Friday, September 25, 2020

Sepasang Mata Bola

Deru suara mesin kereta api meredam pembicaraan di sekitarnya. Pemuda itu duduk diam di sebelah jendela sambil memeluk tas kain berisi barang-barang miliknya. Badannya yang kurus terhimpit 3 orang prajurit lain yang duduk disebelahnya. Lututnya beradu dengan lutut orang yang duduk di hadapannya. 

Kereta hari itu memang penuh sekali. Membawa para tentara untuk menempati pos mereka di ibu kota yang baru, Yogyakarta. Presiden tiga hari kemarin mengumumkan kepindahan pusat pemerintahan ke provinsi di selatan pulau Jawa tersebut. Tempat sultan masih bertahta dan bisa memberikan perlindungan bagi pimpinan negara.

Perintah untuk berkemas datang dengan tiba-tiba. Jangankan berpamitan pada keluarganya, pada kucing liar yang selalu diberinya makan pun dia tak pernah sempat berjumpa. Tapi kan memang itu risiko jadi tentara. Siap diperintah kapan saja. Pemuda itu menatap keluar jendela. Memperhatikan pemandangan yang berkelebat di baliknya. 

Sebetulnya Anam, nama pemuda itu, tak berminat membela negara dengan angkat senjata. Kalau boleh memilih dia lebih suka berjuang dengan kata-kata. Seperti Mohammad Hatta yang dikaguminya.

Tapi apa boleh buat, di rumahnya tak ada yang berani membantah Bapaknya. Harus ada yang mengikuti langkahnya sebagai seorang serdadu. Dan karena di rumah itu pilihannya hanya ada Anam, Ibunya, adik perempuannya, serta neneknya yang sudah lanjut usia, maka tentu saja Anam yang disuruh mengikuti jejak lelaki itu. Saat seruan untuk membela bangsa sebagai tentara bergema di tempat tinggal mereka. 

Padahal Anam lebih suka menikmati kesendiriannya merangkai bahasa. Suatu hal yang selalu menjadi sumber perdebatan dengan bapaknya. Walaupun dalam perdebatan itu ayahnya yang lebih banyak bicara, sementara Anam hanya banyak diam.

Bapaknya kukuh berpendapat, bahwa tulisan tidak berarti apa-apa dibanding olahan fisik saat melawan penjajahan. Sepertinya lupa bahwa setengah perjuangan meraih kemerdekaan dilakukan melalui goresan pena para pahlawan.

Untungnya bakat Anam dalam menulis diketahui cepat oleh pimpinan kompinya. Di antara para prajurit hanya Anam yang bisa menulis dengan patut. Tulisannya rapi dan lugas. Karena itu Anam pun ditugaskan untuk menulis surat para komandan. Bahkan sampai surat rahasia yang disamarkan dalam rangkaian kata penuh makna terpendam.

Anam tau dari seluruh surat yang dia tuliskan, kalau ini mungkin akan jadi saat terakhirnya melihat Jakarta. Entah kapan lagi dia akan menginjakkan kaki di kota ini. Belanda dengan agresif ingin menancapkan lagi kekuasaannya. Tak ayal peperangan akan terjadi dimana mana.

Walaupun hal itu sampai saat ini masih rahasia.

Kereta api terus melaju. Menembus cerah matahari. Hembusan angin panas menerpa wajah Anam. Dipejamkan matanya.

Mirah.

Tiba-tiba nama itu muncul di benaknya. Beserta seluruh kenangan yang menyertainya. Yah sebenarnya Anam tak pernah benar-benar lupa. Hanya saja semenjak perpisahan dengannya dia berusaha menempatkan semua hal terkait dengan nama itu di bagian paling belakang otaknya. Mencoba untuk tidak memikirkannya.

Hanya terkadang nama itu berhasil menyusup keluar dari tempat persembunyiannya. Menempati baris terdepan pikirannya. Seperti saat dia terbangun tengah malam karena mimpinya penuh oleh Mirah. Dentuman berbagai rasa akibat ingatan tentang gadis itu, dilampiaskan Anam dalam bentuk surat yang tak pernah terkirimkan. Surat itulah yang terbaca oleh seorang komandan, yang kemudian malah menugaskannya sebagai penulis surat. Daripada terjun ke lapangan seperti teman-teman sejawatnya.

Penugasan yang membuatnya bekerja di belakang layar dan mungkin menyelamatkannya. Karena dengan kekikukkannya, Anam sendiri tak yakin dia akan bertahan 5 menit kalau harus masuk medan pertempuran.

***

Mirah tak mengucapkan satu katapun saat Anam mengucapkan selamat tinggal padanya. Digenggamnya tangan pemuda itu erat-erat. Jelas tak rela melepaskannya. Kenapa Anam harus pergi meninggalkannya demi menuruti keinginan Bapaknya untuk jadi tentara, tak pernah gadis itu pahami. Padahal mereka sudah berjanji untuk terus bersama.

Sesungguhnya Mirah tak menyalahkan Anam atas perpisahan mereka. Gadis itu cukup dewasa untuk menerima kenyataan sebagai takdir yang harus dilaluinya. Walaupun saat perpisahan tiba, ternyata tak sanggup dia menahan air mata. Hingga wajahnya panas dan dadanya sesak.

Sesungguhnya ini bukan yang pertama kali dia harus menahan kesendirian. Pasalnya sudah pernah berkali-kali dia merelakan kepergian orang disekelilingnya. Saat Ayahnya tewas ditembak musuh tanpa alasan, saat Ibunya meninggal karena sakit yang tak tersembuhkan, dan saat Kakaknya gugur sebagai pahlawan di medan perang. Saat Anam pergi, gadis itu semakin yakin bahwa memang sudah nasibnya untuk selalu ditinggalkan.

***

Kalau boleh memilih, tentu saja Anam tidak akan meninggalkan Mirah. Dia menyayangi gadis itu dengan segenap jiwanya. Mirah memahaminya seperti membaca buku yang terbuka. Mirah mengerti jalan pikirannya seperti rima pada puisi yang sarat makna.

Tak sampai hati Anam melihat gadis itu berusaha tegar, saat dia berpamitan dengannya. Ingin hati dia berlari pergi sambil menggandeng tangan gadis itu. Kabur ke tempat dimana mereka tak akan diganggu. 

Tapi bayangan wajah Ibunya terus menghalangi. Ibu yang selalu menyebut nama Anam di setiap doa dan sujudnya. Ibu yang juga sangat Anam cintai melebihi segalanya. Wanita itu memohon dengan sangat agar Anam menuruti kehendak Bapaknya atas nama bakti. Dan Anam tentu tak sampai hati menolak walaupun hatinya jelas terkoyak.

Sudah satu setengah tahun berlalu semenjak Anam pergi dari sisi kekasihnya itu dan dia masih bermimpi buruk karenanya.

***

Anam merasa otot tubuhnya kaku, setelah duduk begitu lama. Mungkin ada 20 jam dia berada di posisi yang sama. Hanya berubah sesekali ketika kereta berhenti untuk mengisi bahan bakar.

Selama perjalanan panjang dia menyibukkan diri memikirkan berbagai hal: tulisan mengenai skenario penyerangan Belanda, Mirah, cerita mengenai pekat malam, Mirah, puisi yang terinspirasi dari fajar, dan Mirah. Anam mendecakkan lidahnya. Semakin dia ingin lupa, semakin rindu itu membuncah.

Padahal belum tentu Mirah masih memikirkannya. Anam bergidik berusaha mengenyahkan bayangan tentang Mirah dan lelaki lain.

***

Hampir malam di Yogyakarta, ketika kereta itu tiba. Semburat senja masih menggantung di ufuk langit. Sisa warna yang penuh kehanggatan sebelum ditelan dinginnya malam. Kereta melambat dan akhirnya berhenti. Anam memilih untuk tetap duduk daripada berdesakan dengan prajurit lain untuk turun. Toh dia tak akan tertinggal.

Dilemparkan pandangan ke peron tempat orang-orang sibuk berlalu lalang. Tiba-tiba dia tertegun. Sepasang mata bola menarik perhatiannya. Mata yang sangat dia kenal. Mata yang selama setahun ini menghantui pikirannya. Anam langsung melompat berdiri lalu berusaha menembus antrian keluar yang berjejalan.

***

Mirah berdiri di tengah hiruk pikuk manusia. Seragam perawatnya basah oleh keringat. Napasnya memburu. Dia tadi berlari dengan sekuat tenaga dari tempatnya bertugas saat mengetahui kabar kalau kereta itu sudah tiba.

Kereta yang membawa secercah harapan kalau dia akan kembali bisa bertemu dengan Anam. Pemuda yang menggenggam erat hatinya hingga hanya hampa yang tertinggal setelah dia tak lagi bersamanya.

Mirah kembali berlari dari sisi gerbong ke gerbong memeriksa isinya melalui jendela. Berharap menemukan wajah yang sangat dirindukan.

Semakin lama rona harapan di wajahnya semakin memudar. Berganti dengan raut kekecewaan yang berkecamuk. Mirah pun berhenti mencari, walaupun doa tak henti mengalir dari mulutnya.

Dan saat itulah, saat air matanya hendak tumpah, dia melihat jawaban doanya. Anam berlari kearahnya. 

Lutut Mirah goyah dan dia jatuh bersimpuh. Air matanya tak tertahan membanjiri wajahnya. Walaupun sekarang air mata itu penuh rasa lega. Lega karena dia bisa kembali mendapatkan hatinya. Lega karena takdir masih memihaknya.

***

Sesampainya di hadapan gadis itu, Anam langsung memeluknya. Degupan jantungnya begitu keras sehingga dia tak bisa memikirkan kata apapun untuk diucapkan. Padahal ada jutaan kalimat yang ia ingin sampaikan. Tapi sepertinya perasaannya bisa menunggu. Karena toh sekarang inspirasi tulisannya sudah kembali ada di sampingnya.

Anam yakin ceritanya masih akan terus belanjut hingga akhir yang bahagia. Dan untuk pertama kali semenjak menjadi tentara Anam kembali menemukan senyumnya.

***

Seorang lelaki yang juga baru turun dari kereta menjadi saksi perjumpaan kembali kedua sejoli itu. Seketika nada memenuhi telinganya. Rangkaian lirik tercipta. Tak sabar dia bisa mengeluarkan biola. Dia sudah tau Sepasang Bola Mata akan menjadi judul lagunya.

No comments:

Post a Comment