Saturday, January 8, 2022

Tentang Priviledges dan Kesempatan untuk Gives Back

Latar Belakang

Almamater saya, Teknik Industri ITB, merayakan hari jadinya yang ke - 50 pada tahun 2021 lalu. Karena pandemi, perayaannya baru dilaksanakan bulan Januari 2022. Berbagai program diluncurkan untuk merayakan berdirinya salah satu Program Studi terfavorit di ITB ini. Salah satunya adalah penggalangan dana Endowment Fund atau dalam bahasa Indonesia biasa disebut dengan dana lestari.

Endowment fund Program Studi dikelola oleh suatu badan pengelola investasi. Keuntungannya biasanya digunakan untuk pengembangan institusi yang tidak dicover oleh anggaran negara. Tahun 2021 dicanangkan inisiatif terbaru penggunaan keuntungan Endowment Fund TI, yaitu untuk memberikan bantuan finansial bagi mahasiswa yang kesulitan ekonomi.

Lho memangnya mahasiswa ITB ada yang kesulitan ekonomi? Biaya masuknya saja mahal. Sepertinya cuma orang mampu yang bisa kuliah disana. Eits, jangan salah, ada banyak cerita dibalik menara gading ITB. Ini salah satu penjelasannya. 

Tentang Keistimewaan Saat Kuliah

Dulu saya pikir, keberhasilan saya menyelesaikan kuliah S1 dan S2 adalah hal yang biasa saja. Berjuta orang berhasil melakukannya. Bahkan saya sedikit malu, karena tidak berhasil menyelesaikan pendidikan dengan hasil yang memuaskan. Membuat saya sempat minder untuk melamar pekerjaan. Sungguh minder yang tak berguna :))

Tapi setelah saya bekerja di balik layar, mengetahui data, informasi, dan kisah yang tidak diketahui oleh orang luar, baru saya sadar. Keberhasilan saya menyelesaikan pendidikan tinggi secara tepat waktu, dengan relatif lancar, tanpa kurang suatu apapun adalah sebuah keistimewaan. Hal yang mungkin tidak mudah didapatkan orang lain.

Katanya, untuk bisa menyelesaikan kuliah, seseorang perlu 3 hal : 1. Keinginan untuk selesai dan kemauan untuk berusaha, 2. Sumber daya, dan 3. Supporting System. Menilik dari pengalaman pribadi, walaupun hasilnya pas - pasan, saya cukup beruntung karena tidak menghadapi masalah terkait hal - hal diatas.

Saya cukup menyukai jurusan kuliah yang saya pilih. Walaupun agak terseok mengikutinya, karena kemampuan otak yang terbatas, saya tak pernah merasa terpaksa atau putus asa. Dari sisi sumberdaya, latar belakang keluarga saya memang cukup sederhana. Orang tua saya harus berhemat untuk bisa menyekolahkan saya ke ITB. Tapi kami tidak sampai kekurangan dan masih bisa hidup dengan nyaman. Meskipun saya tentu tidak bisa seenaknya menghabiskan uang, atau punya barang dan fasilitas tersier seperti teman yang berasal dari keluarga lebih berada.

Untuk masalah supporting system, saya juga cukup beruntung karena tidak mengalami masalah. Keluarga inti saya mendukung penuh saya kuliah. Hubungan saya dengan orang tua dan adik, serta kami dan kerabat lain baik - baik saja. Walaupun mungkin tidak Instagram worthy tapi saya tidak pernah mengalami konflik keluarga yang mengganggu pikiran.

Intinya waktu zaman saya kuliah, selain perkara akademik, saya tidak perlu merisaukan hal - hal lain. Kuliah ya kuliah saja, tidak perlu mikir yang lain. Dulu saya tidak pernah berpikir bahwa hal tersebut adalah priviledge. Keistimewaan. Saya pikir priviledge selalu berhubungan dengan kekuasaan dan materi. Tapi ternyata setelah saya dewasa, baru saya paham bahwa bisa kuliah tanpa diganggu berbagai masalah juga merupakan bentuk priviledge tersendiri. Hidup tenang tanpa beban adalah rezeki yang tidak didapat oleh semua orang.

Masalah Mahasiswa Zaman Now

Setelah saya bekerja sebagai staf tata usaha, saya jadi tau berbagai macam permasalahan mahasiswa. Saya tidak tau data pastinya, tapi selama 5 tahun saya bekerja, rasanya mahasiswa yang mengalami masalah, baik mental maupun ekonomi, semakin banyak. Meningkat secara signifikan karena pandemi. Dari seluruh masalah, yang berdampak langsung pada kelancaran kuliah, memang masalah ekonomi. Bukan berarti masalah mental tidak berpengaruh, tapi kalau tidak ada kesulitan keuangan biasanya masih ada banyak alternatif penyelesaiannya. Sedangkan masalah ekonomi yang berlarut larut sering berkembang menjadi masalah mental juga. 

Terkait ekonomi, sebelum pandemipun saya sudah sering mendengar masalah mahasiswa yang kesulitan keuangan. Cerita mereka seperti yang sering dimuat di koran atau majalah. Anak dari keluarga pra sejahtera yang mendapatkan kesempatan untuk kuliah di perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Dibilang tak punya uang ya memang tak punya uang. Dukungan materi dari orang tua otomatis tak ada. Bahkan kadang mereka yang harus mengirimkan uang beasiswa yang tak seberapa untuk membantu hidup keluarga.

Ada yang adik - adiknya harus putus sekolah demi kakaknya bisa kuliah. Ada yang cuma bisa makan dua hari sekali. Puasa Daud saat jatah hari tak makan. Ada yang beasiswanya diputus karena dianggap tidak perform, sehingga harus nyambi kerja kasar demi mengumpulkan uang untuk membayar SPP. Dan lain sebagainya.

Tapi, masalah ekonomi tak jarang juga dialami oleh mahasiswa yang berasal dari keluarga yang di atas kertas mampu. Perseteruan keluarga, perebutan warisan, terlilit hutang, mengalami kebangkrutan, orang tua di-phk, orang tua sakit, orang tua meninggal, adalah beberapa penyebabnya. Sedikit lebih rumit daripada masalah yang dihadapi oleh mahasiswa yang dari awalnya memang tak mampu. Bukan meremehkan masalah yang sebelumnya, tapi paling tidak yang tidak mampu dari awal sudah paham kondisi dan konsekuensinya. Sementara mahasiswa yang tiba - tiba kesulitan ekonomi seringkali lebih stress karena ada faktor shock yang bisa sangat mempengaruhi mental.

Bukan Melulu Karena Manja

Mahasiswa dengan masalah ekonomi umumnya mengalami dilema besar. Di satu sisi mereka pasti paham bahwa menyelesaikan kuliah secepat mungkin adalah salah satu gerbang kesempatan keluar dari kesulitan ekonomi. Sementara di sisi yang lain, perjuangan untuk bisa survive mungkin menghabiskan seluruh energi mereka untuk dapat memberikan performansi yang baik untuk dapat lulus tepat waktu. Belum lagi sekarang lama waktu lulus juga dibatasi. Jika lewat tak ada kompromi, langsung tak dapat ijazah. Jadi situasinya bagai makan buah simalakama.

Untuk mencari tambahan uang juga tidak sesederhana itu situasinya. Kuliah sekarang perlu konsentrasi lebih. Karena tuntutan standar kelulusannya memang lebih tinggi. Yes, you can argue on that matter. Tapi kuliah di ITB tidak didesain untuk bisa sambil disambi. Buat yang sudah punya anak kuliah, apalagi di ITB, pasti terbayang kan mental load-nya.

Betul ada banyak yang berhasil kuliah sambil nyambi cari uang. Tapi kapasitas orang beda - beda dan saya rasa kebanyakan tidak akan pernah sanggup. Kuliah sambil cari uang. Yah, tidak ada yang salah juga dengan tidak bisa cari uang saat kuliah, karena tugas utama mahasiswa adalah belajar. 

Cari beasiswa juga tidak mudah, kebanyakan dari mereka yang tidak punya uang, tidak eligible untuk dapat beasiswa prestasi, atau beasiswa ekonomi, atau bahkan tidak bisa mencari beasiswa lain karena sudah terikat kontrak dengan beasiswa ekonomi lain. Padahal besaran beasiswa sebelumnya juga sudah minim.

Maka hal yang bisa dipikirkan oleh para mahasiswa yang terhimpit kesulitan ekonomi ini, salah satunya adalah minta bantuan uang tunai atau keringanan pembayaran SPP. Karena memang itu yang terpikir sebagai solusi agar kuliah tak terabaikan.

Mendengar hal ini mungkin ada yang langsung komentar, mahasiswa sekarang manja, tidak mau usaha, maunya instan dikasih uang. Karena toh, mahasiswa kesulitan ekonomi sudah bukan cerita baru. Dari zaman kolonial juga sudah ada. Tapi sudah tak terhitung juga yang berakhir bahagia. Lulus dengan baik dan jadi orang sukses. 

Sayangnya tak jarang orang tak paham, bahwa kondisi sekarang berbeda dengan zaman dulu. Bahkan literally ada yang saat dengar cerita mahasiswa kesulitan ekonomi ini malah menyuruh mahasiswa untuk nyambi ngojek saja.

Oh well, sejujurnya mahasiswa yang kurang paham tentang arti sebenarnya dari "kesulitan ekonomi" juga tak sedikit jumlahnya. Banyak yang keliru mengartikan minta batuan keuangan supaya bisa hidup dan kuliah sebagai minta bantuan agar tidak merepotkan orang tua. Padahal orang tuanya tidak kenapa - kenapa. Mahasiswa yang seperti ini biasanya diberikan bantuan bukan berupa materi tapi berupa pemahaman hidup yang lebih luas. 

Menghadapi yang begini, kalau sedang berminat, ya saya coba kasih pengertian. Kalau sedang lelah ya sudah dibiarkan saja. Kita kan tidak mungkin mengubah pikiran setiap orang atau bikin orang lain paham.

Beda Generasi Beda Masalah

Kata seorang kenalan saya yang berprofesi sebagai psikolog, kita tidak boleh serta merta menyamakan apa yang dihadapi anak zaman sekarang dengan apa yang kita alami di masa lalu. Karena tantangannya memang beda. Generasinya saja sudah beda. Anak kuliah S1 zaman now sekarang rata - rata dari generasi Z. Sementara kita dari generasi Millenial atau generasi X.

Jadi kalau ada mahasiswa menulis kalimat "di era sekarang ini" pada pendahuluan tugas kuliahnya, "era" yang dimaksud berbeda dengan "era" yang kita maksud dulu.

Terkait kesulitan ekonomi, tantangan yang dihadapi anak sekarang lebih berat karena memang ada faktor inflasi yang menyebabkan kenaikan hampir semua harga dan biaya. Sementara peningkatan pendapatan tidak mengikuti kurva yang sama. 

Uang kuliah sekarang 10 kali lipat dari 20 tahun lalu, sementara rata - rata pendapatan orang tua ya segitu - segitu saja. Tidak lantas harga - harga mahal orang - orang jadi otomatis ikut kaya juga. Itu baru biaya kuliah, belum biaya kos, makan, dan biaya tambahan lainnya. Kuliah itu memang mahal. Dulu dan sekarang. Dengan biaya pribadi, mungkin saat ini betul - betul hanya keluarga menengah ke atas saja yang menyekolahkan anaknya ke sekolah bergengsi semacam ITB.

Selain itu gaya hidup juga sudah berubah. Di zaman yang serba cepat ini berbagai fasilitas memang diperlukan, yang tidak punya otomatis ketinggalan. Plus pergaulan mau tidak mau juga sudah beda. Dulu zaman saya kuliah, mengerjakan tugas cukup di kosan teman, sekarang di cafè atau co-working space. Tidak punya laptop 15 tahun lalu bukan masalah berarti. Sekarang ya tidak bisa mengejar. Apalagi untuk jurusan - jurusan yang semua kegiatannya memang perlu komputer untuk poci - poci mengerjakan tugas. 

Gaya hidup diatas, bukan melulu maksudnya pemborosan atau pencitraan. Ya memang new normal saja gitu. Orang yang baca tulisan ini juga sekarang tidak bisa lepas dari smartphone kan? Padahal ibu - ibu kita dulu cukup baca tabloid Nova atau majalah Femina, dan ketemu tetangga di tukang sayur buat cari hiburan.

Apa - apa yang dulu tersier sekarang memang mulai bergeser jadi kebutuhan sekunder atau bahkan primer. Kuliah S1 juga dulunya tersier, sekarang mungkin sudah jadi kebutuhan primer. Memang tidak ada yang bilang orang harus kuliah supaya bisa sukses. Ataupun menjamin setelah kuliah langsung tidak kesulitan ekonomi. Tapi harus diakui, kuliah merupakan salah satu jalan pembuka peluang hidup yang lebih baik. Paling tidak membuka lebih banyak pilihan untuk hidup.

Peluang Gives Back

Tidak bisa dipungkiri kelakuan anak zaman sekarang juga banyak yang bikin geleng - geleng kepala. Terutama masalah perilaku. Kadang kalau menghadapi mahasiswa dan orang tuanya, saya pengen jambak - jambak rambut sendiri menahan diri untuk teriak "who are you people?!" saking frustasinya. Walaupun cuma bisa istighfar saja pada akhirnya atau ketawa pahit mencoba mengambil sisi lucunya. Habis mau gimana lagi? :))

Tapi sebagai orang yang dulu punya priviledge dan mungkin sadar atau tidak sadar dapat bantuan dari orang lain, entah dalam bentuk support moral maupun materi, saya merasa ini adalah peluang yang bagus untuk gives back. Bantu para mahasiswa yang kesulitan ini. Bisa dalam bentuk materi maupun moral. Biar mereka yang sulit ekonomi ini juga bisa lulus tepat waktu. Bisa segera cari kerja atau peluang lainnya, lalu terbebas dari kesulitan ekonominya. Syukur - syukir jadi orang sukses dan bisa gives back juga. Lebih banyak lagi. Eh tapi tentu tak ada yang memaksa. Wong amal kok terpaksa :D

Hidup saya sekarang ini memang tidak bergelimang harta, tapi tidak kesusahan juga. Saya mungkin tidak bisa membantu langsung dalam bentuk materi, tapi saya bisa coba bantu dengan cara lain. Menghubungkan mahasiswa - mahasiswa yang punya masalah ke orang yang bisa membantu adalah salah satunya. Siapa tau yang baca tulisan ini juga ada yang tergerak hatinya.

Katanya menyingkirkan ranting, batu, duri yang menghalangi jalan orang saja pahalanya besar, apalagi membantu orang bisa lancar kuliah sampai lulus ye kan?

"we can always find another thousands or even millions. But they don't. So what's the deal with giving them hundreds or even just dozens?". 

Semoga bisa jadi kenyataan, bukan hanya jadi kata - kata cantik penghias kaca lemari eh blog saja.

8 comments:

  1. aku speechless membacanya, tanpa disadari, memang dulu bisa kuliah tanpa banyak drama dari rumah itu benar sebuah privilege adanya. Setuju kalau tiap generasi beda masalahnya, dan skrg tanggung jawab kita untuk membesarkan generasi anak2 nanti supaya semoga bisa mengatasi masalah apapun yg dihadapi nantinya dengan baik.

    ReplyDelete
  2. Demi Tuhan, bangsa, dan almamater. Kayaknya itu ya yang sudah dilakukan oleh teh Restu. Saya ikut bangga dan ikut bersyukur teh, kalau teteh punya kesempatan untuk gives back kepada almamater. Jadi dosen itu kayanya aja keren ya, padahal ya in the reality pasti banyak menelan ludah dan makan hati, ikut kesel dan ya juga ikut trenyuh sama yang dialami mahasiswanya.

    Semoga berkah dan terus semangat ya teh membantu anak-anak jaman now. Btw, mantan pacarnya pak suami itu anak TI juga lho. (LHO!) hahahhaha. Dan adiknya juga dari TI ITB (LHO!) Hahahaa �� jadi agak2 jelesss gimana gitu sama anak-anak Teknik INdustri ��

    ReplyDelete
  3. Wah Restu, suka sekali membaca tulisan observasi sosial ini. Opini Restu didukung dengan berbagai fakta yang didapatkan sebagai staf TU yang 'punya akses'.

    Saya pun setuju dengan tidak membandingkan satu generasi dengan yang lainnya. Masing-masing beda problema yang dihadapi.

    Salut dengan Mamah Restu, gives back to the community. :)

    ReplyDelete
  4. Masya Allah, beban mahasiswa ITB is real. Gak terbayang mereka yang susah payah kuliahin anak sampai puasa2 dan adik2 putus sekolah :( semoga beasiswa ITB banyak membantu ya, dan semoga pegawai2 ITB seperti teh Restu banyak juga membantu, diberi kelapangan dan kekuatan hati

    ReplyDelete
  5. Thanks for sharing your thoughts, Teh. Perasaan dulu beban kuliah udah berat, gimana sekarang yang lebih berat lagi 😟? Semoga yang punya privileges, bisa memanfaatkannya dengan baik. Semoga yang mesti berjuang lebih keras, Allah beri kekuatan untuk bertahan dan melewati segala tantangan. Biasanya tipe yang kedua akan lebih gigih juga di kehidupan setelah lulus.

    Sepakat dengan ide give back. Itu kayak membantu kita untuk selalu menjejak di bumi.

    Semangat terus untuk membantu para mahasiswa, ya, Teh ❤️.

    ReplyDelete
  6. Teteh, bener bangett apa yang ditulis teteh disini.. Kebetulan suami beberapa waktu lalu jadi tim buat ngasih beasiswa di jurusan.. Pas denger cerita mhs yang diinterview, sedih pisan.. Ada yang sambil gojek, kerja sampingan, trus bener jg ada yang uang beasiswa nya jg dikasih ke ortunya sebagian karena emang butuh bgt.. Hiks. Semoga berkah ya Teh programnya dan jadi jalan manfaat buat mhs2 yg butuh, Aamiinn

    ReplyDelete
  7. Restu terimakasih sudah menuliskan ini, very sweet reminder.
    Makanya dulu saya suka "marah" dengan teman-teman yang santai di kampus menghabiskan jatah 7 tahun kuliah, padahal apa-apa masih minta orang tua. Padahal mereka sebetulnya bisa lulus lebih cepat

    Restu, bagaimana kalau mau ikutan bantu ?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Paling gampang jadi donatur beasiswa Teh. Ada beasiswa ITB Motherhood juga kok. Sudah terorganisir dengan baik sepertinya.

      Delete