sungguh life hack yang satu ini patut jadi warisan yang dilestarikan sampai tujuh turunan. Sangat ekonomis dan ramah lingkungan, walaupun mungkin kurang 5 minutes craft-able.
Penutup
Monday, February 20, 2023
Mencoba Buku Self Help
Mencari Pertolongan
Tentang Buku "How To Talk So Little Kids Will Listen"
Cerita Praktik Self Help
Mbarep Menolak Belajar Baca
Suatu hari setelah baca tentang tools problem solving, saya langsung mencoba praktik dengan Mbarep. Harapannya tentu saja, Mbarep bisa menemukan ide untuk memecahkan masalah dia sendiri soal mencoba baca.
Saya: "Mas, kenapa kamu kalau disuruh baca selalu marah-marah?"
Mbarep: "Soalnya aku nggak suka baca tulisan yang lebih dari 4 huruf"
Saya: "Ooh, susah ya?"
Mbarep: "Iya otak aku tuh muter-muter kalau baca tulisan yang panjang"
Saya: "Bingung maksudnya?"
Mbarep:" Iya... kenapa sih tulisan itu harus ada yang panjang-panjang? Kenapa nggak 4 huruf aja semua?"
Saya: "Ya kata-kata kan banyak yang kalau ditulis perlu lebih dari 4 huruf. Kalau ditulis cuma 4 huruf aja jadi nggak lengkap. Misalnya kamu mau bilang -burung kakak tua hinggap di jendela-, tapi yang ditulis cuma -buru kaka tua hing di jend-, kan jadi bingung ya?"
Ide brilian Mas!kenapa Ibu nggak kepikiran ya?!
Ragil Tidak Berminat Ke Kamar Mandi
Mumpung habis baca bab tentang be playful, langsung saya praktikkan saat Ragil nampak kebelet. Harapannya dia dengan sukarela mau duduk di toilet menunggu panggilan alam daripada jongkok di pinggir ruang makan.
Ragil: "Enggak", muka tegang.
Saya: "Eh, kayaknya ada monster e*k di perut kamu mau keluar. Ayo cepet kita ke kamar mandi, supaya monsternya nggak keluar duluan. Kan ngeri". Ragil menatap saya.
Penutup
Jadi bagaimana, apakah buku self help pertama yang saya baca cukup membantu? Ya lumayanlah. Buku ini jadi salah satu pegangan saya untuk menghadapi anak-anak. Paling tidak kalau saya bingung, ada sesuatu yang bisa dicoba, walaupun harus buka Kindle dulu dan cari chapter yang tepat. Mungkin harus lebih sering latihan saja biar lama-lama hapal tekniknya.Tulisan ini dibuat untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Bulan Februari 2023 dengan Tema Buku yang Berpengaruh.
Monday, January 23, 2023
Awal Perjalanan Menuju Badan Zaman Kuliah
Tahun 2022 saya mendapati diri saya berada di titik terendah dalam urusan kebugaran tubuh. Berat badan saya secara resmi masuk ranah obesitas di tengah pandemi. Menyebabkan munculnya berbagai keluhan kesehatan yang mengganggu kualitas hidup: kelelahan kronis, lesu berkepanjangan, ngantuk yang sering tak tertahankan, pegal-pegal, dan sebagainya. Bahkan bangun tidurpun rasanya super lelah. Seperti habis begadang semalaman.
Karena kelelahan, bahkan sejak awal hari, biasanya emosi saya jadi naik turun. Otak terasa penuh. Hati sering terasa tak tenang. Pikiran tak sabaran. Bahkan tak jarang diliputi kecemasan berlebihan. Pekerjaan banyak tertunda karena badan tidak mau diajak bekerja sama. Berat. Sementara otak terus berpacu. Kadang sampai tak terkendali. Seperti kerepotan mengejar suatu tenggat yang entah apa dan bikin hidup terasa ruwet. Padahal aktifitas sehari-hari ya begitu-begitu saja.
Walaupun begitu, berbagai alasan menghalangi, saat hati kecil berkata harus ada yang diubah. Biasalah. Trifecta alasan: nggak sempat, repot, dan mahal.
Sampai akhirnya, di pertengahan bulan Desember 2022, sisi samping kiri kepala saya saya terasa sakit sekali. Bukan pusing. Tapi sakit. Nyeri. Seperti ada yang mencengkeram kepala saya erat-erat lalu menariknya keatas, berusaha melepaskan tengkorak saya dari organ-organ yang dilindunginya.
Seminggu saya bertahan, menganggap hal tersebut bukan masalah besar. Karena beberapa minggu sebelumnya hidup saya sedang hectic sekali, sampai kurang tidur. Wajar sepertinya kalau pusing.
Toleransi saya terhadap rasa sakit kebetulan memang tinggi, bahkan saat sakit kepala tersebut, saya masih sempat pergi ke Jakarta. Berkunjung ke sana kemari. Bermodal menenggak parasetamol di setiap kesempatan. Agar bisa berfungsi agak normal.
Tapi ketika sakit kepala semakin menghebat, sementara obat pereda nyeri yang ada sudah tak mempan lagi, akhirnya saya menyerah dan segera memutuskan pergi ke dokter.
"Darah tinggi", kata Dokter umum yang saya temui, sambil menuliskan surat pengantar cek darah untuk memeriksa kadar kolesterol, asam urat, kadar gula dalam darah, dan berbagai indukator lainnya. Tekanan darah saya saat pemeriksaan itu mencapai 160/90.
Hasil tes lab menunjukkan badan saya mulai nggak beres. Semua indikator ada bintangnya. Walaupun tidak jauh-jauh amat dari batas atas. Cuma yang paling bikin ngeri adalah diagnosa pra diabetes melitus. Apa jadinya kalau beneran jadi diabetes?
Nggak gampang emosian. Nggak serudak seruduk. Nggak gedubrakan. Bahkan sepulang kerja, bisa dengan sabar menghadapi anak-anak, bak Ibu-Ibu di instagram πTeman-teman saya bahkan sampai kagum, karena saya jadi jarang mengeluh. Biasanya baru bangun saja langsung ngeluh π΄ Payah ya? Bukannya bersyukur masih diberi kesempatan untuk hidup.
Sunday, January 8, 2023
Catatan Semester I Mbarep di Sekolah
Tentang Pilihan Sekolah
Setahun yang lalu kami mencari sekolah untuk Mbarep. Karena kami tau karakternya, kami cukup hati-hati dalam memilih sekolah untuknya (dan adiknya nanti). Bagaimanapun perjalanan akademik yang sangat panjang bagi Mbarep baru akan dimulai. Kami tentu ingin dia menikmatinya. Sebagai orang-orang yang juga berkecimpung di dunia akademik, dan cukup punya pengalaman memperhatikan mahasiswa-mahasiswa zaman now dengan berbagai permasalahannya, kami ingin Mbarep punya dasar yang kokoh dan baik sebelum dia masuk ke dunia akademik yang sebenarnya.
Seperti dikatakan selalu dalam nasihat-nasihat agama: adab dulu sebelum ilmu. Agar kedepannya dia punya kesadaran bahwa belajar adalah untuk dirinya sendiri dan dia tau apa yang dia mau. Tidak terjebak melekatkan jati diri pada hal-hal trivial, seperti title pintar, juara kelas, atau like di social media. Supaya tidak terombang ambing dalam kehidupan yang semakin lama mungkin akan semakin penuh godaan yang menyesatkan. Selain itu kami harap dia juga bisa membawa dan menempatkan diri di setiap kesempatan. Sadar sepenuhnya bahwa dunia tidak berputar mengelilingi dia.
Ketika kami memilih sekolah Mbarep yang sekarang, ada beberapa orang dekat yang bertanya-tanya. Kenapa tidak begini, kenapa tidak begitu. Kami termasuk yang beruntung punya cukup privildge untuk memilih sekolah bagi anak-anak. Makanya saat kami memilih sekolah yang "tidak biasa", kami sempat mendapatkan tantangan dari orang-orang terdekat. Utamanya karena sekolah yang kami pilih tidak berdasar pada agama kami, agama Islam.
Tentu bukan kami tidak mempertimbangkan aspek tersebut. Bagaimanapun kami juga ingin Mbarep nantinya punya dasar agama yang kuat. Karena hal itu juga penting dalam untuk kehidupannya kelak. Tapi buat kami, membuat Mbarep tertarik pada belajar, jauh lebih penting sekarang. Karena sesungguhnya dengan watak Mbarep yang acuh tak acuh, membuat dia tertarik saja sudah sebuah effort ekstra tersendiri. Kami sudah pernah sedikit mencoba mengajak Mbarep belajar saat pandemi, tapi usaha kami malah berhasil membuat dia alergi dengan kata "belajar". Sampai setiap kali kata itu muncul reaksi yang timbul adalah linangan air mata dan penolakan keras. Entah kenapa trauma sekali. Hingga kamipun sadar perlu bantuan orang lain yang lebih punya kepakaran. Maka dengan segala pertimbangan tersebut kami mantap menyekolahkan Mbarep (dan adiknya nanti) di sekolah Mbarep yang sekarang.
Supaya Tidak Drama
Sebetulnya di setiap pilihan orang tua pasti ada sisi egoisnya. Walaupun dibalut dengan demi kebaikan si anak. Pilihan egois di balik pilihan kami akan sekolah Mbarep, adalah kami malas membujuk dia agar mau berangkat sekolah setiap hari. Kami ingin dia setiap hari bangun dan memilih sendiri untuk berangkat sekolah. Bukan kenapa-kenapa sih. Lelah saja berantem apalagi pagi-pagi. Bisa rusak mood semua orang seharian. Alhamdulillah selama satu semester dia selalu bersedia pergi. Walaupun tentu tidak selalu dengan riang gembira dan semangat membara. Paling tidak, bebas dari drama pagi hari.
Setiap hari kami memberikan pilihan ke anak-anak apakah akan berangkat sekolah atau tidak. Tentu dengan penjelasan berbagai konsekuensinya. Bukan hukuman tentu saja, melainkan konsekuensi natural seperti kebosanan dan tidak dapat jatah screen time. Karena di sekolah pasti lebih ada yang bisa dikerjakan daripada berdiam di rumah. Screen time di rumah juga hadiah untuk anak-anak yang sudah melakukan sesuatu (belajar, beres-beres, tidur siang, dll). Makin lama mereka makin paham konsekuensi tersebut. Jadi walaupun kadang-kadang ada juga ngambek-ngambek sedikit, Mbarep selalu mau masuk sekolah. Daripada tidak dapat hadiah nonton Youtube π
Bukan Belajar Tapi Bermain
Terlepas dari motivasi yang dimiliki Mbarep untuk sekolah, minimnya drama tentu tidak lepas dari peran sekolah memberikan kegiatan yang menarik dan lingkungan yang nyaman. Kalau kata keset jadul, welcome. Mbarep nampak happy ada di sekolahnya. Walaupun tentu saja tidak selalu dengan riang gembira. Sekali dua kali pastilah ada drama. Namanya juga hidup bersosialisasi. Tapi semakin kesini kami merasakan emosinya menjadi lebih stabil. Walaupun rengekan masih sering muncul tapi paling tidak dia sudah tidak terlalu sering tantrum. Kalaupun marah-marah durasinya lebih sebentar, nampak lebih mudah meregulasi emosi, dan semakin paham negosiasi. Mungkin sudah besar juga ya.
Kalau sudah begini, kami bersyukur tidak memaksakan Mbarep untuk masuk sekolah di umur yang lebih muda, seperti saya dan ayahnya yang memulai pendidikan formal masing-masing di usia 3 tahun. Karena di usia 5 tahun dia memang sudah lebih siap "belajar" daripada sebelumnya. Walaupun tentu saja, karena prinsip pendidikannya di sekolahnya, kegiatan belajar sehari hari betul-betul adalah bermain. Memang masih umurnya. Memang sudah kodratnya.
Setiap pulang sekolah, kami selalu bertanya kepada Mbarep, "main apa di sekolah"? . Kadang dia mau menjawab dengan semangat, kadang sekenanya saja. Tapi ada masanya juga dia cerita dulu tanpa diminta. Masih di parkiran juga sudah nyerocos. Meskipun seringnya tercampur-campur antara fiksi dan fakta. Karena kalau semuanya nyata, maka sekolahnya betul-betul adalah markas alien dengan berbagai ruangan rahasia. Alhasil seringnya kegiatan dia di sekolah masih jadi misteri bagi kami. Untungnya guru-gurunya gercep kalau ditanya apa yang terjadi sebenarnya. Haha.
Mbarep dan Teman-Teman
Mbarep dan Rasa Bersalah
Gara-Gara Mr. Comprang Campreng
Mbarep dan Kegiatan Ekstrakulikuler
Bukan Anak Jenius
Membaca tulisan di rapor tersebut, kami semakin yakin bahwa Mbarep bukan anak jenius π Dia anak biasa-biasa saja dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Kadang bikin pusing tujuh keliling, tak jarang juga bikin ingin mengibarkan bendera putih. Tapi setelah dipikir-pikir, adanya Mbarep dan adiknya lebih banyak membuat kami bersyukur. Selain makin rajin istigfar. Haha. They're more than everything that we've could ever hope for. Apapun itu, anak-anak adalah hadiah istimewa bagi kami dari Allah SWT. Jadi kami berharap semoga kami bisa menyampaikan rasa terima kasih kami pada pemiliknya, dengan jalan membantu sebaik baiknya kemampuan, walaupun dalam segala keterbatasan, agar mereka bisa tumbuh dan berkembang menjadi versi terbaik dan paling bersinar dari diri mereka sendiri. Amin.