Friday, September 25, 2020

Jembatan Merah

Mirah tak bisa menyembunyikan kerisauannya. Desas desus mengenai tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby menyebar cepat bagi kobaran api yang menyala. Tinggal tunggu waktu hingga perang besar merebak di Surabaya. Bau mesiu mulai tercium di udara.

Suaminya, Anam, kemarin pamit untuk mengantarkan surat ke seberang kota. Tapi hingga kini belum terlihat kembali batang hidungnya. Bukan tak pernah terjadi. Seperti saat peristiwa perobekan bendera di hotel Yamato, Anam tak pulang ke barak hingga seminggu lamanya. Tugasnya sebagai pengirim telegram memang sering membuatnya harus berpindah tempat dengan cepat. 

Karena saat ada kondisi darurat, kecepatan dan ketepatan pesan yang dikirim bisa berarti hidup mati bagi manusia atau menang kalah bagi pihak yang bertempur.

***

Hanya saja, meskipun bukan yang pertama kali, Mirah tetap tak bisa menahan diri untuk menjadi was was. Setiap kali suaminya pergi, skenario terburuk selalu hadir menghantui.

Mirah tau, di kondisi perang seperti ini dia harus siap dengan semua situasi. Apalagi dengan pekerjaannya sebagai perawat, Mirah sangat paham rapuhnya garis antara hidup dan mati. Mungkin selama ini Anam dan dirinya hanya beruntung saja. Bisa selamat tanpa kurang suatu apapun.

Walaupun hati wanita itu tetap selalu mencelos. Setiap kali ada korban perang baru yang datang, dengan kain tersampir menutupinya.

***
Perang ini adalah yang terdahsyat dan terlama pernah Mirah alami sepanjang hidupnya. Apalagi dia ada di garda terdepan. Selama berminggu-minggu tak hentinya dia bekerja dengan segala keterbatasan: obat-obatan dan makanan yang menipis, perban yang sudah lama habis, bahkan air bersih yang menjadi langka.

Sisi baiknya, dengan energi yang hampir terkuras habis, Mirah sudah tak punya daya untuk memikirkan Anam.

Memang kelelahan adalah obat paling mujarab untuk kerinduan.

***

Setelah perjuangan sangat keras selama hampir sebulan, akhirnya pasukan musuh berhasil dipukul mundur. Pidato-pidato kemenangan berkumandang. Sorak sorai kegembiraan bersahutan.

Mirah hanya setengah hati turut dalam segala perayaan itu. Baginya, kemenangan bangsa hanyalah setengah dari kebahagiaan yang ia harapkan. Sepertinya sampai keberadaan Anam jelas dia ketahui, tak akan tenang dia meresapi rasa bahagia. Bahkan saat rasa tersebut membuncah karena kemenangan bangsanya sendiri.

***

Jembatan merah sore itu bermandikan cahaya matahari. Sisa-sisa pertempuran masih jelas nampak di sana sini. Tapi warna kehidupan di Surabaya mulai kembali. Mirah berdiri di pinggir jembatan, memandang aliran sungai yang tenang.

Hari itu dia terbangun dengan hati damai, setelah akhirnya berhasil tidur tanpa terbangun semalaman. Untuk pertama kali selama 2 bulan akhirnya senyum merekah kembali di bibirnya.

Di sisinya, Anam berdiri dengan wajah letih namun penuh kehangatan. Tangan Mirah menggenggam erat lengan suaminya, seakan tak ingin ada yang merebut waktunya lagi.

Perang masih mungkin berlanjut, ancaman masih nyata di depan mata, tapi Mirah bersumpah dalam hati: apa pun yang terjadi, ia tak akan lagi melepaskan genggaman itu.

Hingga saatnya nanti, ketika sejarah benar-benar menuliskan akhir yang lain bagi mereka.

No comments:

Post a Comment