Monday, November 20, 2023

Ngukur Jalan

Semuanya dimulai di awal pandemi. Situasi baru yang cukup memusingkan, membuat satu rumah kelelahan sepanjang hari. Anak-anak rungsing, orang tua pusing. Kondisi semakin memburuk kala matahari sudah tenggelam. Emosi sudah di ubun-ubun. Badan sudah remuk redam. Otak sudah tak bisa berpikir.

Ingin hati menggeletak di atas kasur, tapi mata makhluk-makhluk kecil itu malah semakin terang. Sekuat tenaga menolak untuk tidur. Padahal badan dan otaknya sepertinya sudah minta diistirahatkan. Alhasil pecah perang setiap malam. Tentu diwarnai tangisan dan teriakan. Tak jarang sampai jauh hingga pekatnya malam. Sungguh menguji kesabaran.

Suatu malam, si Ragil, yang kala itu usianya masih sekitar 7 bulan, menangis tak henti-henti. Dari Magrib sampai lewat jam 1 malam. Segala usaha sudah dilakukan. Mulai dari yang duniawi seperti eyong-eyong hingga yang spiritual seperti baca quran. Tidak ada yang bisa membuatnya berhenti menjerit. Ingin hati lari ke UGD. Mana tau dia kesakitan dan dokter disana bisa memberikan jawaban. Tapi kondisi tidak memungkinkan. UGD kala itu tak ubahnya medan perang. Lagian kalau masih bisa jerit sampai lampu gantung bergoyang sih kayaknya sehat-sehat saja badannya.

Mbarep, yang cuma bisa tidur di kelek emaknya, tentu saja tidak berkenan mengalah untuk tidur dengan bapaknya. Apalagi semua perhatian tercurah ke adeknya, tentu saja tak afdol kalau tak ikut berulah. Merengek-rengeklah dia. Andaikan itu musik mungkin kombinasinya bisa jadi backsound film thriller. Tapi berhubung ini rengekan, tangisan, dan jeritan secara live, jadinya seperti konser Queen dengan nada klimaks yang sumbang. Sungguh bikin puyeng. Saya sampai dengan serius mempertimbangkan untuk memanggil ustad karena takut Ragil kesurupan. 

Di suatu titik, karena merasa sangat kepanasan dan sumpek, saya bilang ke suami supaya kami pergi saja naik mobil. Paling tidak di mobil ada AC-nya jadi saya bisa sedikit ngadem. Akhirnya kami gotong dua bocah itu ke mobil, kami kunci di carseat. Lalu kami berkendara keliling-keliling Bandung. Sambil jalan, kami berdua diam, memandang kelebat lampu kota di tengah pekat malam. Tanpa sadar, lama kelamaan suara jeritan berubah jadi tangisan, lalu isakan, dan terakhir hanya sesenggukan. Dua jam di dalam mobil. Putar-putar tanpa tujuan, akhirnya kedua bocah lucu itupun tertidur. Setelahnya saya dan suami sibuk toyor-toyoran, kenapa nggak dari tadi saja jalan-jalan. 

***


Semenjak itu, jalan-jalan malam menjadi ritual kami. Apalagi setelah melalui hari yang terlalu melelahkan. Supaya anak-anak cepat tidur dan Emak Bapak bisa me time dengan tenang. Alias melakukan kegiatan favorit keluarga yang sebenarnya: Bapak dengerin podcast/nonton film, Emak nonton Drama Korea. Atau youtube short kalau lagi nggak mau mikir. Walaupun nonton tetap mikir sih ya.

Saking seringnya dilakukan, jalan-jalan malam akhirnya jadi ajang saya dan suami ngobrolin berbagai hal. Terutama hal-hal yang serius atau ribet. Karena kalau di rumah terlalu riweuh dengan bocah-bocah yang berlompatan kesana kemari dengan teriakan “Ibu Ibu Ibu Ibu” setiap 10 detik. Boro-boro mau serius, baru mau sampai salam pembuka saja, pasti sudah diinterupsi bocah 30 kali. Kalau di mobil entah kenapa ini bocah-bocah bisa anteng. Kadang disogok tontonan/game sih, tapi tak jarang mereka berdiam dengan sendirinya. Melihat-lihat dengan asyik ke kanan dan kiri. Tapi tidak naik becak dan tidak sambil tumpang kaki.  

Waktu pandemi, jalan-jalan malam juga menjadi sedikit hiburan melepas kepenatan setelah terkurung terus di dalam rumah. Walaupun sering sedih juga melihat daerah-daerah yang sepi seperti kota mati. Kala itu, kalau jalan-jalan malam seringnya saya cuma pakai daster yang ditutup kaos lengan panjang plus bergo. Kadang-kadang kalau apes, Mbarep kebelet pipis dan terpaksa mampir buat ke toilet di SPBU. Anggap saja fashion statement malam-malam. Perpaduan daster kembang-kembang dan kaos garis-garis atau polkadot. Tergantung dari sudut pandang mana dilihatnya. Bisa merusak mata. Bisa juga menyegarkan mata. Sayang karena tidak boleh ada kerumunan, tidak jadi viral seperti Citayam.

Setelah keadaan kembali normal, jalan-jalan malam sering diselingi dengan kegiatan lain seperti beli keperluan mendadak ke minimarket, ambil uang di ATM drive thru, beli es krim juga via drive thru atau iseng saja cari lokasi suatu tempat yang ingin didatangi. Biasanya restoran. Sengaja pergi ke seberang kota supaya waktunya cukup untuk anak-anak tidur. Karena ini adalah esensi dari jalan-jalan malam. Bikin anak-anak terlelap. Tentu saja, karena tak jarang mampir-mampir, sekarang saya sudah tak pakai daster lagi. Rada niat sedikitlah. Walaupun tak sampai pakai gincu.

Kadang kalau sedang tidak mampir-mampir dan sedang malas ngobrol, kami menghabiskan waktu dengan mendengarkan podcast favorit suami atau lagu-lagu random di situs musik. Tapi kadang juga hanya diam saja, menikmati suasana hening. Karena keheningan itu langka di kota.

Satu hal yang mengusik hati dari kegiatan ini. Karena belum ada mobil yang ramah lingkungan (mobil listrik kalau di Indonesia jadi nggak ramah juga), plus kalaupun ada, kemungkinan besar belum akan sanggup belinya, sebetulnya jalan-jalan malam ini menambah emisi karbon tak perlu sih. Heuheu. Cuma gimana ya, demi kewarasan, maafkan aku bumi. Anggap saja investasi (loh salah tema tantangan nih). Siapa tau kalau sudah besar salah satu core memory anak-anak adalah jalan-jalan malam menyusuri gemerlap dan heningnya kota sambil mengobrol ngalor ngidul tentang segala hal. Siapa tau kelak, mereka juga akan mengajak keluarganya jalan-jalan keliling-keliling di saat malam. Di manapun takdir mereka nantinya. Mungkin pakai mobil terbang.  ***

Hampir tidak jadi menulis untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog kali ini. Tapi sayanglah ya tinggal 1 bulan lagi. Memenuhi janji kepada diri sendiri untuk tamat tantangan sampai akhir tahun ini.



5 comments:

  1. Wah ... belum pernah aku jalan-jalan malam gini. Apakah perlu dicoba? he3 ... : seru juga ya teh Restu bisa aja ketemu solusinya bikin anak anteng dan akhirnya bobo.

    ReplyDelete
  2. Suka nih... Ajang bikin anak tenang malah jd bonus ke couple time. Wkk kalau lihat emak2 dasteran bergoan di jalan aku dah ngga menghakimi teh, dah maklum aja deh

    ReplyDelete
  3. Ahahaha, bagian pake daster kembang-kembang dan kaos garis-garis atau polkadot itu somehow kocak banget tapi sebagai sesama ibu-ibu, ku bisa memahaminya. Dan betul kata Restu, tergantung persepsi masing-masing orang ceunah, ada yang nganggep itu merusak mata, ada pula yang menilai itu outfit brilliant.

    Itulah Restu, yang bikin aku setiap kali keluar rumah, meskipun cuman deket sekalipun, tetep dress-up, because you never know 😁
    ***
    Btw metode kita mirip sekali, Restu. Saat bocahku masih balita, tiap nangis gak jelas, akan kami ajakin naek mobil keliling kota, dan akhirnya anteng dan tidur.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ternyata sama juga ya wkwkwk, waktu anak-anak kecil, begitu rewel, langsung di ajak jalan-jalan sampai tidur, baru pulang.

      Delete
  4. Pada bagian Pak Suami dengar podcast dan ngobrol ngalor-ngidul itu yang membuatku nyengir. Laaah samaa. Bedanya kalau di sini, sampai rumah, anaknya bangun, melek terang benderang :))

    ReplyDelete