Thursday, March 10, 2022

Susahnya Jadi Orang Dewasa

Nimma memandangi booth perusahaan yang bertebaran. Menimbang - nimbang mana yang akan dia datangi lebih dulu. Job fair di kampusnya kali ini adalah yang terbesar yang pernah diadakan. Hampir 150 perusahaan dari berbagai industri dalam dan luar negeri menawarkan berbagai posisi.

Sebagai lulusan ITB, seharusnya Nimma tak perlu khawatir kesulitan mendapatkan kerja. Statistik mengatakan paling tidak dalam tiga bulan akan ada tempat kerja yang menerimanya. Tapi tetap ada sebersit rasa khawatir dihatinya. Bagaimana kalau ternyata Ia adalah anomali, yang dianggap tak cukup baik untuk diterima oleh perusahaan manapun.

Menggelengkan kepala untuk menepis pikiran buruk itu, Nimma membulatkan tekadnya. Dengan mantap Ia melangkah ke salah satu booth terdekat. Mencoba mengadu peruntungan dengan menyerahkan CV.

***

Sani pacar Nimma punya pengalaman yang berbeda. Dengan IPK yang nyaris sempurna dan segudang prestasi, malah perusahaan yang mengantri untuk menawarinya pekerjaan. Semenjak kemarin sudah sibuk memenuhi undangan untuk langsung masuk tahap interview dengan user. Padahal tahapan ini biasanya adalah tahapan paling akhir dari proses penerimaan kerja.

***

Tak berapa lama Sani memutuskan untuk menerima tawaran dari suatu perusahaan konsultan multinasional ternama. Setelah diterima, pemuda itu langsung sibuk mengikuti berbagai tahap persiapan kerja di Jakarta. 

Sementara Nimma, setelah berjuang sedikit lebih lama, akhirnya diterima bekerja di sebuah start up kecil yang berlokasi di pinggiran kota Bandung. Tadinya dia asal saja menaruh CV disana, ternyata perusahaan tersebut yang jadi jodohnya sebagai pekerjaan pertama.

Kedua sejoli itupun akhirnya berpisah kota. Pertama kalinya dalam empat tahun untuk kurun waktu lama.

***

Semenjak bekerja, Sani jarang punya waktu untuk mengobrol dengan Nimma. Pesan yang ia kirimkan semakin pendek, sementara intervalnya semakin panjang. Telepon juga hanya sebentar - sebentar.

Nimma paham jenis pekerjaan yang dijalani oleh Sani, memang punya tuntutan kesibukan yang tinggi. Wajar jika Sani tak punya waktu untuknya. Apalagi sebagai pegawai baru pasti banyak yang harus Ia pelajari dan kerjakan. 

Namun Nimma tetap tidak bisa menepis perasaan bahwa sekarang ada jarak yang membentang antara dia dan Sani. Seakan Sani ada di dunia yang berbeda. Jauh dari jangkauan Nimma.

Setiap kali teringat hal tersebut, dadanya terasa sedikit nyeri.

***

"Nimma, gue di Bandung nih, nanti sore gue jemput di kantor ya", pesan dari Sani muncul siang itu, setelah tiga minggu menghilang tanpa kabar.

Tiga bulan sudah berlalu semenjak Nimma dan Sani mulai bekerja. Menghilangnya Sani kala itu, seakan mengonfirmasi seluruh kekhawatiran Nimma, bahwa Sani sudah tak terjangkau olehnya. 

Nimma sampai sedikit terkejut, bahwa ternyata Sani masih ingat padanya.

"OK", balas Nimma singkat.

Hantaman emosi seketika membuat Nimma pusing. Rasa jengkel dan rindu menyatu menjadi satu. Di satu sisi dia ingin pergi menghilang saja membalas kelakuan Sani, sementara di sisi yang lain Ia tak sabar segera berlari menemui pemuda itu. Kangen sekali Nimma padanya.

***

"Gimana kerjaan?", tanya Sani. Mereka berdua ada di sebuah cafe kecil dekat kantor Nimma.

"Uhmmm...cukup menarik...", jawab Nimma singkat sambil terus mengaduk es teh yang dipesannya. Tak sanggup Ia memandang Sani. Takut perasaannya meluap tak terbendung.

Nimma tahu Sani menatapnya, mencoba membaca pikirannya seperti biasa. Tapi Ia tetap pura - pura sibuk dengan es tehnya.

***
Sani segera paham kalau Nimma marah. Tanpa perlu kata - kata perasaan gadis itu telah sampai padanya.

"Gue sibuknya kebangetan ya?", Sani mencoba bicara. 

"It's...okay", kata Nimma sambil mengangkat bahu.

"No..it's not, gue.."

"Beneran... nggak papa, gue paham", potong Nimma sebelum Sani sempat menyelesaikan kalimatnya

Menggigit bibirnya, Nimma setengah mati menahan diri agar tak menangis. 

Adukan di es tehnya semakin kencang. Mungkin sebentar lagi isi didalamnya berubah jadi teh panas.

Oh sulitnya dunia orang dewasa.

***

"Gue kangen lo Nimma. Setiap hari. Cuma...", Sani berhenti, ragu - ragu dengan apa yang akan diucapkannya.

Nimma mendongak sedikit, melihat ke arah Sani. Matanya berkilat.

"...nggak jadi. Gue salah. That's it. Maafin gue ya", katanya pada akhirnya setelah melihat ekspresi Nimma.

Sani takut salah bicara dan malah memperkeruh keadaan. Kangen ya kangen saja. Salah juga salah saja. Tak perlu cari pembenaran.

Nimma tak berkomentar, air mata membanjiri pipinya.

***

"Tau nggak sih lo, gue tuh sampai berharap lo bisa gue bawa - bawa di kantong. Biar tiap gue kangen, lo tinggal gue keluarin", lanjut Sani setelah terdiam cukup lama.

Di tengah tangisnya, Nimma tiba - tiba mendengus mendengar perkataan Sani. Entah kenapa bayangan dirinya mengecil dan dibawa - bawa oleh Sani, terlihat lucu sekali.

"Lo pikir gue Tamagochi!", ujar Nimma akhirnya. Setengah sedih, setengah geli.

Sani meringis, "Ya bukan Tamagochi juga sih...ribet ngurusnya..."

"Tuyul?", potong Nimma lagi.

"Tuyul lebih repot. Gimana kalau  Jenglot aja sekalian?"

Tawa Nimma tersembur. Masih bercampur dengan lelehan air mata.

Tertular Nimma, Sani juga ikut tertawa. Awalnya pelan, lama - lama jadi terbahak - bahak. Pengunjung lain menatap keduanya dengan curiga. Mungkin takut ada tuyul yang diam - diam mengambil dompet mereka.

***

Selepas tertawa, Nimma akhirnya berani menatap Sani kembali. Setelah membersihkan semua air mata dan ingus yang memenuhi mukanya tentu saja. 

***

"Gue sebetulnya nggak peduli, lo mau menghubungi gue atau nggak", kata Nimma setelah berhasil mengendalikan diri. 

"Gue percaya lo nggak akan ninggalin gue begitu saja".

"Walaupun tiga minggu... kayaknya agak berlebihan ya", tambah Nimma cepat.

Sani kembali meringis. Harus diakui kali itu dia memang keterlaluan. Masa menyempatkan waktu kirim pesan saja tak bisa.

"But I can't help it. Gue kadang takut, lo akan keasyikan dengan dunia baru lo disana dan melupakan gue di sini", ungkap Nimma dengan jujur.

"Lalu ketika ketakutan itu muncul, it feels like I'm already loosing both of my best friend and...", Nimma menunjuk Sani,"boyfriend...at the same time, and it hurts, Sani", Nimma tercekat. Merasa mukanya kembali menghangat, tanda banjir air mata kedua akan segera datang.

***
Memejamkan matanya, Sani berusaha mencari kata - kata untuk disampaikan.

Sebetulnya Sani bukan ingin menghilang, bukan juga tidak kangen Nimma. Dia hanya bertindak mengikuti logikanya. Sani dapat jatah istirahat dari perusahaan tempatnya bekerja setiap 3 bulan sekali. Menurut logikanya, dia harus memenuhi kewajibannya dulu sampai serampung-rampungnya, agar bisa dengan tenang menikmati liburannya. Termasuk menuntaskan rindunya kepada Nimma.

Jadi tiga minggu kemarin dia berkonsentrasi penuh menyelesaikan pekerjaan. Bak pelari marathon yang pandangannya hanya terpaku pada garis finish. Tak lihat kiri kanan.

Ternyata saking fokusnya, Sani malah tanpa sadar mengabaikan Nimma dan membuatnya terluka.

Oh sulitnya dunia orang dewasa. Atau jangan - jangan ini justru pertanda kalau mereka masih kekanakan? Setetes air mata lolos ke mukanya. Cepat Sani menghapusnya.

"Sebetulnya lo salah...", Sani mencoba menjelaskan secara perlahan. Memastikan Nimma mendengar semua kata - katanya. 

"Lo itu bukan dunia yang gue tinggalkan. Justru lo adalah dunia yang gue tuju...", lanjut Sani.

"...jadi jelas gue nggak bakal lupa sama lo".

"Gue nggak menghilang...tapi salah perhitungan...", Sani mengakhiri penjelasannya. Berharap Nimma bisa menerima.

Mendengar kata - kata Sani, Nimma tak bisa menahan senyumnya. Ia lantas memutuskan untuk tidak memperpanjang masalah ini. Nimma lega telah berkata jujur dan karena Sani bisa paham perasaannya. Dia juga senang karena Sani mau mengakui kesalahannya tanpa basa basi.

Memang wanita hanya perlu dimengerti.

***

"Keterlaluan memang gue ini, membiarkan lo dilanda kangen berat sama gue", menyengirkan mukanya, Sani mencoba berkelakar.

Nimma memutar bola matanya.

"This too shall pass. I promise you, I can make it right again", kata Sani kembali serius.

Nimma mengangguk, "Oke...seperti biasa gue percaya sama lo".

Kemarahannya telah sirna sepenuhnya.

***

"By the way sejak kapan sih, lo jadi pintar ngomong berbunga - bunga gini?", kata Nimma tersenyum - senyum sendiri mengingat perkataan Sani tadi. Pantas lagu dangdut banyak disukai, ternyata memang asyik rasanya digombali.

"Lha masa lo nggak tau? It's in my blood all the way long. Jangan lupa, nilai bahasa Indonesia gue dulu yang paling tinggi seantero ITB", kata Sani asal. Apapun asal Nimma kembali tersenyum.

Nimma tergelak, mengingat legenda tentang kertas ujian Bahasa Indonesia Sani yang konon sampai bertahun - tahun terpajang di dinding kantor dosen Bahasa Indonesia. Saking senangnya dosen itu karena ada mahasiswa yang berhasil mendapat nilai sempurna.

***

"Jadi kita mau tangis - tangisan sepanjang malam, atau melakukan hal yang lebih menarik nih?", tanya Sani.

"Nonton aja yuk. Tapi lo yang bayarin ya. Gaji lo kan 4 kali lipat gaji gue", jawab Nimma.

"Beres, Nyonya!", kata Sani sambil tertawa.

Ah, mungkin sebenarnya, dunia orang dewasa tak serumit yang mereka bayangkan. Mereka saja yang suka berprasangka.

1 comment:

  1. Ya ampuun... tamagochi. Jaman kapan itu? 😅 Ayo Sani, segera boyong Nimma untuk ikut ke Jakarta. Bakal ada episode selanjutnya nggak nih, Nimma & Sani? Asyik nih mbacanya.

    ReplyDelete