Ketika giliran saya berbicara, saya sampaikan kalau video yang ditampilkan sudah tidak relevan buat saya. Karena di lingkungan saya, baik di rumah, pekerjaan, maupun pertemanan, gender inequility itu sudah sangat samar. Laki - laki perempuan ya sama saja.
Saya dan suami sama - sama bekerja dan outsource urusan domestik ke orang-orang kepercayaan. Meskipun saat kami bekerja mereka dititipkan, pengasuhan utama anak - anak tetap kami pegang berdua. Tidak ada kompromi soal itu. Anak berdua ya urus berdua.
Sama seperti saya, suami saya tidak akan mendapatkan apresiasi lebih atau pujian karena momong anak. Wajar kan orang tua mengasuh anaknya sendiri?
***
Di tempat kerja, dari sisi posisi, pendidikan, maupun latar belakang, saya punya keuntungan, jadi saya tidak pernah merasa diremehkan. Kalaupun dengan orang yang jabatannya lebih tinggi, saya tidak pernah merasa tertekan atau terpaksa menuruti kehendaknya. I have my own voice. Saya bebas mengutarakan pendapat dan bertanya.
Saya memilih bekerja karena saya ingin bekerja. Suami saya sangat demokratis dan menghormati keputusan saya tentang hal - hal seperti ini. Dia dan saya bekerja sama menyeimbangkan kehidupan pribadi dan profesional. Sedemikian rupa berusaha agar tidak ada yang merasa terabaikan.
***
Tak lama setelah kegiatan tersebut berakhir, saya memikirkan kembali komentar yang saya berikan.
Lalu dengan malu saya menyadari betapa entitled-nya saya dengan jawaban tersebut. Saya jelas punya priviledge yang tidak dimiliki oleh semua orang dan saya tidak sadar mengenai hal tersebut.
Padahal saya sering ngerasani orang - orang yang punya priviledge tapi menolak disebut punya priviledge. Mungkin seperti Putri Tanjung yang menolak disebut bahwa salah satu faktor kesuksesannya sebagai pengusaha adalah karena orang tuanya yang adalah salah satu orang terkaya di Indonesia.
I'm living in the bubble.
Dimana dunia saya sudah ideal sementara diluar ya belum tentu sama kondisinya.
***
Lalu kemarin saya baru saja menyelesaikan serial Netflix Adolescence. Serial itu bercerita mengenai seorang anak usia 13 tahun yang membunuh temannya sendiri. Dalam empat episode diperlihatkan hal-hal yang mungkin menjadi motif terjadinya insiden tersebut.
Walaupun tidak gamblang dijelaskan, tapi kecurigaan mengenai alasan terjadi pembunuhan tersebut adalah pengaruh pandangan misogini atau kebencian terhadap wanita.
Dunia Misogini membayangi para remaja terutama di dunia barat. Menyebar dengan cepat melalui sosial media, pandangan yang sangat berbahaya ini menjadi salah satu justifikasi kemarahan para remaja.
Remaja dengan keinginan untuk bisa diterima dan disukai.
Hal yang mengerikan, doktrin tersebut menyebar dalam senyap. Dari luar dunia mereka terlihat baik-baik saja, tapi ternyata di dalam pikiran mereka perlahan berubah menjadi gelap.
***
Menonton serial tersebut membuat saya berpikir, mungkin anak-anak saya nanti tidak akan punya priviledge yang sama dengan orang tuanya. Dunia mereka akan lebih judgmental!
Kalau sudah begini rasanya tidak siap menghadapi kehidupan remaja anak-anak nanti.
Yah, tapi kan hidup tidak mengalir menuruti maunya kita. Makanya hanya bisa pasrah dan menyerahkan diri pada Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Untuk bisa melindungi anak-anak kita dari pikiran-pikiran gelap yang dengan mudahnya menghampiri.
No comments:
Post a Comment