Tentang Pembajakan
Pengertian
Karena menulis tantangan ini saya jadi baca beberapa artikel tentang pembajakan. Seperti biasa tantangan Mamah Gajah Ngeblog memang selalu membuat saya banyak belajar. Coba waktu saya kuliah sudah ada klub Ma(hasiswa)mah Gajah Ngeblog. Mungkin saya jadi rajin belajar juga dan bisa lulus Cum Laude yaa 😝
Anyway, dari berbagai artikel tersebut saya jadi tahu bahwa ternyata pembajakan ini secara garis besar dibagi menjadi dua. Pembajakan (piracy) dan counterfeiting (pemalsuan).
Pembajakan (piracy) didefinisikan oleh ec.europe.eu¹ sebagai mengopi - bukan sekedar meniru - tanpa ijin keseluruhan dari suatu item yang dilindungi hak cipta. Karena kebanyakan pembajakan dilakukan pada produk digital seperti perangkat lunak, film, dan musik, KBBI Daring² secara khusus mendefinisikan pembajakan langsung dengan kaitannya pada komputer yaitu penyalinan, pendistribusian, atau penggunaan perangkat lunak secara tidak sah.
Ilustrasi Pembajakan Online
(Sumber : Photo by Towfiqu barbhuiya on Unsplash)
Sementara itu counterfeiting (pemalsuan) menurut britannica.com³ artinya membuat jiplakan suatu item yang dilindungi hak cipta kemudian menyamarkan item palsu tersebut sebagai barang yang original atau asli dengan tujuan untuk penipuan. Baik piracy maupun counterfeiting adalah kegiatan ilegal karena melanggar hak cipta dan menimbulkan kerugian baik pada produsen maupun konsumen.
Bahaya Pembajakan dan Counterfeiting
Walaupun terdengar sepele, pembajakan dan counterfeiting ternyata sangat berbahaya karena mampu menimbulkan kerugian yang signifikan baik dari sisi produsen, konsumen, sampai bangsa dan negara.
Kerugian Produsen
Dari sisi produsen kerugian utama akibat pembajakan dan counterfeiting meliputi kerugian ekonomi dan kreativitas. Dari sisi ekonomi sudah jelas, bahwa dengan beredarnya barang tiruan peluang pendapatan produsen akan berkurang karena kehilangan pangsa pasar legal. Mungkin ada konsumen yang jadi berpaling memilih alternatif barang tiruan/palsu dengan harga yang lebih murah atau mungkin justru ada konsumen yang malas membeli suatu merk karena banyak tiruannya.
Buat produsen kecil dan menengah, dengan nama yang belum established, kehilangan pangsa pasar adalah hal yang sangat berpengaruh pada keberlangsungan bisnis mereka. Beredarnya barang tiruan juga membuat persaingan semakin ketat dengan pihak yang jujur sebagai korban. Tak jarang sampai ada yang gulung tikar karena hal ini. Kalah dengan kompetitor yang lebih cepat berinovasi. Walaupun dengan cara mencuri ide.
Dari sisi kreativitas, pembajakan dan counterfeiting merugikan karena membuat para creator malas mengeluarkan ide - ide baru. Gampangnya, buat apa berpikir dan bekerja keras mengasilkan hal baru jika pada akhirnya tidak mendapatkan apa - apa dan malah orang lain yang mendapatkan keuntungan dengan cuma - cuma. Memang sih rejeki sudah diatur dan tidak akan tertukar. Tapi tetap nyesek kan ya.
Oleh karena itu beberapa negara, seperti Jepang, Jerman, dan Korea Selatan, menerapkan hukum yang sangat ketat terkait paten dan hak cipta. Tujuannya mempertahankan iklim inovasi dan kreativitas agar industri terus berkembang dan bertahan. Karena di skala makro lesunya industri akan berakibat pada penurunan ekonomi negara. Pendapatan pajak berkurang, peluang kerja menurun, peluang investasi juga turun.
Kerugian Konsumen
Dari sisi konsumen, pembajakan dan counterfeiting juga bisa merugikan dan membahayakan lho. Menurut ec.europe.eu⁴ saat ini jenis barang yang ditiru dan dipalsukan sudah semakin beraneka ragam mulai dari produk fashion, perhiasan, produk elektronik, barang kebutuhan rumah tangga, kosmetik dan produk kesehatan, hingga suku cadang kendaraan bermotor. Barang tiruan atau palsu tersebut acap kali diproduksi tanpa mengindahkan standar kualitas, keamanan, kesehatan, dan keselamatan. Tentu untuk menghemat biaya produksi. Hal ini membuat barang palsu memiliki kinerja yang kurang reliable dan value for money yang lebih rendah dibanding produk asli.
Peralatan yang kualitasnya rendah tidak akan bekerja optimal dan cenderung lebih cepat rusak sehingga harus lebih cepat diganti. Suku cadang yang spesifikasinya kurang akurat kemungkinan besar tidak akan aman digunakan dan berisiko besar merusak komponen lain. Produk kesehatan dan kecantikan palsu bisa jadi memiliki dampak buruk pada kesehatan karena komposisi kandungannya tidak tepat atau mengandung bahan - bahan berbahaya. File bajakan mungkin mengandung virus yang berbahaya untuk perangkat kita. Jika dihitung biaya yang harus dikeluarkan untuk mengatasi akibat dari produk bajakan diatas mungkin akan lebih besar daripada uang yang seharusnya dikeluarkan untuk membeli produk legal.
Bukan hanya konsumennya yang dirugikan, adanya pembajakan juga merugikan konsumen yang ingin membeli barang legal. Banyak perusahaan menghentikan distribusi ke suatu wilayah karena di wilayah tersebut produknya banyak dibajak. Akibatnya pembeli yang ingin mendapatkan produk legal harus mengeluarkan effort lebih. Selain itu menurut Harvard Business Review⁵ pembajakan juga merugikan konsumen karena bisa mengakibatkan creator mengurangi insentif ekonomi yang harus diinvestasikan untuk menghasilkan barang berkualitas tinggi. Akhirnya produk yang dihasilkan kualitasnya tidak seperti yang seharusnya. Jadi rugi kan? 😅
Alasan Orang Mengkonsumsi Barang Bajakan
Dari hasil baca - baca saya menyimpulkan ada empat alasan yang menyebabkan orang mengkonsumsi produk bajakan :
1 - Ketidaktahuan
Pandji Pragiwaksono dalam salah satu podcastnya menceritakan bahwa pernah ada satu penggemar Glenn Fredly yang meninggalkan komentar di twitter sang legenda dengan menyebutkan bahwa ia telah mengunduh lagu terbaru Glenn dari suatu situs dan sangat menyukainya. Masalahnya situs yang disebutkan oleh si penggemar untuk mengunduh karya tersebut bukanlah situs yang punya ijin untuk mengedarkan hasil karya Glenn Fredly secara legal. Jelas dengan hal tersebut si penggemar tidak sadar bahwa dirinya telah mengkonsumsi produk bajakan.
Begitu juga saya rasa dengan ribuan pembeli yang berburu barang fashion di pasar tradisional. Barang - barang dengan tag brand mewah yang mungkin mereka tidak tahu keberadaanya. Guess, Prada, Louis Vuitton. Selain berseliweran di jalanan Kota Milan, brand - brand ini juga banyak beredar di Pasar Baru Bandung lantai empat 😄
2 - Faktor Finansial
BTS Jimin sempat viral di twitter karena interaksinya dengan penggemar yang mengaku menonton konser the biggest boyband on the planet tersebut melalui layanan streaming ilegal. Penggemar tersebut merasa bersalah karena menonton dengan cara yang tidak benar, tapi ia tidak tahu cara lainnya karena tidak punya uang untuk menonton secara legal.
Faktor finansial merupakan salah satu faktor yang mendorong orang untuk mengkonsumsi produk ilegal. Kere istilah lokalnya. Untuk urusan nonton drama Korea misalnya, Saya sangat menyadari bahwa bisa berlangganan aplikasi untuk menonton film dan mendengarkan musik secara legal adalah suatu priviledge yang tidak dimiliki semua orang.
Ilustrasi Streaming Service
(Sumber : Photo by Nicolas J Leclercq on Unsplash)
Biaya berlangganan yang harus dikeluarkan tidaklah murah. Walaupun diiklankan bahwa suatu situs hanya perlu Rp. 30.000 untuk berlangganan setiap bulan tapi tetap saja tidak semua orang punya lebihan uang Rp. 30.000 untuk berlangganan tontonan. Kalaupun punya Rp. 30.000 masih harus punya perangkat dan akses internet yang mumpuni. Intinya mah mahal.
Untungnya sekarang ini banyak produsen telah sadar diri dan mengeluarkan berbagai strategi marketing untuk membantu konsumen yang kere ini untuk bisa membeli atau mengkonsumsi produk legal.
Perusahaan perangkat lunak memanfaatkan cloud dan web service serta sistem langganan untuk jasanya. Brand high end mengeluarkan line product murah. Streaming service mengeluarkan snippet serta layanan gratis untuk film dan serial lama. Publisher mengeluarkan e-book , digital library, atau kopi textbook untuk negara berkembang. Sistem pembayaran dilakukan via e-wallet bahkan mini market. Penyanyi mengeluarkan keseluruhan albumnya di official youtube channel mereka. Tahu bahwa youtube pun sekarang sudah sangat menguntungkan. Sesuatu yang tidak terbayangkan akan dilakukan di awal tahun 2010-an.
Akan tetapi tentu saja dengan semua inovasi tersebut bukan berarti pembajakan langsung berhenti. Masih ada faktor pengetahuan, kesadaran, dan kesabaran yang mempengaruhi perilaku konsumen untuk memilih produk legal yang sudah tersedia. Faktor bawaan orok seperti pedit juga berpengaruh. Bagaimanapun yang gratis pasti lebih menggiurkan.
3 - Ketersediaan Produk Legal
Keterbatasan Akses ke Produk Legal
Saat inipun dengan berbagai kemudahan akses yang ditawarkan, permasalahan ketersediaan akses ke produk legal masih jadi masalah yang membuat orang kembali mengkonsumsi produk bajakan. Contoh sederhana yang mungkin sudah tidak relevan saat ini tapi banyak pendidik atau ex-mahasiswa masih bisa relate adalah ketersediaan textbook kuliah.
Sebagai mantan mahasiswa ITB, saya sudah familiar dengan textbook bahasa Inggris semenjak tingkat pertama. Biasalah anak ITB kan sombong ya 😝 Waktu kuliah, kebanyakan textbook yang saya gunakan berasal dari Dunia Baru. Untuk yang mencurigai saya sebagai penggemar teori konspirasi, Dunia Baru ini adalah tempat fotokopi penyelamat penduduk Ganesa 10 berstatus mahasiswa dari masa ke masa. Semua textbook bisa didapatkan di sana. Dosen bahkan ada yang sengaja meminjamkan bukunya untuk diperbanyak karena tau sulit bagi mahasiswa untuk bisa mendapatkannya.
Ilustrasi Textbook
(Sumber : Photo by Tamara Gak on Unsplash)
(Sumber : Photo by Tamara Gak on Unsplash)
Tapi alhamdulillah, tidak semua textbook yang saya gunakan adalah produk bajakan. Saya sempat punya dua buku textbook asli. Walaupun hanya versi negara berkembang. Alias negara misqueen kalau istilah sekarang. Saya ingat dua buku tersebut adalah buku Fisika dasar dan buku Proses Manufaktur. Sudah berasa paling pinter sedunia deh bawa textbook asli 😆
Teman saya ada satu yang punya buku Fisika dasar versi asli. Covernya gemerlap. Shining, shimmering, splendid, bak cinta Aladin dan Jasmine. Bukunya penuh gambar berwarna, kertasnya juga berbeda. Mengkilap dan tebal. Pokoknya bagus deh. Konon katanya harga buku asli tersebut di jaman itu sekitar Rp. 500.000-an, sementara versi negara misqueen Rp. 100.000-an, dan versi Dunia Baru Rp. 40.000 saja.
Sebagai perspektif, dulu uang saku saya sebulan Rp. 700.000. Buat makan, transportasi, beli keperluan kuliah, termasuk juga infak dan sodaqoh agar selalu disayang Allah, dan sebagainya. Kalau disisihkan untuk nabung buat beli buku asli bisa habis satu semester belum terbeli juga. Kalaupun terbeli itu baru satu buku. Buku lainnya balik maning nang Dunia Baru 😆 Pantas teman saya sang pemilik buku asli ini dulu nilai Fisikanya paling tinggi seangkatan. Pastinya rumus - rumus dan soal - soal latihan di buku asli terlihat lebih jelas, lugas, dan indah daripada versi fotokopian sehingga membangkitkan gairah belajar 😆
Apapun itu, selain harganya kurang terjangkau bagi kebanyakan mahasiswa, buku textbook asli juga sangat sulit didapatkan. Untuk punya buku versi dunia berkembang saja harus ikut PO sebulan dua bulan. Apalagi buku versi asli. Entah harus beli dimana. Mana jaman dulu belum ada BBW dan jastip kan. Oleh karena itu versi Dunia Baru lebih banyak digunakan karena memang tersedia. Tidak masalah gambar yang buram atau tulisan miring - miring yang penting boleh pilih warna cover ilmu di dalamnya tersampaikan.
Walaupun saat ini akses ke textbook asli bagi mahasiswa sudah semakin dipermudah dengan adanya kerjasama antara penerbit dan universitas untuk menyediakan e-textbook. Tapi saya rasa di Indonesia baru universitas ternama yang bisa memanfaatkan layanan tersebut. Mahasiswa di universitas lain yang kurang beruntung mungkin masih mengandalkan textbook kopian untuk belajar.
Ketersediaan Produk Legal
Selain permasalahan akses ke produk legal, ada juga permasalahan ketiadaan produk yang legal. Memang barangnya tuh tidak ada. Uang bisa dicari, tapi kalau barangnya tidak ada ya tidak bisa dibeli 😅
Suami saya mengalami dilema besar terkait hal ini dengan hobinya membaca manga dan menonton pertandingan bola. Tidak semua manga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris atau Indonesia. Indonesia sepertinya tidak dianggap sebagai pasar konsumen manga yang potensial sehingga tidak banyak judul manga yang diterjemahkan. Alhasil suami memilih untuk membaca komik dan manga dari situs ilegal yang tersedia.
Ilustrasi Pertandingan Bola
(Sumber : Photo by Vienna Reyes on Unsplash_
(Sumber : Photo by Vienna Reyes on Unsplash_
Begitupun dengan hobi dia nonton pertandingan bola. Hak siar pertandingan bola tidak selalu didapatkan stasiun televisi Indonesia. Waktu belum ada layanan berbayar seperti Mola TV, terpaksa dia juga nonton dari situs ilegal.
Dilema yang sama juga terjadi pada saya yang hobi menonton variety show Korea Selatan. Walaupun saya sudah berlangganan empat streaming service untuk nonton Drama dan Variety Show Korea Selatan, tapi ada acara - acara yang tidak ada di keempat streaming service yang saya langgan.
Kadang acaranya tersedia di official youtube channel stasiun televisi yang menayangkan acara tersebut. Tapi kebanyakan tidak ada terjemahannya. Jadi kalau kepingin sekali nonton saya masih suka curi - curi lihat dari klip - klip yang ada di channel youtube subber atau dari Dailymotion. Memang manusia ini tidak pernah puas ya.
4 - Penerapan Hukum Anti Pembajakan
Faktor terakhir yang mempengaruhi orang untuk mengkonsumsi barang bajakan tentu saja ketat tidaknya penerapan hukum terkait pembajakan di negara tempat seseorang tinggal. Saya termasuk yang percaya, orang di negara maju itu manut dan tertib bukan karena kepribadiannya lebih baik dari orang Indonesia, tapi karena di negara maju aturannya banyak banget. Hukuman untuk yang melanggar juga berat 😅
Ilustrasi Hukum
(Sumber : Photo by Tingey Injury Law Firm on Unsplash)
(Sumber : Photo by Tingey Injury Law Firm on Unsplash)
Beberapa artikel yang saya baca menyatakan bahwa penerapan hukum anti pembajakan memang sangat berpengaruh pada konsumsi bajakan. Apalagi untuk produk digital. Menurut Harvard Business Review⁵, penerapan hukum anti pembajakan membuat konten bajakan menjadi lebih berisiko untuk dikonsumsi, lebih susah ditemukan, dan lebih sulit untuk disebarkan. Di Jerman misalnya, jamak sekali orang tiba - tiba dapat surat denda sampai ribuan euro karena mengunduh satu film di torrent. Makanya orang memilih untuk beli produk yang aman dan legal saja. Sementara di Belanda, dimana pembajakan dibebaskan, konsumsi produk bajakannya adalah yang paling tinggi di kalangan negara maju.
Di Indonesia hukum terkait pembajakan dan counterfeiting masih cukup loose. Mungkin pemerintah considerate dengan rakyatnya yang kebanyakan dari kalangan banyak gaya tapi kere ini. Akhirnya pembajakan marak dimana - mana. Baik yang disadari maupun tidak disadari.
Membiasakan Diri Tidak Hidup Dengan Barang Bajakan
Pengalaman Pribadi Dengan Dunia Bajakan
Sebagai anak 90-an, pengalaman pertama saya dengan membajak produk tentu saja berkaitan dengan keberadaan double stereo casette tape di rumah. Selain bisa digunakan untuk karaoke, alat tersebut juga punya fasilitas recording. Tentu saja perangkat tersebut saya manfaatkan sebaik baiknya untuk merekam lagu dari radio dan dari kaset punya teman. Mau bikin playlist lagu - lagu favorit memang perlu kerja keras waktu itu.
Ilustrasi Kaset Untuk Membajak Lagu
(Sumber : Photo by Mike Flamenco on Unsplash)
(Sumber : Photo by Mike Flamenco on Unsplash)
Setelahnya muncul jaman VCD bajakan. Bapak saya beli pemutar VCD di Pasar Johar. Tentu langsung saya pergunakan untuk memutar VCD hasil pinjam di persewaan VCD yang yang ada di depan komplek rumah. Dengannya saya menonton Lord Of The Ring, Harry Potter, dan banyak film lainnya. Saat itu buat saya sungguh suatu kemajuan bisa menonton satu film penuh tanpa terpotong Dunia Dalam Berita. Gambar miring - miring tidak masalah. Text campur - campur bak Cinta Laura fushion dengan Ipin Upin juga jalan terus. Gimana lagi adanya hanya itu. Setelahnya alhamdulillah ada persewaan VCD original. VCD Ezy kalau tidak salah namanya. Senang sekali saya bisa nonton dengan kualitas gambar dan subtitle yang mumpuni.
Ilustrasi DVD Player
(Sumber : Photo by Lucky Alamanda on Unsplash)
(Sumber : Photo by Lucky Alamanda on Unsplash)
Saat kuliah saya sudah tidak nonton film bajakan, karena sudah tau bioskop. Hobi saya dan teman - teman menonton bioskop setiap ada waktu luang. Tapi lalu saya kenal dengan Drama Korea, Jepang, dan Serial Barat. Kota kembang jadi andalan.Walaupun kadang ada VCD yang macet bukan halangan. Pokoknya ada hiburan disela sela tugas yang menggunung.
Di tingkat akhir forum mahasiswa ITB ganti jadi sumber hiburan. Kali ini untuk download video bajakan. Karena akses yang semakin mudah, beberapa tahun setelahnya saya masih memenuhi hasrat hiburan dengan file bajakan. Tanpa merasa bersalah karena memang belum sadar itu merugikan.
Keberadaan aplikasi untuk mengakses konten hiburan sangat membantu saya untuk insyaf mengurangi konsumsi barang digital secara ilegal. Jika dibandingkan dengan bajakan, yang legal memang punya banyak kelebihan. Kualitas gambar dan suarannya bagus. Tidak ada iklan. Bisa diputar kapan saja dengan nyaman. Bisa casting ke TV dan paling penting mudah diputar di ponsel. Hiburan banget buat ibu - ibu untuk ngelonin anak. Karena keberadaan streaming service yang mumpuni, sekarang bisa dibilang hidup saya sudah 95% terbebas dari produk digital bajakan. Sisa 5% nya, seperti sudah saya sampaikan diatas, karena kadang saya masih suka nonton klip - klip ilegal kalau tidak nemu yang legal.
Untuk barang counterfeit buat saya agak lebih susah dihindari daripada produk digital bajakan. Barang branded high end sih aman karena saya memang tidak cari. Karena tau diri. Tidak mampu. Tidak mau memaksakan diri hanya untuk gengsi apalagi sampai beli yang palsu. Lagian saya juga merasa diri ini tidak ada pawakan untuk pakai barang branded. Buktinya seringnya malah saya pakai barang asli tapi dikira palsu.
Seperti saat saya pakai tas Fjallraven atau gendongan Ergo Baby yang saya beli langsung di Swedia. Orang mengiranya saya belinya di marketplace dengan harga 1/20 harga aslinya. Nasib memang punya tampang kurang mendukung. Karena tidak pernah sok - sokan beli suatu merk, dengan percaya diri saya sampaikan kalau hidup saya sudah 80% terbebas dari barang palsu atau tiruan.
Sementara 20% sisanya cukup tricky. Kadang - kadang barang yang saya beli, sadar atau tanpa sadar, walaupun bukan plek plekan meniru tapi melanggar hak cipta orang. Contohnya saat saya membeli barang yang dihiasi gambar suatu karakter. Ada kemungkinan barang tersebut melanggar hak cipta si pemilik karakter. Misalnya seprei atau baju anak - anak bergambar karakter kartun. Tapi dimana lagi kan kubisa mendapatkan seprei gambar bis Tayo kalau bukan yang palsu. Sementara di negara asalnya orang - orangnya bahkan tidur tidak pakai kasur.
Menasehati Diri Sendiri Untuk Menghindari Produk Bajakan
Walaupun belum terbebas 100 % dari produk bajakan, semakin tua saya semakin sadar diri untuk sebisa mungkin menghindar dari pembajakan. Selain karena secara finansial cukup mampu, saya juga sudah merasakan kenyamanan dari mengkonsumsi produk legal. Umur 30 tahun keatas memang inginnya yang praktis - praktis saja, sementara cari produk bajakan itu terkadang lebih melelahkan 😅
Tapi seperti banyak godaan lainnya, terkadang saya masih suka dilema juga memilih antara barang asli atau barang tiruan. Biasanya nih kalau sedang pelit atau di ambang pailit akibat tanggal tua. Biasanya kalau sudah begini saya akan ingat - ingat prinsip berikut ini :
- Tidak masalah mahal di awal yang penting tidak cepat rusak dan lama awetnya. Apalagi kalau ada garansi.
- Merk tidak selalu jadi jaminan. Kualitas dan kenyamanan lebih utama. Mau merk lokal maupun luar negeri yang penting cocok di hati.Tidak perlu memaksakan diri.
- Lebih baik membeli merk lokal tapi asli daripada merk luar negeri tapi defect/reject/palsu. Keamanan dan keselamatan nomor satu.
- Barang yang legal lebih berkah. Apapun itu barang yang didapatkan dari hasil mencuri ya pasti tidak halal. Barang tidak halal pasti tidak berkah.Sudah umur segini mending kita cari yang halal saja.Supaya hidup nyaman tentram dan berkah.
- Semua perbuatan membajak itu zholim, kecuali membajak sawah.Kita tidak akan pernah tahu apa yang terjadi dengan si pencipta yang kita bajak karyanya. Siapa tau mereka jadi sangat menderita karena karyanya kita bajak dengan seenaknya. Orang zholim tidak disukai Allah.
Penutup
Seperti yang sudah saya sampaikan diatas, kemampuan untuk menghindari produk bajakan itu priviledge yang tidak dimiliki semua orang. Tidak semua orang punya pengetahuan mengenai produk bajakan, tidak semua orang sanggup membeli produk yang original, tidak semua orang punya akses ke produk yang legal. Pengendalian diri memang sangat penting terkait dengan hal ini.Begitupun suasana yang mendukung. Saat ini di Indonesia pembajakan masih marak terjadi. Efeknya tidak terlalu berasa karena sayangnya kita adalah bangsa konsumen. Bukan produsen. Tapi kalau dipikir - pikir bangsa Indonesia ini menyedihkan sekali ya. Hanya bisa jadi konsumen barang palsu dan produk bajakan yang bahkan harus diimpor dari luar negeri 😅
Suatu realita menyedihkan yang entah kapan akan berubah.Karena Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah diri mereka sendiri, maka terkait bajakan ini mari kita bantu perubahan di Indonesia dengan berkomitmen tidak menggunakan produk bajakan. Semoga bocah bisa diajak kerjasama untuk tidur beralas seprei bunga - bunga dan merelakan seprei bis Tayo-nya,
Sekian tulisan untuk memenuhi tantangan bulan ini. Mohon maaf kalau di akhir banyak tausiah.Biar agak alim sedikit. Alhamdulillah masih bisa menyelesaikan tantangan di penghujung bulan yang super sibuk ini. Walaupun hanya bisa ngecapruk nggak karuan 😆
Semoga tulisannya masih bisa bermanfaat untuk menambah pengetahuan. Stay safe semuanya!
Wah keren teh.. saya langsung mikir seberapa pembajaknya saya saat ini.. apa yg bisa dikurangi apa yang belum.. thanks teh Restu..
ReplyDeleteMasya Allah. Restu, tulisannya sangat bermanfaat. Makasiiy ya. :)
ReplyDeleteSaya seperti membaca laporan TA saja, ehehe, yang versi tidak formal.
Udah lengkap, dari masalah utama, sebab akibat, analisis, solusi, plus unsur kejujuran dari Sang Penulis (alias Restu) juga patut diapresiasi.
'Ngecapruk'nya saja begini, bagaimana kalau sedang serius mode-on ya. Wuzzz.