Evakuasi besar-besaran dilakukan menyusul ultimatum Jenderal MacDonald kepada gubernur Bandung untuk mengosongkan kota tersebut.
Tentu saja pasukan Inggris yang dipimpin oleh Sang Jenderal tak akan menyia-nyiakan kesempatan menguasai Paris Van Java. Kota cantik dengan udara sejuknya yang tak terlalu berbeda dengan Eropa. Untungnya Gubernur Jawa Barat tak bersedia menyerah begitu saja.
Seperti semua rakyat di seantero Nusantara yang mati-matian mempertahankan kemerdekaannya.
Rencana disusun untuk membumi hanguskan kota. Supaya penjajah tak bisa memanfaatkannya.
***
Raras mengendap-endap keluar dari tempat persembunyiannya, menuju jalan di depan rumahnya. Matanya awas memandang sekitarnya. Dia jelas tak mau tertangkap. Apalagi oleh pasukan yang dipimpin oleh Bapaknya. Kolonel Wiranata. Pemimpin Batalyon 6 yang bertugas mempertahankan Bandung dari agresi sekutu Belanda.
Rombongan mobil yang membawa keluarganya mengungsi ke Garut telah pergi. Begitu cepatnya hingga Raras tak sempat melihat sisa kepulan asap knalpot di jalan yang berdebu. Tadi Raras bilang kepada tantenya, Bibi Mirnah, kalau dia akan naik mobil bersama Ibunya, sementara kepada Ibunya dia bilang akan ikut mobil bersama Bibi Mirnah.
Tante dan ponakan itu memang dekat, jadi Ibunya mengiyakan saja tanpa berpikir dua kali. Tak ada satupun dari kedua wanita itu yang curiga kalau Raras tidak akan naik mobil manapun.
***
Raras sedang jatuh cinta, Hal ini yang membuatnya berani melawan perintah ayahnya dan tak ragu berbohong pada Ibunya. Gadis itu tahu situasi sedang genting, tapi dia tak bisa menahan dirinya.
Namanya Anam. Raras memanggilnya Kak Anam. Orang yang sepenuhnya menjadi alasan tindakan nekad Raras. Anam adalah salah satu prajurit muda di pasukan ayahnya. Gadis itu telah jatuh hati kepadanya semenjak hari pertama pemuda itu bertugas sebagai juru tulis ayahnya.
Penampilannya mungkin tak setegap anak buah ayahnya yang lain. Tapi mata pemuda itu bersinar cerah bagaikan bintang. Cara bicaranya lembut tapi tegas secara bersamaan. Anam selalu tersenyum dan menyapa Raras dengan ramah.
Tak seperti Kopral Basirun. Juru tulis ayahnya yang dulu hanya mendengus jika melihat Raras.
Raras baru menyadari kalau Anam, seperti ayahnya, akan tetap tinggal di Bandung saat keluarganya mengungsi. Kekecewaan menjalari tubuhnya. Mendorongnya mengambil keputusan impulsif. Dia harus tau perasaan Anam padanya, sebelum dia menafikkan kehendak hatinya.
***
Tak berapa lama Raras sampai ke markas besar tentara. Untung tak seorangpun memberikan perhatian kepadanya. Halaman luas bangunan tersebut penuh dengan truk-truk yang akan membawa rakyat ke tempat yang aman.
Gadis itu menyembunyikan diri di balik sebatang pohon akasia mengamati keramaian di hadapannya. Seseorang menggamit lengannya. Raras menoleh kaget. Kak Anam!
Anam memberikan isyarat agar Raras diam, lalu membawa gadis itu ke pojok halaman. “Neng Raras ngapain disini? Bukannya tadi sudah berangkat dengan Ibu? “, Kata pemuda itu dengan muka khawatir.
Raras hanya bisa menggeleng pelan. Wajahnya seketika merah padam. Padahal sebelumnya dia sudah yakin apa yang akan dia ungkapkan. Tapi ternyata suaranya tertahan di tenggorokan.
Anam tidak menunggu jawabannya. Situasi sudah semakin bahaya. Ditariknya tangan Raras ke arah truk yang ada paling belakang.
Ketika sampai, ditepuknya pundak seorang perawat perempuan. Perempuan itu membalikkan badan. Perutnya buncit karena kandungannya. “Mirah, ini anak Kolonel Wiranata. Sepertinya dia ketinggalan. Bawa dia bersamamu ya. Nanti sampai Garut tolong antarkan ke Ibunya”. Perempuan bernama Mirah itu mengangguk lalu ganti menggandeng tangan Raras. Menyuruhnya naik ke truk.
Raras menarik lengan seragam Anam. Menahannya pergi. Menguatkan hatinya Raras membuka mulutnya untuk berkata, “Kak An…” “TETTTT!!!”, suara klakson truk mengagetkan Raras. Kata-katanya terhenti seketika.
Anam melepaskan pegangan gadis itu. “Ini Mirah. Dia istri kakak. Tenang saja Neng Raras aman. Nanti begitu sampai langsung diantar ke rumah”. Kata Anam menenangkan.
Mata Raras membelalak mendengarnya “Isteri?!!”, tanyanya setengah berteriak. Anam dan Mirah memandangnya dengan heran.
***
Pasangan suami istri itu bahu membahu menaikkan Raras yang setengah mematung ke truk. Mirah menyusul naik kemudian, lalu duduk di sebelah Raras. Setelah sebelumnya mencium tangan suaminya dan memberinya pelukan erat.
Sepanjang jalan Raras menangis terisak-isak, sementara Mirah menepuk-nepuk punggungnya. Berusaha menenangkan.
Patah hatinya yang pertama di usia 14. Sungguh menyesakkan.
Mengingat pula bahwa amukan ibunya pasti sudah menunggu, tangisan Raras seketika berubah menjadi raungan.
***
Kobaran api melahap Bandung. Menghanguskan setiap sudut kota. Asap tebal membumbung tinggi di udara. Makin lama makin menghilang seiring kenyataan yang berubah jadi kenangan. Harapan melangit dari warga yang merelakan kehidupannya. Entah kapan akan bisa terwujud lagi.
“Sekarang telah menjadi lautan api. Mari Bung, rebut kembali!”.
Kobaran api melahap Bandung. Menghanguskan setiap sudut kota. Asap tebal membumbung tinggi di udara. Makin lama makin menghilang seiring kenyataan yang berubah jadi kenangan. Harapan melangit dari warga yang merelakan kehidupannya. Entah kapan akan bisa terwujud lagi.
“Sekarang telah menjadi lautan api. Mari Bung, rebut kembali!”.
No comments:
Post a Comment