Tuesday, June 20, 2023

Tentang Rumah Masa Kecil

Tema tantangan blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini adalah tentang hal berkesan di masa kecil. Kok ya bisa pas banget. Soalnya pertengahan bulan ini, saya dan adik saya, harus pulang ke Semarang untuk mengurus penjualan rumah orang tua kami. Sejak akhir tahun 2021, kami memang sepakat menjual rumah masa kecil kami, yang telah kosong sejak kedua orang tua kami meninggal.


Kemarin kami mengosongkan isi rumah. Meninggalkan beberapa furnitur besar saja. Saat dikosongkan, rumah itu masih penuh barang-barang. Karena sampai saat ini kami masih membayar orang untuk bersih-bersih mingguan, jadi penampakan rumah itu masih seperti ditinggali. Bahkan laptop kerja Bapak dan Ibu saja masih ada di tempatnya.


Ini saya ceritakan beberapa barang-barang yang kami temukan saat mengosongkan rumah. Sekalian dijadikan jejak kenang-kenangan, karena kebanyakan barang tersebut tidak kami simpan.


Radio Tape

Dari 3 radio tape yang ada di rumah kami, radio tape Sony double deck adalah yang paling sering saya pakai. Punya fungsi utama untuk karaoke yang dimanfaatkan dengan baik oleh Ibu saya untuk latihan, hingga beberapa kali jadi juara lomba karaoke tujuh belasan di RW. 

SONY Double Deck ini sepertinya salah satu produk yang cukup sukses. Soalnya selain di rumah, di rumah mertua saya juga ada. Cuma yang disana nggak pernah dipakai latihan karaoke jadi nggak punya piala.

Dengan radio tape ini saya juga melakukan pembajakan kecil-kecilan. Membuat mixtape dari kaset-kaset yang dipinjam dari teman-teman dan juga lagu-lagu yang diputar di radio. Radio tape ini juga yang menemani saya belajar di 2/3 malam saat menghadapi SPMB. hiburan kala itu adalah kirim-kiriman salam tapi dengan nama samaran. Lalu besoknya menerka nerka siapa kirim salam ke siapa.


Kulkas dengan Freezer Jebol

Waktu kecil saya ini sering sekali tidak sengaja merusak barang. Selain terminal listrik yang tercerabut sampai ke ujung kabelnya, dan pintu yang jebol berkali-kali karena saya terkunci dibaliknya, korban energi penghancur saya yang paling epic adalah freezer kulkas. Saya ingat waktu itu kulkas tersebut masih baru. Ibu gembira karena akhirnya punya freezer yang cukup besar. Kemudian datanglah saya. Dengan sekuat tenaga menarik pintu freezer. Tanpa tau ada tombol yang harus ditekan. Alhasil pintu freezer tersebut jebol. Patah bingkainya. Bolong sampai akhir masa pengabdiannya.

Piala Penghargaan

Di rumah ada beberapa piala penghargaan. Paling bergengsi punya adik saya yang pernah dikukuhkan sebagai murid teladan tingkat kotamadya. Paling random punya saya. Juara LCT P4 tingkat kecamatan. Alias orang yang paling cepat menjawab pertanyaan seputar pengamalan pancasila sekecamatan. Lumayan dipanggil saat upacara hari Senin dan dikeplokin satu sekolah. Sayang perjuangan saya kala itu mandek di Kotamadya. Padahal kalau sampai Provinsi bisa diliput TVRI.


Satu lagi piala random saya adalah hadiah juara I lomba karaoke islami antar TPA se-Kecamatan. Saya ingat lombanya saat bulan puasa. Lokasinya di TPA yang ada di kampung seberang. Judul lagunya "Jilbab Putih". Disuruh bolos tadarus saat ramadan, buat ikut lomba karaoke. Agak absurd memang. Untung menang.


Fresco di teras belakang

Kalau Sistine Chapel punya fresco yang dibuat Michelangelo, teras belakang rumah saya punya fresco hasil karya teman Ibu yang guru seni rupa. Gambarnya cukup random: hutan belantara dengan 4 monyet dan binatang lain yang sepertinya tidak nyambung habitatnya. Entah apa filosofi dibalik gambar tersebut. Mungkin ibu saya punya obsesi terpendam menjelajah hutan-hutan ala Dora The Explorer.




Kursi Kayu di Teras

Bapak saya dulu membangun teras yang besar tujuannya buat jadi tempat akad nikah anak-anaknya. Alhamdulillah kesampaian. Saya dan adik disahkan jadi isteri orang di teras tersebut


Di teras itu ada 1 set kursi kayu. Saksi bisu perjalanan cinta monyet kala SMA. Orang tua saya tidak pernah melarang saya pacaran. CUMA, pacarannya harus di teras rumah. Jadi seluruh RT bisa melihat. Ikut mengawasi dalam diam. Tak jarang langsung memberikan laporan pada orang tua saya yang mungkin juga mengintip dari dalam.


Suami nggak pernah ngapelin di kursi kayu, soalnya dia mah langsung masuk ke ruang tamu. Bukannya apa-apa, rumahnya jauh sama nggak tahan nyamuk.

Magnum Opus

Ada dua hasil pelajaran seni zaman SD yang masih tersimpan di rumah hingga puluhan tahun lamanya: Ukiran sapi dari gips dan prototipe durian. Mungkin buat orang tua saya, dua benda itu adalah magnum opus. Masterpiece yang patut dirawat dan dilestarikan. Dipamerkan dan diperlihatkan pada dunia. Barangkali bagi mereka, anak-anaknya adalah Raphael dan Leonardo Da Vinci. Tentu saja yang seniman bukan yang Teenage Mutant Ninja Turtles.


Diskon Prestasi


Toko serba ada di Semarang yang populer namanya toko ADA. Seperti YOGYA-nya Semarang. Walaupun outletnya tidak sebanyak GRIYA dan YOGYA. Zaman dulu kala, toko ADA selalu memberikan diskon pada anak yang dapat rangking 1-5 setelah pembagian raport. Karena waktu SD saya cukup sering dapat rangking, maka saya selalu dapat diskon anak pintar. Sayangnya setelah SMP, saya tidak pernah dapat rangking 1-5 lagi, jadi diskonnya terpaksa nebeng adik saya, yang sampai SMA juga masih berprestasi. Suatu kebanggaan tersendiri bisa mempersembahkan diskon pada orang tua untuk beli belanjaan bulanan. Walaupun cuma 5%. Lumayan bisa buat jajan cakwe dan odading di parkiran.


Cermin Berpikir Positif


Seingat saya tulisan ini sudah ada semenjak saya bisa membaca, sekitar 33 tahun yang lalu. Saya kurang tahu kejadian apa yang membuat Ibu menuliskan kata-kata tersebut di cermin dengan spidol permanen (warna spidolnya memang perak). Mungkin memang ingin saja atau ada makna lebih dalam dibaliknya. Suatu misteri yang sampai sekarang tak pernah bisa saya pecahkan. Mungkin kalau dibuat drakor bisa jadi 1 serial sendiri.


Tulisan di cermin ini juga konon adalah salah satu yang mendorong orang yang membeli rumah kami untuk memilih rumah tersebut. Jadi kacanya tetap kami biarkan tergantung di kamar. Walaupun tetangga sudah banyak yang mengincar untuk dijadikan kenang-kenangan.


Penutup

Wall of fame yang diinisasi oleh saya yang kurang kerjaan saat liburan masuk SMP dan rak buku tempat semua buku favorit berada Salah dua yang paling berat untuk dibereskan kemarin. Karena rasanya benar-benar seperti menutup kenangan.

Tulisan ini dibuat sekaligus untuk penanda penutup bab hidup saya di Semarang.Walaupun kota ini akan tetap saya sebutkan sebagai kampung halaman setiap ada orang yang bertanya. Tapi untuk pertama kalinya dalam 37 tahun saya tidak lagi punya rumah disini. Sedih sekaligus lega. Karena satu beban terangkar. Semoga mempermudah hisab orang tua nanti di akhirat dan amal jariyah mengalir dari barang-barang yang dibagikan dengan cuma-cuma.






9 comments:

  1. Ahh... saya merasakan hal serupa ketika harus mengosongkan rumah bapak dan ibu lalu pindah ke rumah sendiri. Rasanya ingin bawa semua barang karena nilai memorinya, tapi tentu tak mungkin, nggak akan muat di rumah mungil saya. Jadi cukup mengenang dalam ingatan saja.

    ReplyDelete
  2. Ngakak di lomba karaoke islami :)) ada juga ya lomba gini.artefaknya kayanya lebih lama umurnya dari tugas kuliahku teh

    ReplyDelete
  3. Aamiin 🤲
    Aaahhh haruuu. Semoga penghuni barunya bisa mendapatkan kenangan2 seindah teh Restu dan teh Ririn 🥰

    ReplyDelete
  4. Ya ampun teh Restu. Artefak durian he3 ....
    Artikel ini jadi inspirasi nih ... mumpung lagi liburan di rumah Mamah, aku mau berburu artefak juga ah ... kali aja nemu barang langka dan berharga jaman cilik.

    ReplyDelete
  5. Wah...jadi pengen juga nyari foto zaman akad nikah di rumah ortu di JKT. Tiga putri² ortu saya nikah di sini...

    ReplyDelete
  6. Ya Allah, aku banyak ngakaknya baca tulisan Restu ini. Benar-benar rumah yang banyak kenangan ya buat Restu & Ririn. Pasti berat harus melepas kenangan bersama Bapak & Ibu di Semarang. Mudah-mudahan yang beli nanti bisa punya kenangan seru-seru juga seperti kalian sekeluarga.

    ReplyDelete
  7. Ruang tamu jadi tempat akad. Alhamdulillah Tercapai di nikahan adik. Hikmah pandemi adek jadi akadnya di rumah saja.
    Saya sering merasakan perasaan "goodbye home" di Bandung saat beberapa kali pindah kontrakan. Termasuk pindah kosan. Apalagi yang pernah ditinggalkan lama.

    ReplyDelete
  8. Wah, saya terharu. Rumah masa kecil memang menyimpan banyak kenangan, suka maupun duka. Pastinya akan menjadi cerita yang panjang untuk anak cucu nanti.

    (Sari Rochmawati - rochma.writer512@gmail.com )

    ReplyDelete
  9. Ehehehe Restuuu, tulisan Restu memberi rasa haru dan kehangatan tersendiri buat saya. Caption-caption di setiap foto barang kenangan kocak banget, dari yang kepala masuk freezer, dan dua jenis kursi di teras dan ruang tamu. Ampuuuun wkwkwkwk

    ReplyDelete