Saya pergi mengunjungi teman di rumah sakit. Rumah sakit tempat teman saya tersebut dirawat adalah rumah sakit besar berbangunan tua dengan banyak lorong penghubung. Saya tidak pernah menyukai rumah sakit karena rumah sakit selalu berbau khas rumah sakit, dan suasananya muram.
Anyway sampai di depan ruangan tempat teman saya dirawat, saya tidak bisa langsung masuk ke dalam kamarnya, karena dia sedang dikunjungi oleh ibu ibu tetangganya. Saya tidak terlalu heroik sehingga berani mencemplungkan diri di tengah percakapan bahasa sunda ibu ibu (FYI saya ini orang jawa) dengan risiko terbengong-bengong, maka dari itu saya memutuskan untuk duduk-duduk di tempat duduk yang ada di sepanjang koridor di depan kamar teman saya, sambil menunggu ibu-ibu tetangga berbahasa sunda pulang.
Saat saya duduk saya merasakan sepasang mata menatap saya dari lorong penghubung yang ada di ujung koridor. Saya tidak bisa menjelaskan bagaimana saya merasakan bahwa sepasang mata menatap saya, pokoknya saya merasakannya. Karena penasaran saya mengamati koridor tersebut dan karena saya lupa menggunakan kacamata, saya harus memicing micingkan mata. Di kegelapan lorong tersebut saya melihat sosok seseorang dalam posisi duduk. Capek memicingkan mata saya mengambil kacamata saya dari tas dan menggunakannya. Akhirnya saya bisa melihat sosok tersebut dengan jelas.
Sosok tersebut adalah seorang laki-laki muda botak menggunakan kaos oblong warna putih. Dia duduk di atas kursi roda. Hal yang membat saya kaget adalah dia sangat kurus, tulang-tulangnya terlihat jelas. Saya tidak pernah melihat secara langsung orang yang terkena kanker kecuali di tayangan Oprah, atau Discovery Channel atau majalah majalah, sinetron jelas tidak memberikan gambaran yang baik soal orang yang terkena kanker, karena mana ada orang terkena kanker dengan pipi merah dan rambut prima seperti dari salon ?. Intinya saya tidak pernah melihat langsung kondisi orang yang terkena kanker stadium lanjut, tapi saya tau bahwa laki-laki muda di lorong tersebut menderita kanker stadium lanjut dan dia sedang menatap saya lekat-lekat. Saya jadi merasa tidak enak. Saya dan laki-laki itu saling menatap selama beberapa saat sampai perhatian saya teralihkan oleh ibu ibu tetangga yang berpamitan pulang. Saya kemudian masuk ke kamar teman saya sambil masih memikirkan laki-laki tersebut. Apa yang dia rasakan?.Pertanyaan itu berkecamuk dalam pikiran saya.
Malamnya saya bermimpi laki laki tersebut datang menghampiri saya sambil berjalan, tidak diatas kursi rodanya. Matanya bersinar-sinar. Dia berkata bahwa dia senang bertemu dengan saya, serta berharap saya terus bahagia dan tidak lupa lagi menggunakan kacamata karena katanya muka saya aneh dengan mata terpicing. Ketika saya menanyakan namanya dia hanya tertawa, melambaikan tangan dan pergi menghilang. Saya terbangun dengan air mata mengalir di pipi saya. Saya tidak pernah bertemu laki laki itu lagi tapi saya berharap dia bahagia dimanapun dia berada.
Anyway sampai di depan ruangan tempat teman saya dirawat, saya tidak bisa langsung masuk ke dalam kamarnya, karena dia sedang dikunjungi oleh ibu ibu tetangganya. Saya tidak terlalu heroik sehingga berani mencemplungkan diri di tengah percakapan bahasa sunda ibu ibu (FYI saya ini orang jawa) dengan risiko terbengong-bengong, maka dari itu saya memutuskan untuk duduk-duduk di tempat duduk yang ada di sepanjang koridor di depan kamar teman saya, sambil menunggu ibu-ibu tetangga berbahasa sunda pulang.
Saat saya duduk saya merasakan sepasang mata menatap saya dari lorong penghubung yang ada di ujung koridor. Saya tidak bisa menjelaskan bagaimana saya merasakan bahwa sepasang mata menatap saya, pokoknya saya merasakannya. Karena penasaran saya mengamati koridor tersebut dan karena saya lupa menggunakan kacamata, saya harus memicing micingkan mata. Di kegelapan lorong tersebut saya melihat sosok seseorang dalam posisi duduk. Capek memicingkan mata saya mengambil kacamata saya dari tas dan menggunakannya. Akhirnya saya bisa melihat sosok tersebut dengan jelas.
Sosok tersebut adalah seorang laki-laki muda botak menggunakan kaos oblong warna putih. Dia duduk di atas kursi roda. Hal yang membat saya kaget adalah dia sangat kurus, tulang-tulangnya terlihat jelas. Saya tidak pernah melihat secara langsung orang yang terkena kanker kecuali di tayangan Oprah, atau Discovery Channel atau majalah majalah, sinetron jelas tidak memberikan gambaran yang baik soal orang yang terkena kanker, karena mana ada orang terkena kanker dengan pipi merah dan rambut prima seperti dari salon ?. Intinya saya tidak pernah melihat langsung kondisi orang yang terkena kanker stadium lanjut, tapi saya tau bahwa laki-laki muda di lorong tersebut menderita kanker stadium lanjut dan dia sedang menatap saya lekat-lekat. Saya jadi merasa tidak enak. Saya dan laki-laki itu saling menatap selama beberapa saat sampai perhatian saya teralihkan oleh ibu ibu tetangga yang berpamitan pulang. Saya kemudian masuk ke kamar teman saya sambil masih memikirkan laki-laki tersebut. Apa yang dia rasakan?.Pertanyaan itu berkecamuk dalam pikiran saya.
Malamnya saya bermimpi laki laki tersebut datang menghampiri saya sambil berjalan, tidak diatas kursi rodanya. Matanya bersinar-sinar. Dia berkata bahwa dia senang bertemu dengan saya, serta berharap saya terus bahagia dan tidak lupa lagi menggunakan kacamata karena katanya muka saya aneh dengan mata terpicing. Ketika saya menanyakan namanya dia hanya tertawa, melambaikan tangan dan pergi menghilang. Saya terbangun dengan air mata mengalir di pipi saya. Saya tidak pernah bertemu laki laki itu lagi tapi saya berharap dia bahagia dimanapun dia berada.
No comments:
Post a Comment