Saturday, April 20, 2024

No Buy Year

Merasa Bersalah

Entah sejak kapan sebetulnya saya selalu merasa bersalah kalau beli baju baru. Awalnya mungkin karena baju-baju lama saya masih banyak menumpuk tak terpakai di lemari. Tapi walaupun selalu tidak enak hati, namanya wanita terkadang tergoda tetap ingin coba trend baru. Padahal sebagai orang yang tak terlilit tali pusar saat lahir tak modis, baju-baju itu jatuhnya sama-sama saja di saya. Gitu-gitu saja apapun modelnya. Lebih sering bahkan tak pantas. Sehingga tak jarang pakaian yang baru datang langsung saya hibahkan. 

Soalnya tinggal masih numpang. Minim lemari penyimpanan.

Sebagai orang yang hobinya menyalahkan keadaan, mari kita salahkan platform belanja online atas meningkatnya volume pembelian barang fashion. Kemudahan akses ke toko-toko, kapanpun dan dimanapun memang menggoda. Jempol ternyata lebih susah ditahan daripada derasnya aliran air di pintu Bendungan Katulampa. Paling tidak untuk bendungan sudah ada peringatannya. 

Untuk toko online, kalau sedang kurang eling belanja, kadang sampai lupa apa yang dipesan. Lalu Kang Paket datang membawa tumpukan bungkusan. Kemudian saya harus menyiapkan sejuta alasan kepada suami yang biasanya hanya geleng-geleng kepala tanpa berkata apa-apa. 

Rasa bersalah yang saya rasakan, sepertinya semakin naik setelah pernah membaca statistik mengenai sampah yang dihasilkan oleh industri pakaian. Wajar saja pakaian menjadi salah satu sumber sampah terbesar. Hampir seluruh manusia di bumi, yang jumlahnya hampir 8 miliar ini, menggunakan pakaian. Ada yang pakaiannya itu-itu saja, tapi lebih banyak yang terus menerus beli. Makanya fashion menjadi salah satu industri yang menggiurkan. Pasarnya besar dan nilai industrinya diperkirakan mencapai 3000 Miliar USD. Menggiurkan sekali.

Apalagi disetir oleh media atas nama tren musiman. Makin semangat para produsen menggenjot pabrik menghasilkan tren pakaian terkini.

Fast fashion adalah sebutan untuk proses produksi pakaian secara masal dalam jumlah besar. Produk industri ini menggunakan bahan baku murah, yang sebagian besarnya tidak ramah lingkungan, untuk menekan biaya produksi. Perubahan tren yang cepat membuat produk fast fashion sangat diminati dengan alasan ekonomi.

Statistik yang Mengerikan

Saat ini diperkirakan ada 100 miliar pakaian yang diproduksi oleh industri pakaian setiap tahunnya (1). Volume produksi yang sangat besar menjadikan industri ini sebagai penyumbang ketiga terbesar polusi di muka bumi (2). Hanya kalah dari industri bahan bakar dan industri pertanian. Polusi yang dihasilkan bukan hanya dari emisi karbon tapi juga pencemaran air. Terutama akibat produksi dan penggunaan bahan polyester. Garmen murah untuk produksi masal pakaian (fast fashion). 

Tumpukan sampah fast fashion di tempat pembuangan sampah akhir. Banyak dari pakaian-pakaian ini dibuang ke negara-negara berkembang di Afrika dan Asia termasuk Indonesia. Pelarangan impor pakaian bekas di Indonesia telah diberlakukan mulai tahun 2023.

Selain produksi pakaian itu sendiri, produksi bahan material tekstil untuk pakaian juga menghabiskan banyak sumber daya alam: air dan tanah. Diperkirakan untuk menghasilkan 1 T-Shirt berbahan dsar katun diperlukan 2700 liter air (3). Cukup untuk minum 1 manusia dewasa selama 2.5 tahun. Sementara itu untuk menanam 1 kg kapas sebagai bahan mentah T-Shirt tersebut diperlukan lahan sebesar 400 meter persegi. 

Lahan sebesar itu tidak bisa dipakai berulang dalam jangka waktu yang lama. Tanaman kapas yang rentan hama memerlukan pestisida dalam jumlah yang banyak, sehingga lahan yang digunakan cepat rusak. Selain itu, karena kebutuhan airnya sangat besar, ladang kapas juga seringkali menyebabkan kekeringan untuk lingkungan sekitar. Karena kebutuhan airnya banyak, seluruh sumber daya air diarahkan ke ladang kapas. Hingga tak jarang habis tak bersisa.

Masalahnya setelah semua usaha dan sumberdaya yang besar untuk produksinya, sebanyak 87% pakaian yang dihasilkan berakhir di tong sampah. Di Indonesia sendiri, dari 33 juta ton tekstil yang diproduksi di Indonesia, 1 juta ton diantaranya berakhir di pembuangan sampah (4). Daro jutaan ton sampah pakaian, tak sedikit juga yang berakhir di sungai dan laut. Menambah kemeriahan sampah yang bertebaran di muka bumi.

Inisiatif yang Belum Cukup

Inisiatif daur ulang bahan pakaian sesungguhnya sudah bermunculan di berbagai tempat di dunia, baik dalam skala kecil maupun besar. Tapi tentu saja kapasitas daur ulang pakaian saat ini belum bisa menyamai kapasitas produksi pakaian setiap tahunnya. Masih terlalu jauh skalanya. Sebagai gambaran pabrik daur ulang pakaian Renewcell di Swedia memiliki kapasitas daur ulang 60.000 Kg per hari atau sekitar 20 ribu ton pertahun (5). Sementara sampah yang dihasilkan sudah dalam hitungan juta ton.
Tumpukan pakaian di pusat daur ulang. Kecepatan proses daur ulang tidak sebanding dengan barang yang datang.

Sebetulnya di Indonesia sendiri, menurut saya, umur pemakaian pakaian masih lebih panjang daripada di negara barat. Disini masih banyak orang yang dengan senang hati menerima pakaian bekas. Selain itu dengan kreativitasnya, orang Indonesia juga bisa menggunakan pakaian lusuh dan tidak pantas pakai untuk berbagai macam hal: Lap bekas, saringan air, penyekat ruangan, peredam suara, dan sebagainya. 

Tapi tetap saja, laju kecepatan jempol untuk klak-klik memasukkan blouse dan gamis lucu kedalam keranjang sangat tidak sebanding dengan keinginan otak untuk memilah dan menyumbangkan pakaian. Jadi, buat saya, kalau memang ingin menuntaskan rasa bersalah karena urusan pakaian, jempol saya yang harus disetop. Seluruhnya. 

Maka dari itu salah satu resolusi saya di tahun 2024 adalah: No Buy Year Pakaian. Resolusi ini berlaku untuk saya sendiri. Tidak berlaku untuk anak-anak. Tentu saja karena mereka tumbuh dengan cepat dan secara berkala perlu baju baru. Juga tidak perlu diberlakukan untuk suami karena dia memang tidak pernah beli baju baru kecuali sudah sobek atau sangat usang.

Tak Beli Baju

Untuk melakukan "No Buy Year" hal pertama yang saya lakukan tentu saja uninstall semua platform belanja. Sebelum lebaran kemarin, saya berhasil belanja baju anak hanya secara offline. Tidak nyaman tentu saja, tapi efektif mencegah saya kalap belanja. Lagipula saya sudah lupa rasanya ke toko serba-ada dan membeli baju. Saya jadi ingat kalau alasan saya belanja online adalah saya tidak pandai berkomunikasi dengan pramuniaga toko. Selalu canggung. 

Membuat saya tidak ingin sering-sering belanja baju. 

Setelah uninstall platform belanja, saya keluarkan semua baju saya dari lemari kemudian saya pilah dan susun ulang. Setelah diamati banyak yang bisa di mix match. Ada juga yang baru dipakai dalam hitungan jari. Pakai hitungan kombinasi sepertinya bisa setiap hari ganti penampilan. Kalaupun saya tidak ganti-ganti baju sepertinya juga tidak ada yang peduli. Artis juga bukan. 

Selanjutnya, saya berusaha mengubah mindset, apalagi kalau mulai tergoda beli ini itu untuk “melengkapi” penampilan saya. Pakaian itu yang penting pantas, rapi, dan sopan. Tidak perlu neko-neko. Karena toh baik pekerjaan saya maupun kehidupan saya tidak perlu dress to impress. Pakai baju karena ya memang karena harus pakai baju saja. 

Setelah memantapkan hati dan pikiran juga mengkondisikan suasana, sekarang tinggal berdoa saja banyak-banyak supaya diberikan kelapangan hati dan rezeki untuk konsisten tidak beli baju sampai akhir tahun. Karena waktu mudik kemarin juga sempat ada insiden yang menyebabkan saya harus beli celana panjang baru. Untungnya masih ada kesempatan beli di toko baju yang sudah menerapkan prinsip fashion berkelanjutan. Tidak merasa bersalah-bersalah amatlah. 

Semoga bisa sukses sampai akhir tahun.

Saya mendapatkan ide No Buy Year dari salah satu video di youtube shorts. Di video tersebut No Buy Year-nya lebih ekstrim. Memang tidak beli apa-apa selain kebutuhan pokok. Karena saya belum bisa seperti itu, akhirnya pakaian saja dulu. Siapa tau bisa setitik membantu bumi dan juga dompet saya. Karena sebetulnya orang lain melakukan No Buy Year kebanyakan ingin tahu penghasilan mereka yang sesungguhnya bisa dihemat kalau tidak digunakan untuk hal-hal yang tidak esensial.

Pelajaran Dari Masa Lalu

Suatu hari, saat saya sedang duduk di bangku kuliah S2, dosen saya menunjukkan sebuah poster. Gambarnya seorang lelaki tua kurus kering yang sudah keriput. Mukanya menunjukkan rasa bersalah dan penyesalan. Ada tulisan di samping gambar tersebut. Saya lupa tepatnya kata-katanya. Tapi intinya si lelaki itu meminta maaf kepada anak-anaknya.

Pada masa mudanya pria itu telah menghabiskan sumber daya di bumi tanpa menyisakan sedikitpun untuk anak-anaknya. Sehingga saat anak-anaknya dewasa, mereka hidup kesulitan. Pria itu berpikir bumi akan selalu baik-baik saja. Tapi ternyata kapasitas alam ini tidak mampu mengakomodasi rasa serakah manusia. Penyesalan pria tua itu datang karena tidak bisa melakukan apa-apa untuk anak-anaknya. 

Isi poster itu masih terbayang oleh saya sampai sekarang. Padahal tidak ada satupun pelajaran S2 yang saya ingat. Semakin terasa relatable saat punya anak-anak. Walaupun otak saya sering lupa, tapi di hati kecil ada rasa bersalah pada anak-anak kalau saya mulai “serakah”. Gimana nanti kalau tidak ada yang tersisa untuk mereka? Kan saya jadi berdosa.

Bumi sudah semakin tua.
Ilustrasi Rotten Erath oleh Leon Quinn di Platform Dribble

Penutup

Selama masih berputar, bumi akan terus mencari keseimbangan. Maka dari itu, selama manusia masih terus melakukan kerusakan, selama itu juga bumi tidak akan berhenti “melawan”. Saat ini belum banyak yang bisa saya lakukan untuk Bumi, kecuali menahan diri. Menahan diri untuk tidak konsumtif lebih tepatnya.

Konsumsi seperlunya saja dari sumber daya yang ada di bumi ini. Memilih untuk melakukan hal lain yang lebih bermanfaat daripada menghabiskan uang untuk belanja. Berharap semoga di masa anak cucu kita permasalahan alam di Bumi bisa diatasi. Sehingga kehidupan mereka bisa lebih baik dari hari ini. Amin. 


8 comments:

  1. Kalau menurutku, ibu-ibu yang bekerja atau mereka yang banyak urusan di luar rumah cenderung lebih konsumtif untuk urusan baju. Karena kan nggak enak kalau kelihatan bajunya itu-itu aja. Terutama ditambah dengan budaya foto-foto di sosmed, dimana pakaian kita akan selalu terlihat oleh sejuta umat.

    Kita kan bukan Mark Zuckerberg yang walau bajunya t-shirt abu-abu doang tapi semua orang tahu kalau dia kaya raya. Gonta-ganti baju itu jadi lambang kemapanan buat orang biasa kaya kita-kita. Ha...ha...

    ReplyDelete
  2. Dress to impress, ini iya banget sih teh. Kadang kita ngebet beli baju2 bagus demi diliat orang, pdhl belum tentu juga orang peduli yaa. Siapa kita, artis juga bukan.

    ReplyDelete
  3. Paparannya mantab sekali, Restu. Dan sedikit membuatku merasa bersalah. Kenapa sedikit? Keterangannya sbb.

    Masalah perSAMPAHan, organik non organik, aku bisa total. Tapi baju, sebulan selalu aku budget-kan karena aku suka dress to EXPRESS. Namun aku usahakan beli brand yang eco friendly, yang menggunakan sustainable production methods.

    Terlepas dari itu, kayaknya memang harus direm belanja perbajuan ini...

    ReplyDelete
  4. Justru aku merasa di Prancis lebih "normal" menerima lungsuran baju. Terutama buat bayi dan anak2 yg cepet berubah ukurannya. Kl di Indonesia, nerima lungsuran tu kayak yang ga mampu banget. Padahal kan ga gitu2 amat juga. Bisa jadi baju dikasih biar ga dianggurin karena pengen beli baru kan!? Eh? Hehehe 😁

    ReplyDelete
  5. Jadi merasa bersalah beli baju. Ngga cukup ya habis beli, donasi baju yang ada di lemari. Salut teh kalau bisa menjalankan no buy year, untuk wanita tentu lebih sulit ya. Aku baru tahu kalau membuat tekstil ternyata memakan sumber daya air dan tanah yang banyak

    ReplyDelete
  6. Tos ah sama teh Restu, aku sudah 5 tahun ini mencoba tidak beli baju. Bahkan dua bulan lalu, suamiku protes karena aku pakai sepatu kets Nike butut lari di Saraga dan dibuat vlog yang diuplod di IG. Ha3 ... Itu sepatu umurnya hampir sepuluh tahun. Gamis yang aku pakai kemarin meet up bersama Mamah MGN umurnya sudah lebih dari 5 tahun. Harga belinya 100 ribu saja. Sempat ada tambahan baju baru ketika keponakan menikah dan kaka ipar membagikan seragam acara resepsi tahun lalu. Padahal aslinya aku kepingin pakai kebaya dan kain batik yang ada saja, toh kebaya jaman menikah dan wisuda masih muat sampai sekarang.

    ReplyDelete
  7. Saya pernah reseller pakaian muslim. Biasanya para reseller ini akan gencar promosi di momen hari raya. Anehnya perasaan saya ketika order banyak malah biasa saja. Entah.

    Bbrp tahun belakangan saya tdk mengkhususkan baju baru di hari raya. Dresscode seadanya baju. Kalau tdk ada baru beli yg blm punya. Bedanya di pola pikir. Beli kalau Butuh. Jangan kalau. Jangan tergoda diskon. Kalau tidak butuh ya Gak Beli.

    Sptnya pola pikir inilah yg membuat hati saya kurang cocok jualan baju. Krn Biasanya kan sukanya org banyak2an Beli baju. Yg bertentangan dgn prinsip saya

    (SisthaA. Pribadi)

    ReplyDelete
  8. Sekali beli baju secara online, kok gak puas. Kecewa karena ternyata, bahannya tidak nyaman dipakai. Oleh sebab itu, saya lebih memilih beli baju secara offline saja. Lebih real, bisa pegang bahannya, lihat warna dan coraknya lebih jelas. Ya memang jadi perlu waktu khusus untuk ke toko baju. Dan benar, itu membuat kita bisa menahan diri untuk tidak selalu beli baju.

    ReplyDelete