Friday, May 16, 2025

Tentang Opini Populer di Kalangan Anak Kecil yang Tidak Populer di Kalangan Orang Dewasa

Hembusan angin mendesir di telinga saya. Berusaha mengacuhkan, saya menarik selimut  hingga menutupi telinga. Seketika suara angin tersebut berubah menjadi raungan, “IBOOOKKK!!”. Getaran yang dahsyat membuat telinga saya seketika berdenging. 

Dengan terpaksa saya membuka mata dan menemukan Ragil nyengir tepat di samping kepala saya. Saya melirik jam di dinding. Pukul 05.30. “Dek, libur nih, tidur lagi yuk!”, rayu saya. “Nggak mau! Ibu harus keluar”, jawab anak bungsu saya itu sambil menunjuk pintu kamar. Saya mengerang, sebelum akhirnya menyerah dan bangkit dari kasur.

Saya punya banyak pertanyaan mengenai kehidupan. Salah satu yang paling menggelitik adalah : mengapa bocah kalau libur MasyaAllah rajin banget bangunnya, sementara kalau sekolah SubhanAllah tekadnya untuk tetap menutup mata?


***

Di ruang tengah saya menemukan Mbarep sudah mengeluarkan semua koleksi legonya dan sedang di tahap membuat mega proyek kota metropolitan. Kaki saya tak sengaja menginjak salah satu potongan lego yang berserakan. Rasa sakit menjalar sampai ke ubun-ubun. Untung saya tidak terbiasa mengumpat.

 “Ibu…Ibu…Ibu kan sudah besar. Harusnya bisa lebih hati-hati dong. Masa lego segitu banyaknya nggak kelihatan?”, kata Mbarep sambil menirukan gaya saya menasehati dia. Lengkap dengan gelengan kepala dan goyangan jari telunjuk. Bedanya dia menasehati dengan muka datar. Saya terlalu sibuk melompat-lompat meredakan rasa sakit sampai lupa merasa kesal.


“Oh iya Ibu, aku punya pertanyaan.”
, Lanjut Mbarep setengah detik kemudian, mengabaikan saya yang masih meringis kesakitan. “Siapa sih yang punya ide bentuk lego itu kotak-kotak? Eh, kalau gedung ada nggak yang bentuknya kayak bola? Oh ya Ibu, tadi malem yang menang bulu tangkis siapa? Kita hari ini mau pergi kemana?”, Selesai mengeluarkan rentetan pertanyaan tersebut, Mbarep menatap saya mengharapkan jawaban.

Saya merasa seperti sedang ikut mencongak. Kegiatan harian setiap jam 07.00 pagi, saat saya duduk di bangku SD 30 tahun lalu.

Ragil melompat-lompat diatas sofa.”Ayo Ibu, jawab dong pertanyaan Mas!”, katanya menyemangati. “Bentar Ibu minum dulu baru mikir”, kata saya sambil beranjak ke ruang makan. “Ih Ibu mah, kan udah besar, masa pertanyaan begitu saja harus mikir dulu!”, kata Mbarep. “ Iya, ih Ibu mah orang dewasa kan harusnya tau semua, tambah Ragil.


Hari libur ini baru berjalan selama 5 menit tapi saya sudah merasa lelah.

***

“Ibu, Ibu, kapan kita ke Luar Negeri?”, Kata Ragil tiba-tiba. “Ya Insya Allah nanti, kalau ada rezeki ya”, respon saya sesuai standar jawaban emak-emak di negeri Konoha, yang memegang teguh prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. “Ke Luar Negeri perlu uang banyak tau Dek. Iya kan Bu?”, kata Mbarep membantu. Saya mengangguk.

Ragil berpikir. ”Aha! Aku punya iden (ide). Ibu ambil uang aja lewat ATM. Kan di Bank ada banyak uang., kata Ragil. “Iya tapi bukan uang Ibu”, kata saya. “Ooh, punya ayah?”, lanjut Ragil. “Bukan, punya Ayah Ibu ada sih, tapi cuma sedikit, yang banyak punya orang lain”, jawab saya. 


“Kan Ayah Ibu kerja, harusnya uangnya banyak dong di Bank. Kenapa uangnya sedikit? Kan katanya kerja biar banyak uang, lanjut Ragil masih penasaran.


“Very…very sus..”, Komentar Mbarep ikut-ikutan dengan bahasa Gen Alphanya.

Sebetulnya saya ingin menjawab dengan teori-teori ekonomi makro. Lengkap dengan penjelasan bahwa kami ini termasuk golongan kelas menengah ngehe yang sedang menjadi subjek perdebatan. Termasuk miskin untuk ukuran Bank Dunia, mampu untuk ukuran Bank Indonesia, tapi pasti sangat kaya menurut bang Agus yang tiap bulan datang untuk pinjam uang.

Alhamdulillah.

Tapi lalu saya ingat kalau sedang bicara dengan anak 5 tahun. Lagian sampai sekarang pemahaman ekonomi saya hanya berdasarkan konten-konten semenjana di Tiktok, Instagram reels, dan Youtube short.

Hiburan yang saya konsumsi untuk melupakan permasalahan hidup yang nyata.

Batal jadi ekonom dadakan, saya berusaha mencari penjelasan yang lebih age appropriate untuk bocah. Tapi sebelum ketemu cara yang pas, Mbarep sudah memotong. “Aku tau! pasti Ibu kerjanya males-malesan. Makanya uangnya sedikit. Ibu kerjanya yang lebih rajin lah. Kalau rajin kan uangnya lebih banyak


“Iya tuuh. Kalau Ibu dapat uang jangan dibeliin makanan terus! Uangnya habis, ibu tambah gendut!, Timpal Ragil sambil cengengesan.


Saya hanya tertawa getir mendengarnya. Sementara suami tertawa terbahak-bahak melihat isterinya dirundung darah dagingnya sendiri. 

***

“Kalau sudah besar, aku mau jadi dokter bedah”, kata Ragil. “Bagus”, komentar saya pendek, mengingat 30 menit sebelumnya cita-citanya masih jadi pelatih renang. Pelatih renang buaya.

”Nanti aku tanya sama orang yang aku bedah, jahitannya mau bentuk apa? Labubu atau Cinnamoroll? Eh Bunga mawar juga bisa sih. Kalau orang besar perempuan kan biasanya suka bunga mawar”, lanjut Ragil.

“Aku nggak sabar jadi orang dewasa. Soalnya orang dewasa boleh ngapain aja!, seru Ragil mengakhiri monolognya.


Saya tentu saja tidak sampai hati memberitahu Ragil kalau orang besar justru banyak larangannya. Apalagi dokter yang  berkesenian terhadap tubuh pasiennya. Bisa masuk penjara.

Tapi daripada jadi pelatih renang buaya mendingan jadi dokter seniman kayaknya. Masih ada waktu sekitar 30 tahun kalau Ragil mau jadi spesialis bedah. Siapa tau tren berubah ya kan. Bekas operasi yang estetik. Supaya kalau timbul keloid malahan bagus jadi 3D.

***

Mbarep mendekati saya yang sedang menggoreng otak dengan doomscrolling Social Media. “Ibu coba denger ini, ibu tau nggak ini lagu apa?”, tanyanya dilanjut dengan menggumamkan suatu nada. “Enggak, lagu apa itu?”, jawab saya. “Aku pernah denger di Youtube, sekarang aku mau denger lagi tapi lupa”, lanjut Mbarep. “Ya sudah cari lagi aja di youtube. Baru kasih tau ibu lagi nanti. Coba cari di history”

Mbarep beranjak untuk scrolling Youtube. Semenit kemudian. “Ibuuu nggak nemu”, rengeknya. “Coba inget-inget videonya tentang apa”, saran saya. “Nggak inget, ibu cari di Google dong”, pinta Mbarep. “Lah kalau nyari di Google kan harus ada kata kuncinya, kata kuncinya apa?”, kata saya. “Nggak tau”, kata Mbarep setelah berpikir selama 5 detik.


”Coba ibu ketik aja…hmmm hmmm hmmm”, lanjutnya sambil kembali menggumam. Saya memutar mata, “Nggak bisa Mas kalau gitu caranya”. “Ih Ibu Mah, kata ibu kan kalau aku mau tau sesuatu bisa tanya Google. Katanya Google banyak taunya, kenapa yang sekarang nggak bisa?”, Mbarep mulai merajuk.

“Ya, kan…”, tiba-tiba saya kehabisan kata-kata. Entah mau menyalahkan siapa. Saya dan Mbarep kemudian sama-sama terdiam. Saya memikirkan ketidak sempurnaan Google sementara Mbarep mungkin memikirkan ketidak sempurnaan ibunya.

“Aku dengerin lagu yang lain saja deh”, kata Mbarep akhirnya. Saya pun kembali menggoreng otak saya. Mumpung libur. Mumpung bisa.

***
“Dek tidur siang yuk”, bujuk saya pada Ragil. Saya jarang punya kesempatan tidur siang.”Nggak mau, tidur siang itu buat BA..YI. Buat BA..LI…TA. Lagian tidur siang itu menyebalkan, jawab bocah yang baru 6 bulan lalu lepas dari status balita dan sampai nanti tua pun pasti akan tetap jadi bayi buat saya.


***

Ditulis untuk memenuhi Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Bulan Mei dengan Tema Unpopular Opinion.







2 comments:

  1. Ragil lupa nih, tidur siang tuh nikmat. Asal ga kelamaan sih...hehe

    ReplyDelete
  2. Masih kecil dulu gimana caranya biar gak tidur siang, begitu besar gimana caranya biar bisa tidur siang

    ReplyDelete