Wednesday, October 20, 2010

Secangkir Latte Penghilang Trauma

Aku tertegun di pintu masuk warung. Kupikir bagian dalam warung tersebut akan sesederhana tampilan luarnya yang hanya berupa kayu dan bambu. Ternyata bagian luar tersebut hanya gimmick belaka. Mungkin menyesuaikan diri dengan kondisi sekitarnya. Di bagian dalam, warung tersebut jauh lebih modern daripada yang kukira. Bahkan melebihi kedai kopi yang sekilas pernah aku lihat di kota. Tembok berwarna krem yang hangat, beberapa meja dan bangku panjang ala American diner berwarna cokelat yang terlihat nyaman, dapur yang sepenuhnya terbuat dari alumunium dengan berbagai peralatan canggih. Aku sampai berbalik keluar terlebih dahulu untuk meyakinkan diri bahwa aku tidak nyasar ke dunia lain. Haha.

***

(Sumber: freepik.com)

Seorang pemuda menyapaku dari balik counter. Tangannya memegang semacam lap. Sepertinya dia sedang bersih-bersih.
"Hallo,", katanya sambil tersenyum. Mungkin sudah terbiasa dengan kekagetan orang yang masuk ke kedainya. 
"Bisa dibantu?", katanya lagi. 
Aku berdeham dan mengibaskan kepalaku sedikit sebelum menjawab. Menjernihkan kepalaku dari macam-macam pikiran.
"Mobil saya mogok diluar, mau pinjam colokan bisa?", tanyaku sambil memperlihatkan telepon genggamku.
"Oh silahkan, di setiap tempat duduk ada colokan kok", kata si Pemuda sambil mengarahkan aku untuk duduk di salah satu bangku.
"Dibawah", lanjutnya sambil menunjukkan colokan yang ada di bawah masing-masing meja.
"Thanks", kataku otomatis men-inggris seperti layaknya orang-orang kota di elemennya.
"Mau pinjam telepon, untuk telepon bengkel?", pemuda tersebut menawari. 
"Sudah kok, terimakasih", kataku. Pemuda itu mengangguk lalu kembali menekuni hal yang dikerjakannya. Membiarkan aku duduk dengan tenang.  

***
Aku menyetel peralatanku lalu bersiap untuk mengikuti meeting. Si pemuda mengamatiku. 
"Wifi-nya Cafe Hutan passwordnya kopisusuhangat", katanya. 
"Oh thanks", kataku lagi-lagi sambil kebingungan karena warung kopi antah berantah ini bahkan punya wifi
Lalu aku pun mengikuti meeting dengan cukup lancar, walaupun pohon-pohon tinggi melingkupi dan hujan deras mengguyur sekeliling tempatku berada. Bahkan atasanku kaget karena aku bahkan bisa menggunakan internet dengan lancar, setelah aku menyebutkan lokasiku terdampar. Aku pun tak habis pikir dengan kedai tersebut. 

Si pemuda mendekatiku sambil membawa segelas air putih. "Silahkan, biar nggak haus", katanya. 
***

Pesan dari bengkel menyebutkan bahwa ada pohon tumbang karena hujan, sehingga mungkin mereka baru sampai sekitar 1,5 jam lagi. Aku menghela napas panjang. Untungnya tempatku menunggu nyaman. Sangat nyaman malah. Selesai meeting aku memandang berkeliling. Si pemuda sekarang sedang sibuk dengan mesin pembuat adonan. Perutku berbunyi. Ternyata lapar juga. Aku berdiri lalu berjalan mendekati counter. Si pemuda mengalihkan perhatiannya dari apa yang sedang dia kerjakan. 
"Sudah selesai meeting-nya Kak? mau minum atau makan?", katanya sambil menunjuk menu di belakangnya. 
Aku mengamati menu tersebut. Deretan nama kopi yang asing buatku memenuhi sepertiga dari daftar menu tersebut. 
"Hmmmm, hot white chocolatte satu sama bomboloni strawberry 1 ya", kataku akhirnya memutuskan. Sampai sudah lupa bahwa aku ada di tengah hutan bukan di kota. Dimana memesan cokelat putih dan bomboloni adalah hal cukup biasa. 
"Nggak mau sekalian coba kopinya kak?", tanya si pemuda sambil mengarahkan tangannya ke arah deretan mesin pembuat kopi. Aku menggeleng. "Saya nggak suka kopi mas", jawabku. 
"Oh, kenapa?", tanyanya.
"Nggak suka baunya", kataku singkat. Si pemuda mengerutkan keningnya. Bertanya-tanya. 
"Ceritanya panjang", kataku sambil mengangkat bahu.
"Well, we have all day", kata si Pemuda sambil menunjuk ke jendela dimana hujan masih mengamuk. Dia tersenyum, lalu segera beranjak mempersiapkan pesananku. 
***

Secangkir cokelat hangat dan sepiring bomboloni telah tersaji di mejaku. Pemuda tersebut kembali sibuk dengan mesin adonannya. Rasa penasaranku membuncah. 

"Ini tempat apa sebenarnya Mas?", tanyaku. Lalu bingung sendiri dengan pertanyaanku, karena jelas-jelas tempat itu adalah kedai kopi. 
"Maksud saya kenapa bikin kedai kopi seperti ini di sini", kataku menjelaskan dengan hati-hati, takut terdengar aneh. Si pemuda lagi-lagi mengalihkan perhatiannya dari mesin adonannya. Berpikir sejenak sebelum menjawab.
"Karena saya pengen saja kak. Bosan di kota.", jawabnya singkat.
"Memangnya banyak yang mampir sini Mas?", tanyaku lagi.
"Lumayanlah. Apalagi kalau weekend. Ini jalur sepeda terkenal. Di dekat sini ada pintu masuk ke tempat wisata curug juga. Tempat populer untuk hiking", jelasnya. Aku mengangguk-angguk. Karena tidak suka kegiatan outdoor, aku tidak mengetahui mana-mana saja hal terkait kegiatan alam yang populer.
"Sudah lama buka kedai kopinya mas?", tanyaku lagi.
"Lumayan. Tiga tahun kayaknya ya", katanya sambil mengingat-ingat. Setelahnya aku terus bertanya. Tentang instalasi listrik, internet, dan hal-hal teknis lainnya. Sekedar memuaskan rasa ingin tahuku saja. Sungguh anak teknik sekali. Si pemuda meladeni pertanyaanku dengan sabar, sambil terus mengolah adonan di depannya menjadi bulat-bulat bomboloni. 

***
"Nah sekarang giliran kakaknya yang cerita, kenapa nggak suka kopi", akhirnya si Pemuda mengambil giliran untuk bertanya.
Akupun menceritakan pengalaman masa kecil yang menyebabkan aku menjadi trauma pada kopi. 
"Oh begitu ceritanya....hmmmm", komentar pemuda itu sambil berpikir.
"Mau coba kopi yang baunya beda nggak?", katanya setelah beberapa saat.
"Memangnya kopi beda-beda baunya?", tanyaku sedikit skeptis. Si pemuda tersenyum. 
"Kalau dengar cerita kakak, sepertinya kakak trauma dengan bau kopi hitam komersial merk terkenal itu. Bukan dengan semua aroma kopi. Kakak nggak selalu pingsan kalau dekat-dekat orang yang minum kopi kan? Tadi sebelum kakak datang juga saya habis giling kopi. Baunya ada di seluruh ruangan ini. Tapi kakak nggak pusing kan?", jelasnya seperti seorang dosen. Aku menggeleng pelan, sambil ikut berpikir. 

Dari tadi aku mencium bau hangat diselingi aroma manis samar seperti vanilla. Aku pikir asalnya dari adonan yang dibuat si Pemuda. Siapa sangkat itu aroma kopi. 
"Ada banyak kopi yang baunya berbeda jauh dengan kopi merk itu. Tunggu sebentar", lanjutnya.
Pemuda itu lalu berjalan ke sebuah lemari, lalu membuka pintunya. Di balik pintu tersebut berderet toples-toples penyimpanan biji kopi. Sejenak menimbang-nimbang akhirnya dia memilih tiga toples kemudian berkutat dengan beberapa mesin. Sambil bekerja dia terus bercerita mengenai berbagai jenis varian kopi. Sepertinya memang dia sangat mencintai kopi.

***

Setelah beberapa saat pemuda itu menuju ke mejaku sambil membawa 3 cangkir kecil. Dia lalu meletakkan ketiga cangkir itu di hadapanku.
"Bisa coba dicium aromanya dulu baru dicicip", katanya menjelaskan.
"Kasih tau saya kalau pusing ya.", lanjutnya.
Aku ragu-ragu sejenak, tapi memberanikan diri untuk melakukan yang diminta oleh si Pemuda. Perlahan aku dekatkan hidungku ke cangkir untuk menghirup aroma kopi yang terperangkap disana. Mataku otomatis terpejam. Bersiap menghadapi gelombang pusing yang hebat. Bau tajam menyergap hidungku. Tapi tidak aroma khas seperti bau kopi yang kukenal. Kepalaku hening. Tidak bereaksi.
"Aneh", pikirku.
Cangkir kedua dan ketga pun sama. Ada perbedaan wangi dan ketajaman aroma. Tapi ketiganya tidak membuatku pusing. Si pemuda memperhatikan aku. Aku mengangkat muka dari cangkir terakhir dan memandangnya. Dia tertawa melihat ekspresiku. 

"Gimana? masih trauma bau kopi?", katanya dengan mata berbinar-binar. Sepertinya sangat senang karena berhasil membuktikan teorinya.
"Kopi yang membuat Kakak trauma itu terdiri dari campuran 70% Arabica dan 30% Robusta. Komposisi ini menghasilkan rasa dan aroma yang kuat dengan hint asam. Aroma asam tersebut yang membuat sebagian orang dengan penciuman sensitif merasa pusing menciumnya.", Jelas si Pemuda panjang lebar.

"Tapi sepertinya untuk kasus kakak, selain penciuman yang sensitif, otak kakak juga sudah mengasosiasikan bau khas si kopi komersil tersebut dengan kenangan buruk. Jadi secara tidak sadar badan kakak menolak bau tersebut. Mengirimkan sinyal untuk menjauh. Sehingga muncul pusing." Lanjutnya lagi. 

"Cara paling mudah agar kakak bisa menikmati kopi adalah dengan mengelabuhi otak kakak menggunakan kopi dengan tingkat keasaman yang lebih rendah. Bisa dengan memilih biji kopi kualitas terbaik, memilih teknik pengolahan yang mengurangi keasaman kopi, atau mencari komposisi campuran kopi yang labih pas", pungkas pemuda itu.

"Tapi kan cari campuran kopi itu berat, biar aku saja", kata si Pemuda sambil nyengir.  

Aku hanya memandangnya sambil setengah melongo. Siapa sangka aku akan mendapatkan kuliah coffee for dummy atau 101 all about coffee di tempat seperti ini. 

Akhirnya aku memberanikan diri mencicipi salah satu kopi yang menurut aku aromanya paling bisa aku tolerir. Rasa pahit menyergap lidahku, tapi aku tak lagi merasa pusing. Mungkin sudah tersugesti bahwa tidak semua kopi membuat pusing. Setelahnya aku bahkan lebih berani lagi menghabiskan satu gelas kecil latte yang dibuat oleh pemuda itu untukku. Sambil tetap berbincang-bincang tentu saja.  

***
Dua jam berlalu. Hujan sudah selesai ditumpahkan dari langit, menyisakan embun yang menetes ke tanah dan tertinggal di dedaunan. Petugas bengkelpun akhirnya datang. Aku mempersilahkan mereka untuk minum kopi apapun yang mereka suka di kedai si Pemuda. Lalu akupun pulang dengan hati lebih gembira. Mungkin besok aku akan bisa ikutan nongkrong bersama teman-temanku di kedai kopi dan mencoba variasi kopi lainnya.

Mungkin lama-lama trauma kopikupun akan sirna selamanya.

***
Kembali ke tulisan awal.

1 comment:

  1. Seru ceritanya. Awalnya saya sangka kafe di antah berantah ini akan jadi cerita mistis (udah agak ngeri karena mbacanya jelang tengah malam. Hahaa...). Ternyata ceritanya manis, dengan aroma kopi yang tak biasa. Jadi pengen ikut menghirup aromanya.

    ReplyDelete