Saturday, May 14, 2022

Sekarang Aku Tahu

Tentang Makanan yang Paling Dikangenin

Kalau ada yang bertanya pada saya, makanan apa yang saya kangenin dari Semarang, saya akan menjawab Tahu Petis. Makanan ini tidak bisa saya temukan di kota lain, sekeras apapun saya berusaha. Entah apa yang menyebabkan kepopulerannya hanya berhenti di ibu kota provinsi Jawa Tengah tersebut. Padahal menurut saya rasa makanan ini seharusnya cukup bisa diterima oleh lidah banyak orang.

Kenyal tahu yang digoreng hingga berkulit, berpadu dengan legit rasa petis. Tahunya sengaja tidak dibumbui atau dibumbui ringan saja. Supaya rasanya tidak balapan. Petisnya bertekstur seperti paste karena dicampur dengan gula. Makanan yang saling melengkapi karena kurang menarik kalau sendiri.

Ah mungkin yang menyebabkan makanan ini kurang populer adalah statusnya yang sedikit nanggung. Bukan tipe makanan yang gampang dinikmati kalau sedang acara formal. Lebih enak dikunyah sambil dasteran di rumah.

Kurang pas juga jadi lauk karena rasanya cenderung manis. Tapi jadi cemilan teman minum teh juga tidak cocok. Karena rasa manis petis yang tajam membuat teh nasgitel berkurang faktor legi-nya. Sungguh tipe makanan independen yang sulit dipadukan dengan makanan lain. Terlalu overpowering.

Sebetulnya ini ngomongin makanan atau sifat alumni ITB kebanyakan? :')

Kenangan Tahu Petis Pak Bagong

Penjual tahu petis langganan keluarga saya dulu ada di daerah Krapyak. Pak Bagong nama pemilik gerobak gorengan tersebut. Tahun 90-an dagangannya selalu laris manis. Terutama ketika bulan puasa. Antriannya tak kalah dengan antrian restoran-restoran ternama di Jakarta. Kalau misalnya ada Michelin Star untuk penjual gorengan saya yakin Pak Bagong bisa mendapatkan bintangnya. 

Saking larisnya, pada awal 2000-an Pak Bagong sudah punya modal yang cukup untuk membuat usaha catering kawinan yang akhirnya berkembang menjadi salah satu catering kawinan terlaris di Semarang. Gerobak gorengannya mulai sering tidak digelar. Sampai akhirnya saat saya menikah tahun 2012, gerobak gorengan Pak Bagong sudah berhenti beroperasi selamanya.

Tahu petis Pak Bagong pun akhirnya hanya jadi kenangan. Walaupun saya beberapa kali hadir di undangan pernikahan dengan catering Kang Bagong, tapi tak sekalipun saya lihat tahu petis andalan disajikan. Yah, tentu saja karena ini makanan berisiko tinggi.

Bayangkan kalau salah makan, petisnya keluar jalur dan mengenai baju. Datang dengan cantik, pulang baju seperti jamuran :') Belum lagi kalau desak-desakan atau cipika cipiki dengan mulut dan tangan belepotan. Bisa terjadi kericuhan berbau udang.

Setelah Pak Bagong tak lagi menggelar gerobak gorengannya, kami mencoba beberapa tahu petis lain. Tak ada yang senikmat tahu petis dari ingatan masa kecil saya. Tapi lumayanlah buat tombo kangen. Daripada nggak ada.

Tahun lalu waktu ke Semarang, saya menemukan tahu petis dalam kemasan vakum. Malahan ada dua varian. Crispy dan original. Memang segala makanan sekarang ini ingin jadi seperti ayam KFC. Tahu yang crispy dibalur tepung, jadi kulitnya kriuk. Enak juga.

Eksperimen Tahu Petis dari Bandung

Latar Belakang

Tema Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Mei ini membuat saya berpikir. Bagaimana kalau tahu bandung  bersanding dengan pasta petis? 

Buat saya tak ada yang mengalahkan rasa tahu Bandung. Mungkin karena air yang bagus atau pembuat yang ahli. Tahu Bandung yang bagus lembut sekali. Teksturnya juga khas. Padat sekaligus menul-menul. Sukar dijumpai di daerah lain. Jadi kenapa belum ada yang beride memadu madankan tahu Bandung dengan petis? Jangan bilang ini adalah persoalan turunan Perang Bubat. Apalagi akibat kandasnya cinta Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka. Masa sampai tahu dari sunda dan petis dari jawa juga tidak bisa bersatu?

Kita tambahkan referensi sejarah supaya postingannya lebih dramatis.
Ilustrasi Perang Bubat (Sumber: kompas.com)

Karena saya orangnya suka sok tahu makanya saya coba satukan keduanya. Mana tau ketemu formula yang cocok, lalu saya bisa buka gerobak gorengan juga kayak Pak Bagong. Mungkin kemudian tahu petis Semarang bisa jadi fenomenal juga seperti kue Bandung di Semarang.

Metodologi

Saya beli petis khusus tahu petis di marketplace. Sungguh suatu bentuk keniatan yang hakiki. Tahunya saya beli tahu Talaga. Tahu favorit anak mbarep saya. Bisa sehari habis sebungkus sendiri. Saking sukanya, waktu saya mau goreng tahu untuk eksperimen, saya harus meyakinkan dia dulu kalau ibunya ini beli tahu baru. Tidak mengurangi jatah tahu dia.   

Saya goreng tahu talaga sampai berkulit. Lalu saya iris tengahnya.Waktu mengiris jangan sampai terbelah dua. Agar tidak hilang harapan. Petisnya tetap bertahan dalam tahu. Tidak keluar dari berbagai sisi.

Petis yang saya beli ternyata bau udangnya cukup menyengat. Jadi saya tambah bubuk bawang putih, kaldu jamur, dan gula. Selain menutupi bau udangnya juga supaya rasanya lebih legit.

Setelahnya saya sisipkan petis ke tengah tahu. Dipikir-pikir orang jawa tengah ini hobi sekali menyisipkan macam-macam bahan lain di tengah tahu. Petis, Bakso, Aci. Mungkinkah ini sebabnya mereka gampang blending di situasi apapun?

Hasil Eksperimen

Anyway. Bagaimana rasa tahu petis dengan tahu Bandung?

Enak kok. Cuma perpaduan rasa keduanya agak terlalu "mewah". 

Tahu semarang yang biasa dipakai untuk tahu petis rasanya lebih anyep dan kulitnya liat. Dalamnya juga tidak penuh alias "kopong" karena teksturnya berongga. Mungkin secara kekerabatan tahu Semarang ini lebih dekat dengan tahu sumedang. Ketika diiris, tahunya bisa berfungsi seperti "kantung" yang mewadahi petis. Karena kulitnya liat, tahu semarang juga tidak gampang pecah saat digigit.

Sementara tahu Bandung punya rasa yang gurih dan "milky", jadi walaupun tidak dibumbui tetap berasa. Lalu tekstur tahu Bandung, terutama Talaga, sangat lembut. Menjurus ke arah tekstur tofu. Gampang pecah, walaupun sudah digoreng sampai berkulit. Jadi agak susah "diemplok" langsung pakai tangan.

Cuma tahu petis Bandung ini lebih bisa dimakan cantik. Pakai sendok dan garpu. Kayak makan desert perancis tapi versi super lokal. Soalnya pas ditekan pakai garpu yang keluar petis bukan cream :')

Atau mungkin saya salah pilih tahu ya. Mungkin harusnya cari tahu yang lebih liat. Atau sekalian yang lebih berkulit, seperti tahu coklat yang sering dipakai untuk tahu hot jeletot.

Kesimpulan

Walaupun tahu Bandung dan Petis kalau disatukan lumayan enak, tapi lebih baik kita biarkan mereka sendiri-sendiri saja. Bukan karena tidak berjodoh seperti Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka, tapi memang kurang cocok saja. Seperti hubungan yang terpaksa. Karena ambisi semata.

Lagian ternyata impor tahu petis dari Semarang nggak mahal juga. Kalau kangen banget bisalah diusahakan.






10 comments:

  1. Hayo teteh... eksperimen dengan segala jenis tahu. Nanti akan ketemu tahu yang paling pas buat petis mewah hasil beli di market place dengan niat perjuangan hakiki. btw, sudah pernah coba tahu kres? Ini mah dimakan (abis digoreng) begitu aja udah enakkkk. #BukanEndorse

    ReplyDelete
  2. Baca ini jadi pengen tahu petis juga, sama tahu kuning Bandung haha, banyak maunya.

    Iya sih, setuju banget Restu, terkadang yang sederhana itu paling enak ya, jangan kita paksakan hubungan mereka.

    ReplyDelete
  3. keren teh Restu bikin kepingin nih ... aku suka tahu sumedang, kalo lagi jenguk anak sulung pas kuliah di unpad jatinangor ada restonya deket kampus. tahu bandung juga aku suka ... gurih dan gemoy ha3 ...

    ReplyDelete
  4. Lukisan Perang Bubat-nya karya siapakah Teh Restuu *salfok --- btw jadi penasaran dengan tahu petis aseli Pak Bagong ini ya,,, duuh beruntung Teh Restu bisa mencicipi hidden gem yg pernah ada ini

    ReplyDelete
  5. Terniaaaat tehhh. Itulah seninya merantau ya, coba kalau ga merantau ga kepikiran eksperimen wkwk.

    Saya pernah juga makan tahu petis waktu dinas ke Semarang, enaak. Tapi lidah saya memang cocok makan tahu polosan biasa, mungkin karena udah biasa ya. Hehe

    ReplyDelete
  6. Wkwkwkwkwk Restuuu, memang cerdas dalam menganalogikan sesuatu.

    Yang bagian saat pesta pernikahan makan tahu petis, betul juga ya Restu ahahaha. Belepotan dan tumpah-tumpah ke baju, belom kalau cipika cipiki, nanti dibatin sama yang lain kok bau amis udang.
    Memang passss dimakan di rumah pas dasteran. Ahh sedhaapp.

    Ku juga sukaa banget tahu petis, Restu. Di Kediri ada, tapi saya akui, masih kalah enak dengan yang di Semarang. Dan syukurlah, di BSD ada yang jual nih tahu petis khas Semarang. Nah lhoo, jadi pengen cepet ke sana jajan tahu petis. Slurrppp.

    ReplyDelete
  7. Niat amat teh sampe dibikin eksperimen. Haha.. Saya kayanya belum pernah deh makan tahu petis, pernahnya kupat tahu petis. Ya beda sih jelas wong ditambah bumbu kacang 😂

    ReplyDelete
  8. Banyak kok Teh yang jual tahu petis di Jawa, bukan hanya di Semarang. Tahu petis juga makanan masa kecilku. Di Solo, kota asalku, ada. Di Ngawi, kota asal bapakku, juga ada. Enak disantap hangat-hangat. Dan iya sih, petisnya itu belepotan banget haha

    ReplyDelete
  9. Teteh sungguh niat hihi sampai bikin percobaan segala :D lucu bgt tehh artikelnya :D

    ReplyDelete
  10. Wah...aku jadi penasaran tu sama tahu petis Pak Bagong ini. Aku sih mau tahu apa aja asal dikasih petis pokoknya syukaaaa.....

    ReplyDelete