Wednesday, October 21, 2015

Tak Ada Prihatin di Jerman

...Ulrike sih banyak, atau Jutta...
*garing*


Menurut KBBI online ada dua arti kata prihatin :

Prihatin /pri·ha·tin / 1 a bersedih hati, waswas, bimbang (karena usahanya gagal, mendapat kesulitan, mengingat akan nasibnya, dan sebagainya): 2 v menahan diri; bertarak; 

Nah, arti prihatin yang kedua yaitu menahan diri adalah konsep yang saya rasa tidak dikenal oleh orang Jerman. Tentu saja ini hanya dugaan semata tanpa dukungan fakta ilmiah. Mengingat kesimpulan yang saya tarik hanya didasarkan pada interaksi dengan segelintir orang Jerman. Tapi mengingat orang Jerman cukup homogen sifatnya, bisalah kita tarik kesimpulan demikian. 

Prihatin tidak sama dengan hemat, cermat, pelit, atau kikir. Karena hemat, cermat, pelit, atau kikir kebanyakan adalah bawaan orok sementara prihatin kebanyakan didorong keterpaksaan. Di Jerman banyak juga orang  hemat, cermat, pelit, atau kikir. Tapi saya rasa hampir tidak ada orang yang prihatin. Karena tidak ada konsep prihatin di Bundesrepublik Deutschland ini. 

Saya punya beberapa fakta non ilmiah berdasarkan pada pengalaman yang dapat mendukung teori saya. Ini beberapa diantaranya. 

Pertama ketika dulu mencari tempat tinggal, kebanyakan kami ditolak dengan alasan uang kami tidak mencukupi untuk menyewa rumah, hidup sehari-hari, DAN URLAUB (liburan).

"Kalau kamu tinggal disini kamu tidak punya sisa uang untuk urlaub."
Yah, batin kami, siapa sih yang peduli sama urlaub?!! orang kita kesini mau sekolah sambil jalan-jalan juga sih ya
Dan kamipun tetap ditolak, karena tidak bisa diterima akal mereka kalau kami cuma punya yang 350 euro setiap akhir bulan. Padahal 350 euro juga udah bisa buat liburan. Secara tamasya ke kota sebelah aja buat orang Indonesia namanya liburan. Kota sebelah kalau di Eropa juga bisa jadi udah beda negara. Zzzzz. Lagian kalau nggak punya uang buat liburan yang beneran liburan, ya tinggal diem aja di rumah. Mantengin internet. Nonton bioskop. Makan KFC. Kalau bosen banget mungkin bisa menjelajah hutan depan rumah. Apa kek. 

Makanya vermieter (empunya rumah) kami seneng banget kalau kami bilang mau liburan atau keliatan belanja barang-barang. Karena artinya hidup kami nggak susah. Apalagi waktu dibilang kemarin kami mau pulang ke Indonesia. Wah girang banget beliau. Karena artinya kami masih punya cukup uang untuk dihambur hamburkan :))) 

Kedua ini pengalaman setelah dapat tempat tinggal. Karena duit modal kami pas pasan, kami cuma beli furniture seperlunya. Pilih di IKEA juga yang paling murah. Barang-barang yang lain juga kebanyakan lungsuran dari orang. Pokoknya seadanya aja. Ya orang tinggal disini kan rencananya cuma sementara. Lagian namanya juga lagi sekolah, ngapain mewah-mewah. Kalau ada uang lebih juga mending ditabung buat beli furniture kalau punya rumah di Indonesia atau malah buat beli rumahnya. Barang-barang tersier macam tipi kami nggak pasang, karena nggak hobi juga nonton tivi. Alhasil tempat tinggal kami jauh lebih kosong daripada "standar" orang Jerman. Waktu pertama kali vermieter kami dateng untuk melihat Wohnung yang udah diisi, keliatan banget beliau agak-agak prihatin (arti pertama) melihat kondisi kami, yang sebenernya nggak memprihatinkan sama sekali. Apalagi si sepupu yang tinggal bareng kekeuh nggak mau beli tempat tidur. Maunya ngamparin kasur aja di lantai seperti yang dilakukan ribuan mahasiswa kos lain di Indonesia. Pehlus nggak mau beli barang-barang gede lainnya macam lemari, karena dia mikir nanti rusuh kalau harus pindah-pindah. 

Si Bapak nampaknya merasa cara yang kami lakukan untuk mengisi tempat tinggal kami itu tidak dilakukan secara sadar melainkan didorong oleh keterpaksaan karena nggak punya uang (ya ada benernya juga sih sebenernya :P). Walhasil karena mungkin takut hidup kami susah karena tinggal di tempat dia yang emang mahal untuk ukuran mahasiswa, akhirnya sampe sebulan, bolak baliklah beliau ngetok-ngetok rumah saban kali ada selebaran iklan toko furniture atau elektronik. Mengabarkan bahwa ada diskon lemari ini, meja itu, mesin ini mesin itu. Padahal mah kami juga nggak butuh. Hahaha!

Setelah tiga bulan tidak terlihat ada upaya nyata dari kami untuk menyamakan standar hidup dengan standar hidup Jerman, akhirnya beliau mulai menyerah dan membiarkan kami hidup sesukanya.  

Mungkin ya kalau bapak ini tau, dulu teman satu asrama suami yang orang Cina, setiap hari cuma makan bubur sama telor, pasti dia udah lapor sama dinas sosial saking kasiannya :P

Namanya juga mahasiswa Paakk. Prihatiiinn. 

Ketiga ini pengalaman di tempat kerja. Ternyata di Jerman ini setiap liburan summer, antara Juli-September, sebagian besar orang yang kerja dengan upah minimum "dipaksa" libur (karena memang nggak ada kerjaan). Otomatis mereka tidak mendapat upah dari perusahaan karena hitungan kerjanya perjam. Buat orang Indonesia sih ya nggak masalah itungan begitu. Tinggal tabung 10 bulan gaji untuk dipake hidup 12 bulan. Ya orang gaji dengan upah minimum sebulan untuk pekerja fulltime (sekitar 1500-2000 euro) sangat mencukupi untuk hidup tanpa perlu pusing saat nggak ada pendapatan. Tapi buat orang Jerman nggak ada tuh konsep sedia payung sebelum hujan begitu. Nabung ya buat liburan (ke luar benua), buat beli mobil, buat beli rumah. Bukan buat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saat tak punya pemasukan. 

Begitu nggak dapat uang dari pekerjaan, pada berbondong-bondong tuh datang ke departemen tenaga kerja untuk minta Arbeitslosgeld atau uang tunjangan karena kehilangan pekerjaan. Nggak ada istilahnya dalam kamus mereka menurunkan standar hidup karena nggak ada pemasukan. Negara harus tanggung jawab! Yaaaa negaranya kaya sih ya. Hahaha! Jadi emang orang nggak dibiarin hidup prihatin. 

Keempat, ini ada hubungannya sama pengungsi dan mungkin nggak ada hubungannya sama tema prihatin. Karena habis nulis segini banyak saya jadi semakin kehilangan fokus. Hahaha! Tapi ya udahlah, saya ceritain juga tentang pengungsi dan hubungannya dengan konsep prihatin yang nampaknya tidak ada di Jerman. 

Stuttgart salah satu kota di Jerman yang kebanjiran pengungsi. Secara negara bagiannya adalah salah satu negara bagian terkaya yang menguasai hampir 20% kekayaan Jerman. Masalah utama terkait pengungsi di Jerman bukan uang. Uang sih banyak. Kesulitannya lebih pada tidak mencukupinya jumlah fasilitas yang layak sesuai standar hidup Jerman. 

Contoh sederhana standar hidup di Jerman adalah standar ukuran luas tempat tinggal. Di Stuttgart masing-masing individu di tempat tinggalnya harus punya space privat minimal 15 m2 untuk orang dewasa dan 12m2 untuk anak-anak. Misalnya ada keluarga yang isinya dua orang dewasa dan tiga orang anak, ya mereka harus tinggal di tempat seluas minimal 66m2. Jadi nggak ada istilahnya tuh RSSSSS (Rumah Sangat Sederhana Sampai Susah Selonjor) atau lima keluarga umpek umpekan di rumah tipe 45 seperti yang ada di Indonesia. Di sini semua orang harus bisa salto roll depan roll belakang plus tiger sprong kalau berminat, di dalam rumah, tanpa perlu takut nubruk orang lain.

Contoh lainnya adalah standar pendapatan. Setiap keluarga/individu punya standar pendapatan yang harus dipenuhi, tergantung dari kondisi si individu atau keluarga tersebut. Untuk warga negara Jerman sih kalau pendapatannya kurang ya ditambahin sama negara, untuk warga negara asing kalau pendapatannya kurang ya siap siap aja nggak dapat ijin tinggal lagi. Saya tidak tahu sama sekali cara perhitungannya, tapi sebagai contoh untuk apply visa ijin tinggal tanpa sponsor setiap individu harus memiliki deposit sekitar 8400 euro selama setahun atau untuk keluarga yang punya sponsor seperti kami, harus membuktikan diri punya pendapatan minimal sebesar 1500 euro perbulan. Itu untuk keluarga tanpa anak. Kalau punya anak ya beda lagi standar pendapatannya.  

Untuk memenuhi standar pendapatan, setiap orang pengungsi mendapat jatah 650 euro perbulan. Uang yang didapat berasal dari pemerintah Jerman dan UNHCR. Tentu saja uang ini tidak diberikan semuanya ke pengungsi. Melainkan dipakai untuk membayar makan dan kebutuhan lainnya termasuk tempat tinggal. Semuanya dengan standar Jerman. Jadi di sini nggak ada ceritanya tuh pengungsi dikasih nasi bungkus atau Indomie. Pengungsi yang ditempatkan sementara di tempat saya bekerja di Messe Stuttgart, setiap makan dapatnya makanan kualitas restoran. Walaupun yaaa namanya juga makanan Jerman. Isinya ya gitu doang. Kentang sama semur. Kentang sama sosis. Kentang sama salad. Kentang sama kentung :

Karena mempertahankan standar penerimaan yang layak, beberapa kurun waktu terakhir Jerman diberitakan mulai kewalahan. Jadinya mulai pada berantem tuh para petinggi-petinggi pemerintah perkara pengungsi ini. Kebijakan si ibu kanselir adalah menerima sebanyak-banyaknya pengungsi sementara menteri-menterinya sudah pada kelimpungan mengatur budget untuk menerima pengungsi secara "layak". Budget disini bukan hanya uang dan fasilitas tapi juga sumber daya manusia. Pegawai pemerintah kota, pegawai departemen, polisi, tentara, petugas catering, habladi hablada pokoknya semua pihak yang diperlukan untuk membuat proses penerimaan dan intgrasi pengungsi berjalan aman dan lancar. Secara SDM adalah hal yang mahal di Jerman. 

Akhirnya, akhir akhir ini mulai santer terdengar wacana Jerman akan mulai mengurangi jumlah atau malah menghentikan aliran pengungsi. Karena negaranya sudah hampir tidak sanggup lagi menerima pengungsi secara layak. 

Mungkin ya mungkin kalau orang Jerman tahu konsep prihatin, mereka akan menurunkan standar hidup, seperti  misalnya mengurangi uang tunjangan yang sekarang bisa mencapai 2000 - 3000 euro perkeluarga menjadi cuma 1500 euro perkeluarga. Sehingga lebih banyak pengungsi yang bisa ditampung dan bukannya malah ditolak. Dengar-dengar sih langkah pengurangan tunjangan secara signifikan ini akan diambil oleh pemerintah Swedia. Tapi bukan dalam rangka menambah jumlah pengungsi, melainkan agar pengungsi memilih pergi ke Jerman atau negara lain saja, yang tunjangannya lebih besar.

Nampaknya untuk sebagian besar orang Jerman hidup sekeluarga dengan 1500 euro sebulan adalah hal yang unglaublich. Tidak terpikirkan. Padahal banyak juga mahasiswa di sini (kami contohnya) yang hidup sebulan hanya dengan 1500 euro. Ya memang nggak bisa sering-sering liburan dan beli barang-barang sesukanya, tapi kan ya hidup hidup aja tenang tenang. Makan empat sehat lima sempurna setiap hari, tambah junkfood waktu weekend. 

Namanya juga student. Prihatiiin paakkk :))))

Tentu saya tidak menyuruh pengungsi dibiarkan hidup susah dan prihatin. Ya kan kasihan juga sudah jadi korban konflik yang penyebabnya juga bukan mereka, susah payah dateng ke sini eh sampai di sini disuruh prihatin juga. Tapi ya namanya pengungsi, sebagian besar sih kayaknya keinginannya sederhana, cuma pengen selamat dan nggak dipulangkan. Banyak sih katanya yang ngelunjak, minta ini minta itu dan bertingkah laku kurang menyenangkan. Tapi diluar hal itu, pengungsi nampaknya sudah cukup berterimakasih diperbolehkan masuk ke negara yang aman dan bisa menawarkan penghidupan yang lebih layak. Kalau ditolak kan lebih kasihan. Kayaknya buat mereka mendingan umpek-umpekan nggak bisa tiger sprong dalam rumah daripada terlunta lunta di perbatasan negara nggak jelas masa depannya.

Jadi begitulah empat hal yang melandasi penarikan kesimpulan saya mengenai tidak dikenalnya konsep prihatin di Jerman. Not a bad thing sebenarnya. Cuma kalau misalnya nanti dunia terbalik, seperti roda pedati, dan Jerman tiba-tiba negara dunia ketiga seperti Indonesia, saya rasa pasti banyak orang masuk rumah sakit jiwa. Karena tidak semua orang jadi bisa tiger sprong di rumahnya, tanpa nabrak dinding :P prihatin adalah konsep yang asing. 

Tapi karena hal tersebut sepertinya tidak akan terjadi dalam waktu dekat, kita biarkan saja orang-orang Jerman ini (ya iyalah, emang mau diapain), dan mari tetap kita junjung tinggi prinsip mangan ora mangan ngumpul. At least walaupun nggak bisa salto salto dalam rumah kita jarang kesepian.

Nggak nyambung. Haha! 


6 comments:

  1. restu update BLOGGGG.. gelar nasi uduk, selametaaan. gw kemarin nemu ini tuuu https://hbr.org/web/infographic/2014/04/comparing-management-cultures mungkin bisa menjelaskan fenomena "prihatin" hahahaha

    ReplyDelete
  2. Lah udah lama kali Tiek updatenya. Mungkin lo sibuk jadi tidak memperhatikan :P
    Yah disini emang nggak ada prihatin. Kalau bisa bener dan nggak prihatin kenapa mesti prihatin gitulah intinya. Heheh!

    ReplyDelete
  3. aku baru tau tentang tidak ada konsep prihatin. tapi mungkin itulah beda negara maju dan negara belum maju. rakyatnya semua disantuni jadi ga perlu prihatin. tapi ujung-ujungnya mengkhawatirkan sih kalau tiba2 negaranya kenapa2, hehehe

    ReplyDelete
  4. Gak tahu ya di Jerman piye.. tapi di Belanda cukup banyak orang yang hidup dalam keprihatinan. Biasanya adalah orang2 apes yang gajinya ada di ambang atas kemiskinan. Jadi dia kena pajak yang besar dan juga gak dapat tunjangan.
    Di sini ada istilahnya hidden poor estate. Jadi dia gak bisa haha hihi kayak orang yang dapat uang dari pemerintah.. gak dapat grocery gratis,uang les anak gratis dll karena gajinya "gede" - tapi kurang cukup gede buat Jadi kaya ��

    ReplyDelete
  5. Ehehe kok ada ada saja ya. Tapi begitulah manusia, selalu ada hal-hal yang mengejutkan dengan behavior-nya, yang (rata-rata) dipengaruhi oleh tradisi, sosial budaya, kondisi area, dan banyak unsur lainnya.

    Kadang 'keunikan' tersebut malah sudah tercetak di blueprints DNA-nya ya, alias sudah turun temurun, jadi yang seperti itulah yang dia anggap normal. Umum disebut sebagai 'stereotype'.

    Salah satu kebanggaan menjadi orang Indonesia, bisa kuat dengan kondisi 'makan gak makan asal kumpul' ehehe.

    Despite 'tidak punya rasa prihatin', saya kagum dengan Jerman (dan banyak negara Eropa lainnya) yang berbesar hati menerima para imigran.

    Semoga berkah ya, warga Eropa.

    ReplyDelete
  6. Apa kabar kalau orang Jerman lihat kita makan indomie pakai nasi ya, hihi. Keren juga Jerman standarnya, cuma jadi nyusahin ya. Hehe thanks for sharing, teh

    ReplyDelete