Friday, July 25, 2025

Prinsip-Prinsip Raden Brotoseno Dalam Hal Berpakaian yang Tidak Berubah di Zaman Apapun dia Berada


Raden Brotoseno adalah seorang pengelana waktu. Berbeda nasib dengan perempuan penjelajah waktu bernama Sore yang mengemban misi tertentu, Raden Brotoseno yang berasal dari sebuah kota metropolitan di pesisir pulau Jawa, hanya terombang ambing di pusaran waktu tanpa tahu tujuan. 

Kadang dia muncul saat candi Borobudur sedang dibangun. Pernah dia menjadi saksi saat rombongan pertama kapal VOC berangkat dari pelabuhan Texel Belanda. Tapi tak jarang juga dia hadir saat Indonesia menjadi bagian dari negara dunia pertama (dia lupa tahun berapa). 


Tak banyak hal yang diingat oleh Raden Brotoseno dalam kunjungannya ke tahun-tahun lampau sebelum waktu kelahirannya. Sementara itu pikirannya tajam mengingat tahun-tahun yang telah terjadi. Meskipun ingatannya juga samar-samar untuk tahun-tahun yang masih akan datang.

Mungkin supaya dia tidak kelepasan bicara yang tidak seharusnya dia katakan.

Bagaimanapun godaan dari bermain-main dengan waktu adalah menahan keinginan untuk pamer jadi yang paling tau.

Selama menjelajah zaman, tak ada yang bisa dilakukan oleh Raden Brotoseno selain mengamati manusia di zaman yang disinggahinya. Karena dia tidak punya kekuatan istimewa seperti penjelajah waktu lain yang pernah bersilangan jalan dengannya (Doraemon, Dr. Who, dan beberapa lagi yang dia tak ingat namanya). Lagipula memang tidak ada kekuatan jahat yang harus dia lawan atau konspirasi yang harus dia bongkar.

Tapi tentu saja Raden Brotoseno tidak menyesal tidak punya kekuatan apapun. Karena artinya tidak akan ada yang mengganggu hidupnya. Raden Brotoseno memang tidak suka menjadi pusat perhatian. Sekalipun oleh semut yang menontonnya berdendang ketika mandi di malam hari.


Dari ribuan atau bahkan jutaan pengamatan yang dia lakukan, Raden Brotoseno paling terheran-heran dengan perubahan cara berpakaian manusia. Dari manusia purba yang menutupi hanya bagian-bagian penting di tubuhnya, kalangan aristokrat medieval dengan berlapis-lapis pakaiannya, hingga manusia di abad 20 yang banyak kembali memutuskan untuk berpakaian a la kadarnya. 


Entah karena perubahan iklim, evolusi manusia, atau mindset untuk kembali ke alam.

Raden Brotoseno sendiri selalu berpakaian necis. Pilihan busananya tak pernah jauh-jauh dari kemeja, jas atau jubah, dan celana panjang dengan model menyesuaikan zaman yang sedang disinggahinya. Rambutnya selalu tersisir rapi jali dengan kilatan pomade yang menambah elegan tampilannya. Kalau tidak salah, parlente memang merupakan nama tengahnya.

Di zamannya sendiri Raden Brotoseno adalah seorang cerdik cendikia yang diakui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Tiongkok Utara, tempatnya belajar Geografi Planet Neptunus dengan minor Antropologi Masyarakat Uhr (penghuni satelit Jupiter).

Oleh karena itu tak heran di semua zaman yang disinggahi olehnya, gaya pakaiannya pun tak pernah jauh-jauh dari yang dipakai para pembelajar. Minus kacamata. Karena entah kenapa Raden Brotoseno selalu menganggap kalau menggunakan kaca mata berarti mengakui kelemahan yang dia punya.

Yaitu tidak pernah bisa mengulek sambal sesuai dengan hakikatnya.
 

Raden Brotoseno memang punya beberapa prinsip dalam berpakaian yang tidak bisa diutak atik. Prinsip itu tanpa sadar dia gunakan untuk menilai orang lain. Maklum, karena kehidupannya sangat random, mau tak mau dia menetapkan standar penilaian tertentu saat menjalin relasi. Supaya tidak gampang menjadi korban penipuan.

Tapi tentu saja, seperti layaknya orang yang sudah lulus ujian standardisasi negara perihal etika, Raden Brotoseno tidak pernah memaksakan prinsip yang dia pegang pada orang lain. Apalagi jika orang tersebut adalah ibu-ibu berkonde yang memegang sisiuk. Karena sisiuk sudah terbukti sebagai alat pukul paling menyakitkan nomor 36 setelah pelepah pisang. 

Dan ibu-ibu berkonde yang membawa sisiuk lebih mudah tersinggung daripada ayam ungkep bumbu kuning yang dimasukkan ke minyak mendidih.

Seringkali Raden Brotoseno memilih untuk diam saja daripada berkomentar tentang apapun. Sekalipun hal tersebut mengganggunya seperti denging nyamuk yang tak sengaja masuk ke telinga.

Tapi memang pernah suatu kali Raden Brotoseno kelepasan nyinyir karena penampilan orang lain. Pria itu masih menyesali sikapnya saat itu serta sudah posting 3 stories di halaman pertama koran nasional sebagai klarifikasi dan permintaan maaf.

Saat itu Raden Brotoseno sedang merasa gondok karena tidak kebagian tiket penampilan perdana musikal Chicago di Broadway pada musim panas tahun 1975 (walaupun dia sudah pernah puluhan kali menonton versi lainnya).

Maklum kalau Raden Brotoseno merasa jengkel. Setelah menghabiskan suara berteriak teriak menyemangati tim panjat pinang Indonesia yang untuk pertama kalinya berhasil masuk ke final olimpiade tahun 2182, dia tiba-tiba berpindah tempat hampir ke masa 200 tahun sebelumnya.

Sedetik sebelum penentuan pemenang.
 
Sehingga dia harus menunggu sampai terlempar kembali ke akhir tahun 2180-an sebelum bisa memuaskan penasaran akan tim panjat pinang yang mewakili Bumi ke Olimpiade Intergalaktika.

Kalau sudah jengkel, Raden Brotoseno memang tak bisa berpikir jernih. Sambil merengut dia  duduk di depan teater dan melihat dengan sinis orang-orang yang mengantri masuk. 

Keningnya berkerut tak setuju ketika melihat seorang wanita menggunakan gaun berleher rendah dengan sandal bertali yang melilit pergelangan kakinya. Raden Brotoseno memang termasuk sebagian kecil orang dari bagian timur dunia yang menganggap kalau sandal tidak sepantasnya dipakai di acara-acara formal.

Walaupun dia tau Socrates, Aristoteles, dan Plato berdebat mengenai hal-hal paling penting yang pernah diperdebatkan di mimbar pengetahuan sambil bertelanjang kaki, tapi dia selalu beranggapan sepatu, sejelek apapun adalah pilihan yang lebih baik untuk digunakan di tempat dengan intelektualitas tinggi.

Dan menonton teater adalah termasuk salah satunya (contoh kegiatan formal lainnya adalah mengunjungi Disdukcapil untuk memasukkan belut peliharaan kesayangan kedalam KK).

Belum hilang rasa jengkelnya karena sandal, seorang pria muncul menggunakan kaos dan jeans lebar yang sedang trendy di masa itu. Jaket kulit tersampir di lengannya. Mungkin kegerahan di udara yang kurang bersahabat atau ya supaya gaya saja. Raden Brotoseno hampir tersedak.


Menyaksikan pertunjukan seni tanpa baju berkerah adalah hal yang tak terbayangkan olehnya. Kerah buatnya adalah simbol status intelektualitas yang tinggi. Raden Brotoseno sendiri ingat sempat protes secara pribadi pada Raja Jawa. Kala itu sang raja berani-beraninya menggunakan kaos oblong ketika berkunjung ke Harvard untuk mengikuti matrikulasi kepemimpinan darat, laut, dan angkasa.

Kaos oblong memang hal paling tidak disukai Raden Brotoseno nomor 88 setelah soto yang airnya habis duluan. 

Sekelompok wanita muda mendekat. Salah satunya menggunakan baju tanpa lengan. Tali bra wanita tersebut keluar jalur dan mengintip di pundaknya. Raden Brotoseno bergidik melihatnya. Menurutnya, kalau ada hal yang patut disembunyikan di dunia setelah sodakoh, itu adalah tali bra. Masih tak bisa dia berpikir kenapa ada wanita yang tidak risih dengan hal tersebut. 


Teringat olehnya ketika dia hampir pingsan ketika tetiba muncul di tengah-tengah konser K-Pop. Dimana tali bra malah menjadi salah satu aksesoris yang dipamerkan. 

Menambah kejengkelannya, seorang pria muncul dengan kemeja dan celana pendek yang dikaitkan oleh suspender. Sepatu sandal dan kaos kaki terlihat membungkus kakinya. Tak ketinggalan topi jerami bertengger manis di kepalanya. Raden Brotoseno menggeleng-geleng tak setuju. 

Kalau ada hal yang paling dia hindari di dunia selain menyinggung perasaan burung kakak tua peliharaannya, itu adalah datang ke suatu acara dengan pakaian yang salah. Saltum kalau kata orang awal abad 20.

Sepertinya orang ini salah undangan, mungkin dia mau datang ke Sommerfest di Jerman bukan ke Broadway menonton nyanyian dan tarian. 


Raden Brotoseno merasa bulu kuduknya merinding. Nafasnya memburu. Tanda-tanda bahwa dia akan segera berpindah ke waktu yang lainnya. Pemandangan disekelilingnya menjadi kabur. 

Setelah tubuhnya berhenti merasa melayang-layang, pria itu membuka mata. 

Dia sekelilingnya terlihat perempuan-perempuan melenggak lenggok dalam tarian. Kali ini bukan hanya talinya saja yang mengintip, melainkan keseluruhan bra terpampang dengan jelas di depan mata. Raden Brotoseno mendesah panjang, kalau ada hal yang paling dia kesalkan adalah terlempar ke Mesir saat Cleopatra bertahta.

Wanita itu, walaupun cantik dan pintar, selalu menemukan hal-hal annoying untuk dilakukan, Seperti menoel-noel lemak di perut pelayannya atau menyiulkan lagu-lagu top 40 dengan sumbang. 

Tapi karena Raden Brotoseno tidak bisa memutuskan sendiri kapan dia akan berpindah tempat, sepertinya untuk beberapa waktu dia harus kompromi dengan prinsip-prinsipnya. 






11 comments:

  1. Pertanyaanku cuma satu: Kenapa Raden Brotoseno sih? Kenapa ga Raden Ayu Kusumawardhani gitu?

    ReplyDelete
  2. Ada aja idenya keren teh Restu.

    ReplyDelete
  3. Nggak punya ide tapi kok jadi tulisan kayak gini ya, hehehe. Keren lah, masuk ke jajaran tulisan terunik kayaknya.

    ReplyDelete
  4. Jadi, apa alat pukul paling menyakitkan nomor 35? Yoi, sebelum pelepah pisang! 😂👍👍

    ReplyDelete
  5. Dalam bayanganku, Raden Brotoseno si time traveler ini, pasti ganteng pisaaaan. Ehehe.

    Salfok dengan foto-foto kartun-nya Mah Restu, bagussss 😍

    ReplyDelete
  6. Katanya ga ada ide, ngerjainnya deadliner, tapi bisa banget bikin cerita fiksi lengkap dengan visual dengan bantuan kecerdasan buatan. Bikin promptnya dari ceritanya ya dimasukkan? Hhehehhe....

    ReplyDelete
  7. Mengulek sambal sesuai hakikat, heheheee.. belum lagi kalo bermacam sambal nusantara yaa

    ReplyDelete
  8. Enaknya Raden Brotoseno bisa menembus waktu. Pengen tahu loh, kenapa kok kalau ke Keraton Solo harus pakai sepatu, engga boleh pakai sandal/sepatu sandal merk Skechers. Barangkali bisa balik ke abad 17-an, siapa yg bikin peraturan kayak gitu...hehe

    ReplyDelete