Thursday, September 9, 2021

Episode Berbahasa Dalam Kehidupan Saya

Tulisan ini dibuat untuk memenuhi Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Bulan September dengan tema Pengalaman Berbahasa Seumur Hidup.

Episode Semarang : Bahasa Jawa

Saya katakan 80% ketidakfasihan saya berbahasa Jawa adalah karena orang tua saya. Sementara sisa yang 20% nya karena saya kurang berbakat bahasa. Padahal 18 tahun saya hidup di ibukota Jawa Tengah, Semarang.

Bapak saya orang Boyolali. Dekat sekali dengan Surokarto. Alias Solo. Halus bahasanya. Fasih kromo inggil-nya. Saking halusnya Bapak selalu jengah mendengar saya dan adik saya berbicara bahasa ngoko. Alias kasar. Bahasa yang sering kami gunakan dalam pergaulan. Alih - alih mengajari bahasa halus, beliau melarang kami bicara bahasa Jawa di rumah, dengan tetangga, atau siapa pun yang kami temui. Walaupun hanya untuk pergaulan. Mungkin menurutnya percuma kami bisa bahasa halus kalau ada di lingkungan yang tidak berbahasa halus juga. Nanti malah terpengaruh. Lebih baik kami pakai bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Ada kejadian dimana saya pernah kena marah besar oleh Bapak karena mengucapkan kalimat "Mbahku lungo neng Bandung numpak Bis". Nenek saya pergi ke Bandung naik Bis. Ada dua masalah utama dengan kalimat tersebut. Pertama saya menyebut eyang dengan sebutan mbah, sebutan yang paling tidak disukai eyang. Kedua karena saya pakai kata kerja ngoko (kasar). 

Semenjak dimarahi saya tidak berani bicara pakai bahasa Jawa di lingkungan rumah. Takut keceplosan lagi. Di sekolah juga jadi lebih sering pakai bahasa Indonesia. Hanya istilah - istilah tertentu pakai bahasa Jawa. Seperti Cinta Laura tapi Indonesia - Jawa 😆

Masalahnya, karena kedekatan biasanya terbangun dari bahasa yang sama, tak jarang saya merasa out of place. Tidak pernah bisa sepenuhnya akrab dengan teman - teman atau orang - orang sekitar. Kadang orang kurang familiar dengan cara bicara saya. Sering juga saya dibilang sombong karena bahasanya "tinggi" 😅. Mungkin kalau di jaman now, saya seperti anak yang cuma mau bicara bahasa Inggris tapi pergi ke sekolah negeri 😅

Episode Kuliah 1 : Bahasa Gaul

Saat kuliah di Bandung, untuk pertama kalinya saya merasa belong to something. Mungkin karena pengaruh bahasa juga ya. Di kampus, dengan mahasiswa yang berasal dari seluruh pelosok Indonesia, kebanyakan orang menggunakan bahasa Indonesia untuk bicara satu dengan lainnya. 

Waktu pertama masuk kuliah, orang tidak pernah bisa menebak asal daerah saya. Tidak seperti orang Jawa pada umumnya, apalagi orang Jawa yang digambarkan di FTV, saya tidak punya logat. Tidak medok sama sekali. Sayapun selalu bicara bahasa Indonesia, sesuai PUEBI 😆, walaupun ke teman - teman sesama orang Jawa. Kebanyakan orang kaget saat saya bilang saya orang Jawa dan sampai lulus SMA tinggal di Semarang. 

Mungkin karena euforia menemukan teman - teman dengan cara bicara yang sama, dari awal masuk kuliah saya langsung terpengaruh cara bicara teman - teman dari Jakarta dan Bandung. Sempat saya dimarahi seorang teman SMA yang masuk ke jurusan yang sama karena menggunakan kata gue untuk menyebut diri saat acara perkenalan angkatan."SOMBONG KAMU!", katanya. Untung hanya via SMS. Tidak diteriakkan di terowongan Sanken Court. Kalau iya pasti bergema.

SOMBONG.SOMBONG.SOMBONG.SOMBONG.

Dia bilang saya seperti kacang lupa pada kulitnya. Tapi tentu saja tiga bulan kemudian, malah dia yang lebih getol pakai istilah lo gue saat bicara 🤣

Walaupun sudah terbiasa bicara dengan bahasa Indonesia, bukan berarti saya terbebas dari kebingungan bahasa. Berasal dari luar daerah, beberapa kali saya mengalami gegar bahasa. Karena ada kata - kata yang seumur hidup saya percayai sebagai istilah umum ternyata hanya digunakan di Jawa. Contohnya hem (kemeja), rukuh (mukena), gembes (botol minum), njeglek (listrik turun daya), solasi (selotip), mudeng (paham), atau hecter (staples). Sepertinya masih ada beberapa kata lain yang saya sudah lupa. 

Samar - samar saya masih ingat kebingungan petugas peminjaman mukena di Masjid Salman saat saya bilang mau pinjam rukuh. Juga muka prihatin teman yang saya ajak beli hem ke factory outlet. Atau muka asisten yang ruwet saat saya menyampaikan kalau saya kurang mudeng dengan pertanyaan yang diberikan 🥲

Episode Kuliah 2 : Bahasa Inggris

Selama SMA saya belajar bahasa inggris di Lembaga Inggris Amerika alias LIA alias tempat kursus orang yang tidak sanggup kursus di EF 🤪 Saya jalani dengan tekun level demi level. Mulai Basic 3 sampai lulus Advance 4 dan dapat sertifikat. Setelah lulus apakah saya bisa bahasa Inggris dengan lancar? Tentu tidak. Sudah saya bilang, saya ini tidak berbakat bahasa. Paling tidak, tidak seberbakat seperti beberapa orang yang saya kenal

Semenjak Kuliah Mulai Pede Baca Buku Bahasa Inggris (Sumber Dokumentasi Pribadi)

Tapi waktu tes bahasa Inggris untuk menentukan level kelas bahasa inggris di Tahap Persiapan Bersama, hasilnya cukup mengejutkan. Nilai saya tinggi sehingga ditetapkan masuk kelas writing. Ada tiga level kelas bahasa Inggris waktu itu. Reading, Presentation, Writing. Writing yang paling advance. Ada gunanya juga les Inggris di LIA ini 🤣

Saya sekelas dengan beberapa teman - teman yang waktu kecil tinggal atau bahkan lahir di luar negeri. Mereka bisa berbahasa Inggris selancar air mengalir. Kebanyakan teman sekelas saya dari SMA elite Bandung, Jakarta, atau sekolah milik perusahaan minyak. Sudahlah elite, tambah elite lagi karena mereka mungkin lulusan EF 😅 Sungguh ku merasa bangga sekaligus jadi jiper sendiri masuk kelas tersebut. 

Setiap kali menuju kuliah Bahasa Inggris, yang diadakan jam 07.00 pagi di Gedung Kuliah Umum Timur lantai 4 , saya selalu bertanya - tanya. Apakah hasil tes saya tertukar dengan orang lain? Bertanya tanya sambil ngos - ngosan tentu saja karena GKU tidak ada lift-nya dan saya selalu lari karena telat. Akibat angkot dalam komplek yang baru mulai beroperasi jam 06.30 😂

Saat kuliahlah kemampuan membaca bahasa Inggris saya berkembang pesat. Bukan bicara ya. Membaca saja 😁 Dosen - dosen tanpa babibu langsung menggunakan textbook Inggris. Slide kuliahpun bahasa Inggris. Tidak ada tuh istilahnya tidak mengerti. Ya terpaksa harus mengerti. Waktu kuliah S2 malah ada dosen yang mengisi kelasnya dengan mahasiswa bergantian membaca textbook dalam bahasa Inggris. Kalau salah pengucapan dikoreksi. Seperti tadarus tapi dengan topik manajemen proyek 😅

Episode Jerman 1 : Deutsch

Saya harus belajar bahasa Jerman sebagai syarat ikut suami ke Jerman. Ya iyalah masa saya belajar bahasa Jerman untuk ikut suami ke El Savador.

(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Sebelum berangkat saya kursus di Goethe Bandung. Bareng anak - anak kuliah dan anak SMA yang ingin kuliah di Jerman. Selanjutnya saya sempat privat dengan dosen jurusan bahasa Jerman di UPI. Sampai dapat sertifikat A1 sebagai syarat visa.

Di Jerman saya kursus di Volkhochschule Stuttgart. Sampai lulus level B1. Di kelas VHS tersebut saya bintang kelas 😅 Mungkin karena teman - teman saya yang lain pengungsi dari Suriah dan Afghanistan. Selain tidak terbiasa dengan huruf latin, pikiran mereka pasti penuh dengan hal lain.

Karena saya tidak terlalu berbakat bahasa, kemampuan bahasa Jerman saya dalam hal tata bahasa, sampai pulang segitu - segitu saja. Untuk kemampuan bicara sedikit terbantu karena orang Jerman tipe yang tetap bersikeras bicara dalam bahasanya walaupun lawan bicaranya kebingungan. 

Saya ngomong tiga kata, dibalas tiga kalimat. Saya nanya berharap dijawab hanya dengan ja atau nein saja, dijawabnya satu paragraf. Untungnya, karena saya sempat kerja di lingkungan berbahasa full Jerman, lama - lama saya jadi terbiasa juga. Di akhir, saya malah lebih percaya diri bicara bahasa Jerman daripada suami yang kebanyakan berinteraksi dengan orang lain dalam bahasa Inggris.

Permasalahan utama saya dengan bahasa Jerman adalah dengan bentuk formal vs familiar. Akrab vs asing. Sie vs du.  Di Jerman orang menggunakan bentuk familiar atau akrab (du) ke semua orang yang dianggap dekat. Keluarga, kenalan akrab, sahabat, teman satu geng, teman kerja, atau anak kecil sekalian. Mau lebih muda atau lebih tua. Semua dipanggil du. Sementara bentuk formal atau asing (Sie) digunakan kepada orang yang tidak dikenal, sejawat, atau dalam situasi resmi.

Saat di tempat kerja, terkadang orang merasa sudah akrab dengan saya sehingga bicara menggunakan du. Masalahnya jiwa asia saya tidak bisa menerima hal tersebut. Jiwa ketimuran saya tuh memberontak. Rasanya aneh saja. Seperti bilang ke orang tua dengan menggunakan kata "kamu". Akhirnya walaupun sudah akrab, jika orangnya lebih tua, biasanya saya tetap menggunakan Sie 😅 Karena hampir semua yang ada di tempat kerja lebih tua dari saya, sampai akhir saya tetap pakai Sie ke semua orang. Akibatnya banyak yang sudah menggunakan du, kembali menggunakan Sie ke saya.  Mungkin dikiranya saya tidak mau akrab ya. 

Ada juga sih yang sempat kepo dan bertanya, apakah ada larangan dalam agama saya untuk kenal akrab dengan orang yang tidak seagama, sehingga saya tetap pakai bentuk formal ke semua orang. Karena kemampuan bahasa saya tidak memadai untuk menjelaskan bahwa jiwa asia saya yang membuat saya begitu, bukan jiwa Islam saya, akhirnya saya cuma geleng - geleng kepala sambil bilang entschuldigen Sie. Tambah bingunglah orang - orang itu 😁

Episode Jerman 2 : Indonesisch

Ngomong - ngomong gara - gara tinggal di Jerman, saya jadi menyadari sesuatu. Menguasai bahasa lain yang sama sekali tidak atau jarang diketahui penduduk lokal itu ada keuntungannya juga. Salah satunya adalah bisa ngomongin orang lain tepat di depan mukanya 🤪 Jangan ditiru ya teman teman. Selain itu bisa juga ngobrolin topik - topik sensitif di tempat umum tanpa membuat orang lain tersinggung. Atau berdebat hal - hal konyol tanpa perlu khawatir judgement orang - orang sekitar. Coba pikir, orang Inggris dan Amerika pasti tidak akan bisa melakukan hal - hal tersebut karena semua orang tau bahasanya 😆

Suatu hari saya dan suami pulang dari kota naik U-Bahn (Trem). Saat itu jam pulang kantor jadi U-Bahn tersebut penuh sesak. Sambil berdesak desakan suami cerita kalau teman seruangan dia yang baru kakinya bau 🤣 Sambil bercanda saya bilang ke suami tidak apa teman dia kakinya bau. Semua impas karena celana jeans suami juga bau. Jeans itu sudah dia pakai ke kantor selama dua minggu 😨

Suami berargumen karena saat itu sedang musim dingin, ia tidak keringatan sehingga celananya masih bersih. Tidak perlu sering - sering ganti. Saya bilang ya nggak dong. Kan daki - daki debu - debu tetap menempel di celana. Daki? Daki apa coba? tanya suami. Ya daki apa kek. Daki pantat gitu kata saya asal sambil kesal karena suami ngeyel. Suami langsung tertawa mendengar kata-kata daki pantat. Di sela - sela tertawanya ia beberapa kali mengulang words of that day tersebut. Daki. Pantat. Saya juga jadi ketularan ketawa. 

Harap diperhatikan, seluruh percakapan penuh kasih sayang bergenre "lucu" ini kami lakukan dengan volume suara normal. Sesuatu yang tentu tidak akan kami lakukan di Indonesia. Tapi di Stuttgart ya santai saja. Wong nggak ada yang mudeng omongan kami 😁
 
Jalur U-Bahn. Saksi bisu kejadian.
Sumber : Dokumentasi Pribadi

Sedang asyik ketawa ketiwi, dari kepadatan sekitar menyeruak seorang ibu - ibu. Kebetulan kami berdiri dekat pintu. Awalnya kami hanya berusaha minggir tanpa menghiraukan si ibu. Sampai dia berucap "Permisi. Saya turun duluan ya", dalam bahasa Indonesia sambil tersenyum. Kaget tetiba disapa, kami hanya balik nyengir ke si ibu. Nyengir kuda. Kuda lumping. Setelah si ibu turun baru deh kami sibuk toyor - toyoran karena malu tertangkap basah ngomongin daki pantat di depan umum.

Setelah itu kalau mau ngomongin apapun yang aneh - aneh di tempat umum kami celingak celinguk dulu memeriksa ada yang kira - kira bisa bahasa Indonesia dalam radius 3 meter tidak. Kalau sudah aman, baru deh kami beraksi 🤣

Episode Punya Anak : Bahasa Indonesia

Suami saya termasuk orang yang berbakat bahasa. Dia mengajari dirinya sendiri bahasa Inggris saat kecil dan sudah fasih saat masuk SMP. Karena pengalamannya itu suami berprinsip anak - anak kami diajari bahasa Indonesia saja yang baik dan benar. Bahasa lain, apalagi bahasa Inggris pasti nanti akan bisa dengan sendirinya.

Saya mendukung prinsip tersebut dengan tambahan harapan ingin anak - anak saya nantinya bisa nyambung dengan orang di sekitarnya dan bisa menempatkan diri dimanapun mereka berada. Berbeda dengan jaman saya kecil, sekarang hampir semua orang bicara bahasa Indonesia. Jadi menurut saya kalau ingin anak - anak bisa berkomunikasi dengan semua kalangan di Indonesia raya ini, mereka harus bisa bahasa Indonesia dengan lancar. 

Sampai sekarang saya dan suami tidak pernah mencampur bahasa saat bicara dengan anak - anak. Semua kata kami sebutkan dalam bahasa Indonesia. Termasuk kata benda yang jaman now sering dicampur dengan bahasa Inggris. Binatang, benda, warna, angka semua kami sebutkan dalam bahasa Indonesia. Kalaupun anak - anak tetiba menggunakan istilah asing karena dengar di televisi atau youtube. Kami pastikan mereka tau bahasa Indonesianya.

Selain tau kosakata, kami juga ingin agar anak - anak punya kemampuan literasi yang mumpuni. Bisa menggunakan kosakata yang mereka kuasai untuk menyampaikan maksud mereka dengan baik. Karenanya kami selalu mendorong anak - anak kami untuk mengungkapkan pikiran, keinginan, perasaan, dan pendapat mereka secara lisan. Dengan jelas dan gamblang. Merengek, menggunakan bahasa bayi, dan marah - marah tanpa juntrungan saat mereka sudah bisa bicara dengan lancar, adalah hal - hal yang kami larang secara tegas 😅

Tapi karena prinsip kami ini, sekarang kami jadi sering kelabakan sendiri menghadapi anak - anak 🤣 Walaupun, tentu saja, karena masih umur 4 dan 2 tahun tantrum masih lebih mendominasi, anak - anak saya sudah tau maunya apa dan bisa dengan tegas menyampaikan keinginannya. Termasuk si anak bungsu, yang sejak umur 16 bulan sudah bisa bilang kalau dia maunya makan pakai kentang McD dan ayam KFC 🥲 

Episode Kerja : Bahasa Sunda

Lingkungan kerja saya sekarang ini kental sekali nuansa sundanya. Mayoritas karyawan administrasi di ITB memang orang sunda. Sayangnya, saya tidak bisa bahasa sunda. Walaupun saya lahir di Bandung dan 15 tahun hidup saya dihabiskan di bumi parahyangan, tetap saya tidak menguasai bahasanya. Lebih parah dari bahasa Jawa, untuk bahasa Sunda saya tidak punya sense sama sekali😂 

Sebagian yang bekerja dengan saya sudah tau bahwa kemampuan bahasa sunda saya minimal. Mereka sudah tidak pernah coba - coba mengajak saya bicara Sunda. Langsung saja menggunakan bahasa Indonesia. Tapi ada juga beberapa orang yang masih kekeuh mengajak saya nyarios Sunda, walaupun selalu saya respon dengan bahasa Indonesia. Paling saat bicara saya tambahi kata - kata "nuhun", "mangga", "sami - sami", serta kata - kata standar lainnya agar ada sedikit nuansa sundanya. Sebuah usaha menyedihkan yang hanya menonjolkan ketidakbisaan saya berbahasa sunda 😂

Bicara tentang bahasa Sunda, saya jadi ingat anak - anak saya kemungkinan besar harus belajar bahasa Sunda secara formal di sekolah. Walaupun anak - anak saya masih belum masuk sekolah, tapi saya sudah merinding duluan membayangkan mendampingi mereka mengerjakan peer, tugas, dan ujiannya 🤣 Biasalah ibu - ibu jaman sekarang. Suka panik duluan. Tapi bayangan penderitaan saya dulu 9 tahun belajar bahasa Jawa, tetap tak bisa hilang. Bayangkan setiap ujian saya selalu hopeless menghadapi lembar soal. Sering saya hanya menulis ulang soal ke lembar jawaban 🤣 

Tapi nasib anak saya belum tentu sama dengan saya. Mungkin mereka akan lebih beruntung dalam belajar bahasa Sunda. Mungkin mereka berbakat bahasa seperti Bapaknya atau pelajaran bahasa daerah sekarang sudah lebih inovatif atau tiba - tiba mereka sekolah di sekolah internasional jadi bahasa daerah yang harus dipelajari adalah bahasa Perancis atau Spanyol 😆 Hal yang pasti, berbeda dengan jaman saya SD dulu, sekarang ada Google dan ITBMh yang bisa jadi tempat bertanya 😆 Jadi harusnya nggak hopeless banget lah. 

Apapun itu, sebagai jaga - jaga mari sekarang kita pelihara hubungan baik dengan orang - orang yang fasih berbahasa Sunda dengan baik dan benar. Jadi di masa mendatang, mereka tidak akan bingung kalau tetiba dapat WA dari saya menanyakan apa maksud peribahasa :
"Ngeduk cikur kedah mitutur, nyokél jahé kedah micarék."

Hayo adakah yang tahu artinya? yang jelas tidak ada hubungannya dengan seblak. Jangan buka Google ya 😁 





6 comments:

  1. Hahaahahahahahahahahahaahahah🤣🤣🤣

    ReplyDelete
  2. Segala sesuatu itu memang perlu sesuai peruntukannya ya.

    ReplyDelete
  3. Restu, selalu ada kisah kocaknya. Ehehehe.
    Bagian 'daki pantat', ampuuuun ngakakkk wkwkwk.

    "Ngeduk cikur kedah mitutur, nyokél jahé kedah micarék." = "Tidak boleh korupsi, mencuri; minta izin dulu kalau mau mengambil barang"



    (hasil buka google, wkwkwkwk, diriku tak bisa bahasa Sunda, tapi penasaran pingin tahu. Ehehe)

    ReplyDelete
  4. Haha, segerrrr selalu baca cerita teh Restu

    ReplyDelete
  5. aduuh ngakak bgt bagian bergema di sunken, sampai ditulis sombong..sombong.. wkwkwkwk

    ReplyDelete
  6. Angkatan mu sudah banyak orang sundanya di ITB ya.. kalau tahun 80an ke atas, ITB masih banyak orang jawanya. Jadi bilang rukuh, mudeng, ..ya malah jadikata yang biasa didengar.
    Malah dulu ada yang bilang ITB itu punya nama lain yaitu ITM. Institut Teknologi Mbandung.

    ReplyDelete