Monday, March 7, 2022

Cinta Tak Perlu AHP*

Salah satu pesan ibuku saat aku hendak berangkat kuliah ke ITB adalah,

"Jangan lupa cari pacar"

Aku hanya mendengus mendengarnya. 

"Iya...doain saja", jawabku sekenanya.

Aku selalu berpikir bahwa romansa kampus hanya untuk orang - orang rupawan. Orang dengan tampang biasa sepertiku ini tak perlulah muluk - muluk soal urusan cinta. Jadi aku tak pernah berusaha keras memenuhi keinginan ibuku.

Tahun pertama sampai ketiga perkara pacar ini selalu membuat Ibu kecewa. Karena setiap kali Ia bertanya, selalu kusikapi dengan mengalihkan pembicaraan.

Kadang aku jadi kasihan padanya. Dulu Ia primadona kampus. Tanpa perlu banyak berusaha, para pemuda mengantri dengan sendirinya untuk menyatakan cinta padanya. Jadi sepertinya dia kurang paham, apa sulitnya buatku untuk mencari pacar. Bukankah aku anaknya?

Jangan pernah remehkan doa seorang Ibu. Harapannya agar aku punya pacar mendapat titik terang untuk terkabul di tahun keempat kuliahku. Dalam waktu yang berdekatan ada dua orang yang menyatakan cinta padaku.

Satu teman sekelasku di tingkat pertama, satu lagi sebetulnya temanku satu SMA, tapi kami baru jadi akrab saat kuliah. 

Entah apa yang membuat mereka menunda sekian lama untuk menyatakan perasaannya. Mungkin baru sekarang mereka desperate mencari pendamping wisuda. 

***

Siang itu aku memutuskan makan siang di kantin Borju. Sekali - sekali makan mewah, mumpung baru dapat kiriman uang bulanan. Saat sedang mengantri, sahabatku datang menyusul. Sani namanya. Teman satu angkatanku di Teknik Industri.

Sani mengambil tempat berdiri disebelahku, yang sedang berkontemplasi akan ambil ikan asam manis atau ayam suir kecap.

"Jadi, pilih yang mana?", Tanyanya tanpa tendeng aling - aling. 

"Uhmmmm, kayaknya ayam...", jawabku asal sambil memberi isyarat ke petugas kantin, kalau aku memilih ayam suir untuk lauk siang itu. 

Tanpa menggubris jawaban ngawurku, Sani menatap wajahku lekat - lekat. Menggali informasi tak terungkap berdasarkan ekspresiku. Kadang aku pikir dia berbakat membaca wajah.

"Wah gila, lo gantung itu mereka berdua? Luar biasa memang temanku yang satu ini", pekik Sani sambil bertepuk tangan. 

"Sssshhh...", kucubit lengannya agar dia menurunkan volume suaranya.

Tapi bukan Sani namanya kalau menurut begitu saja.

"Udah cap cip cup aja. Satunya minyak, satu lagi elektro. Dua duanya masa depan cerah. Lo bikin aja AHP... atau SWOT deh".

Aku tertawa, "Ya kali gue mau pilih partner bisnis"

"Yah, rumah tangga mirip - mirip lah ya sama bisnis", tukas Sani sambil tersenyum lebar.

"Doh! Bab 3 gue juga belum kelar kelar woy! Udah mikirin rumah tangga".

***

Namanya Bara, cowok jurusan minyak ini sudah kukenal sejak Tahap Persiapan Bersama. Saat itu kami sekelas. Setelahnya, walaupun berbeda jurusan, kami sering bertemu, karena teman satu gengku ada yang menjadi pacar teman satu gengnya.

Dua minggu yang lalu Bara bilang suka padaku. Sungguh aku tak menyangka, karena malah kupikir dia naksir temanku yang lain. Sikapnya padaku selama ini biasa saja. Tak ada yang istimewa.

Suatu hari Ia mengajakku bertemu berdua saja di kantin Tambang. Disana Ia memberiku surat. Isinya pertanyaan apa aku mau jadi pacarnya. Berkali - kali kubaca surat itu. Kubolak balik. Bahkan kuterawang. Siapa tau ada sandi rahasia tersimpan di dalamnya. Untung tidak sampai kugosok dengan jeruk nipis untuk cari tulisan rahasia

Sampai tiga kali kupastikan bahwa surat itu memang untukku. Bara tertawa melihat kelakuanku yang tak ada jaim - jaimnya.

"Surat itu betul untukmu Nimma. Aku sudah menyukaimu sejak lama. Bahkan mungkin dari pandangan pertama. Tapi aku memang pandai menyimpan rahasia", katanya sambil tersenyum.

Aku berjanji padanya akan menjawab pertanyaannya dalam 2 minggu. 

Kenapa aku perlu waktu lama? karena satu hari sebelumnya, ada pemuda lain yang juga mengungkapkan perasaannya padaku. 

***

Gigih namanya. Salah satu murid paling populer di SMA ku. Pintar, tampan, anggota band sekolah. Semasa itu dia selalu dikelilingi oleh murid - murid terkenal lainnya. He's definitely out of my league. Sungguh tak pernah aku bermimpi dilirik olehnya.

Tapi lalu kami masuk perguruan tinggi yang sama. Hanya ada 5 orang dari angkatan SMA ku yang masuk ITB. Diawal masuk kuliah kami sering berkumpul. Mencari kenyamanan yang familiar ditengah suasana yang asing. 

Tak gampang jadi anak daerah di tengah - tengah pergaulan anak Bandung dan Jakarta. Apalagi untukku yang tak begitu pandai berteman. Karenanya kumpul - kumpul setiap Jumat sore dengan teman SMA kala itu, jadi salah satu acara yang kunantikan. 

Tahunpun berganti. Setelah aku dan teman - teman SMA ku menemukan tempat yang nyaman di jurusan masing - masing, kami jadi semakin jarang berkumpul. Sibuk sendiri - sendiri. Tapi aku dan Gigih masih sering bertemu. Kebetulan kosan kami memang satu gang, jadi kadang kami cari makan atau pulang bersama. Selain itu aku menemukan bahwa Gigih adalah teman yang asyik untuk diajak bercerita.

Dia selalu mendengarkan apapun kisah yang kupunya sampai tuntas dan tak pernah berkomentar jika tak diminta. Sepertinya tau bahwa perempuan seringkali tak perlu solusi, hanya perlu didengar.

Ketika Gigih bilang bahwa Ia menyukaiku, aku tak langsung menangkap maksudnya. Karena selama ini aku pikir dia masih setia pada pacarnya dari masa SMA. Mereka adalah pasangan paling populer di angkatanku. Kisah cinta mereka diketahui seantero sekolah. Seperti cerita bersambung di majalah - majalah.

"Nadya maksudmu? Aku sudah putus dengannya sejak kuliah tahun kedua. Ia tidak pernah bisa terima bahwa aku memilih meninggalkannya untuk masuk ITB. Impiannya adalah kami kuliah di tempat yang sama", Gigih menjelaskan.

"Sudah lama sekali aku melupakan dia. Aku pikir kamu sudah tau, Nimma", lanjutnya. 

"Ooo maaf, aku nggak tau. Soalnya kamu nggak pernah cerita. Lagipula aku pikir kalian seperti Brad Pitt dan Angelina Jolie. Pasangan sempurna".

Gigih terkekeh geli "Kamu nggak pernah tanya, jadi kupikir kamu sudah tau. Oh ya, Brad Pitt dan Angelina bukan pasangan sempurna. Kan mereka akhirnya cerai juga".

***

"Jadi pilih siapa?", Sani memang tidak pernah membiarkanku hidup tenang.

Aku menghela napas panjang. Kuteruskan ketikan jariku di keyboard laptop, tanpa menjawab pertanyaannya. Ada jadwal bimbingan sore itu. Dosen pembimbingku sudah menagih tulisan Bab 3, yang kujanjikan dari sebulan lalu.

"Sudah 2 minggu nih. Gue penasaran", Sani menarik kursi untuk duduk disebelahku.

"Bawel, bisa diam nggak sih. Gue ada deadline nih!". Kataku sewot. 

"Makanya ngerjain TA tuh dicicil, jangan ngedadak - ngedadak"

Kudorong badannya menjauh. "Iya deh yang IPK 3.98 mah nggak ngerasain derita mahasiswa jelata seperti gue".

Sani tergelak, selalu gembira Ia kalau berhasil menggangguku "Kasih tau ya kalau nanti sudah memutuskan". Lalu Ia beranjak pergi.

"Lo taruhan sama orang apa gimana sih, kepo banget" teriakku, padanya, sekian detik setelah Ia keluar dari laboratorium tempatku bekerja. Hening. Tak ada jawaban darinya.

Sejujurnya, alasanku menunda - nunda memberikan jawaban bukan karena aku kesulitan memutuskan. Tapi ada alasan lain. Selain aku tak punya waktu memikirkan pernyataan cinta yang kudapat karena sibuk mengerjakan TA, aku juga merasa kurang sreg, baik dengan Bara maupun Gigih. 

Jangan salah sangka dulu, mereka sama - sama punya pribadi yang baik. Tak pernah sekalipun aku merasa ada yang janggal dengan perilaku keduanya. Akupun nyaman berteman dengan mereka. Dua - duanya kuyakin juga serius dengan pernyataannya dan bisa berkomitmen sampai selanjutnya. Bukan hanya, katakan, sebatas jadi pendamping wisuda saja.

Tapi hati tak bisa berdusta. Seperti ada yang tak pas saat mencoba memasang nama mereka disana. Bagai menempelkan potongan puzzle yang salah atau memakai sarung tangan yang tak cocok ukurannya. Ada yang mengganjal!

Masalahnya aku cukup takut kalau tidak memilih salah satu dari keduanya, nanti aku malah terkena karma. Siapa tau keberuntunganku hanya sekali itu saja. Bagaimana kalau kemudian aku menyesal?

Sungguh rumit sekali masalah cinta ini. Sudah kubilang romansa kampus memang tidak cocok untukku. 

***

Hari itu jadwal sidang Tugas Akhir Sani. Ia yang pertama lulus diangkatan kami. Ruang seminar penuh penonton. Sani memang populer. Selain siswa yang brillian, Ia juga ramah dan menyenangkan. Tak heran penggemarnya ada di berbagai angkatan, baik yang seumur, lebih tua maupun lebih muda.

"Jadi, siapa yang lo pilih?", pertanyaan pertama Sani saat aku menghampiri tempatnya duduk menunggu. Saat itu sedang jeda penentuan nilai. 

"Nggak ada pertanyaan lebih menarik?", kataku sambil menghempaskan buket bunga yang kubawa ke pangkuannya. Lalu aku pun duduk di sofa sebelahnya.

"Makasih, tapi nanti saja ngasih bunganya. Kalau gue nggak lulus gimana?", Sani mengembalikan buket mawar itu kepadaku. 

"Ya pasti luluslah. Masa pemenang Ganesha Prize nggak lulus", Kataku dengan sarkastis. Sani tak membalas komentarku. 

"Tumben", pikirku.

"Serius Nimma, jadi lo pilih siapa?", katanya lagi.

"Astaga, kenapa sih lo? nanti saja dibahasnya nggak bisa?", kataku mulai jengkel karena sikap persistent-nya. 

"Penting ini. Bisa bilang sekarang saja nggak? Gue tau kemarin lo sudah ketemu mereka", Sani mengubah arah duduknya menghadapku.

Aku mencoba menatap matanya, berusaha mencari tau apa yang dipikirkannya. Tapi tak seperti biasa, Sani malah menunduk, menghindari tatapanku.

***

"Gue tolak dua - duanya", kataku akhirnya. Kalau memang ini penting untuknya kujawab saja sekarang.

Sani menangkupkan kedua tangan kemukanya.

"Alhamdulillah", katanya pelan sambil menghembuskan napas lega.

 "Nimma, nanti wisuda lo sama gue saja ya."

"Eh, Gimana? Gimana?", Tanyaku kebingungan mendengar omongannya. 

Tanpa menjawab pertanyaanku Sani bangkit dari kursinya lalu merapikan jas dan celananya. Setelahnya tanpa babibu membalik badan dan melangkah masuk kembali ke ruang seminar. Namanya telah dipanggil untuk pembacaan nilai.

Meninggalkan aku yang terbengong - bengong, menatap punggungnya yang bidang. Sosoknya yang tinggi dan tegap berjalan dengan langkah pasti.

Kali ini kuyakin tak perlu AHP untuk menentukan pilihan. Hati memang tak bisa berdusta. Kucoba meletakkan nama Sani disana. Sekarang potongan puzzle-nya melekat dengan sempurna.

---
---
*AHP = Analytical Hierarchy Process

Ditulis untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Bulan Maret bertema Cerita Fiksi (dengan Unsur) ITB.

Cerpen kedua! Siapa tau ada yang mau baca cerita lebih dark.
Cerpen ketiga! Siapa tau masih pengen baca tentang Nimma dan Sani!




11 comments:

  1. Restu, aku tertipuuuuu. Pas baru baca kukira Sani itu perempuan, betulan lho ada temenku namanya Sani dan perempuan, ternyata TTM ya si Sani dan Nimma ini.

    Asik nih cerpennya, kayanya banyak case case TTM ini di ITB, terjebak di friend zone :)

    ReplyDelete
  2. Ahaha..senada sama teh May niy. Sampe baca endingnya dua kali. Oo ada beberapa cluenya ternyata 🤭. Nice story lho teh, jadi inget jaman2 kuliah dulu 😃😃

    ReplyDelete
  3. Enak juga ya kalau punya banyak pilihan. Walau bisa nyesel kalau ada hal-hal yang mengecewakan seiring berjalannya waktu.

    ReplyDelete
  4. seruuu fiksinya teh Restu ... berasa jadi tokohnya nih 11/12.

    ReplyDelete
  5. Restuuuu, aku menemukan soundtrack yang tepat untuk kisah Nimma dan Sani ini.

    "Lucky I'm in love with my bestfriend, .....," lagunya Jason Mraz dan Colbie Caillat ahahaha, yang judulnya "LUCKY", ehem ehem eaaaaa...

    Duh enaknya Nimma dikelilingi 3 pria, yang kesemuanya masuk kategori eligible bachelor pula ihihihiiy, tinggal merem boleh juga tuh milihnya, wkwkwkwk.

    Saya pun menemukan istilah baru dari Restu, "Analytical Hierarchy Process", nuhuun pisan Restu. :)

    Keren banget cerpennya :)

    ReplyDelete
  6. Aiiih... ternyata Sani ini laki-laki toh. Tadinya saya pikir perempuan, soalnya kok agak-agak kepo-an ya. Tapi itu karena ternyata dia ada hati sama Nimma ternyataaa. Enak baca dialognya, ceritanya juga asik. Jempolll. Ditunggu di pelaminan. Ehh...

    ReplyDelete
  7. pertama saya kira sani itu perempuan, trus di akhir baru curiga klo dia cowok,dan emang pernah punya temen namanya sani dan cowok sih.

    ini ceritanya co cwiiit cekaliii
    aw aw aw

    ReplyDelete
  8. Keren teh.. bisaan bikin ceritanya..

    ReplyDelete
  9. Nima beneran anak emaknya dong ya, banyak yang mau ���� dulu aku gak diencouraged cari pacar tapi sering dengar mamaku cerita kalau beliau banyak penggemarnya. Emang kalau sifat itu gak menurun ke anaknya, agak pedih juga ��

    ReplyDelete
  10. Nama Sani... dari lagunya BCL ya teh? Sani.. sani.. *Eta mah Sunny ya? hahaha.
    aku tertipu gara2 Sani ini. Aku iri sama Nimma. Udah laahh nikah aja lgsg, drpd telat trus ilang plus nyesel #eh hihihi

    ReplyDelete