Saturday, October 25, 2025

Shy, Steve, dan Kesempatan Terakhir

Tentang Shy, Steve, dan Last Chance

Kepala Shy selalu penuh. Berbagai pikiran tak henti berseliweran. Saling silang seperti pita yang kusut. Pikiran-pikiran itu dan rasa ingin tahunya yang tinggi, tak jarang mendorong Shy melakukan hal-hal yang impulsif. Tidak selalu buruk, tapi kebanyakan tidak bisa diterima begitu saja oleh sekitarnya.



Di lingkungan yang lebih suportif, remaja berusia 16 tahun tersebut mungkin akan dianggap sebagai anak berbakat (gifted atau wild child). Sesuatu yang diapresiasi sebagai sebuah kelebihan. Tapi di tempatnya tumbuh besar, di Inggris era 90-an, Shy dianggap tidak normal.

Tapi apa itu normal? Ketika normal sendiri adalah spektrum. Sayangnya normal punya makna yang sempit untuk orang-orang dewasa di sekitar Shy. Maka remaja itu tumbuh dengan rasa bersalah karena tidak pernah memenuhi definisi normal di lingkungannya. Terutama terhadap ibu dan ayah tirinya karena selalu merepotkan mereka dengan masalah yang ditimbulkannya.

Rasa bersalah yang menumpuk bermanifestasi menjadi kemarahan yang semakin lama tidak dapat dikendalikan.

Shy menghancurkan rumah kerabatnya, menusuk jari tangan ayah tirinya, mematahkan kaki teman wanitanya, membuat bocor kepala anak sekolah lain, serta segala kekacauan lainnya. Kejadian-kejadian ini yang membuatnya berada di Last Chance (Stanton Wood). Sebuah sekolah berasrama khusus untuk rehabilitasi remaja yang memiliki masalah perilaku.

Dibiayai oleh pemerintah, Last Chance diharapkan mampu mengubah anak-anak muda yang dianggap sebagai “sampah masyarakat” menjadi seseorang yang setidaknya tidak mengganggu kehidupan publik. Syukur-syukur bisa bermanfaat.

Murid-murid dengan impuls tinggi dan kurang kontrol emosi membuat kehidupan sehari-hari di Last Chance dipenuhi oleh keributan, perkelahian, dan secara umum kekacauan. Dengan kondisi yang demikian memang hanya guru-guru dengan kesabaran selevel malaikat yang sanggup mengajar di Last Chance. Orang-orang dewasa yang secara tulus mencoba memahami murid-murid di Last Chance dengan segala karakteristik dan permasalahannya.

Bagaimanapun tidak idealnya kondisinya, guru-guru di Last Chance berjuang setiap hari untuk mengobati luka hati para muridnya. Dalam setiap kesempatan mereka menyampaikan pesan bahwa remaja-remaja itu tidak sendirian, bahwa apa yang terjadi dalam hidup mereka bukan semata kesalahan mereka, dan bahwa mereka masih punya kesempatan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Alhasil, di tengah dunia yang sepakat tidak bersedia menerima mereka, Last Chance, dengan segala ketidak normalannya, menjadi rumah bagi Shy dan teman-temannya.

Pimpinan di Last Chance adalah seorang guru bernama Steve. Dibalik ketenangannya dalam menghadapi persoalan murid-muridnya, Steve menyimpan rahasia yang sebetulnya telah diketahui rekan-rekan sejawatnya. Pria itu memiliki adiksi terhadap obat penenang dan minuman keras. Konon kecelakaan mobil yang dialaminya tiga tahun lalu masih membuatnya trauma.

Di balik perjuangan dengan adiksinya, Last Chance menjadi semacam obsesi bagi Steve yang telah mencurahkan jiwa dan raganya di tempat tersebut untuk “menyelamatkan” hidup murid-muridnya. Maka ketika beredar kabar bahwa Last Chance akan ditutup selamanya, Shy dan Steve tidak dapat menerimanya dengan lapang dada.

Kisah Dalam Dua Format

Kisah Shy, Last Chance, dan Steve merupakan karya penulis sekaligus penyair berkebangsaan Inggris bernama Max Porter. Cerita ini ditampilkan dalam 2 buah karya dengan format yang berbeda.

Pemikiran Shy mengenai diri dan kehidupannya dituangkan dalam novel pendek berjudul “Shy” yang terbit pada tahun 2023. Sementara sudut pandang Steve sebagai guru di Last Chance disampaikan dalam film Netflix berjudul “Steve” yang tayang di tahun 2025.

Perbedaan sudut pandang dari adaptasi Shy ke Steve ini membuat kedua karya dengan medium berbeda tersebut saling melengkapi. Bukan menggantikan. 

Sebelum menonton filmnya, terlebih dahulu saya membaca novelnya. Plot dalam novel Shy dituliskan bolak balik antara masa lalu dan masa kini. Isinya menggambarkan kalimat-kalimat yang muncul di kepala Shy. Persis hingga titik koma dan intensitasnya.

Kesalahan tulis menjadi kesengajaan untuk menggambarkan kekacauan pikiran. Kalimat panjang tanpa jeda menunjukkan pikiran yang menggebu-gebu. Sementara besar kecil ukuran huruf memperlihatkan ingatan. Suara-suara samar Ibu yang menasehatinya. Suara guru yang mencoba menggali perasaannya. Suara teman-teman sekolah yang merundungnya.

Tujuh per delapan novel Shy menceritakan pikiran-pikiran yang muncul dalam kepala Shy selama perjalanan dari sekolah hingga ke sebuah danau tempatnya berencana untuk mengakhiri hidupnya. Sementara sisanya menceritakan apa yang membuatnya berubah pikiran. Shy memang ingin mati, tapi dia lebih penasaran pada apa yang akan terjadi pada dirinya.

Hal ini yang menyelamatkan hidupnya. 

Saya cukup kesulitan membaca novel Shy. Karena selain ditulis dalam banyak kiasan bahasa Inggris yang kurang bisa saya mengerti, ada banyak penggambaran yang tidak bisa langsung saya bayangkan sekali baca karena kurang paham dengan konteksnya.

Membuat saya menghabiskan waktu cukup lama untuk menghabiskan novelnya. Padahal  panjangnya hanya 128 halaman.

Meskipun tidak selalu paham, tapi ada satu hal yang dapat saya tangkap dengan baik dari novel tersebut: kebingungan Shy menghadapi emosinya sendiri. Kebingungan yang seringkali berubah menjadi kemarahan. Maka inti utama dari novel Shy adalah menyelamatkan Shy dari dirinya sendiri.

Kemarahan yang timbul karena kemampuan regulasi emosi yang rendah ini juga menjadi cerita sentral dalam film Steve. Di film garapan sutradara Tim Mielants ini, setengah adegannya menggambarkan remaja-remaja yang mudah terpantik dengan situasi sekitar dan tidak memiliki referensi cara untuk menghadapi emosi yang dialaminya. 

Ledakan kemarahan juga dirasakan oleh Steve yang ternyata memiliki masalah yang mirip dengan murid-muridnya. Perbedaannya adalah Steve dengan sadar memilih untuk membiarkan dirinya mengeluarkan kemarahan yang tak terbendung walaupun punya kemampuan untuk menahannya. Sementara murid-muridnya memang tidak punya kemampuan untuk menahan rasa marah.

Berbeda dengan bukunya, saya menghabiskan film Steve sekali duduk. Seperti kebanyakan film Netflix, durasi Steve cukup pendek. Hanya sekitar 90 menit. Cerita film ini berputar pada satu hari yang kacau di Stanton Woods. Saat itu beberapa peristiwa terjadi bersamaan di sekolah yang berada di daerah antah berantah  Inggris Raya tersebut.

Steve dan para guru mendengar langsung dari perwakilan pemerintah mengenai keputusan untuk menutup Last Chance dalam kurun waktu 6 bulan, serombongan kru film dokumenter tanpa empati mencoba mengabadikan keseharian di Stanton Woods, dan Shy mendengar kabar kalau ibu dan ayah tirinya memutuskan untuk tidak lagi berurusan dengannya.

Dihadapkan pada situasi yang rumit, Steve dan Shy sama-sama kehilangan kendali atas dirinya. Pikiran mengenai kelanjutan hidup murid-muridnya dan rasa putus asa menghadapi keadaan membuat Steve menenggak pil penahan rasa sakit dan minuman keras di setiap kesempatan.

Sementara Shy yang kehilangan harapan hidup, memutuskan untuk tidak lagi mendengarkan siapa-siapa dan bertekad mengakhiri hidupnya.

Berbeda dengan bukunya, saya tak terlalu kesulitan mengikuti jalan cerita filmnya. Membandingkan pengalaman membaca dan menonton kisa tersebut, saya menyimpulkan ada beberapa perbedaan motif tokoh utama yang saya sadari cukup membuat kedua karya tersebut memiliki pesan dan makna berbeda. Padahal keduanya ada di semesta yang sama.

Di novel, konflik utama Shy ada pada ketidakmampuannya untuk bisa memahami dirinya sendiri dan ketidakmampuan orang di lingkungan lamanya untuk membantunya. Sementara di film, konflik Shy lebih disebabkan oleh faktor eksternal yaitu keengganan orang lain, termasuk orang tuanya sendiri, untuk berurusan dengannya.

Dengan demikian konflik di filmnya terasa lebih mainstream, apalagi untuk saya yang penggemar drama Korea. Dimana konflik seperti ini biasa jadi sajian utama cerita. Sementara konflik di novelnya lebih terasa dalam karena melibatkan pemahaman terhadap karakter Shy sendiri dan situasi di sekitarnya.

Karakter Shy sendiri cukup berbeda antara di novel dan di film. Di film, Shy adalah anak yang terkesan pemurung dan menutup diri. Telinganya selalu tertutup headphone dengan musik yang menggelegar. Sementara di bukunya, persepsi saya terhadap Shy adalah anak yang sebenarnya cukup perasa. Dengan segala kerumitan pikirannya Shy punya kesadaran akan tindakan-tindakan yang dia lakukan. Meskipun kesadaran tersebut datangnya lebih sering terlambat.

Sementara karakter Steve sendiri tidak begitu banyak disebutkan novel. Jadi saya tidak bisa membuat perbandingan. Di filmnya, karakter minor ini berubah menjadi tokoh utama yang sangat signifikan dalam cerita.

Satu hal yang membingungkan buat saya dari karakter Steve adalah alasan adiksinya agak kurang selaras dengan tema dan malah jadi seperti dibuat buat supaya lebih dramatis. Mungkin keterbatasan durasi membuat ketiadaan waktu untuk penjelasan yang lebih kuat. Hanya saja, dengan aktor sekaliber Cillian Murphy sebagai pemerannya, tokoh Steve menjelma menjadi sosok yang meyakinkan.

Seorang guru yang tulus membantu murid-murid yang dipercayakan padanya. Rasa frustasi, kebingungan, serta kehilangan arah terpancar dari sorot mata, mimik muka, dan gesture yang ditampilkan. Cillian memerankan Steve dengan empati yang dalam terhadap karakternya. Membuatnya begitu hidup di tengah cerita yang sedikit kehilangan arah.

Cerita film Steve memang tak sekuat novel Shy. Maka dari itu, nyawa film Steve memang ada pada penampilan para pemerannya yang brilian. Terutama para pemeran murid di Stanton Wood. Pemilihan aktor-aktor pendatang baru sepertinya disengaja untuk memberikan nuansa baru. Sementara aktor aktor veteran seperti Tracey Ullman dan Emily Watson mengimbangi dengan 


Shy dan Steve Sebagai Pengingat

Kisah Shy, Steve, dan Last Chance mungkin terjadi di tempat yang lokasinya ribuan kilometer dari Indonesia. Begitupun dengan waktu yang sudah berbeda 30 tahun dari periode di cerita. Akan tetapi untuk saya, kemarahan yang dirasakan para tokoh di film itu sangat relevan dengan kehidupan masyarakat Indonesia saat ini. Remaja-remaja yg kehilangan arah, emosi-emosi yang tak terbendung, dan kemarahan-kemarahan yang berlebihan.

Film Steve atau novel Shy tentu saja tidak akan pernah menjadi populer di Indonesia. 

Ditulis dalam rangka Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Bulan Oktober 2025 dengan Tema Menyelami Orisinalitas dalam Adaptasi Karya Lintas Medium.







No comments:

Post a Comment