Sunday, August 24, 2025

Tanpa Sadar Punya Ketergantungan

Ide Penelitian Bapak

Samar-samar saya ingat, mendengar Bapak memiliki ide untuk melakukan penelitian mengenai bagaimana teknologi memengaruhi kehidupan seorang ibu, terutama ibu rumah tangga. 

Almarhum Bapak, yang adalah seorang dosen di sebuah perguruan tinggi di Semarang, entah kenapa memang sangat tertarik pada pekerjaan rumah tangga. Hobinya mengoperasikan mesin cuci dan bereksperimen membuat makanan dengan menggunakan berbagai macam peralatan memasak.

Sampai-sampai para mbak yang kerja di rumah suka kurang enak hati, karena pekerjaannya sudah dikerjakan duluan oleh Bapak.

Mengingat ketika Bapak melontarkan ide penelitian tersebut masih tahun 90an, tentu saja yang dimaksud Bapak adalah peralatan dengan teknologi analog, seperti rice cooker yang cuma punya tombol penanak nasi, mesin cuci dua tabung dengan timer manual, kompor gas dengan 2 tungku, dispenser air dengan pemanas air, dan peralatan jadul lainnya.

Bapak memang tidak sempat lama hidup di dunia dimana peralatan digital adalah hal yang umum. Apalagi dunia AI.

Bagaimana Bapak bisa memiliki ide penelitian tersebut merupakan misteri buat saya. Sementara istrinya sendiri adalah ibu bekerja yang terhitung jarang melakukan pekerjaan rumah tangga. Selain tidak hobi, Ibu saya, yang berprofesi sebagai guru SMA di pinggiran Semarang, memang lebih memilih untuk menghabiskan waktunya mengulik teknologi kreatif yang cukup advanced untuk generasinya. 

Seperti power point dan software animasi sederhana. Kesukaannya adalah membuat bahan ajar yang interaktif untuk siswa-siswanya.

Saya rasa Ibu saya adalah satu-satunya ibu-ibu di kelurahan (kalau bukan kecamatan) tempat dulu kami tinggal, yang bisa mengedit foto dan membuat berbagai poster motivasi dengan aplikasi Paint. 

Coba hidup lebih lama, mungkin Ibu bisa jadi content creator.

Kalau bukan dari isterinya, mungkin Bapak mendapat ide dari melihat pengalaman ibunya (eyang saya). Wanita tersebut memang selalu nampak kerepotan di dapur dengan segala peralatan masak tradisionalnya. Walaupun kalau menurut saya, eyang saya memang hobi memasak. Jadi kesibukannya di dapur mungkin malah jadi me time buat beliau.

Bisa jadi juga Bapak memperhatian wanita-wanita di tempat kerjanya. Waktu itu departemen tempat Bapak mengajar, yang adalah pendidikan guru elektronika, berada di satu fakultas yang sama dengan departemen pendidikan guru ketrampilan seperti tata boga, tata busana, dll. Kalau dulu zaman saya sekolah pelajaran-pelajaran itu disebut Mulok. Muatan Lokal.

Dosen-dosen di departemen tersebut tentu saja banyak yang wanita. Mungkin Bapak memperhatikan bagaimana rice cooker dan kawan-kawannya itu mempermudah hidup ibu-ibu tersebut dalam menyeimbangkan kehidupan karir dan rumah. 

Kalau harus mengipasi kuali penanak nasi, seperti yang selalu dilakukan Eyang, kan nggak mungkin bisa seharian datang mengajar anak orang memasak dan keterampilan lainnya.

Saya tidak pernah tau apakah Bapak jadi atau tidak melakukan penelitian tersebut. Mau nanya juga bingung nanya ke siapa. Hanya saja ketika melihat tema tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini tentang Teknologi, otomatis saya teringat mengenai ide penelitian Bapak tersebut.

Karena bagaimanapun pertanyaan besar yang dilontarkan masih cukup relevan hingga kini: bagaimana pengaruh teknologi terhadap kehidupan ibu pada khususnya dan manusia pada umumnya. Lah kenapa malah kayak judul skripsi ya. Haha.

Karena saya tentu saja tidak punya waktu (dan sumber daya) untuk melakukan penelitian, apalagi karena deadline tinggal beberapa jam lagi, maka saya akan menganalisis hidup saya sendiri sebagai bahan tulisan ini.

Seberapa besar teknologi memengaruhi hidup saya

Sebagai manusia yang hidup di perkotaan pada era modern, teknologi menjadi bagian yang tak terlepaskan dari kehidupan saya. Saking sudah biasanya, saya sudah menganggap rice cooker, mesin cuci, lemari pendingin, dan barang-barang elektronik lain sebagai teknologi yang seharusnya memang ada di kehidupan. Sudah lupa kalau banyak orang masih tidak punya akses ke teknologi tersebut.

Tapi di sisi lain saya memang cenderung tidak bisa hidup tanpa dukungan teknologi.
Sesederhana kalau bapak dan ibu saya bisa bangun tidur dengan hanya mengandalkan ritme circadian mereka saja (dan toa masjid di sebelah rumah), maka saya tidak bisa tidur sebelum memastikan kalau alarm ponsel saya akan berbunyi di saat yang tepat untuk saya bangun (karena masjid jauh dari rumah).

Karena teknologi sudah menjadi bagian dari hidup sehari-hari, saya tidak pernah sadar kalau saya sudah memiliki ketergantungan terutama dengan teknologi digital berbasis internet. Teknologi digital berbasis internet yang saya maksud disini bukan sosial media.
 
Seperti yang sudah pernah dibahas di tulisan sebelumnya, terkait sosial media saya menilai diri saya punya hubungan yang cukup sehat dengannya. Tidak sampai merasa hampa kalau tidak tau update terbaru atau perkembangan situasi terkini di dunia maya.

Karena saya tidak terlalu peduli dengan isi dari sosial media.

Saya sadar punya ketergantungan justru dengan berbagai aplikasi di ponsel pintar saya. Kesadaran itu saya dapatkan ketika di suatu hari ponsel pintar saya mati karena port charger-nya rusak sehingga baterainya tidak bisa diisi ulang. 

Sebuah Kesadaran Tentang Ketergantungan

Alhasil selama 1.5 hari saya tidak pegang ponsel. Sebagai orang yang (mengaku) introvert, tidak bisa berkomunikasi dengan orang lain tidak menjadi masalah buat saya. Lagian ponsel kantor yang saya pegang masih menyala. Orang-orang rumah dan suami tau nomornya.

Masalah datang ketika saya ingin jajan ke minimarket di kampus. Dengan pede saya memberikan hasil buruan saya ke mbak-mbak penjaga kasir. Si mbak kasir memindai belanjaan saya lalu menanyakan pilihan pembayaran. Minimarket tersebut hanya menerima pembayaran digital.

Selama ini tidak jadi masalah karena saya tinggal buka aplikasi perbankan dan menggunakan QRIS. Tapi tanpa ponsel saya, tentu saja saya tidak bisa melakukannya.


Setelah agak lama mencari diantara tumpukan kartu keanggotaan (tempat belanja, arcade game, pengumpulan stamp untuk dapat panci murah), juga kartu identitas, saya berhasil mengeluarkan kartu atm saya dari dompet. Setelah segala kerepotan tersebut, ternyata saya lupa PIN-nya. 

Padahal PIN-nya sama dengan PIN aplikasi perbankan saya. Tapi selama ini saya sudah keenakan membuka aplikasi perbankan menggunakan sidik jari sampai lupa PIN-nya yang mana.Saya dan suami punya 5 kombinasi PIN untuk semua hal yang perlu PIN. Tidak mungkin saya coba lima-limanya saat itu juga, ketika 3 saja sudah jaminan kartu saya akan diblokir. 

Akhirnya karena antrian di belakang saya sudah cukup panjang dan mbak-mbak kasir tidak punya solusi lain, akhirnya saya menyerah dan membatalkan transaksi.

Masalah kedua hari itu datang ketika pengasuh anak saya menelepon (ke ponsel kantor) mengabarkan kalau si sulung agak demam. Paracetamol kebetulan habis di rumah. Biasanya saya tinggak buka aplikasi apotik online dan obat meluncur diantar ke rumah. Karena ponsel saya mati, tentu saja saya tidak bisa melakukannya.

Saya meminta pengasuh anak saya, yang untungnya gen Z, untuk membeli parasetamol menggunakan ponselnya. Masalahnya pengasuh anak saya ini tidak punya uang untuk menalangi membeli obat. Biasanya kalau minta tolong beli-beli saya tinggal transfer ke e-wallet dia. Tapi karena ponsel saya mati, saya tidak bisa melakukannya.

Terpaksa saya harus jalan ke ATM untuk transfer. Mana saya kan lupa PIN ATM ya. Untungnya di bank kampus ada mesin teller. Jadi tidak perlu menunggu lama untuk reset PIN ATM.

Lumayanlah karena ponsel mati, saya jadi olahraga ekstra hari itu.

Sampai di kantor teman saya mengabari kalau saya sudah ditunggu rapat. Karena ponsel saya mati, saya tidak dapat pengingat dari kalender saya. Setengah berlari saya pergi ke ruang rapat. Sambil minta maaf saya buka website akademik menggunakan laptop.


Ketika halaman login muncul saya baru ingat kalau password yang saya masukkan perlu autentifikasi dari aplikasi di ponsel saya. Begini nasib orang yang terlalu rajin log out aplikasi.

Sambil nyengir saya memberitahu peserta rapat kalau saya tidak bisa membuka aplikasi. Untung saya kerja di kampus yang orang-orangnya pada legowo. Coba saya kerja di markas tentara, bisa disetrap disuruh keliling lapangan 10 kali karena ponsel saya mati.

Karena rapat berjalan alot dan mulai memusingkan, peserta minta dibelikan kopi. Biasanya saya tinggal buka aplikasi pesan antar makanan untuk memenuhi permintaan mendadak ini. Tapi karena ponsel saya mati, tentu saja saya tidak bisa melakukannya. Terpaksa saya harus turun 2 lantai ke kantor Tata Usaha di bawah untuk meminta teman saya, yang pegang petty cash, untuk membelikan kopi lewat aplikasi miliknya. Teman saya ternyata izin setengah hari karena ada acara di sekolah anaknya.

Teman-teman saya yang lain, yang isinya Bapak-Bapak, seperti biasa, tidak punya cukup uang untuk menalangi pembelian kopi. Karena yang harus dibeli banyak, harganya jadi lumayan. Sementara Bapak-Bapak ini, seperti kebanyakan Bapak-Bapak di dunia, cuma pegang uang sekadarnya untuk beli rokok dan makan siang.

Akhirnya kembali dengan nyengir saya minta Ibu Bapak dosen peserta rapat untuk beli kopi sendiri. Disertai permintaan maaf kalau uangnya saya ganti sore setelah rapat selesai karena saya harus jalan lagi ke ATM.

Setelah selesai rapat yang berjalan jauh melewati jam pulang, suami mengabari kalau dia masih terjebak di tempat meeting yang ada di seberang kota. Masalahnya mobil dia bawa, jadi saya harus pulang sendiri. Kecuali mau menunggu dia jemput yang entah kapan. Biasanya kalau begini saya tinggal pesan taxi atau ojek online. Tapi karena ponsel saya mati, proses yang tadinya tinggal klik-klik ini menjadi proses yang 3 kali lipat panjangnya.

Saya punya opsi minta tolong teman untuk dipesankan ojek online atau panggil taxi via telepon dan mampir atm untuk kemudian bayar cash. Masalahnya, semua teman saya sudah pulang dan ponsel kantor tinggal 5%. Ponsel kantor ini masih pakai charger type micro USB yang saya selalu lupa bawa.

Bahkan OB di kantor sudah pakai ponsel dengan charger type c.

Untung saya cukup cerdas dan punya muka tembok. Saya datang ke pos satpam lalu pinjam ponselnya untuk menelepon taxi. Untung bapaknya baik dan cuma tertawa ketika saya ceritakan permasalahan saya. Untungnya lagi saya menemukan Rp. 20.000 di salah satu kantong dalam tas untuk diberikan ke Pak Satpam sebagai pengganti pulsanya. 

Ketika sampai rumah, saya merasa lelah seperti habis ikutan Amazing Race keliling Asia. Mana sampai rumah masih diprotes para bocah karena mereka tidak bisa nonton Youtube yang cuma bisa diaktifkan melalui ponsel saya dan bapaknya (bapaknya tidak bisa dikontak karena seharian meeting). 

Berdasarkan pengalaman saya ini bisa disimpulkan kalau saya sudah sangat ketergantungan teknologi. Derajatnya tidak parah dan masih bisa diusahakan dengan kreatifitas dan pikiran yang jernih. Walaupun tetap saja. Jompo.

Besoknya ketika ponsel saya selesai diperbaiki saya sampai terharu dan berkaca-kaca. Lebay ya.






2 comments:

  1. Hihihi. Itu pesan kopi nggak bisa via web kah? Atau pembayaran harus diverifikasi di ponsel? 😅
    Tapi lumayan lho itu di minimarket masih bisa bayar pake kartu debit/kredit. Pernah mau masuk museum hanya bisa bayar pake e-money! Ga kebayang gimana buat para turis mancanegara 🙄

    ReplyDelete
  2. Dari sekian banyak urusan macet karena HP mati, ternyata masih ada "untung" di baliknya...Lesson learn hari ini, jangan bikin PIN lebih dari 2, siap ngumpetin receh di kantong tas, dan pakai sepatu nyaman krn hrs jalan bolak-balik...hihi...

    ReplyDelete