Thursday, July 20, 2023

Berdamai Dengan Semarang

Beberapa tahun terakhir, berbagai kejadian membuat saya trauma dengan Semarang. Saking traumanya, memikirkan untuk mengunjunginya saja membuat saya stress. Hingga akhirnya pada bulan kemarin, saya tidak punya alasan lagi untuk menghindar. Mau tak mau harus menghadapinya. Saya pun mencoba berdamai dengan kota tempat saya dibesarkan, dalam 18 tahun pertama kehidupan saya di dunia. Kota yang setelah saya tinggalkan, selalu saya sebutkan sebagai daerah asal saya. Jika ada yang bertanya. 

Saya pikir kalau saya menelusuri kembali sudut-sudut kota Semarang, mungkin saya bisa menghapus trauma. Karena toh kota-nya sendiri baik-baik saja. Melalui Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Bulan Juli, yuk temani saya menelusuri Semarang.

Stasiun Tawang

Mari kita mulai penelusuran kita dari Stasiun Tawang. Ketika pergi ke Bandung pertama kalinya 19 tahun lalu, kereta yang saya naiki berangkat dari sini. Diiringi lagu Gambang Semarang, yang diputar berulang dari speaker peron. Bangunan Stasiun Tawang tidak banyak mengalami perubahan. Mungkin karena bergaya kolonial, jadi sudah masuk kategori untuk tidak boleh dipugar sembarangan. Stasiun Tawang memang berlokasi di kawasan Kota Tua Semarang. Kawasan yang saat ini paling sering dibicarakan orang.

Kota Tua

Sungguh ide yang brilian bagi pemerintah Kota Semarang untuk menyediakan tempat parkir bagi pengunjung Kota Tua Semarang. Jalan utamanya bisa lebih khusyuk disusuri tanpa harus terganggu mobil yang lalu lalang. Satu-satunya masalah berjalan-jalan disini adalah udara panas yang menyengat. Terasa berat karena kelembapan yang tinggi. Ah, rasanya dulu Semarang tak sepanas ini. Atau saya yang sombong karena sudah lama tinggal di tempat yang lebih dingin?

Dua puluh tahun lalu, siapa yang mengira bahwa kawasan kota tua Semarang akan menjadi tempat yang hits dan instagramable. Tidak ada yang berminat jalan-jalan kesana, kecuali untuk mencari masalah. Kumuh, suram, shaddy. Cocok dijadikan latar belakang film gangster. Di berbagai sudut ada genangan rob. Banjir karena pasang air laut. Kalau sedang parah, seluruh kawasan tergenang. 

Kata Didi Kempot sih: "Semarang kaline banjir..Ja sumelang ra dipikir"

Revitalisasi kota tua Semarang menurut saya, adalah salah satu yang terniat. Kota tua yang dihindari, sekarang disulap menjadi kawasan yang sangat menyenangkan untuk dikunjungi. Pembangunan polder untuk mengatasi rob di tahun 2010 merupakan faktor utama kesuksesan revitalisasi kawasan ini. Semenjak tak ada banjir, renovasi dan restorasi bisa dilakukan dengan lebih mudah. Hampir semua gedung direnovasi, paling tidak bagian luarnya. Bata-bata merah kembali menghiasi fasad gedung. Mengingatkan pada gedung-gedung berbata merah di Eropa.

Kawasan di dekat gereja blenduk jadi daya tarik utama. Setiap hari puluhan orang berlalu lalang di kawasan ini. Ada yang sekedar nongkrong di kafe-kafe yang bertebaran di kota tua, ada yang berfoto-foto, atau sekedar jalan-jalan mencari hiburan. Public space yang sangat beruntung dimiliki oleh masyarakat kota Semarang.

Lucunya kalau makan ke Kota Tua Semarang dulu keluarga saya malah selalu memilih restoran Ikan Bakar Cianjur yang letaknya di depan Gereja Blenduk. Suami sampai pusing. Jauh-jauh ke Semarang makannya khas Cianjur.

Jalan Pemuda

Keluar dari wilayah kota tua, menuju pusat kota, salah satu jalan yang bisa dipilih adalah Jalan Pemuda. Sekolah saya, SMA 3 Semarang, berada di sini. Dulu tak ada yang istimewa dari jalan ini, tapi sekarang jadi salah satu jalan paling trendy. Sudah jadi rute umum buat pelancong. Maklum, Mall Paragon ada di salah satu ujungnya, sementara di ujung lainnya ada Tugu Muda dan Lawang Sewu. Di tengah-tengah ada DP Mall. Saat ini adalah mall paling laris di Semarang. Mungkin ACnya paling dingin.

Lawang Sewu

Di ujung Jalan Pemuda adalah lokasi Lawang Sewu. Ikon Kota Semarang yang dulu mangkrak tapi lalu menemukan jati dirinya kembali. Sewaktu saya masih sekolah, tak ada yang berani dekat-dekat gedung peninggalan Belanda itu. Bangunannya memang intimidating karena besar dan konon katanya penuh penunggu. Paling terkenal tentu hantu Noni Belanda yang kabarnya sering muncul di ujung tangga di depan mozaik kaca. Sayangnya pamornya kalah dengan genderuwo penghuni penjara bawah tanah yang debut live di acara Uji Nyali Trans TV. Acara TV yang membuat semua mata menoleh ke bekas kantor Kereta Api hindia belanda tersebut. Sebuah kesempatan yang akhirnya membuat Lawang Sewu direnovasi hingga menjadi ikon wisata paling terkenal di Semarang.

Mozaik yang katanya sudah sering jadi panggung kemunculan Noni Belanda (Sumber: detik travel)

Terakhir kali saya ke Lawang Sewu adalah saat mengantar keluarga besar suami. Sekitar 12 tahun yang lalu. Waktu itu saya tak berminat mengikuti rombongan yang dengan semangat masuk ke bawah tanah. Takut jadi saksi comeback si Genderuwo. 

Jalan Pandanaran

Jalan yang wajib dikunjungi turis Semarang adalah Jalan Pandanaran. Menghubungkan Tugu Muda dan Simpang Lima, jalan ini penuh toko penjual oleh-oleh. Bandeng Presto merk Presto, Lumpia Djoe, dan Mochi Gemini, adalah buah tangan yang selalu saya beli saat ke Semarang. Sayangnya harga ketiganya cukup fantastis. Contohnya 1 buah lumpia Djoe harganya sampai Rp.25.000.  Mungkin saking pede dengan rasanya yang memang premium.

Tapi no worries, kalau kantong pas-pasan atau yang dikasih oleh-oleh harus satu RT, di Pandanaran banyak pilihan yang lebih ekonomis. Contohnya jambu air, wingko babat, dan Tahu Baxo. Tahu bakso hits dari Ungaran yang sudah merambah Semarang. Namanya memang pakai "X". Bukan saya salah ketik.

Simpang Lima

Di ujung Pandanaran ada Simpang Lima. Alun-alun kota Semarang yang letaknya memang di tengah-tengah kota. Bukan gimmick belaka seperti banyak alun-alun kota lainnya. Kelima jalan yang terhubung dengan Simpang Lima, bisa ditebak adalah jalanan utama kota Semarang. Ya iyalah masa jalanan utama kota Kudus.

Simpang lima adalah pusat hiburan rakyat bagi warga kota Semarang. Setiap malam ada sepeda berhias lampu berbagai bentuk yang bisa disewa untuk berkeliling. Di pinggir jalan berjejer warung tenda kaki lima yang menjajakan berbagai makanan. Tenang saja, harganya masih wajar. Tidak mencekik leher seperti umumnya di pusat keramaian. Konon paling terkenal adalah nasi ayam, nasi kucing, nasi gandul yang kedainya buka sampai jam 3 pagi. Kala akhir pekan ada mobil-mobilan aki berbagai bentuk yang bisa jadi hiburan asyik buat anak-anak. Anak-anak senang orang tua gosong. Mataharinya nggak kira-kira soalnya kalau di Semarang.

Gombel

Dari Simpang Lima, lewat jalan Pahlawan, mari naik ke daerah perbukitan. Salah satu hal yang menarik dari Semarang adalah adanya bukit-bukit yang menawarkan pemandangan kota dan laut. Paling terkenal adalah kawasan Candi dan Gombel. Asal muasal legenda Wewe Gombel., kawasan elite semenjak dulu, daerah ini dipenuhi rumah-rumah megah milik Crazy Rich Semarang (Konon saking pada kayanya sampai ada yang punya pohon Baobab di pekarangan rumahnya). Di bukit ini juga terdapat berbagai restoran. Dari yang klasik sampai kekinian.

Sempat viral karena untuk ngangkutnya sajaharus pakai truk trailer. Memang nggak bisa biasa-biasa saja kalau crazy sih. (Sumber: Tribun Solo)

Paling hits zaman dulu adalah restoran Alam Indah. Makan ditemani pemandangan lepas gemerlap lampu kota Semarang dan laut jawa yang membentang sampai horison langit. Restoran yang hanya keluarga kami datangi kalau ada saudara dari Jakarta yang datang.

Kemahsyuran restoran ini sekarang sudah terkalahkan oleh berbagai restoran yang lebih modern. Saya bahkan tak tau apakah restoran ini masih beroperasi atau tidak.

Ngaliyan

Dari Gombel, melalui jalan tol, kita bisa mendatangi Ngaliyan. Daerah rumah masa kecil saya. Daerah ini terletak di salah satu bukit paling barat di Semarang.  Zaman dulu lokasi Ngaliyan ada di pinggir kota. Tak jauh dari rumah saya ada perkebunan karet. Pohon-pohon karet berjejer rapi. Membentuk lorong-lorong panjang yang tak terlihat ujungnya. 

Sekarang, 20 tahun setelah saya tinggalkan, tiba-tiba Ngaliyan tak lagi ada di pinggiran kota. Perkebunan karet digusur digantikan perumahan-perumahan merk ternama yang ada kudanya. Dalam waktu 10 tahun, Ngaliyan sudah bukan daerah Semarang coret. Walaupun nggak jadi elite juga kayak gombel. Sedang-sedang sajalah. Lumayan sudah lengkap gerai fast food: KFC, Mc Donalds, Burger King plus tempat les Kumon. Bisalah pamornya menyaingi BSD.

Suasana perkebunan karet yang hijau. Hanya tinggal kenangan
(Sumber: gurusiana.id)

Penutup

Semarang. Kota ini untuk selamanya akan menempati bagian yang istimewa di hati saya. Walaupun bukan lagi tempat untuk pulang, tapi serpihan kenangannya akan terus saya bawa sampai akhir hayat. 


9 comments:

  1. Semarang kota yang aku suka juga nih teh Restu. Beberapa kali Semarang jadi pit stop ketika road trip ke Jawa Tengah. Gowes di Kota Tua, kuliner malam di Simpang Lima, menghadiri wisuda doktor kakanya suami di Undip. Kata suamiku ... jaman cilik (tinggal di Solo) sering ke sini juga karena ibunya ambil spesialis di Undip dan punya rumah di dekat kampus.

    ReplyDelete
  2. Beberapa kali ke Semarang tuh engga bosen-bosen. Terakhir ikut workshop penulisan di Demak, tapi hotelnya di Kota Tua Semarang, biar dekat stasiun Tawang. Apalagi Eyang-eyangku makamnya di Semarang. Jadi serasa punya keluarga gitu di Semarang. Kata suami, bahasa Jawanya lucu. Lah iya, soalnya suami orang Malang. Beda banget...hehe...

    ReplyDelete
  3. Baca tulisan Restu mengembalikan ingatan tipis-tipis rasanya pernah ke kota ini. Ternyata memang benar sempat kunjungan beberapa hari dalam rangka kerja praktek survey Rumah Sakit Kariadi Semarang. Sayang nggak sempat jalan-jalan banyak. Namanya juga anak magang. Cuma ingat kotanya cantik dan bersih.

    ReplyDelete
  4. Sekalinya ke Semarang, bisa dibilang saya nggak ke mana-mana, ke tempat wisata maksudnya. Boro-boro ke Lawang Sewu. Jadi yang terasa sedikit relate ya cuma soal Stasiun Tawang doang.
    Buat Teh Restu mungkin Semarang hanya indah untuk dikenang ya, tapi bukan sebagai tempat pulang. Ikut melankolis bacanya.

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah puji syukur Restu sudah berdamai dengan keadaan dan semoga baik-baik selalu. :)

    Wah ini bacanya sudah kayak baca guide untuk para turis ya ehehe. Nah itu tuh Lawang Sewu, ihihihiiy, waktu itu ku sempat berkunjung ke situ, ndilalah-nya kok ya pas ke sananya tuh sore menjelang Maghrib dan hujan deras pula. Asliii dag dig dug keinget genderuwo yang viral itu.

    Overall, aku suka banget dengan Semarang, Restu, dan paliiiing seneng sama hotel yang waktu itu kuinepin, namanya hotel Tentrem.
    Masuk list the best hotel in Indonesia versiku, paduan modern hi-tech-nya dan Jawa jadulnya ampuunnn kerennya.

    ReplyDelete
  6. Aku belum pernah ke Semarang nihh.. Tapi dulu nonton tuh si Genderuwo live di Uji Nyali. Ngikik juga waktu baca soal Gombel dan pohon Baobab. Oke lah next must visit nih Semarang. Selama ini cuma lewat doang waktu mau ke Bali via darat.

    ReplyDelete
  7. Wuiii komplittt. Semoga lain kali bisa ke Semarang lagi. Dr daftarnya teh Restu, baru ke Lawang Sewu aja tahun 2016 lalu. Tapi akses ke bawah tanahnya ditutup deh, pas itu 🤔 Halah, kyk berani masuk aja! 😂

    ReplyDelete
  8. Semarang juga pernah jadi bagian dari hidup saya. Walau cuma setahun. Masa2 jadi pengangguran anak lulus SMA mau kuliah. Sempet sekosan sama anak2 Undip atas di daerah Tembalang

    ReplyDelete
  9. Rumah Eyang saya dulu di Pandanaran. Waktu kecil setiap lebaran saya selalu ke sana. Sampai sekarang Om dan Tante juga masih tinggal di Semarang. Dibanding kota atau makanannya, yang paling terkenang itu malah panasnya. Belum juga keluar kamar mandi, udah keringetan lagi, wkwk.

    ReplyDelete