Wednesday, July 20, 2022

Belajar Pangkal Pandai

Abstrak Dalam Ketekunan

Dalam salah satu podcastnya, saya pernah mendengar Pandji Pragiwaksono mengatakan kalau ketekunan itu membebaskan. Pandji memang selalu mengatakan kalau kekuatan dirinya adalah ketekunan dan etos kerja yang tinggi. Baginya ketekunan tidak pernah merugikan dan mengekang. Tapi malah membuatnya bisa melakukan apa saja yang dia inginkan.

Sayangnya saya bukan orang yang tekun. Tidak merasa punya bakat dan kurang punya keinginan untuk kerja keras. Makanya ada banyak momen dalam hidup saya dimana saya menyesal karena tidak pernah menekuni sesuatu. Akhirnya semua kebisaan saya hanya di level mediocre saja. Mengandalkan bakat yang seadanya.

Seringkali saya berandai-andai. Coba kalau saya tekun belajar dan latihan menulis, mungkin sekarang sudah punya buku sendiri. Coba kalau saya tekun belajar bahasa Jerman, mungkin sekarang bisa nonton Dark tanpa subtitle (loh). Coba kalau dari dulu saya tekun menabung, mungkin rumah impian sudah bisa didapatkan. Coba kalau dari dulu saya tekun olahraga, mungkin tidak akan obesitas, dan sebagainya dan sebagainya.

Penyesalan memang selalu datang belakangan. Padahal waktu SD saya tekun menatap kata-kata mutiara di bagian bawah buku tulis Sinar Dunia. "Ketekunan membawa kesuksesan". Tapi sepertinya ketekunan menatap saja tidak membawa kepada kesuksesan.

Makanya ketika Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Juli topiknya adalah tentang hal-hal yang masih ingin dipelajari, lubuk hati saya yang terdalam sebetulnya bilang kalau jawabannya ingin belajar jadi tekun, jadi konsisten. Tapi hal-hal tersebut sungguh merupakan suatu keabstrakan yang hakiki. Karena abstrak, maka tentang ketekunan kita kesampingkan dululah. Supaya sesuai tema dan tidak njelimet. Sekarang saya ceritakan saja hal-hal yang ingin saya pelajari suatu saat nanti, kalau semesta mendukung dan saya sudah jadi lebih tekun.

Menulis Cerita

Ambisi saya adalah menjadi penulis buku cerita. Buku cerita anak yang seru yang bisa membuat pembacanya ingat terus sampai lama. Cuma masalahnya sampai sekarang saya belum pernah mencoba menulis cerita. Membayangkan di kepala sih sudah pernah, tapi belum pernah sampai menuliskannya. Sekalinya saya menulis cerita fiksi utuh adalah ketika ikut workshop penulisan buku anak yang diadakan oleh Litara Foundation saya. Itu pertama kalinya saya menulis cerita fiksi. Ingin sekali ikut pelatihan seperti itu lagi. Langsung praktek tidak hanya teori. Dikritik di tempat jadi bisa langsung memperbaiki.

Kalau untuk teori saya sudah cukup puas ikut pelatihan menulis cerita oleh Raditya Dika. Cukup efektif dan jelas. Karena sistemnya beli tayangan jadi bisa diulang-ulang. Sayangnya sepertinya pelatihan yang mirip bootcamp Litara jarang-jarang. Lagipula kompetisinya agak fierce. Belum tentu lain kali saya beruntung. Atau saya saja yang malas mencari ya.

Belajar Sesuatu Sampai Paham Konsepnya

Salah satu penyesalan terbesar saya adalah banyak belajar tapi tidak paham konsep. Terutama terkait eksakta. Padahal saya lulus dari jurusan teknik 2 kali. Bukan dari perguruan tinggi abal-abal pula. Saya menyadari, inilah akibat lulus ujian masuk perguruan tinggi karena tekun menghapal trik menyelesaikan soal. Bukan karena paham konsep. Jadi ketemu pemodelan angka dan statistika langsung bertekuk lutut. Untung nggak pernah sampai ngulang.

Hal membanggakan nomor 16 di hidup saya setelah tidak pernah punya gigi bolong adalah tidak pernah mengulang mata kuliah waktu kuliah.

Karena tidak tahu konsep, saya seperti bangunan tinggi yang goyang. Atau donat yang tengahnya bolong. Sepertinya tahu banyak, tapi kalau ditanya konsepnya tidak paham. Untung saya cukup berbakat ngeles. Jadi nggak malu-maluin amat. Terutama kalau ditanya sama anak-anak.

Sekarang keinginan terpendam saya adalah belajar suatu hal dari dasar sampai paham konsepnya. Apa saja. Mungkin matematika. Mungkin bahasa. Mungkin memasak. Belum saya tentukan. Karena dibalik semua omongan tentang konsep, sejujurnya saya juga belum paham konsep menentukan pilihan.

Mungkin kalau ada rejeki nanti saya ikutan saja belajar sama anak. Mengulang pelajaran dari SD sampai SMA. Siapa tau di tengah jalan saya menemukan kalau saya berbakat di bidang yang tak pernah dikira. Misalnya sebagai dokter gigi hewan. Siapa tau saya ternyata sangat jago mendeteksi masalah di gigi hewan. Cuma saya tidak pernah tau tentang bakat saya ini, karena dulu saya sudah menyerah duluan belajar soal segala macam binatang karena merasa tidak suka biologi. Hingga tak pernah belajar yang benar. Boro-boro soal anatomi gigi hewan, tentang hal basic seperti bertelur dan beranak saja saya kurang paham :')

Belajar Sejarah

Salah satu ambisi terpendam saya yang lain adalah membuat cerita fiksi berdasarkan sejarah Indonesia. Karena saya suka cerita sejarah dan hobi baca fiksi dengan latar belakang sejarah. Masalahnya pengetahuan sejarah saya minim sekali. Karena modalnya hanya yang didapat saat sekolah dulu. Itu juga kok seingat saya pelajarannya kurang seru. Hanya menghapal prasasti dan tanggal-tanggal saja. Tidak pernah ada cerita-cerita seru tentang kehidupan atau mungkin malah perseteruan masa lampau yang bisa dikembangkan jadi cerita yang seru. Seringkali yang seru malah cerita mistis atau legenda. Makanya sinetron sejarah yang terkenal di Indonesia hanya seputar elang terbang. Padahal saya sih yakinnya sejarah negeri ini sama atau mungkin lebih seru dan menarik dari cerita sejarah dari negeri-negeri lain yang sering dibuat film. Seperti Cina dan Korea Selatan.

Saya sering wondering, kenapa cerita-cerita yang sepertinya menarik, malah tidak disampaikan. Misalnya tentang pembangunan candi Borobudur. Candi terbesar di dunia. Kok malah tidak pernah dibahas. Paling tidak di tahun 90an belum dibahas, hanya disuruh menghapal wangsa yang membangunnya. Padahal kan dari banyak sisi bisa dibahas. Kalau ada niat. Sejarah, sosiologi, ekonomi, atau integral sekalian. Menghitung volume stupa. 

Jadi kalau ada kesempatan saya ingin belajar sejarah Indonesia secara runut. Siapa tau bisa tau sejarah Prambanan yang sebenarnya, karena pasti ada penjelasan kenapa muncul legenda candi tersebut dibangun hanya dalam semalam. Mungkin bisa sekalian praktik pakai integral lipat 3 buat hitung volumenya Daripada tidak pernah terpakai ilmunya padahal sudah lulus kuliahnya.

Penutup

Sekian sesi ngecapruk untuk ikut tantangan kali ini. Sedikit terburu-buru jadi kurang rapi. Semoga cukup berfaedah. Amin.


4 comments:

  1. Selalu seru baca blog post-nya Teh Restu. Faedahnya (mungkin) di sebelah mana, tapi bacanya bikin bahagia. Ujung kalimat di paragraf empat bikin saya nyaris tertawa (tapi tersenyum lebar saja), merasa relate soalnya. Sok ah, semangat bikin buku cerita anak, Teh Restu, karena mbacanya pasti seru. Kita tunggu...

    ReplyDelete
  2. nah ini teh Restu yang aku juga kadang jadi gak suka sejarah. metode belajar yang membosankan saat sekolah. malah ngulik borobudur pas udah kuliah arsitektur. https://dewilailypurnamasari.wordpress.com/2022/07/06/borobudur-dan-tekno-arkeologi/ trus ketemu family yang kerja di balai konservasi jadi deh makin seru belajarnya.

    salam semangat

    ReplyDelete
  3. "Belajar Sesuatu Sampai Paham Konsepnya", ehehehe, ini juga yang saya terapkan ke diri sendiri sejak bertahun-tahun yang lalu, Restu. Sesudah lulus kuliah, tapinya, wkwkwk.

    Saya kok merasa sama ya, pas kuliah level-nya mediocre saja, asal ngapalin, jadi ujiannya pun ya bagus-bagus, tapi kayak yang 'lewat aja' gitu. Apalagi jaman TPB, wkwkwk, banyak fotokopian master bersliweran, jadilah menggantungkan diri hanya belajar ke itu tanpa mau memahami textbook-nya.

    ***

    Semoga harapan Mamah Restu terwujud ya untuk menjadi penulis buku cerita. Kebayang nih, pasti baguuss :)

    ReplyDelete
  4. Selalu suka tulisannya Teh Restu, menghibur walaupun nyerempet hal-hal filosofis hehe. Relate banget nih aku soal ketekunan, jadinya cuma biasa-biasa aja.

    ReplyDelete