Monday, May 20, 2024

Meskipun Katanya "Ojo Dibanding-Bandingke"

Akibat Penasaran

Sebagai penggemar konten hiburan dari Korea Selatan (variety show, podcast, dsb), akhir-akhir ini saya sering mendengar pembahasan mengenai MBTI. MBTI yang merupakan singkatan dari Myers-Briggs Type Indicator adalah tabel yang berisi berbagai jenis tipe kepribadian manusia. 

Konsep MBTI sendiri dikemukakan pada tahun 1942 oleh pasangan Ibu dan anak Isabel Briggs Myers dan Katharine Cook Briggs berdasarkan teori kepribadian manusia di buku Psychologische Typen karya Carl Jung yang terbit pada tahun 1921. 

Lebih dari 60 tahun setelah konsep ini muncul, MBTI menjadi populer di Korea Selatan ketika pandemi melanda pada tahun 2020. Bermula dari website 16personalities yang menawarkan tes MBTI secara gratis, MBTI segera menggantikan kepopuleran golongan darah untuk menentukan tipe kepribadian di negeri gingseng tersebut. 

Orang-orang di Korea Selatan nampaknya memang sangat menyukai semua hal terkait tipe kepribadian. Kesukaan ini katanya didorong oleh sifat masyarakat Korea yang memiliki kebutuhan yang kuat untuk mengidentifikasi sifat diri sendiri. Dengan ritme kehidupan yang cepat dan kompetitif di Korea Selatan, mengenali tipe kepribadian diri merupakan jalan pintas dalam berbagai hal: mencari pekerjaan yang sesuai, jodoh yang serasi, komunitas yang cocok, teman yang sepadan dan sebagainya.

Apalagi dengan sifat umum generasi X (millenial) dan Z yang selalu ingin melabeli diri, MBTI menjadi sangat populer sebagai jalan ninja bagi masyarakat Korea (menjalar ke negara lain) untuk memahami dirinya (dan orang-orang disekitarnya). 

Tergoda Mencoba

Karena sering mendengar mengenai MBTI, saya jadi tergoda untuk mencari tahu. Setelah baca-baca dan mencoba tesnya, ternyata memang cukup seru. Walaupun tidak sekocak komik golongan darah (anak 90-an pasti paham). Pantas MBTI sudah merasuk ke hidup orang Korea Selatan sedemikian rupanya.

Setelah ikut tes gratis saya jadi sedikit lebih bisa memahami diri sendiri. At least saya bisa ngaku-ngaku paham diri sendiri. Kemudian setelah mengetahui mengenai diri sendiri, saya jadi penasaran membandingkan kepribadian saya dengan kepribadian orang-orang di sekitar saya. 
Contoh komik golongan darah yang dulu pernah populer

Tujuannya tentu saja bukan membanding-bandingkan kepribadian mana yang lebih baik tapi justru untuk mengenal lebih dekat. Sebagai INFP katanya saya memang hobi mengamati orang lain. Nggak mau kenal dekat tapi suka mengamati dari jauh saja. Creepy juga ya sifat ini. 

Tentu saja, orang dekat yang saya minta ikut tes, hanya yang kelihatannya paham dan berminat ikut tes ya. Kan saya bisa dikutuk kalau nanya-nanya sama mertua: “Apakah Ibu lebih terpengaruh oleh perasaan Ibu atau argumen yang logis?” atau “Apakah ibu pernah memikirkan perasaan orang lain saat bertindak?”.  Daripada dikira saya mau resign jadi menantu, saya cuma minta suami dan 3 orang teman dekat untuk tes diri sendiri, menggunakan tools yang sama.

Memahami MBTI

Sebelum saya masuk ke hasil perbandingan MBTI saya dan orang-orang tersebut, saya beri penjelasan sedikit mengenai MBTI. 

MBTI sendiri dibagi kedalam 4 faktor kepribadian : 1. Arah energi (I - Introversion atau E - Ekstroversion), 2. Kemampuan mengumpulkan informasi (N - Intuition atau S - Sensing), 3. Kemampuan analisis dan membuat keputusan (T- Thinking atau F - Feeling), dan 4. Pola tingkah laku (J - Judging atau P - Perceiving). 

Kombinasi huruf dari keempat faktor ini yang disebut menggambarkan kepribadian seseorang. Ada 16 kombinasi yang dimungkinkan, masing-masing dengan penjelasannya tersendiri: 


Katanya MBTI ini bisa berubah. Yah namanya juga deskripsinya berdasarkan jawaban pertanyaan-pertanyaan yang diisi sendiri. Beberapa waktu lalu MBTI saya INTP, tapi kemarin setelah mencoba lagi, MBTI saya berubah jadi INFP. Mungkin semakin tua, saya semakin tidak logis? Atau kalau mau berpikir positif makin kesini saya jadi lebih punya empati. 

Hasil Eksperimen

Kembali ke “eksperimen” saya dengan orang-orang terdekat, saya mendapatkan fakta bahwa dari keempat orang yang dekat dengan saya ini, semua punya tipe kepribadian yang mirip-mirip. Paling  cuma beda satu huruf. 

Ini hasil pengamatan saya mengenai perbedaan kepribadian antara saya dan masing-masing orang tersebut: 

Saya (INFP) VS Suami (INTP)

Walaupun sama absurdnya dengan saya soal kehidupan, suami saya adalah orang yang sangat logis dan rasional. Semua hal, buat dia, pasti ada penjelasannya (thinking). Sementara saya, walaupun cukup rasional, lebih percaya pada perasaan (feeling). 

 Masalah utama kami terkait perbedaan ini adalah pada cara pandang kami terhadap masalah. Buat saya, yang namanya masalah itu tidak selalu harus diselesaikan. Kadang hanya perlu dikeluhkan saja. Untuk suami, masalah hanya benar-benar jadi masalah kalau memang ada alasan kuat dibaliknya dan harus diselesaikan.

Jadi kalau saya curhat atau mengeluh mengenai suatu hal, pilihan respon suami cuma 2: pertama diam saja, karena tidak mengerti masalahnya dimana (menurut dia yang saya keluhkan bukan masalah), kedua memberikan solusi. Seringkali, suami langsung memberikan solusi dari masalah yang saya kemukakan. Dimana solusinya seringkali tidak bisa saya terima. Karena saya curhat bukan buat cari solusi. Coba yang sepaham angkat tangan!

Apalagi karena saking logisnya dia, kalau menanggapi cerita saya, saya rasanya seperti diinterogasi atau sidang TA. Saking saya harus tau A-Z tentang semua hal yang saya curhatkan. Kan jengkel juga saya. Niatnya curhat biar nggak stress malah makin mumet.

Sampai 12 tahun pernikahan kami, suami masih belum bisa paham persoalan “curhat bukan untuk cari solusi” ini. Tapi paling tidak sekarang kalau saya curhat atau mengeluh, sebelum menanggapi dia nanya dulu: kamu ini curhat aja atau pengen dapet solusi? Lalu memberikan reaksi sesuai jawaban saya. Lumayanlah menghindari ngambek-ngambekan karena merasa salah dimengerti. Walaupun kalau lagi seru curhat dia cuma mengangguk angguk, kadang saya kesel juga sih. Sungguh wanita, maunya apa ya? Haha. 

Saya (INFP) VS Teman Dekat 1 (INFJ)

Saya sudah berteman dekat dengan teman saya ini selama lebih dari 15 tahun. Dia kakak kelas saya saat kuliah, tapi kami sempat menghabiskan waktu beberapa tahun bekerja keliling Indonesia. Termasuk juga beberapa kali berpergian ke luar negeri.

Saya dan teman saya ini sama-sama santai menghadapi kehidupan. Untungnya hidup agak ramah pada kami. Walaupun tentu saja sekali dua kali ada badai besar menerpa. Keluhan dan permasalahan kami masih sama dari usia dua puluhan hingga menjelang empat puluhan. What if adalah tema utamanya. Percakapan berandai-andai yang segera terlupakan begitu badai mulai mereda.

Walaupun sama-sama santai, pendekatan kami dalam melakukan sesuatu jauh berbeda. Sebagai J, teman saya ini sangat terencana dan terorganisir. Sementara saya sebagai P jauh lebih impulsif. Dulu waktu kami masih sering terbang-terbang ke sana kemari, teman saya ini yang mengambil peran scheduling dan itinerary. Sementara saya adalah pengambil keputusan. Kapan harus serius kapan harus bersenang-senang. 

Sekarang setelah lebih dewasa dan punya kehidupan masing-masing, perbedaan kami terlihat dari folder komputer dan catatan (mengenai apapun) teman saya yang tersusun rapi. Sementara semua file di komputer saya ada di folder download dan bahkan mental notes saya saja berantakan.

Saya (INFP) VS Teman Dekat 2 (ENFP)

Teman saya yang satu ini baru saya kenal setelah bekerja. Dia junior saya di kampus dengan usia terpaut 6 tahun. Perbedaan usia tidak menghalangi kami untuk berteman, karena dia nggak ada pilihan lain saya memang berijwa muda. Lingkungan kami sama dan situasi kami sedikit banyak mirip. Sama-sama ibu dengan dua anak dan kroco di tempat kami bekerja. Saya karena posisi saya sebagai tenaga pendukung, sementara dia karena usianya yang termasuk junior diantara koleganya.

Kami berdua hobi menunda-nunda, jadi di kantor sering dapat masalah terkait deadline. Hanya saja masalah teman saya ini seringkali lebih banyak dari saya, karena sebagai orang ekstrovert, dia tidak bisa bilang “tidak” ke orang lain. Apalagi orang yang minta tolong.

Akibat hal itu kepusingannya sering kali berkali lipat dari kepusingan saya. Pekerjaannya terus bertambah tapi semakin menumpuk karena ditunda-tunda. Mengenai hal ini, saya sebagai introvert lebih beruntung, karena saya lebih bisa mengungkapkan keberatan tidak sungkan menghilang sebelum dimintain tolong. Haha.

Saya (INFP-A) VS Teman Dekat 3 (INFP-T)

Kalau saya kerja berdua dengan teman saya ini, kami bisa menghabiskan waktu bicara tentang hal yang kami suka dan melupakan hal yang harus kami kerjakan. Sebetulnya saya agak heran kenapa kepribadian teman saya ini bisa sama persis dengan saya. Padahal kami cukup beda. 

Teman saya ini sangat brilian. Selalu bisa menemukan pemecahan masalah sesederhana mungkin. Prinsip hidupnya adalah jangan merepotkan diri sendiri. Hanya saja memang, sama seperti saya, teman saya ini hanya fokus kalau mengerjakan hal yang dia suka. 

Tipe INFP konon memang cocoknya jadi seniman. Kreatif dan bisa melakukan pekerjaan yang sangat bagus, asalkan sesuai mood. Kami berdua bisa tidak melakukan suatu pekerjaan kalau tidak yakin hasilnya akan sempurna. Makanya saya juga sering menunda-nunda karena menunggu momen dimana semesta mendukung. 

Mengenai hal ini, di tempat kerja atasan saya bahkan sudah sampai tahap legowo kalau memberikan saya tugas lalu saya mengerjakannya entah kapan. Haha. Pantas saja tipe kepribadian INFP konon adalah tipe kepribadian yang paling tidak disukai sebagai pekerja di perusahaan Korea Selatan. Korporasi mana coba yang bisa bekerja kalau semua karyawannya macam saya? Suka-suka sendiri.

Perbedaan saya dan teman saya ini ada di keterangan di belakang INFP. Di website 16personalities ada tambahan klasifikasi untuk masing-masing kepribadian. Assertive dan Turbulent. Saya assertive sementara teman saya turbulent

Karena assertive, saya lebih kalem dan pede dengan tindakan yang saya lakukan, sementara teman saya, masih suka mempertanyakan keputusannya. Istilah lokalnya galau. Karena dia jauh lebih perfeksionis daripada saya. 

Penutup 

Terlepas dari benar atau tidaknya analisis tipe kepribadian dengan MBTI ini, paling tidak kita bisa mencari pembenaran latar belakang cukup ilmiah terkait sifat yang kita miliki atau tindakan yang kita lakukan. Bukan berarti setelah mengetahui kepribadian kita, lalu menyerah pada hal tersebut ya. Justru mari dijadikan jalan untuk berjuang. (Kalau moodnya sesuai haha).

Ditulis untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Bulan Mei dengan Tema Perbandingan (Versus).



5 comments:

  1. "tidak sungkan menghilang sebelum dimintain tolong" hahaha .. memang kemampuan ini penting ya daripada riweh sendiri.

    ReplyDelete
  2. Memang wanita banyak maunya ya ehehe. Begitulah para suami kalau dicurhatin istri, gemes ngasih solusi, mana biasanya disalah salahin dulu pula. Curhat pengennya biar lega, malah jadi nyesek. :D

    ReplyDelete
  3. hahaha paling ngakak bagian kalau ada masalah harus diselesaikan, kalau nggak berarti itu bukan masalah.

    ReplyDelete
  4. Aku juga ikutan MBTI ini teh Restu. Namun ada pergeseran sih... Kalau soal curhat malah suami yang seneng curhat, nah aku yang seneng kasih solusi. Duh kebalik ya ha3 ...
    Asyik sih kalau kita bisa sedikit tahu latar keprinadian seperti ini agar gak banyak drama ngambek.

    ReplyDelete