Monday, June 20, 2022

A Little Thing Called Parenting

Mengenai Parenting 

parenting, the process of raising children and providing them with protection and care in order to ensure their healthy development into adulthood

- britannica.com -

Kalau lihat definisinya, parenting sebetulnya sederhana. Tapi buat saya definisi parenting adalah peperangan. Parenting for us is an everyday battle. Lebih susah daripada apapun yang pernah kami hadapi.

Saya dan suami dianugerahi dua orang anak yang saat ini masih menginjak usia dini. Si Mbarep berusia 5 tahun sementara adiknya si Ragil berusia 3 tahun. Sungguh sebuah ujian dengan dua bocah kecil di rumah. 

Setiap hari, layaknya orang berperang, yang kami lakukan adalah berstrategi, bernegosiasi, menahan diri, dan bertahan. Semua untuk menghadapi tingkah laku dua bocah lucu tersebut. Dua bocah hasil campuran DNA kami berdua. 

Spitting images of us dengan segala kelakuannya. Maka sesungguhnya setiap hari yang kami lakukan adalah bertempur dengan cerminan diri sendiri. Jika tidak ingin percaya pada karma. Kelakuan kami yang sama, merepotkan orang tua kami dulu juga.

Ceritanya sedang jadi Ninja Kolor dan Ninja Pampers. Iya itu pakai kolor dan pampers di kepala. Seabsurd ini memang bocah-bocah di rumah.

Tapi tentu saja, walaupun namanya pertempuran, kami tidak bisa bertempur di setiap kesempatan. Karena energi kami jelas terbatas. Lagipula kalau ingin membesarkan orang yang waras, kami sendiri harus tetap waras. Mengikuti salah satu prinsip utama keselamatan penerbangan: Oxygen mask rule

Should the cabin lose pressure, oxygen masks will drop from the overhead area. Please place the mask over your own mouth and nose before assisting others.”

Makanya kami harus pandai-pandai memilih pertempuran yang akan dijalani. Biar tidak lelah sendiri. Harus pilih-pilih mana yang harus diusahakan sampai titik darah penghabisan. Mana yang kami relakan untuk menghemat energi. Sambil terus berdoa semoga pilihan kami benar adanya. 

Peraturan Dasar

Untuk menyederhanakan situasi, hanya ada tiga peraturan yang kami tegakkan: 

1. Tidak boleh bohong. Apapun yang terjadi tidak boleh berkata bohong.
2. Marah-marah tidak dilarang, tapi tidak boleh melakukan hal yang menyakiti diri sendiri dan orang lain.
3. Harus mendengarkan dulu kata ayah dan ibu. Baru setelahnya boleh berargumen.

Cukup tiga hal itu saja yang kami tekankan di setiap kesempatan. Kalau tidak patuh tentu ada hukuman. Karena peraturan ini sifatnya perjanjian. Seringnya hukuman yang diberikan berupa mainan diliburkan. Di atas lemari yang tak terjangkau. Bahkan setelah memanjat dua kursi yang ditumpuk.

Tapi ternyata menegakkan tiga peraturan saja sudah menghabiskan seluruh energi, jiwa dan raga. Gimana kalau peraturannya ada lima seperti Pancasila? 

Paling seru saat berhadapan dengan terrific two dan fantastic four secara bersamaan akhir tahun hingga awal tahun kemarin. Tak jarang saya dan suami mengakhiri hari dengan super kelelahan karena menghadapi keras kepalanya bocah-bocah. 

Kehebohan dari jam 7 pagi sampai 9 malam

Pantas saja saya baru diberi kepercayaan punya anak setelah masuk usia 30. Setelah mulai agak sabaran dan ambisi sudah mereda. Tuhan memang tahu yang terbaik. Kalau dari awal kami menikah, di usia 25, langsung punya anak, kayaknya kalau anak tantrum kemungkinan besar saya bakal ikutan tantrum juga. 

The Ugly Truth

Tujuan dari kami menekankan tiga peraturan diatas agar semakin besar mereka semakin paham hal-hal berikut:

1. Dunia Tidak Berputar Mengelilingi Mereka. Bahkan dunia ayah ibunya juga tidak berputar mengelilingi mereka. Orang tua punya kewajiban, tanggung jawab, dan prioritas lain yang terkadang harus diutamakan lebih dari anak-anak. Bukan mengabaikan tentu saja, tapi memang begitulah kehidupan. Secara realistis tidak mungkin mereka selalu jadi yang utama.

Tidak selalu keinginan mereka dipenuhi, tidak selamanya mereka akan dituruti, dan tidak semua hal bisa berjalan sesuai harapan mereka. Jadi sebelum nyeri hate sama orang lain atau kecewa dengan kondisi lebih baik belajar menerima penolakan semenjak dini. Biasa saja gitu kalau ditolak. Coba lagi nanti.

2. Hidup itu pilihan dan selalu ada konsekuensinya. Kami usahakan selalu berusaha memberikan pilihan ke anak-anak. Dijelaskan lengkap dengan segala konsekuensinya. Natural maupun tidak. Tidak mau makan malam, kalau tengah malam lapar, makanan sudah dibereskan. Tidak mau bergegas bersiap, terlambat ikut les lego kesayangan. Tidak mau pakai baju habis mandi, waktu nonton kartun semakin pendek, dan sebagainya.

Kadang pilihan anak-anak tidak sesuai harapan kami. Bagaimanapun sebagai manusia ngarep tetap ada ya. Kadang sedikit berusaha memanipulasi juga. Tapi ya itu konsekuensinya. Konsekuensi di dalam konsekuensi. Konsekuensiception. Halah.

3. Harus jadi orang yang tahu maunya apa. Supaya tidak terombang ambing kehidupan. Ini sebetulnya prinsip suami sih. Kalau saya, seperti wanita pada umumnya sampai sekarang masih suka nggak jelas maunya apa. Tapi dengan didikan suami jadi terbiasa juga memutuskan dengan lebih cepat. 

Anak-anak kami biasakan untuk tahu maunya apa. Merengek-rengek termasuk kegiatan terlarang. Semenjak bisa bicara mereka harus bisa bilang maunya apa. Walaupun seperti layaknya bocah-bocah lainnya keinginan mereka bisa berubah dalam hitungan detik, tapi paling tidak mereka sudah bisa mengungkapkan apa yang diinginkannya. 

Harapannya kedepan mereka tidak akan merepotkan diri sendiri dan orang lain dengan galau berlebihan atau hanya asal ikut-ikutan. Bisa tahu maunya apa dan tahu langkah-langkah yang harus dilakukan dengan pertimbangan yang matang.

Pertempuran yang Kami Relakan

Seperti sudah kami sebutkan diatas, energi kami terbatas, sehingga kami memilih untuk tidak memerangi semua pertempuran dalam kehidupan menjadi orang tua. Paling tidak saat ini ada beberapa pertempuran yang kami hold. Biarkan saja dulu. Ini beberapa diantaranya yang tidak terlalu kontroversial 😆:  

1. Segala Urusan Perbajuan
Mau pakai kostum polisi ke kawinan. Boleh. Mau pakai baju belel yang itu-itu saja setiap hari. Monggo. Mau pakai baju pesta buat tidur. Nggak ada yang melarang. Bebas. Intinya sak karepmu, yang penting pakai baju.

Si Ragil paling anti diatur-atur soal baju. Kemana-mana maunya pakai baju kucing es krim warna hijau neon dan celana kuning gonjreng. Agak salah kaprah tapi ya sudahlah. Untung masih bocah. Kita terima saja. Haha.

2. Screen Time
Kami termasuk generous soal screen time. Anak-anak saya bisa nonton sehari 3 jam. Our standard is low. We are lenient towards gadget. Bagaimanapun kami sadar, gadget tak terelakkan di hidup mereka dan terkadang kami yang lebih perlu break time daripada anak-anak. 

Tapi screen time buat anak-anak kami bukan hak yang wajib diberikan setiap hari. Screen time adalah hadiah. Mereka harus mengerjakan sesuatu terlebih dahulu untuk mendapatkan poin "nonton". Kalau nggak mengerjakan ya tidak bisa nonton. 

Anak-anak sudah sangat paham mengenai hal ini jadi. Jadi seringnya tidak marah kalau poin nontonnya habis atau sampai seharian tidak boleh nonton. Namanya juga konsekuensi dari pilihan. 

Screen time bukan hak tapi hadiah
Harga nonton di rumah. Agak kontroversial but it works. Seringnya anak-anak malah nggak nonton seharian, karena mereka menolak belajar, tidur siang, dan beres-beres. Benar-benar anti sama tiga kegiatan itu. Entah kenapa. Cuma mereka nggak protes juga nggak boleh nonton. To be fair saja. Kan memang nggak dapat poinnya.

Kadang-kadang kami yang lebih perlu screen time. Seperti saat nunggu dokter atau nunggu-nunggu yang lain. Jadi saat-saat seperti ini gadget to the rescue. Daripada menimbulkan kehebohan di tempat umum yang bukan tempat untuk anak-anak lari-lari, mending mereka anteng. Mungkin sampai anak-anaknya bisa pada baca ya.

3. Membaca Buku
Saya punya koleksi buku cerita anak yang cukup banyak di rumah. Tapi entah orang tuanya yang kurang rajin atau anak-anaknya yang kurang minat, mereka tidak begitu tertarik pada cerita dalam buku-buku tersebut. 

Anak-anak malah lebih hobi diceritai dongeng secara lisan sebelum tidur. Dongengnya apa saja yang saya ingat. Kadang potongan cerita dari buku-buku yang pernah saya baca, atau kisah nyata tentang masa kecil saya dan ayahnya, tak jarang juga cerita ngarang-ngarang saja. 

Seringkali ceritanya nggak nyambung atau ngelantur karena yang cerita ngantuk. Apapun itu ternyata anak-anak cukup ingat cerita-cerita yang saya dan suami sampaikan. Jadi sudahlah kita relakan usaha literasi semenjak dini. Kita coba lagi nanti.

Hal Lain yang Saya Kompromikan

Cuma saya yang kompromi, karena suami saya yang super logis, tidak bisa mengerti perasaan ini. Haha.

1. Perasaan Fear of Missing Out. Kadang saya terlalu berambisi ingin anak-anak punya pengalaman sekaya mungkin. Belajar sebanyak-banyaknya. Takut mereka ketinggalan dari anak lainnya atau tidak mendapatkan manfaat dari kegiatannya. Padahal yah, buat anak semua hal juga baru. Bahkan untuk pengalaman yang diulang-ulang pasti tetap ada hal yang mereka pelajari. Repetition justru jadi kunci.

2. Ambisi Punya Anak yang Lebih dari Anak Lainnya. Seberapapun inginnya saya punya anak jenius yang bisa dibanggakan, statistik mengatakan 98% kemungkinan anak-anak saya punya kapasitas otak yang sama dengan sebagian besar anak lainnya.  Kemungkinan besar mereka akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan usianya. Tidak lebih dan tidak kurang. Jadi tidak usah banding-bandingkan kemampuan mereka dengan anak lain. Lebih banyak mudharatnya. Hanya bikin capek hati saja. 

Penutup

Sekian tulisan saya tentang parenting yang dibuat untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Juni. Setornya 5 menit sebelum deadline.Super sekali ya. 





4 comments:

  1. Sepakat 100% ini Teh Restu: "kalau ingin membesarkan orang yang waras, kami sendiri harus tetap waras."
    Aku suka banget itu liat kostum anak-anak pakai kolor dan pampers: out off the box: nyeleneh tapi kereeeeennnn ...ha3.

    salam semangat

    ReplyDelete
  2. Wkwkwkwkwk ya ampun selalu meriah tulisan Mamah Restu. 🤣.

    Kedua putra yang memakai topeng pampers dan underpant, pilihan baju yang sesukanya yang bikin silau mata; ini menunjukkan kedua orangtuanya yang memberikan kebebasan bereskpresi bagi kedua ananda. Kreativitas tanpa batas, kereen pisan Mamah Restu. 😍

    Kok ngakak pol yang bagian sebagai wanita, sampai sekarang masih suka nggak jelas maunya apa wkwkwk. *relatable Bund wkwkwk

    Selamat menjalankan motherhood bersama dua putra cerdasnya ya Restu. :)

    ReplyDelete
  3. Habis baca trus pengen komentar gini: Sak karepmu, lah!
    Voila! 😂🤗😘

    ReplyDelete
  4. aku pas awal baca kepikiran mau komen, pas selesai lupa mau komen apa. tapi paling suka bagian terserah mau pakai baju apa, yang penting pakai baju, hahaha... dalam hal ini aku merasa beruntung, anakku nggak terlalu banyak mau soal pakaian.

    eh tapi bagian harus tau maunya apa itu sulit loh,kita aja yg dewasa suka ga tau maunya apa, tapi emang yang penting buat anak-anak kalau minta sesuatu kudu pakai kata-kata jangan pakai rengekan ya... mana ngerti kita bahasa rengekan, bisa2 kita ikut merengek ntar, hehehhe...

    ReplyDelete