Dulu waktu saya SD kadang-kadang ada imunisasi, program pemerintah yang ditujukan buat anak-anak usia sekolah dasar supaya nanti besarnya mereka terhindar dari virus yang macam-macam, sehingga sehat dan kuat, untuk membangun negara. Merdeka!!.
Kalau ada imunisasi, murid murid diperintahkan mengantri di depan UKS, menunggu giliran disuntik oleh dokter puskesmas, yang mungkin saking pusingnya menghadapi anak-anak sudah tidak mau merepotkan diri dengan bujukan bujukan “tidak sakit”, kayak digigit semut” dan sebagainya. Karena nyatanya pada akhirnya anak-anak itu tetap saja menangis karena disuntik itu sakit, lebih sakit dari digigit semut.
Jadi alkisah, di sekolah saya ada imunisasi, saya sebagai ketua kelas, bertugas membantu guru untuk menertibkan teman-teman saya menunggu giliran disuntik. Jadi saya tidak ikut mengantri tapi mondar mandir sepanjang antrian teman-teman saya sambil mengingatkan kalo ada yang berbuat usil. Karena mondar mandir saya jadi bisa melihat dengan jelas wajah anak anak yang sudah selesai di suntik, yang keluar lewat pintu yang letaknya ada di belakang antrian. Buat saya yang baru berumur 8 tahun, wajah-wajah mereka terlihat seperti wajah yang penuh kesakitan dan teror mendalam. Segera saya putuskan saya tidak mau disuntik. Jadi saya kabur. Saya pergi ke bawah tangga dan menunggu disana sampai teman saya yang terakhir masuk untuk disuntik. Kemudian saya bergabung kembali dengan teman-teman, sambil memasang tampang memelas seperti habis disuntik, lengkap dengan memegangi lengan kanan saya, dan cerita yang direkayasa mengenai percakapan saya dengan dokter.
Besoknya saya masuk sekolah sendirian, karena ternyata ketika di UKS teman-teman saya diberitahu oleh dokter supaya besok tinggal dirumah, karena imunisasi yang diberikan akan menyebabkan tubuh demam.Teman-teman saya demam, dan saya jelas tidak. Guru yang heran melihat saya segar bugar, akhirnya mengetahui bahwa saya kemarin kabur, kemudian membawa saya langsung ke puskesmas untuk disuntik. Well, sisi baiknya di puskesmas susternya suka dengan anak-anak, jadi setelah disuntik saya diberi permen. Hore!!.
Setelah saya besar baru saya sadar bahayanya tindakan saya. Bagaimana kalo yang disuntikkan waktu itu vaksin polio? Atau tetanus? dan saya tidak disuntik? Ya ya ya... saya tidak mau memikirkannya.
Kalau ada imunisasi, murid murid diperintahkan mengantri di depan UKS, menunggu giliran disuntik oleh dokter puskesmas, yang mungkin saking pusingnya menghadapi anak-anak sudah tidak mau merepotkan diri dengan bujukan bujukan “tidak sakit”, kayak digigit semut” dan sebagainya. Karena nyatanya pada akhirnya anak-anak itu tetap saja menangis karena disuntik itu sakit, lebih sakit dari digigit semut.
Jadi alkisah, di sekolah saya ada imunisasi, saya sebagai ketua kelas, bertugas membantu guru untuk menertibkan teman-teman saya menunggu giliran disuntik. Jadi saya tidak ikut mengantri tapi mondar mandir sepanjang antrian teman-teman saya sambil mengingatkan kalo ada yang berbuat usil. Karena mondar mandir saya jadi bisa melihat dengan jelas wajah anak anak yang sudah selesai di suntik, yang keluar lewat pintu yang letaknya ada di belakang antrian. Buat saya yang baru berumur 8 tahun, wajah-wajah mereka terlihat seperti wajah yang penuh kesakitan dan teror mendalam. Segera saya putuskan saya tidak mau disuntik. Jadi saya kabur. Saya pergi ke bawah tangga dan menunggu disana sampai teman saya yang terakhir masuk untuk disuntik. Kemudian saya bergabung kembali dengan teman-teman, sambil memasang tampang memelas seperti habis disuntik, lengkap dengan memegangi lengan kanan saya, dan cerita yang direkayasa mengenai percakapan saya dengan dokter.
Besoknya saya masuk sekolah sendirian, karena ternyata ketika di UKS teman-teman saya diberitahu oleh dokter supaya besok tinggal dirumah, karena imunisasi yang diberikan akan menyebabkan tubuh demam.Teman-teman saya demam, dan saya jelas tidak. Guru yang heran melihat saya segar bugar, akhirnya mengetahui bahwa saya kemarin kabur, kemudian membawa saya langsung ke puskesmas untuk disuntik. Well, sisi baiknya di puskesmas susternya suka dengan anak-anak, jadi setelah disuntik saya diberi permen. Hore!!.
Setelah saya besar baru saya sadar bahayanya tindakan saya. Bagaimana kalo yang disuntikkan waktu itu vaksin polio? Atau tetanus? dan saya tidak disuntik? Ya ya ya... saya tidak mau memikirkannya.
No comments:
Post a Comment