Thursday, January 27, 2022

Surat untuk Ibu

Hallo Bu,


Apa kabarnya?

Bu, nggak kerasa 31 Januari 2017 ini genap lima tahun terakhir aku ketemu ibu. Ya kerasa sih sebetulnya. Tapi it gets better. Eits, jangan manyun dulu Bu, bukan berarti aku lupa sama Ibu. Cuma sudah lebih bisa nerimo saja kok. Hihi. 

Eh, aku sudah pernah cerita tentang hari itu belum sih Bu? 31 Januari 2017. Hari  ibu pergi. Kayaknya belum pernah ya. Aku belum pernah cerita kesiapa - siapa sih memang. Sekarang aku cerita ke Ibu deh. Aku udah bisa kok nulisnya nggak pakai nangis lagi.

Ibu masih ingat nggak? Tanggal 30 Januari malam, setelah Isya, Ibu nyuruh aku sama Bapak pulang ke rumah. Ada Bude yang bisa gantiin jagain Ibu, jadi Bapak bisa istirahat. Bapak sudah kecapekan banget karena hampir dua minggu non stop nungguin Ibu sendirian. Aku sama adek nggak bisa gantian ke Semarang jagain Ibu dua minggu itu karena ada kewajiban lain. Andai kami tau ya Bu. Kewajiban apa coba yang lebih penting dari Ibu? 

Aku juga sudah pengen banget rebahan setelah naik kereta api delapan jam dari Bandung. Pegal sekali badan. Jadi menyesali, kenapa di kamar Ibu waktu itu nggak ada sofanya ya. Kalau ada kan aku bisa bobo disana. Waktu kami pamit mau pergi, Ibu ceria sekali. Makan habis banyak. Seharian penuh canda tawa. Mungkinkah sebenarnya pertanda? 

Malam itu di rumah, aku sama Bapak makan enak pakai sop buntut. Kesukaan Ibu ya sebetulnya. Sayang Ibu nggak ikut makan. Bapak makan lahap banget deh Bu. Alhamdulillah nggak salah pilih menu. Setelahnya kami tidur nyenyak sekali. Saking nyenyaknya, mimpi pun enggak. Sudah lama aku nggak tidur nyenyak begitu. Dua bulan lebih tidurku gelisah. Kepikiran tentang Ibu. 

Tapi ternyata mimpi buruk itu datang keesokan harinya setelah Subuh. Bude telepon. Histeris menyuruh aku dan Bapak cepat datang.

Aku masih ingat, aku dan bapak hanya terdiam sepanjang perjalanan, yang rasanya lama sekali. Radio mobil Bapak yang tidak bisa dimatikan karena rusak memainkan lagu yang aneh. Sungguh aku nggak pernah tau lagu apa itu Bu. Aku belum pernah dengar sebelumnya. Tapi liriknya seperti dikirim Ibu untuk Bapak.

Aku pergi dulu, jangan kau tangisi terlalu lama.
Adegan setelahnya malah seperti di sinetron Bu. Sinetron yang sering Ibu tonton malam - malam itu, yang aku bilang konyol ceritanya. Sayangnya ini nyata. Jadi aku nggak bisa ketawa - ketawa seperti biasa. Aku turun duluan dari mobil sementara Bapak parkir. Saat aku lewat, suster - suster yang biasanya ramah menyapa, kali ini hanya diam saja. Malah ada yang pura - pura tak lihat. Sampai depan kamar Ibu, aku disambut oleh Ustad yang mengucapkan belasungkawa. Di samping kamar sudah ada keranda.

Di dalam kamar, bude sedang membereskan barang - barang. Sikapnya tenang. Terlalu tenang malah. Aku tau beliau terguncang. Menyaksikan Ibu pergi pasti bukan pengalaman yang mudah dilupakan.

Ibu terlihat damai sekali saat itu Bu. Wajah Ibu cerah. Seperti tidur saja. Seutas senyum di bibir Ibu. Cantik sekali.

Aku heran waktu itu aku malah nggak nangis Bu. Nggak bisa nangis tepatnya. Rasanya seperti mati rasa. Seperti ada yang menyabut kabel emosiku. Cuma hampa yang terasa.

Bapak datang tak berapa lama. Tegar sekali. Malah masih sempat mengurus administrasi dan menelepon kesana kemari. Entah dapat kekuatan darimana. Sepertinya waktu itu Bapak juga sama denganku deh Bu. Mati rasa.

Aku nggak tau harus ngapain. Jadi aku cuma telepon Abem, minta dia segera datang. Hari itu sebetulnya jadwal dia ngajar di Jatinangor. Untung dia belum berangkat, jadi bisa ngejar pesawat siang untuk ke Semarang. Lalu aku telepon Adek. Dia sudah punya firasat, jadi sudah pesan tiket pesawat untuk ke Semarang siang itu. Baba hari itu juga ndilalah nggak ke pabrik, jadi bisa pergi bareng. Setelah telepon dan mengabari beberapa teman, aku duduk saja diam di pojokan. Menunggu Bapak selesai.

Di mobil saat perjalanan pulang, kembali aku dan Bapak terdiam. Sampai akhirnya di suatu lampu merah, sepertinya tsunami kenyataan menghantam Bapak dan beliau langsung menangis kencang - kencang.

Sampai rumah di pagi hari itu adalah yang terburuk Bu. 

Rasanya hari sudah berjalan lama sekali tapi ketika kami sampai di rumah baru jam setengah delapan pagi. Di rumah sudah ada keramaian menunggu. Tetangga, kerabat, dan handai taulan. Cepat sekali ya kabar menyebar. 

Semua orang sibuk mempersiapkan ini itu untuk mengantarmu pulang ke peristirahatan terakhirmu. Semua orang juga ribut mengerumuniku. Menanyakan kronologis kepulanganmu pagi itu.  Suasana muram. Semua wajah menunjukkan kesedihan, kegetiran, atau penyesalan. Cerita - cerita tentang Ibu bercampur baur di udara. Betapa baiknya. Betapa cepatnya pergi. 

Ibu tau kan aku tak suka keramaian. Semakin ramai, semakin aku ingin sendirian. Kepalaku mulai pusing dan dada rasanya sesak. Jadi aku kabur. Kukunci diriku di kamar. Sampai Abem dan Adek datang. Tak kupedulikan mereka yang ada. Aku nggak sanggup menghadapi orang - orang itu dengan segala pertanyaan, komentar, dan teorinya.

Biasanya Ibu pasti akan menyereweti aku, kalau tau aku kabur seperti itu. Tapi biarlah pikirku. Toh Ibu tak ada lagi disitu. Ku tak peduli kalau orang lain yang ribut.

Kenapa orang yang datang ke rumah yang sedang berduka malah sering bawel ya Bu? Tanya ini itu. Komentar begini begitu. Malah sampai ada tamu yang pengen aku tonjok beneran deh. Tamparlah minimal. Kalau tonjok terlalu brutal. Kesal sekali aku karena komentarnya tentang sakitnya Ibu. Katanya Bapak, Aku, dan Adek nggak peduli sama Ibu, sampai nggak tau Ibu sakit parah.

Wow. Sok tau sekali pikirku. 

Untung saat itu Abem sudah datang. Tau kalau aku emosi dia langsung menggeretku menjauh. Ingat - ingat bayi di perutmu, katanya. Kasihan dia kalau kamu emosi.

Gara - gara itu, sampai sekarang kalau harus pergi mengunjungi orang yang tengah kehilangan orang tersayang, aku cuma mengucapkan kata - kata simpati, lalu aku diam saja. Kecuali orang yang kutemui mau cerita lebih dulu. Tapi itupun tak akan aku tanya - tanya, atau komentari, apalagi berteori. Aku cuma bakal mendengarkan saja. Betul nggak sih sikapku, Bu?

Wah sudahlah

Pokoknya hari saat Ibu pergi dan setelahnya adalah hari - hari terlama dan terberat dalam hidupku Bu. Waktu rasanya lambat sekali berlalu. Rumah masih sama dan rasanya Ibu seperti tidak pergi selamanya. Hanya pergi ke sekolah untuk mengajar saja seperti biasa atau arisan dan pengajian ke rumah tetangga. Berkali - kali kulirik pintu depan, berharap Ibu akan datang dan membuktikan kalau hari - hari itu bukan kenyataan.

Tapi tentu yang terjadi bukan impian. Ibu memang sudah pulang. Bukan ke rumah yang biasa, tapi pergi ke Pemilik Ibu.

Ngomong - ngomong soal bayi. 

Si bayi yang waktu Ibu pergi masih berumur 6 bulan di perutku, sekarang alhamdulillah sudah jadi anak umur 5 tahun lho. Kata orang - orang dia mirip sekali denganku. Dari muka sampai kelakuan.

Sudah tak bisa terelakkan kalau aku memang anak Ibu. Haha. 

Kalau sedang kesal menghadapi dia dan adeknya, aku sering ingat denganmu Bu. Aku tau dulu Ibu juga sering jengkel dengan aku dan adek, karena kami kompak ngeselinnya. Cuma Ibu baik hati saja, jadi kami cuma sesekali kena murka. Haha. Sayang Ibu sudah nggak ada disini buat ngetawain kami. Nyukurin kami karena kena batunya. Punya anak - anak yang kelakuannya persis sama dengan kami dulu.

Ibu, Ibu datang dong ke mimpiku. 

Aku kangen sama Ibu.

In loving memoriam 31 January 2017 - 31 January 2022. Our beloved Mami and Yangmi. 
Sayang cuma cucu pertama yang pernah ketemu Ibu ya. Sekarang cucunya sudah 4 lho.

Semoga nanti kita bisa ketemu lagi

Ya Bu? 

Cerita - cerita sampai cekikikan seperti dulu. Kruntelan bertiga sama adek. Untuk sementara baik - baik disana ya. Semoga tempat Ibu selalu lapang, terang, dan penuh ketenangan.

Salam untuk Bapak ya.


- Restu -



Ditulis untuk ikutan Nulis Kompakan Mamah Gajah Ngeblog bulan Januari dengan Tema Menulis Surat.

10 comments:

  1. Aamiin aamiin ya Rabb. Insha Allah suatu saat bisa berkumpul kembali dengan Ibu dan Bapak di suatu tempat yang indah dan situasi yang sungguh menyenangkan. :)

    ReplyDelete
  2. Amin YRA, semoga Ibu dan Bapak mendapat tempat yang terbaik ya Restu.

    Alm Mamiku juga meninggal bulan Januari Restu, beda dua hari dan dua tahun tapinya hehe. Ternyata grieving process kita mirip ya, somehow dulu juga aku ga bisa nangis, dan betul yang Restu bilang, hanya ada perasaan hampa.

    Semoga Allah menerima amal ibadah orang tua kita, Allahummagfirlaha warhamha wa'afiha wa'fuanha, husnul khatimah InshaAllah.

    ReplyDelete
  3. Ohiya kok mirip banget sih🤣

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dasar ini yang komen adik sendiri hihihi.. postingan menyayat hati malah ketawa hihihi
      tapi emang mirip, teh Restu. beneran fotocopy..

      Duh hug hug buat teh Restu.. speechless ya aku bacanya juga sambil berair matanya...
      semoga teh Restu terus semangat yaaa menjadi ibu yang baik sama seperti almarhumah Ibu ❤

      Delete
  4. Insyaallah akan berkumpul di SurgaNya kelak ya Teh...

    ReplyDelete
  5. Teh mirip bener sama alm. Ibunya ya. Aamiin. Aku jadi keingetan alm.Papaku nih. Semoga teteh dan keluarga diberi ketabahan ya.

    ReplyDelete
  6. Iya teh sama, kalau ada orang berduka ga berani ngomong banyak, takut salah ngomong. Kalau denger cerita cerita teman yang berduka, bahkan yg kita kira kalimat penyemangat itu bisa menyakitkan buat org tersebut.

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah Teh Restu udah bisa melewati proses merelakan, jadi sekarang bisa cerita dengan tenang. Memang kalau datang ke tempat duka, lebih baik mengucapkan bela sungkawa aja, ya, ga usah ada tambahan lain. Takutnya malah jadi menyinggung.

    ReplyDelete
  8. Al Fatihah teh untuk almarhumah Ibu.. btw pas liat foto yang kolase, awalnya ku bingung yang mana yg teteh yang mana yg alm Ibu.. hihi.. mirip bgt teeh :)

    ReplyDelete
  9. Argh... bener emang ya, orang-orang yang datang ke rumah duka kadang2 bukannya ikut berduka, suka banyak tanya dan komentar kurang pas. Aku sendiri bukan orang yang tahu berkata apa di situasi menyedihkan, mau komen di sini juga masih bingung mau komen apa, karena rasanya jadi ikut sedih aja...

    ReplyDelete