Monday, March 7, 2022

Dibalik Menara Gading

"Betul ini acara syukuran wisuda Teknik Industri? Kami orang tua dari Arkha Syailendra"

Sepasang pria dan wanita menghampiri meja tempatku berjaga sebagai penerima tamu. Seperti tamu lain merekapun berpakaian formal. Batik lengan panjang dan kebaya. Tapi tak seperti orang tua lain yang sumringah, mereka tampak khawatir.

Aku menyorongkan buku tamu.

"Betul Pak Bu. Silahkan isi daftar hadir dulu ya".

***
Kubolak balik daftar nama peserta wisuda hari itu. 

"Arkha Syailendra...."

Sepertinya tak kuingat dia sudah sidang. Tapi bisa saja aku salah. Dari 80 lebih mahasiswa yang maju sidang bulan itu, tak mungkin kuingat semua namanya.

Tiga kali kutelusuri daftar nama tersebut, tetap tak kutemukan namanya. Kuakses data mahasiswa dari telepon genggamku. Betul, Arkha Syailendra belum sidang. Tak mungkin dia wisuda hari ini.

Aku mengintip kedalam ruangan. Mencoba menilai situasi. Kuliat pasangan tadi duduk agak ditengah. Tapi sebelum aku sempat menemukan cara untuk memanggil mereka, sang Bapak sudah berdiri dan berjalan ke pintu keluar lebih dahulu. Menghampiri mejaku kembali. Diikuti oleh isterinya.

***

"Pak, mohon maaf anak bapak..."

"Sebetulnya, Arkha termasuk yang diwisuda hari ini tidak ya mbak?"

Bapak itu memotong sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku. 

"Saya tidak bisa menghubungi dia dari tadi pagi. Terakhir dia kirim pesan undangan acara saja". 

Suaranya tenang tapi raut mukanya jelas menampakkan kegelisahan yang semakin memuncak. Sang isteri juga tampak tegang. Gengamannya erat ke lengan suaminya. Mata wanita tersebut berkabut air mata.

Aku menggeleng.

"Arkha bahkan belum selesai kuliahnya Pak Bu...". 

Kuperlihatkan layar telepon genggamku. yang masih menampilkan kemajuan studi Arkha Syailendra. Mendengar jawabanku, si ibu membekap mulutnya dengan kedua tangan dan mengeluarkan jeritan tertahan. Badannya oleng. Suaminya bergerak cepat menangkap punggung isterinya yang seperti akan pingsan.

"Duh...gawat", pikirku.

***

"Betul ini nilai Arkha Mbak?", tanya Ibu Arkha mungkin untuk kedelapan kalinya. Kali ini aku bahkan sudah tak mengangguk lagi.

Di ruangan Tata Usaha yang sepi, Ayah Arkha mondar mandir dengan telepon genggam menempel erat di telinganya. Sedari tadi belum berhenti ia menelepon, mencoba mencari tahu keberadaan anaknya.

Sementara isterinya duduk di sofa bersamaku. Sudah berhenti dia terisak dan akhirnya bisa bersikap sedikit tenang. Tadi aku cetak laporan kemajuan studi anaknya. Sekarang lekat ia memandang huruf - huruf yang tertera di lembaran kertas tersebut. Seakan tak percaya akan deretan nilai C dan beberapa E yang dilihatnya.

***

Kuhabiskan sore itu dengan mendengarkan orang tua Arkha bercerita tentang anaknya.

Pintar, tampan, populer, berprestasi, dan berasal dari keluarga terpandang. Begitulah Arkha Syailendra dikenal di kampung halamannya. Di salah satu kabupaten di selatan pulau Jawa.

Ayahnya adalah contoh putra daerah yang berhasil meraih pendidikan tinggi, lalu melepaskan kesempatan membangun karir diluar negeri, dan memilih pulang untuk membangun daerahnya.

Arkha ada di jalur yang tepat untuk mengikuti jejak ayahnya. Epitome yang mengarah kepada kesuksesan. Juara sekolah, ketua osis, paskibraka kabupaten, dan berhasil diterima di ITB dengan beasiswa prestasi putra daerah. Salah satu pencapaian yang bahkan tidak berani diimpikan oleh kebanyakan teman - teman di sekolahnya.

Sepertinya tak ada orang di kampung halamannya, yang menyangsingkan bahwa Arkha akan berhasil seperti ayahnya. Bukankah buah selalu jatuh tak jauh dari pohonnya?

***

Menurut Ibunya, Arkha selalu mengatakan kalau nilainya adalah yang tertinggi di angkatannya. Dia juga sering bercerita tentang berbagai kegiatan yang diikutinya. Kegiatan himpunan, lomba, juga magang di perusahaan ternama. Tentang dosen - dosen yang penuh perhatian serta teman - teman yang akrab dengannya.

Sikapnya tak berubah setiap kali mereka bertemu, jadi orang tuanya tak pernah menduga ada masalah. Di mata mereka Arkha selalu adalah anak kebanggaan yang sedang berjuang menggapai mimpinya.

***

Minggu lalu Arkha menelepon orang tuanya, mengabarkan kalau Ia sudah selesai sidang. Orang tuanya agak kecewa karena tidak diberitahu sebelumnya. Kalau tau mereka pasti datang ke Bandung untuk mendukungnya. 

"Nggak ada yang sidang ditunggu orang tuanya. Nanti saja datangnya saat wisuda" , dalih Arkha waktu itu. 

Ayah ibunya tentu percaya. Karena untuk apa mereka tak percaya pada anak kesayangannya?

Tadi pagi keduanya sampai ke Bandung untuk menghadiri acara wisuda. Merekapun langsung menghampiri kos Arkha. Terkejut mereka karena ternyata sudah satu setengah tahun anaknya tidak tinggal lagi disana. Lalu kemana Arkha? Puluhan telepon dilayangkan, hanya dibalas dengan 1 pesan. Undangan syukuran wisuda.

***

Ibu Arkha tak berhenti menangis semenjak sadar anaknya hilang. Merutuki diri sendiri karena tak mengikuti firasat buruknya. Saat terakhir kali Arkha menelepon, sempat terucap kalimat yang aneh darinya 

"Sebentar lagi Mama nggak usah malu lagi sama teman - teman Mama ya".

Teringat 6 bulan terakhir sang Ibu memang gencar menanyai Arkha, kapan dia akan lulus. Satu persatu anak teman pergaulannya di kota kecil mereka telah lulus sarjana dan diterima kerja diberbagai tempat. Sementara Arkha selalu mengelak jika ditanya tentang Tugas Akhirnya.

"Mama malu Arkha, tiap ditanya teman - teman Mama, kapan kamu lulus. Sudah lima tahun kamu belum lulus juga. Lihat teman - teman kamu sudah pada kerja. Padahal dulu kamu yang paling pintar diantara mereka".

"Harusnya minggu lalu saya ngotot saja pergi ke Bandung menghampiri Arkha, mbak. Mungkin kalau begitu takkan begini kejadiannya", ucap sang Ibu.

Memang lidah tak bertulang dan penyesalan selalu datang belakangan.

***

Andaikan sore itu adalah plot serial drama televisi, pasti akan seru sekali. Tapi sayangnya yang kuhadapi adalah kenyataan. Sambil mendengar cerita orang tua Arkha, otakku tak berhenti berputar. Bak detektif kucoba menyusun kepingan informasi yang kudengar. Mencoba melihat gambaran utuh atas masalah yang terjadi.

Menurutku Arkha yang asli sudah lebih lama menghilang. Tenggelam dalam kebohongan yang Ia ciptakan sendiri. Jauh sebelum orang tuanya menyadari permasalahan ini. Mungkin awalnya Ia hanya berbohong agar tidak membuat orang tuanya kecewa. Bahwa Ia tak seperti anggapan orang - orang mengenai dirinya. Tapi lalu kebohongan tersebut membesar. Bak bola benang kusut. Tak mudah untuk terurai. Jalinannya malah menjerat semakin erat. Mungkin sampai Ia tak tahu lagi mana yang nyata atau dusta.

Aku curiga akar permasalahannya adalah Arkha tidak siap menjadi biasa, saat seumur hidupnya Ia selalu digadang - gadang sebagai orang yang istimewa. Maka ketika masuk perguruan tinggi yang konon berisi putra dan putri bangsa, Arkha kehilangan jati dirinya sebagai sosok yang dianggap spesial dengan segala priviledge-nya.

Mungkinkah sebetulnya mampu menerima diri menjadi biasa itu adalah hal yang luar biasa?

Tentu tak kuutarakan pendapatku ini pada orang tuanya. Buat apa menambah kepusingan dengan praduga yang belum tentu ada benarnya. Biarlah teori - teori yang tercetus tadi menjadi bahan renunganku sendiri saja.

***

Senja semakin pekat. Acara syukuran wisuda sudah berakhir. Tamu - tamu telah beranjak pergi. Rekan - rekan kerjaku juga bersiap untuk pulang. Sebetulnya sudah waktunya juga untukku pamit. Tapi melihat kedua orang tua yang kebingungan di hadapanku, tentu aku tak tega. Kukirim pesan kepada suamiku, menyampaikan kabar kalau aku akan agak terlambat sampai rumah hari itu.

Detik berlalu, belum ada petunjuk tentang keberadaan Arkha. Orang tuanya menolak mengeskalasi masalah ini ke pihak berwenang 

"Takut ramai Mbak. Nanti Arkha malah makin sembunyi". Tapi mereka juga tak tahu harus bertanya kemana lagi.

Ku coba berkontribusi dengan mengirimkan pesan ke beberapa mahasiswa perwakilan angkatan. Siapa tau ada yang mengetahui keberadaan Arkha. Hanya itu yang terpikir bisa aku lakukan tanpa jadi ramai.

***

Waktu Magrib tiba, telepon genggamku berdering. Nomor yang tampil tidak kukenal.

"Selamat malam Bu, saya Mela angkatan 12. Ibu sedang cari Arkha Syailendra angkatan 11, kan ya? Kebetulan dia satu kos dengan pacar saya. Ini alamatnya."

Kuserahkan alamat tersebut pada orang tuanya, yang langsung bergegas pergi menuju kesana.

Setelahnya aku pulang. Anak - anakku sudah menunggu Ibunya datang.

***

Keesokan paginya, dering telepon mengagetkanku. Hampir saja kopi yang sedang kuseduh tumpah. Kulirik jam dinding. Baru pukul setengah enam. Siapa yang menelepon pagi - pagi buta begini?

"Kanya, maaf saya telepon pagi - pagi. Saya mau tanya, kemarin kamu ketemu orang tua Arkha Syailendra? Bagaimana ceritanya?"

Suara Pak Hadi, dosen pengurus kemahasiswaan terdengar di seberang sambungan.

Kuceritakan semua hal tentang pertemuan kemarin kepada Pak Hadi. 

"Sepertinya stress anaknya...", pungkasku tak yakin. 

"Kenapa gitu Pak?"

"Mahasiswa bersangkutan ditemukan meninggal tadi malam di kamar kosnya."

"Hah?! Innalillahi. Kenapa?" Teriakku kaget.

"Saya juga nggak tau pastinya. Keluarganya menolak visum. Bilangnya sih jantung. Tapi saya curiga bukan itu penyebabnya...".

Pak Hadi menghela napas, sebelum menyambung kata - katanya, 

"Nggak usah cerita - cerita ke siapa - siapa perihal ini, Kanya. Kalau ada yang tanya, bilang saja seperti tadi. Meninggal karena jantung. Jenazah langsung dibawa ke Jawa. Jangan lupa kirim karangan bunga ya".
...

Kututup telepon dengan gemetar. Terbayang wajah Bapak dan Ibu kemarin. Dunia mereka pasti runtuh dalam sekejap. Hari - hari mereka pasti tak akan pernah sama.

Seperti namanya, Arkha adalah matahari bagi kedua orang tuanya. Matahari yang sekarang telah pergi dan tak akan pernah kembali. Meninggalkan pertanyaan besar yang mungkin tak akan bisa terjawab.

Misteri kenapa Ia memilih untuk pergi dalam tragedi. Separah itukah permasalahannya? Begitu beratnyakah tekanan yang Ia alami? Kenapa tidak pernah ada yang tau? Mengapa tidak ada yang sadar?

Masih sambil berpikir, kupesan karangan bunga untuk dikirim ke rumah duka. Untung toko bunga langgananku bisa melayani pengiriman ke seluruh penjuru Indonesia. Saat menulis pesan duka cita, aku tercekat, 22 tahun jelas masih terlalu muda untuk tiada.

***

Kalau ada yang bisa aku pelajari dari kejadian ini, adalah bagaimana aku dan suamiku harus membantu anak - anakku, mempersiapkan hati dan jiwanya, untuk menghadapi semua tantangan yang kelak pasti akan mereka jumpai. Termasuk saat mereka tak lagi dianggap istimewa ketika  melangkah keluar dari menara gading, dibawah lindungan orang tuanya. Memasuki kehidupan yang sesungguhnya.

Terdengar anak bungsuku memanggilku. Baru terbangun Ia dari tidur malamnya. Kuhampiri dia. Kupangku dan kupeluk erat tubuh mungilnya, lalu kucium keningnya. Kutiupkan doa di ubun - ubun anak 3 tahun tersebut. Kumohonkan agar Tuhan selalu menjaganya dalam setiap langkahnya.

4 comments:

  1. Mungkinkah sebetulnya mampu menerima diri menjadi biasa itu adalah hal yang luar biasa? -> ini statement juara banget Restu. Betul ya, sebetulnya ini susah banget, menerima diri menjadi biasa.

    Banyak juga cerita hampir mirip kaya cerita Arkha (walau ga sampai berakhir sedih) dari circle of friends ku, itu sedih sih pas ketemu orang tua mereka, nyariin ke kampus. Terimakasih sudah menuliskan ini Restu, semoga Allah selalu menjaga anak-anak kita

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sediiiiiiiiiiih teeeeh ��.. masuk sekolah tjap kuda emang bisa meruntuhkan setiap penilaian yang kita punya terhadap diri sendiri. Terus semangat teh Restu di dalam porsinya menolong para mahasiswa ��

      Delete
  2. Cukup kaget dengan tulisan Restu yang ini, saya sempat mengira akan ada twist di akhir yang kocak seperti kekhasan Restu biasanya, tetapi ini keseluruhan dark ya Restu. Sedih sekali membacanya ya Rabb. :(

    Saya pernah membaca mengenai masalah psikologi anak, agar orangtua tidak memuji berlebihan kepada anaknya, salah satunya agar si anak 'bisa merasa biasa' saat nantinya hidup bermasyarakat.

    Suka banget dengan kalimat ini, "Kalau ada yang bisa aku pelajari dari kejadian ini, adalah bagaimana aku dan suamiku harus membantu anak - anakku, mempersiapkan hati dan jiwanya, untuk menghadapi semua tantangan yang kelak pasti akan mereka jumpai. Termasuk saat mereka tak lagi dianggap istimewa ketika melangkah keluar dari menara gading, dibawah lindungan orang tuanya. Memasuki kehidupan yang sesungguhnya." :)

    ReplyDelete
  3. Sebagai orang yang mediocre saja, saya kadang nggak ngerti dengan konflik batin yang sangat mungkin dialami oleh orang-orang yang terbiasa luar biasa. Tapi berusaha mengerti saja, karena setiap pribadi itu berbeda. Terima kasih untuk tulisannya.

    ReplyDelete