Friday, August 6, 2021

Pengalaman Jadi Staf Tata Usaha : Orang Tua Menggemaskan

Ini adalah sambungan dari tulisan saya tentang Alasan Memilih Teknik Industri dan Pengalaman Bekerja Setelah Lulus

Tahun Keempat Jadi Petugas Tata Usaha

Tahun ini adalah tahun keempat saya menjadi staf Tata Usaha di almamater sendiri. Sebuah pekerjaan yang tidak saya kira akan saya tekuni dan bahkan nikmati. Bukan berdasarkan feng shui, tapi menurut pengalaman, saya memang tidak berbakat soal administrasi. Mencatat, menyimpan, mengurusi printilan dokumen. Oh sungguh saya tidak rapi. Folder komputer saya berantakan. Meja saya juga. Apalagi saya cukup merasa diri ini socially awkward 😅 Makanya saya tidak menyangka bisa bertahan cukup lama mengerjakan hal - hal yang sangat administratif. Plus orang - orang tahan saja dan nggak keheul sama saya.

Pertama kali menjadi koordinator Tata Usaha, saya cukup kaget karena pekerjaan di TU ini ternyata tidak hanya sekedar mengurus surat dan tetek bengek administrasi perkuliahan. Seringkali saya mesti mengurus hal - hal lain diluar administrasi. Tak jarang sampai bawa - bawa perasaan. Menyangkut nasib orang soalnya 😅 Beberapa kali saya menghadapi situasi nyata yang saya pikir hanya bisa saya lihat di drama. Semuanya memberikan saya perspektif baru untuk memandang dunia. 

Pelajaran Berharga Di Balik Meja Tata Usaha

Percaya atau tidak, hal yang paling banyak saya pelajari dari menjadi petugas tata usaha adalah pelajaran menjadi orang tua. Selain bertemu dengan mahasiswa dengan berbagai kelakuan, latar belakang, dan upbringing-nya, kadang saya juga harus menemui orang tua dengan berbagai gaya dan usaha. Interaksi saya dengan para orang tua ini tak jarang membuat saya berpikir bahwa nasihat - nasihat yang ada di postingan - postingan tentang kesalahan jadi orang tua memang benar adanya. Ini saya bagikan beberapa cerita. Silahkan ditarik hikmahnya sendiri yaa 🤣

Ikan Teri 50 Juta

Hanya ada saya di kantor Tata Usaha yang bisa menemuinya hari itu. Lepas tengah hari begini semua dosen sedang di kelas atau sedang rapat. Bukan kali pertama kali saya bertemu dengannya. Gaya rambut pendeknya masih sama seperti ketika pertama kali kami bertemu. Kali ini ia mengenakan blouse dan rok sederhana dengan motif senada. Ketika saya menghampirinya di ruang tamu tata usaha, ia sedang duduk dengan punggung tegak di sofa. Tangannya meremas - remas pegangan tas kecil di pangkuannya dengan gelisah. Hanya melihat sekilas saya tahu ibu ini sedang dilanda rasa gundah gulana yang luar biasa. 

Saya persilahkan ia masuk ruang tertutup, agar leluasa bercerita. Ternyata permintaan yang disampaikan masih sama. Minta agar anaknya dibantu menyelesaikan kuliah. Anak satu - satunya ini sudah dua tahun mogok kuliah. Hanya mau mendekam di kamar saja. Padahal dulunya ia juara sekolah di suatu kota kecil di Sumatera. Pintar dan sepertinya cukup populer. Keluarganya pun cukup terpandang dan hidup sangat berkecukupan. Sungguh tidak ada yang mengira bahwa mahasiswa ini akan tiba di posisi saat ini. Hampir dropout.

Cerita yang mirip sudah beberapa kali saya dengar. Saat masih SMA paling pintar. Paling terkenal. Masuk kampus baru tersadar, diatas langit masih ada langit atau bahkan luar angkasa. Tidak bisa menerima kenyataan jadi anak biasa saja. Akhirnya memilih untuk kabur dari masalahnya.

Saya sampaikan lagi kepada ibu tersebut, hal yang sudah pernah saya sampaikan di perjumpaan kami sebelumnya. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh pihak Perguruan Tinggi jika anaknya sendiri tidak mau berusaha. Urusan kuliah ya hanya mahasiswa sendiri yang bisa mengerjakan. Kan tidak mungkin petugas TU yang menggantikan ikut kelas Matematika III atau Statistika. Saat ini si ibu ini sudah berurai air mata.

Saya sampaikan juga hal yang selalu saya tanyakan ke orang tua mahasiswa - mahasiswa seperti ini. Apa ibu itu sudah tanya keinginan anaknya? Jangan - jangan dia sudah tidak mau kuliah di sini. Atau bahkan tidak mau kuliah sama sekali. "Mungkin ingin jadi filsuf Bu", kata saya berkelakar mencoba mencairkan suasana. Anaknya memang pernah cerita kalau ia sangat menyukai buku - buku filsafat. Siapa tau kan dia ingin mencari jurusan yang lebih punya makna mendalam daripada engineering yang eksakta. Alih - alih terhibur, tangis si ibu malah makin keras.

Saya membiarkan si ibu menenangkan diri. Setelah tenang saya ulangi lagi omongan saya bahwa saat ini tidak ada yang bisa berjuang selain anaknya sendiri. Pihak universitas dan orang tuanya hanya bisa memberikan dukungan. Si ibu menyeka kedua matanya dengan sapu tangan yang saya yakin sudah basah kuyup. Setelah kembali tenang, si ibu bertanya, "Suka Teri nggak Bu?". Saya yang bingung dengan perubahan topik yang tiba - tiba, hanya bisa memandang si ibu dengan bingung. "Maksudnya bagaimana Bu?", tanya saya. "Ini saya punya teri buat ibu", tangan si ibu merogoh ke dalam tasnya, mengambil sesuatu. "Teri?", tanya saya lagi sambil masih terheran-heran. "Ini", si ibu menyorongkan bungkusan berwarna putih ke saya. "Whoa!", kata saya refleks setelah melihat bentuk bungkusan berisi segepok 'teri' berlabel Bank Indonesia tersebut. Tanpa babibu saya berdiri dan kabur keluar ruangan. Kaget. Dengan jantung yang masih berdebar, saya mendengar suara tangisan si ibu. Kali ini sambil meraung - raung.

Beberapa lama setelah insiden 'teri' tersebut, ibu itu kembali beberapa kali  mengirimkan pesan Whatsapp. Masih menawarkan untuk mentransfer uang puluhan juta ke rekening saya 😅 Sepertinya Ibu ini betul - betul clueless dengan cara kerja perguruan tinggi. Kalaupun ibu itu transfer ratusan juta ke rekening saya, saya juga tidak akan bisa apa - apa jika si mahasiswa tetap tidak mau berusaha menyelesaikan kewajibannya. Kecuali menempuh cara - cara ilegal seperti pakai joki dan nyogok dosen yaa. 

Tapi kalau saya sih tidak akan mau terima sogokan. Selain cuma menambah dosa saya yang sudah banyak, merepotkan (saya orangnya malas repot), dan berisiko besar (bisa masuk penjara), saya juga tidak berminat keluarga terutama anak - anak saya terkena akibat dari makan uang haram 🙈

Satu setengah tahun kemudian putra si ibu mengundurkan diri. Terakhir saya dengar dia akan kuliah di universitas lain, di jurusan yang diinginkannya. Walaupun terlambat 7 tahun lebih tidak mengapalah. Paling penting dia bahagia. Semoga orang tuanya bisa menerima dan jadi bahagia juga.

Kesalahan Nomor 1 : Menganggap uang bisa menyelesaikan segalanya.

Bahkan Maudy Ayunda Juga Berusaha

Sebuah panggilan masuk ke nomor Whatsapp kantor saya. Nomornya tidak tersimpan. Profile picture-nya memperlihatkan pasangan paruh baya berpose di depan suatu formasi bebatuan yang keren dengan latar belakang malam penuh bintang. Di Amerika nih pikir saya sok tau. Urusan sok tahu memang saya ahlinya. Tapi bentuk batunya memang seperti yang di bawah ini. 

Saya angkat panggilan tersebut. Seorang ibu - ibu langsung menyerocos di ujung seberang. Beliau ingin tahu kabar anaknya. Bagaimana kuliahnya? Apakah nilainya bagus? Kapan dia bisa lulus?. Mendengar rentetan pertanyaan si ibu,  ingin sekali saya langsung menjawab "Lha itu kan anak ibu, kenapa tanya saya?". Tapi kan saya petugas TU yang baik, jadi saya ketikkan namanya ke sistem dan sekilas mempelajari data yang muncul di layar. Ini anak sudah 3 semester tidak kuliah. Nilainya E semua.

Sebelum saya sampaikan kenyataan tersebut, saya tanyakan dimana posisi anaknya sekarang. Saat itu memang sedang libur kuliah empat bulan. "Anak saya baru pulang dari Inggris Bu. Saya suruh ikut short course sebulan di Manchester, soalnya kayanya dia kurang semangat, jadi saya kirim ke luar negeri saja. Sekalian refreshing. Kebetulan ada kakaknya di sana. Ini setelah pulang diminta papanya magang di perusahaan om nya di Singapore. Tapi Om-nya minta bukti nilai (transkrip) buat keperluan HR. Cuma ini anaknya kok nggak ngasih - ngasih, jadi saya inisiatif telepon Ibu saja, siapa tau ibu bisa bantu", kata si ibu panjang lebar.

Karena saya orangnya kurang minat basa basi, tanpa tendeng aling - aling langsung saya sampaikan informasi mengenai situasi sang anak. Si anak sudah tidak kuliah 1.5 tahun lamanya. Nilainya E semua. Absennya juga dibawah 20%. Mungkin itu yang membuat dia tidak semangat. Takut ketahuan orang tuanya. Atau dia ada masalah lain entah apa. Dari reaksi si ibu yang super kaget mendengar informasi tersebut, saya menduga dia dan suaminya tidak punya clue sama sekali mengenai kondisi anaknya. Pertanyaannya. Kok bisa? 😅

Saya sampaikan ke ibu tersebut agar mengajak ngobrol anaknya terlebih dahulu (kemampuan sok menasehati krusial bagi pegawai TU) 😆. Lagi - lagi siapa tau anaknya sudah tidak minat kuliah. Mungkin tidak cocok sama jurusan atau lingkungan atau ya dengan universitasnya. Mungkin dia ingin kuliah di Oxford seperti Maudy Ayunda. 

Saya sampaikan dengan jujur pendapat saya tapi si Ibu malah tersinggung. Modenya berubah jadi defensif. Dia lalu menceritakan bahwa ia dan suaminya alumni perguruan tinggi tempat saya bekerja. Jadi pasti anaknya berminat mengikuti jejak ayah ibunya kuliah juga disana. Wong buktinya dia bisa masuk. Saya cuma mengangguk - anggukan kepala saja mendengar ceramah si ibu. Walaupun yang dikatakan ibu tersebut tidak masuk logika saya. Ini jangan - jangan ibunya yang ingin kuliah.

Sebagai mantan anak yang disetir oleh orang tuanya terkait pilihan universitasnya, saya sih tidak menyalahkan si anak kalau berontak. Cuma berontaknya kok ya merugikan diri sendiri 😅 Setelah berceramah panjang lebar selama 10 menit, ibu itu menutup pembicaraan dengan mendeklarasikan bahwa anaknya semester depan akan cuti untuk menenangkan pikiran dan akan dikirim ke Amerika tempat pakdenya menetap. Betul kan saya bilang foto profil nya di Amerika 😆 #SalahFokus

Anyway setelah mengajukan cuti si anak tidak kembali di semester selanjutnya. Kabar terakhir yang saya dengar yang bersangkutan sudah kerja di negara tetangga. Sudah menikah, punya apartemen, dan mobil. Kemungkinan besar dibelikan Bapak Ibunya. Mungkin dari dulu sebenarnya keinginan si anak go international tapi mentok pada titah orangtuanya yang maunya go local jadi stress sendiri. 

Kesalahan Nomor 2 : Menganggap keinginan dan ambisi diri sendiri sama dengan keinginan dan ambisi anak.

Ini Mahasiswa, Bukan Balita

Di suatu siang yang cerah, saya sedang nongkrong dibalik loket tata usaha. Nongkrong bukan nangkring karena saya bukan burung kakak tua hinggap di jendela. Biasanya saya duduk di pojok ruangan nun jauh di ujung sana. Tapi hari itu saya sedang berminat berinteraksi dengan orang. Biasanya saya memilih berinteraksi dengan komputer (introvert detected) 😆

Seorang ibu datang menanyakan segala hal mengenai administrasi student exchange. Anaknya mau exchange ke salah satu negara Scandinavia. Saya jawab administrasinya A B C. Tapi biar mahasiswanya saja yang urus sendiri, karena toh  mengurusnya juga online pakai akun mahasiswa. Kata ibunya tidak apa - apa dia saja yang urus biar cepat 😅 saya tanya memang anaknya kemana. Sudah berangkatkah? kalau sudah berangkat pakai email kan bisa. Kalau belum berangkat masa mau exchange ke luar negeri mengurus hal begini saja tidak bisa. Si Ibu menunjuk seseorang yang duduk diam di kursi tunggu depan TU. "Itu anak saya"

Langsung saya panggil. Si anak bangkit dan menghampiri kami. "Kenapa mesti Mama kamu yang urus begini - begini? Kamu kan sudah besar. Bukan Mama kamu yang mau exchange kan?", bombardir saya. Si anak melirik ibunya lalu dengan hati - hati menjawab "Kata Mama biar Mama saja, supaya cepat Bu". Sebelum si Ibu membuka mulut untuk protes, mode ceramah saya langsung on lagi sampai akhirnya si ibu dengan sukarela mengundurkan diri membiarkan si anak mengurus urusannya sendiri 😅 

***

Lain waktu saya mengangkat telepon dari orang tua lain. Menanyakan kenapa nilai anaknya belum keluar. Saya bilang anaknya saja menghubungi dosennya sendiri kenapa ibunya harus ikut repot - repot. Kata ibunya anaknya sibuk sekali, sekarang sedang Kerja Praktik jadi tidak bisa diganggu. Dia menanyakan ini karena khawatir nanti anaknya tidak lulus dan tidak bisa dapat gelar cum laude. Saya langsung puyeng.

***

Keesokan harinya saya terima telepon dari orang tua lain lagi. Kali ini memohon agar anaknya diberikan ujian ulang supaya tidak dapat E. "Kata anak saya dia sebetulnya bisa mengerjakan, tapi memang sebelum ujian, dia sakit perut Bu, jadi tidak bisa belajar. Ini anaknya sekarang mengurung diri di kamar tidak mau bicara sama saya. Kayaknya karena mikirin nilai E nya", kata ibu tersebut menjelaskan. "Nanti saya hubungi anak ibu" jawab saya singkat. "Jangan Bu..jangan..dia nggak tau saya menghubungi ibu. Nanti dia bisa marah kalau tau. Ibu langsung hubungi dosen saja ya Bu, minta anak saya dikasih ujian perbaikan", katanya mengiba. 

"Ibu mau menggantikan anak ibu ikut ujian?", kata saya ."...atau Ibu dosen disini jadi tau semua komponen penilaian dan yakin anak ibu tidak lulus cuma gara gara sakit perut?", omel saya. "Oh bukan Bu, saya cuma mau membantu anak saya. Kan kasihan kalau dia tidak lulus", kata Ibu tersebut sambil setengah kaget mendengar omelan saya. 

"Tidak lulus kan tinggal mengulang Bu", kata saya sambil berusaha mengakhiri pembicaraan. "Tapi Bu, anak saya seumur hidup belum pernah dapat nilai jelek. Ini pertama kalinya. Saya takut dia stress Bu". Saya cuma bisa nyengir kuda mendengar jawabannya.

Sepertinya ibu - ibu ini belum sadar anaknya sudah bukan balita. Mau nikah juga sudah legal 😅



Kesalahan Nomor 3 : Tidak mau menerima kenyataan bahwa anaknya sudah dewasa.

Bukan Sinetron

Sekali waktu saya pernah menerima telepon dari kakak seorang mahasiswa. Kakak ipar tepatnya. Mulanya sih baik - baik saja. Menanyakan kenapa adik iparnya ini tidak lulus - lulus. Apa saja yang masih harus diselesaikan dan hal - hal administratif lainnya termasuk masalah biaya yang masih perlu dikeluarkan. 

Saat menyinggung soal biaya yang masih harus dikeluarkan, Kakak ipar ini, yang kemudian akan saya sebut sebagai si mbak, langsung berubah ke mode tjurhad. Menurut dia keluarga suaminya sudah mengeluarkan uang banyak sekali agar adik iparnya ini lulus. Tapi kok yang bersangkutan malah terlihat santai - santai saja. Padahal sekarang giliran ponakan si mahasiswa, anak si mbak maksudnya, yang harus masuk sekolah dan membutuhkan biaya banyak.

Murni karena kepo saya tanyakan kepada si mbak perihal siapa yang selama ini membayar uang sekolah adik iparnya. Soalnya si mbak sampai mengungkit - ungkit masalah uang sekolah anaknya segala. Apakah suaminya harus menanggung biaya kuliah adiknya? 

Si mbak menjawab tidak. Biaya kuliah untuk adik iparnya ini masih dibayarkan oleh mertuanya sendiri, atau ayah si mahasiswa. Hanya saja, karena sang mertua sudah pensiun, maka uangnya diambil dari hasil penjualan aset - aset warisan bapak sang mertua. Kakek dari si mahasiswa dan suami si mbak.

Sebetulnya saya masih ingin tau kenapa kalau yang bayar uang kuliah adalah Bapak si mahasiswa sendiri, mbak ini khawatir dengan biaya uang sekolah anaknya. Tapi itu kan bukan urusan saya ya. Kemungkinan masih banyak cerita dibalik sekilas info barusan. 

Tapi kemudian si mbak melanjutkan tjurhad-nya dengan cerita bahwa situasi di rumah mertuanya sangat tidak kondusif karena masalah uang ini. Ayah mertuanya setiap hari marah - marah, Ibu mertuanya nangis - nangis, dan anak - anaknya, yang semua laki - laki, setiap hari berantem satu dengan lainnya. 

Si mahasiswa adalah anak tengah di keluarga tersebut. Adiknya baru mau masuk kuliah tapi terancam tidak jadi karena tidak ada biaya. "Uangnya dihabiskan untuk membiayai kuliah kakaknya yang tidak lulus - lulus".

Keluarga si mbak juga sedang kesulitan keuangan karena suaminya kena tipu. Suaminya yang adalah anak pertama di keluarga tersebut, menyalahkan adiknya karena "menghabiskan uang keluarga yang seharusnya bisa ia gunakan untuk menyelamatkan keluarganya".

Terjawablah sudah kenapa mbak ini begitu khawatir warisan kakek mertuanya habis. Karena itu memang "harapan" satu - satunya keluarga ini. Saya juga jadi berempati pada si mahasiswa yang pasti sangat merasa tertekan dikambing hitamkan oleh seluruh keluarga. Bagaimana bisa menyelesaikan skripsi di tengah situasi seperti ini. Apalagi saat pandemi dan tidak punya uang. Teman - teman si mahasiswa, yang telah lulus lebih dulu,  juga kemungkinan besar sudah sibuk dengan pekerjaan dan hidupnya. Si mahasiswa sepertinya merasa tidak punya supporting system dan akhirnya situasinya jadi seperti lingkaran setan.

Menghadapi tjurhad si mbak, saya hanya bisa mengiya - iyakan saja. Karena bukan ranah saya untuk ikut campur dan si mbak juga nampaknya tidak cari solusi hanya ingin cerita saja 😅 Kalau saya boleh berpendapat, menurut saya inti masalah keluarga tersebut adalah komunikasi. Seandainya boleh memberikan nasihat, saya ingin menyarankan supaya satu keluarga bisa duduk bersama. Kemudian ngobrol dan berdiskusi untuk menyelesaikan masalah. Bukannya malah menghindar dari masalah sebenarnya dan saling menyalahkan. Tapi nasihat memang lebih enteng diucapkan daripada dilaksanakan. Saya juga tidak tahu apa bisa tetap tenang kalau berada di situasi seperti keluarga tersebut 😅

Setahun kemudian si mahasiswa lulus juga akhirnya. Saya tidak tahu akhir ceritanya. Tidak mau cari tahu juga. Hanya bisa berdoa semoga kelulusan dia berdampak positif pada keluarganya.

Kesalahan Nomor 4 : Kurang komunikasi dan banyak asumsi.

Penutup

Katanya untuk bisa lulus kuliah, atau lulus tantangan apapun, seseorang perlu tiga hal. 1. Keinginan diri sendiri, 2. Sumber daya, 3. Supporting system. Tanpa salah satu dari ketiga hal tersebut bisa dipastikan perjalanan akan terhambat. Kebanyakan orang take them for granted. Tidak banyak yang sadar bahwa memiliki ketiga hal tersebut adalah priviledge yang tidak dimiliki semua orang.

Menurut saya salah satu kewajiban orang tua adalah menyediakan ketiga hal diatas untuk anak - anaknya. Sesederhana apapun sesuai kemampuan. Ingat yang penting adalah niat dan usaha. Serahkan pada Tuhan untuk hasilnya. 

Sebagai orang tua, tentu saya ingin hidup anak saya lancar - lancar saja. Tapi saya sadar diri. Takdir kedepan bisa membawa kami berhadapan dengan situasi apa saja. Oleh karena itu saya sangat bersyukur karena pekerjaan saya sekarang bukan hanya pekerjaan saja. Saya bisa banyak belajar saat menjalaninya. Termasuk saat berhadapan dengan orang tua - orang tua menggemaskan seperti yang saya ceritakan diatas. Karena kan katanya pengalaman adalah guru terbaik. Walaupun pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman orang lain 😅

Cerita mengenai pertemuan dengan para orang tua tersebut biasanya saya jadikan bahan diskusi dengan suami. Agar kedepan kami tidak melakukan kesalahan yang sama atau sudah siap jika menghadapi situasi serupa. Life long learning istilahnya. Mohon maaf kalau kurang nyambung.

Jadi cerita orang tua mana nih yang paling bikin gemas? 😆

Oh ya karena nulis bagian 3 ini saja hampir berbulan - bulan, jadi saya tidak janji ada Bagian 4. Siapa tau ada yang nungguin 😝

Kesalahan Nomor 5 (paling fatal) : Gampang Geer. 

Sekian.

23 comments:

  1. Huhu, jadi pelajaran banget ya kelak kalo kita jd ortu musti tau banget kondisi anak. Tu, ga pengen lanjut kuliah ambil pskilogi gitu? cocok kayanya :)))

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ahahaha nggak bakat kuliah Teh. Mending jadi pegawai TU saja santai :)))

      Delete
  2. Huwaaa ternyata banyak hikmah kehidupan di balik tugas seorang TU.. Saya teh jadi ngebayangin restu kaya kepala TU jurusan saya dulu hihi, beliau juga jadi org yg banyak bantu mahasiswa bermasalah.. Barokah insyaAlloh pekerjaannya yaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Amiiiinnnn...semoga pandemi cepat berlalu biar kerjaan saya nggak depan komputer saja. Hehe.

      Delete
  3. Serius tu, TU itu sekarang nerima curhat dsb? Perasaan zaman kita dulu gak segininya ya, gw aja gak pernah tau no telp TU.

    As usual, tulisannya bagus dan sangaaat menghiburrr (ehh...gw salah posisi gak sih, ini cerita humor atau pelajaran hidup yaks?)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Lha nggak nerima curhat juga orang - orang pada curcol :)))

      Delete
  4. ternyata jadi staf TU menantang pisan ya :), jadi inget dulu TU Geologi baik-baik banget. Sejujurnya kaget baca cerita-cerita tentang orang tua ini, ada ternyata ya, dulu perasaan Mama ku ga pernah sampai ke TU atau jurusan, sekalinya datang hanya dua kali, di awal masuk ama wisuda hehe.

    Teri bank Indonesia mah ga enak Teh, kalau teri medan lumayan kan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sekarang pandemi yang meneror TU saja banyak nih orang tua. Paling ngeselin yang nanya semester depan online atau offline. Lha kenapa nggak anaknya sendiri yang nanya :)))

      Delete
  5. Wkwkwk Teri BI, ngeri ya teh. Gak kebayang mindsetnya kalau segala macam persoalan bisa diselesaikan dengan uang.

    Barakallah tehh, semangat ya teh menghadapi lika liku orang tua mahasiswa ;)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mungkin karena nggak paham harus diselesaikan dengan cara apa lagi yaa...

      Delete
  6. wah bagus bgt tulisannya, dan salut dengan integritas dan kekuatan mental Restu jadi koordinator TU di jurusan kita. Yakin pasti lebih banyak cerita2 ‘seru’ lagi yg sehari2 dihadapi. Tetap sabar dan semangat!!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Amiiinnn... walaupun pas pandemi begini berkurang sih keseruannya :))

      Delete
  7. Salut teh.. bisa merangkul tugas gak resmi ini - menenangkan ortu-ortu yang kalang kabut dengan masa depan anaknya. Semoga ke depan bisa lebih dialamatkan dengan benar ya keluhan-keluhan seperti ini, jangan ke TU ajah hihihi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya nih....semoga kedepan ada service yang lebih mumpuni yaaa...

      Delete
  8. Sekarang aku jadi ngerti kenapa aura orang TU tuh aura yang tahu segalanya ������ karena memang tahu background mahasiswa. Insightful nih teh, ternyata cerita yang di film2 kejadian di kampus sendiri

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ahahaha kalau pas offline tempat gossip paling hot di TU :)))

      Delete
  9. Ya ampun, sedih bacanya... Pelajaran banget nih buat saya sebagai orang tua...
    Terus jadi kangen ibu2 TU Plano, yang tahu segala gosip di jurusan :D

    ReplyDelete
  10. kalau aku melihat semua kasus kembali ke komunikasi antara orang tua dan anak. masalah anak dipaksa kuliah lokal ataupun ortu ngurusin printilan, ini semua masalah komunikasi.

    tapi emang PR sbg ortu adalah bagaimana membangun komunikasi yg baik dengan anak dari kecil sampai dewasa nanti

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah iya teh. Kebanyakan mungkin dari kecil terbiasa 1 arah saja ya. Anaknya nggak didengerin.

      Delete
  11. Huaa kenapa enggak ada tombol like-nyaaa. Dibalik pembawaan yang jenaka, tulisan Teteh banyak banget pelajarannya. Jadi ngebayangin riweuhnya para staf TU direcokin mahasiswa, dosen, orang tua juga ikut-ikutan. Aku kagum banget Teteh berani ngomelin anaknya di depan ibunya, meskipun saya juga gemes sih bacanya.

    ReplyDelete
  12. Saya pernah ada di posisi mewakili orang tua, menghubungi TU, kaya detektif nyari2 nomor kontak kepala TU, kajur, dekan, dosbing, dst 🤭 belum beres ampe sekarang.. satu misteri terungkap, ternyata anaknya udah lulus sidang, tapi ngga ngurus revisi, jadi ijazah tertahan. Jadi ortu antara bahagia dan bingung, krn si anak terus2an mengunci diri di kamar. Bener banget semua pelajaran di atas.. uang bukan segalanya, komunikasi anak-orang tua harus berjalan baik, dan ngga ada yg bisa dilakukan kalau mahasiswanya sendiri ngga mau usaha.

    ReplyDelete