Sunday, November 20, 2022

Kok Bisa?

Enam jam sebelum deadline Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog terakhir di tahun ini saya memutuskan untuk ganti topik. Tadinya saya mau review film dokumenter tapi menjelang Magrib tadi sambil main-main dengan bocah saya jadi terpikir menulis tentang hal di luar nalar. Soalnya dipikir-pikir saya lebih cocok nulis yang di luar nalar daripada yang serius-serius. 

Anyway, yang akan saya tuliskan dibawah ini adalah pengalaman masa kecil saya. Beberapa yang saya ingat karena dulu berkali-kali diceritakan oleh orang tua saya. Tenang saja cerita yang saya tuliskan tidak ada seram-seramnya. Lebih tepatnya saya sekarang wondering sendiri kok bisa?

Berkelana "Sendiri" Umur 4 Tahun

Anak sulung saya, Mbarep, usianya sekarang 5.5 tahun. Belum pernah sekalipun dia pergi sendiri apalagi menginap di luar tanpa orang tuanya. Sebagai individu yang termasuk orang tua panikan dan overthinking, saya belum berani melepaskan dia sendiri. Bahkan sampai sekarang saya masih suka deg-degan kalau dia hilang dari pandangan saya saat ada di tempat umum yang relatif aman seperti playground atau supermarket. 

Sampai suami harus berkali-kali mengingatkan kalau Mbarep sekarang sudah besar. Sudah cukup punya nalar untuk tidak pergi jauh-jauh dan punya kemampuan yang cukup untuk bisa mencari jalan untuk menemukan kami kembali. Tapi tetap saja  karena kebanyakan dicekoki berita kriminal, pikiran saya langsung jadi macam-macam kalau anak-anak saya tidak ada dekat saya.

Maka dari itu saya tidak habis pikir apa yang dipikirkan orang tua saya. Sejak umur 4 tahun saya sudah biasa ikut keluarga Bude saya plesir kemana-mana. Road trip blusukan ke desa-desa di Jawa Timur dan Jawa Tengah, ke Jakarta yang besarnya tak terbayang oleh saya, bahkan yang ultimate ikut menyeberang ke Lampung dan Bali. Sendirian saja tanpa orang tua. 

Sudah sejak TK saya juga biasa liburan di Bandung sendirian. Orang tua saya ya tetap di Semarang. Wong mereka kerja. Saya berangkat dan pulang biasanya naik bis malam. Dititipkan saudara siapa saja yang pergi ke Bandung dan pulang ke Semarang. Sekarang setelah saya pikir-pikir, bude saya dan keluarganya sabar banget menghadapi bocah kecil. Kalau misalnya kelakuan saya dulu pecicilan seperti Mbarep sekarang, hati mereka pasti seluas samudera. Ngurus anak sendiri saja pasti sudah repot apalagi ketambahan balita satu lagi. Tapi mungkin itu hebatnya orang zaman dulu. Tidak masalah jalan-jalan dengan banyak anak.

Paling hebat waktu kelas 6 SD saya diizinkan pergi ke Jakarta sendirian naik kereta buat ikutan nonton Grand Prix Marching Band. Tim sepupu saya dari SMA Santa Ursula Jakarta saat itu bertanding dan saya diajak jadi suporter. Badan saya memang bongsor, jadi waktu SD saya sudah seperti anak SMA, walaupun kelakuan tentu masih seperti anak SD pada umumnya. Tapi tetap saja sekarang saya tak habis pikir. Kok bisa orang tua saya melepaskan saya begitu saja? Mana dulu kan belum zaman handphone. Kalau saya hilang di Gambir gimana? 

Sepertinya orang tua saya mulai berpikir dua kali untuk anak kedua. Karena seingat saya, adik saya tidak pernah dibiarkan ikut pergi-pergi sama orang lain sampai besar. Bahkan waktu akhirnya dia pergi sendiri ke Bandung buat kuliah ibu saya konon nangis-nangis sampai sebulan. Haha.

Masuk TK Umur 3 Tahun

Anak bungsu saya, Ragil, sekarang usianya 3 tahun. Tahun ini dia kami masukkan Play Group dengan pertimbangan masnya mulai masuk TK. Kami pikir kasihan kalau dia sendirian di rumah, walaupun sekolah Mbarep juga cuma 2 jam.

Karena belum bisa masuk sekolah yang sama dengan Mbarep, Ragil masuk sekolah yang lebih dekat dengan rumah. Tapi walaupun judulnya sekolah, kegiatan Ragil ya hanya main-main saja. Tidak ada target akademik tertentu. Hanya lebih terstruktur main-mainnya daripada di rumah karena ada program pembelajaran. Plus ada teman-temannya. Seringkali Ragil tidak ikut kegiatan yang sudah ditentukan di sekolah, malah sibuk main pasir atau perosotan dari datang sampai pulang. Tapi ya memang di usia dia belum waktunya belajar terstruktur jadi kami tak ambil pusing.

33 tahun yang lalu, di usia tepat 3 tahun, saya juga dimasukkan ke TK oleh orang tua saya. Entah apa pertimbangannya. Saya tidak pernah sempat bertanya. Mungkin saya terlihat bosan di rumah, atau bisa jadi saya memang minta sekolah, atau orang tua saya menganggap saya bisa. Bukannya bagi generasi baby boomers, semakin cepat semakin baik, semakin dini semakin hebat?

Pokoknya, sama seperti Ragil, saya memulai perjalanan pendidikan formal saya di usia 3 tahun. Bedanya TK yang saya masuki adalah TK negeri konvensional di pinggir kota. Duduk di kursi menghadap guru adalah keharusan. Calistung adalah kewajiban. Tidak peduli usia murid. Semua harus belajar baca, tulis, hitung. Kalau kelakuan saya dulu seperti Ragil sekarang, saya heran kenapa dulu tidak dikeluarkan dari sekolah. 

Ragil masih tidak berminat belajar angka dan huruf, lagipula kalau ada yang memaksa dia melakukan sesuatu, orang itu harus siap menghadapi ledakan emosi ala threenager yang luar biasa. Jadi kalau dia masuk TK konvensional saya bisa pastikan setiap hari akan penuh jeritan dan tangisan. Drama ala film-film India minus angin topan dan sari yang berkibaran. Mungkin guru zaman dulu jauh lebih sabar atau saya lebih pintar menyesuaikan diri. Satu hal yang pasti, orang tua saya berani sekali. 

Anekdot yang sering diceritakan oleh orang tua saya mengenai masa TK saya adalah tentang raport pertama dimana saya dapat C untuk semua aspek yang dinilai. Waktu itu, Bapak saya, yang adalah dosen di Fakultas Pendidikan IKIP Semarang, katanya langsung menemui kepala sekolah sekolah saya dan menceramahi beliau tentang pedagogi. Saya tak sanggup membayangkan bagaimana kepala sekolah tersebut menanggapi Bapak saya.

Tahun berikutnya, di usia 4 tahun, saya dipindahkan ke TK swasta yang ada di tengah kota. Mungkin program pendidikannya lebih ramah atau usia saya sudah mencukupi, yang pasti di TK tersebut nilai saya konon tak pernah kurang dari A. Dulu nilai memang segalanya.

Modal "Ndilalah" Masuk Sekolah Favorit

Pengalaman yang ini mungkin sebetulnya tidak masuk kategori diluar nalar, lebih tepatnya "ndilalah". Keberuntungan. Tapi ya sudahlah, nanggung  kita tuliskan saja.

SMP, SMA, dan tempat kuliah saya masing-masing termasuk kategori sekolah favorit. Persaingan masuknya cukup sengit. Biayanya, walaupun sekolah negeri, juga termasuk tinggi dibanding sekolah lain di daerah yang sama. Tapi alhamdulillah saya bisa masuk ketiganya dengan cukup mudah dan murah.

Saya masuk SMP saat krisis moneter tahun 1998. Saat itu harga-harga melambung tinggi. Perusahaan-perusahaan bangkrut. PHK terjadi dimana-mana. Semua hal jadi mahal sekali. Saya samar-samar ingat baru saja selesai mengikuti EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) ketika Presiden Soeharto lengser. Kerusuhan terjadi di berbagai kota besar. Di Semarang tidak terjadi kerusuhan, padahal etnis tionghoa ada banyak jumlahnya. Orang Semarang memang happy go lucky

Ketika masa pendaftaran sekolah tahun itu, ndilalah muncul peraturan dari pemerintah kota Semarang. Seluruh sekolah negeri hanya boleh menarik uang pembangunan maksimal Rp. 50.000. Padahal biasanya sudah Rp.300 ribuan. Mungkin untuk mencegah banyak anak yang putus sekolah. Lalu anak guru dapat poin tambahan NEM (Nilai Ebtanas Murni) sebesar 0.5. Saya pun, yang punya ibu seorang guru SMA, melenggang masuk ke SMP 1 Semarang tanpa halangan. Murah lagi.

Tiga tahun kemudian, ketika saya masuk SMA, tidak ada kebijakan mengenai potongan biaya. Tapi di tahun itu juga ndilalah lagi-lagi muncul aturan anak guru dapat poin tambahan NEM sebesar 2.00 poin. Saya yang tadinya mencoba peruntungan untuk masuk ke SMA 3 Semarang dengan nilai yang mepet passing grade, seketika langsung naik ke posisi aman. Kembali saya melenggang masuk sekolah favorit karena jadi anak guru. Di tahun-tahun berikutnya aturan poin tambahan ini ditiadakan karena banyak yang protes fairness-nya. Ya iyalah. Aneh-aneh saja.

Saat masuk kuliah, sebetulnya saya sudah merasa cukup beruntung karena diterima. Bapak saya yang cermat soal keuangan sudah menyiapkan dana yang cukup sehingga saya sebetulnya tidak khawatir soal biaya. Tapi saat mengisi bagian besaran uang pembangunan di formulir kesanggupan membayar biaya pendidikan, ndilalah saya iseng contreng pilihan Rp. 0. Petugas yang memeriksa formulir itu tidak berkomentar apa-apa, padahal ada juga yang ditegur karena dianggap "aji mumpung". Mungkin petugas melihat kalau saya anak dosen dan guru yang penghasilannya pas-pasan. Alhasil saya masuk ke ITB tanpa bayar biaya gedung sama sekali. Lumayan hemat Rp.2.500.000. Hehe. 

Penutup

Begitulah cerita yang saya anggap diluar nalar. Mohon maaf kalau kurang nyambung. 2.5 jam sebelum deadline. Alhamdulillah bisa kesampaian juga.





4 comments:

  1. Ya ampun Mamah Restu, kok bisa sih? Ehh reaksiku sama banget dengan judulnya ya wkwkwk.

    Yang usia 4 tahun sudah mayeng-mayeng sendirian, kalau dibayangin ngeri ngeri sedap ya ehehe. Apalagi kalau anak sendiri, sudah pasti ku gak tega ehehe.

    ***
    Saya baru tahu ada aturan tambahan poin NEM untuk putra-putri Guru. Ehehehe.

    ReplyDelete
  2. Aduuuhhh ... ini baca artikel teh Restu pas aku lagi stay di Semarang ini: tadi pagi jalan santai ke Lawang Sewu dan barusan makan ayam bakar madu di pojokan Pandanaran.

    ReplyDelete
  3. Senyum (ikut) happy baca pengalaman Teh Restu. Mulai TK sampai kuliah, mulus lancar dengan pengalaman seru ngebolang segala macam. Jadi pengalaman berharga yang tak ternilai ya, dan jadi pengingat untuk selalu bersyukur atas segala pengalaman 'di luar nalar' ini. Berkah doa orang tua kayaknya, Teh... Salam bakti untuk mereka.

    ReplyDelete
  4. sepertinya, dulu itu orang tua kita lebih percaya melepas karena belum banyak berita kriminal seperti sekarang. Aku baru tau ada perlakuan khusus untuk anak guru. Mungkin harusnya aku jadi guru biar anakku dapat bonus poin? Hehehe...

    ReplyDelete